Lalu ketika tiba di Petrokima, apa yang Anda rasakan saat itu?
Pastinya yang sedikit kaget dari segi waktu latihan ya. Biasanya di brasil itu mulai jam 9 pagi, di sini jam 7 pagi sudah latihan. Istilahnya masih waktu tidur, kita sudah harus siap untuk berlatih.
Kalau latihan jam segitu dan sampai sekarang, saya pasti tidak sarapan. Jadi latihan dalam kondisi puasa ya sebuah tantangan awal dari siti.
Kalau dari segi latihan sama-sama keraslah, termasuk dari segi fisik juga. Tapi berbedaan di sini waktu itu soal kinerja pengadil lapangan ya. Misal kalau main di luar (tandang) sangat sulitlaha.
Hal-hal yang seharusnya dapat kartu kuning atau merah masih dibiarkan oleh wasit, tapi bagi saya bodoh amat lah waktu itu ingin berprestasi di sini dan punya karir panjang ya tentu harus beradaptasi.
Karena fisik saya sudah terbentuk dari awal, jadi tidak berpengaruh di pertandingan misal ketemu lawan yang keras saya bisa unggul.

Melihat atmosfer sepak bola Indonesia saat itu?
Luar biasa! Hampir sama seperti di Brasil, benar-benar orang menyukai dan fanatik sampai saya dengar teman-teman meningglakan pekerjaan untuk nonton sepak bola. Dukungan luar biasa dan tekanan pun ke lawan itu luar biasa dan lebih besar dari negara saya. 90 menit itu (tekanan suporter lawan) itu masuk di otak kita dan mengganggu kita.
Jadi bagi saya saat itu yang utama bisa mengontrol emosi dan cuek saya. Karena bagi saya waktu itu penting di dalam kapangan tugas kita masing-masing,di luar itu nggak usah terlalu tanggapi. Kalau ditanggapi mental akan terganggu, termasuk fisik dan teknik nggak keluar.
Baca Juga: BRI Liga 1: Dewa United Ingin Lengserkan Persebaya dari Peringkat Kedua
Setelah dari Petrokimia, dibawa Jacksen F Tiago pindah ke tim besar Persebaya?