Suara.com - Nama Gindring Waste identik dengan mural jalanan di Magelang. Kritik sosialnya tajam, satir, tapi juga seringkali penuh humor.
Tak hanya di lokalan Magelang, Gindring pernah menggelar pameran di pop-up area concept store SUPY, di Hong Dae, Korea Selatan. Di sana dia memamerkan sejumlah artwork edisi terbatas yang bernomor seri dan bertanda tangan.
Gindring menggunakan karakter tengkorak ala band horror punk Misfits sebagai media komunikasi gambar. Baginya tengkorak mewakili kejujuran manusia. Kejujuran seniman melihat kondisi di sekitarnya kemudian disampaikan berupa kritik melalui media kesenian. Belakangan ini, kekuasaan berusaha membungkam kritik-kritik itu.
Paling baru, kasus dugaan intimidasi terhadap band punk asal Purbalingga, Sukatani. Ada pihak yang tersinggung terhadap lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dinyanyikan Sukatani. Ada upaya membreidel kebebasan ekspresi berkesenian. Ruang yang seharusnya dijaga sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan.
Baca Juga: Sukatani Akui Diintimidasi Polisi, Koalisi Masyarakat Sipil: Ini Tindak Pidana
Dalam wawancara dengan Suara.com, Gindring menyampaikan kegelisahannya. Mewakili banyak seniman kritis yang saat ini merasakan bahwa situasi negara sedang tidak baik-baik saja.
Berikut petikan wawancara jurnalis Suara.com dengan Gindring Waste:
Bagaiamana anda melihat kebebasan berkesenian di hadapan kekuasaan saat ini?
Indonesia katanya negara demokrasi. Rakyat kan seharusnya boleh bersuara. Keran pendapat dibuka lebar. Seniman-seniman itu kan rakyat, seharusnya tidak apa-apa (diberi kebebasan) untuk mengritik. Tapi yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Rasanya malah kayak masa-masa Orba (Orde Baru). Nggak cuma aku, seniman lain juga sambat. Mereka takut untuk menyuarakan bebas berekspresi. Termasuk aku ketar-ketir untuk berekspresi saat ini. Makanya aku memilih mengamankan diri karena ada keluarga. Jadi tidak bisa maksimal sebagai seniman untuk berekspresi saat ini.
Bagaimana sambat (curhat) teman-teman sesama seniman yang selama ini terbiasa melakukan kritik lewat seni?
Baca Juga: Aksi Ruwatan Kepala Daerah di Akmil Magelang Berujung Represi Aparat, Sejumlah Mahasiswa Luka-luka
Mereka mengeluh. Masak (kekuasaan) takut sama gambar? Masak takut sama musik? Takut sama mural? Berarti kan ada yang salah dari pemerintah. Kenapa kok takut dikritik. Itu jadi pertanyaan besar dari teman-teman seniman. Berarti ada sesuatu yang disembunyikan.
Mungkin (negara) akan di-militerkan sedikit demi sedikit. Tapi pakai cara yang halus. Nggak langsung sekejap.
Bagaimana seharusnya seniman yang sering melakukan kritik di jalan merespons sikap kekuasaan saat ini?
Ya seharusnya bebas sih, asal nggak mengejek. Kita seniman itu mengritik bukan mengejek. Sepertinya mereka itu merasa terejek. Berarti kritik itu bisa bener dong, wong mereka merasa terejek. Kalau mereka tidak seperti yang dikritik kan seharusnya diam saja. Kami melempar kritik hanya ingin menyuarakan apa yang sebenarnya dirasakan masyarakat. Menyampaikan uneg-uneg masyarakat. Lewat seni kan lebih estetik.

Apa kemudian kekuasaan ini menyadari bahwa kritik lewat seni bisa lebih mengena bagi masyarakat?
Kritik lewat karya seni, musik, lagu kan bisa lebih over power. Lebih masuk ke masyarakat luas. Tapi masyarakat tidak sadar punya kekuatan. Kekuasaan kemudian takut kepada masyarakat yang tersadar. Dari lihat gambar, mendengar lirik lagu, rakyat bisa sadar apa yang terjadi selama ini. Apalagi liriknya jelas sekali ya. “Mau bikin gigs bayar polisi”? (Petikan lirik lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ yang dinyanyikan band Sukatani) Lirik itu kan nggak ngejek polisi. Itu realitanya. Tidak ada lirik ‘polisi an**ng’ yang menghina polisi misalnya. Kalau itu jelas ngejek.
Kita mau apa-apa jelas bayar polisi. Lirik di lagu itu nggak ada yang ngejek. Tapi kok bisa begitu karena mungkin ada yang tersinggung. Mungkin dia sadar atas kelakuannya. Akhirnya jadi serik. Seperti disadarkan (atas perilakunya) tapi tidak terima. Realitanya kan memang seperti itu. Kami seniman hanya menunjukkan kebenaran.
Nah kalau ada orang sudah melawan kebenaran, berarti jahat. Sesuatu yang sudah melawan nalar dan logika, biasanya buruk. Jahat. Seniman ingin menyingkap kebenaran itu. Kami itu aslinya simpel kok. Nggak cuma aku, tapi juga teman-teman seniman lain, cuma ingin hidup damai. Nggak ada pihak yang merugikan dan dirugikan.
Berarti sekarang situasinya tidak damai?
Secara sosial ekonomi kan nggak. Sekarang banyak tagar #kaburdulu, lha itu gimana? Itu kan berarti takut (situasi sedang menakutkan). Orang kabur itu kan gara-gara nggak nyaman. Ada sesuatu yang salah.
Dalam kasus band Sukatani, gimana respons Gindring?
Aku kaget. Soalnya aku ada hubungan juga dengan Sukatani. Sebagai seniman dan musisi. Aku sedang bikin cover lagu terbarunya dia (Sukatani). Single mereka. Lha kok tahu-tahu dia posting itu. Ya terus aku WA cuma nggak ada tanggapan, mungkin lagi sibuk atau sedang tidak lihat sosmed. Tanggapanku soal kasus itu ya, separah itukah? Aku tanya ke mereka tapi belum dijawab WA-ku sampai sekarang.

Jadi punya hubungan dekat dengan Sukatani?
Dekat. Aku kan juga punya band (Slappy Ratz), pernah manggung bareng. Mereka lihat aku main terus senang. ‘Gaweke cover laguku sing sesuk, anyar’ (buatkan cover laguku yang baru besok).
Cover lagunya sudah jadi tinggal launching. Cuma lagu ini nggak menyinggung kekuasaan sih. Lebih ke fenomena unik di sekitar. Aku sukanya mereka itu karena kejujuran berkarya. Dari desa, (kalau manggung) suka membagikan sayur, sesuai dengan namanya Sukatani. Aku yang paling suka mereka karena karyanya jujur. Keren sih.
Gindring secara pribadi mengidentifikasi diri sebagai street art nggak sih?
Bebas orang mau menyebut aku apa. Yang penting aku suka berkarya aja. Mungkin beda dengan seniman jalanan lainnya, karya Gindring juga jadi bahan koleksi orang.
Gimana memposisikan dua hal yang sekilas terkesan bertolak belakang itu?
Menurut aku street art dan seni kanvas itu soal sudut pandang saja. Hanya sebagai media. Kalau aku bosen di kanvas ya ke tembok. Kalau bosen di tembok ya balik lagi ke kanvas. Bahkan bisa ke skateboard. Aku menganggap itu semua cuma media. Bahkan kalau karyaku di tembok ditumpuki karya lain ya nggak apa. Fine saja. Misal sudah menggambar di tembok ya itu sudah milik publik. Yang penting aku sudah mendokumentasikan. Sudah difoto, disimpan, cukup. Setelahnya mau tumpuk, dicoret-coret luweh (terserah).
Gimana idealisme karya Gindring bisa diterima oleh mainstream?
Aku sebenarnya cuma menjadi diri sendiri. Membuat pasar sendiri itu juga sebenarnya tidak sengaja. Konsisten saja berkarya. Aku juga nggak tahu ternyata karyaku itu laku. Ada yang koleksi. Aku awalnya menggunakan seni sebagai media bicara karena aku nggak pinter nulis. Bersuara juga nggak dianggap. Makanya aku pakai mural buat mediaku bicara. Menyampaikan uneg-uneg. Sesimpel itu. Tak lakoni terus, ternyata didengarkan orang. Ya sudah aku lanjut terus sampai sekarang. Konsisten saja. Bahkan kalau kita konsisten, kita bikin pasar sendiri. Di musik juga begitu.
Musik noise itu siapa yang dengar?
Nyatanya ya ada. Jualan kaset record ada (yang beli). Mengadakan tur juga ada yang nampani (menonton). Apapun yang kita jual pasti ada yang beli. Wis aku yakin itu.
Gimana Gindring melihat masa depan street art yang sering mengritik kekuasaan saat ini?
Aku sampai sekarang masih belum berani ambil suara. Banyak kasus to. Sekarang sedang ingin menempatkan diri pada posisi damai. Jangan buat masalah. Sampai menunggu (situasi) reda. Aku gelisah makanya aku sekarang menuangkannya di kanvas. Tak simpen sik lah. Bukan untuk publik dulu. Belum saatnya juga. Banyak seniman yang gelisah dengan situasi sekarang cuma mereka mikir juga. Sekarang kan bisa Instagram ke-blokir, padahal sebagai mata pencaharian sehari-hari.
Sangat berisiko. Bukan hanya terhadap diri sendiri, tapi juga keluarga.