Kemiskinan masih menjadi salah satu permasalahan terbesar di Indonesia, dengan jutaan warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Di tengah tantangan ini, Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang menarik perhatian publik. Ia menyatakan bahwa zakat bisa menjadi salah satu solusi dalam menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan keyakinannya bahwa Indonesia bisa menghapus kemiskinan ekstrem hanya dengan dana Rp30 triliun. Hal tersebut disampaikan Prabowo saat membayar zakat ke Baznas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (27/3/2025).
Pernyataan ini memicu perdebatan di berbagai kalangan, mulai dari pakar ekonomi hingga warganet di media sosial. Banyak warganet yang mengkritik gagasan ini, menilai bahwa bantuan dari zakat bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahan kemiskinan.
Banyak yang mempertanyakan efektivitas pendekatan ini, mengingat zakat merupakan dana yang sifatnya sementara dan tidak selalu cukup untuk menangani kemiskinan dalam jangka panjang.
Kritik utama yang muncul adalah bahwa kebijakan ini justru menunjukkan kelemahan pemerintah dalam mencari solusi yang lebih fundamental, seperti penciptaan lapangan kerja dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Kritik lain terhadap gagasan ini adalah sifat zakat yang tidak stabil sebagai sumber pendanaan jangka panjang. Dana zakat dikumpulkan berdasarkan kesukarelaan masyarakat, sehingga jumlahnya dapat berubah dari tahun ke tahun.
Selain itu, dalam ajaran Islam, zakat memiliki alokasi yang telah ditentukan untuk delapan golongan penerima, termasuk fakir miskin, tetapi juga kelompok lain seperti mualaf, amil (pengelola zakat), dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal).
Artinya, dana zakat tidak sepenuhnya bisa digunakan secara eksklusif untuk program pengentasan kemiskinan dalam skala besar. Jika zakat dipaksakan menjadi instrumen utama kebijakan pemerintah, ini dapat menimbulkan pertanyaan etis dan syariah mengenai penggunaannya.
Banyak pakar menekankan bahwa solusi yang lebih efektif untuk mengentaskan kemiskinan adalah menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang layak.
Dengan membuka akses terhadap pekerjaan yang memberikan upah yang layak, masyarakat dapat memiliki sumber pendapatan tetap yang memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan tanpa bergantung pada bantuan sosial.
Selain itu, kebijakan ekonomi yang mendorong investasi, pengembangan usaha kecil dan menengah (UMKM), serta peningkatan keterampilan tenaga kerja dapat menjadi langkah yang lebih tepat dalam memberantas kemiskinan.
Tanpa kebijakan yang berpihak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, pemanfaatan dana zakat hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak menyelesaikan akar masalah kemiskinan.
Pernyataan Presiden Prabowo mengenai zakat sebagai solusi pengentasan kemiskinan memang menarik, tetapi juga menuai banyak kritik.
Dengan Rp30 triliun dan potensi besar zakat nasional, mimpi menghapus kemiskinan ekstrem seolah berada dalam genggaman. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu.
Zakat, meskipun dapat membantu masyarakat miskin dalam jangka pendek, bukanlah solusi yang mampu menyelesaikan masalah kemiskinan secara menyeluruh.
Pemerintah seharusnya lebih fokus pada kebijakan ekonomi yang memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Pertanyaan besarnya: Akankah pemerintah berhenti pada zakat sebagai solusi instan? Atau akan melanjutkan dengan reformasi struktural yang sesungguhnya? Karena sesungguhnya, melawan kemiskinan bukan sekadar tentang menghitung rupiah, tapi tentang membangun sistem yang adil dan berkelanjutan.
Seperti kata pepatah Arab: "Berikan seseorang ikan, dia akan kenyang sehari. Ajari dia memancing, dia akan kenyang seumur hidup."
Zakat boleh menjadi bagian dari solusi, tapi jangan sampai menjadi alasan untuk mengabaikan akar masalah yang sesungguhnya. Karena kemiskinan bukan hanya tentang kurangnya uang, tapi tentang kurangnya kesempatan dan keadilan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS