Suara.com - Danilo Fernando tentu bukan sosok asing di belantikan persepak bolaan Indonesia. Bahkan dia merupakan sosok asal Brasil tersukses sebagai pemain di sepak bola Indonesia.
Sebagai pemain, Danilo juara bersama Persebaya Surabaya (2004), Persik Kediri (2006), Borneo FC (2014 promosi ISL) dan juara ketiga Copa Dji Sam Soe bersama Deltras pada musim 2008/2009.
Sementara sebagai official, dia turut membawa PSS Sleman juara Liga 2 2018 sekaligus promosi ke Liga 1, juara ketiga Piala Menpora 2021 juga bersama PSS Sleman serta terbaru membawa Tornao FC promosi ke Liga 2 musim depan.
Sosok dengan nama lengkap Danilo Fernando Bueno de Almeida ini merupakan kelahiran Brasil pada 8 Juni 1979. Selayaknya bocah-bocah asal Brasil, masa kecil Danilo dihiasi dengan sepak bola.
Baca Juga: BRI Liga 1: Dewa United Ingin Lengserkan Persebaya dari Peringkat Kedua
Mimpi Danilo untuk jadi pesepak bola profesional dapat terwujud. Dia sempat merasakan bermain di Eropa dengan bergabung bersama tim asal Belanda, Fortuna Sittard dan bermain 16 kali selama satu musim pada 1997/98.
Setelah dari Sittard, Danilo kembali bermain di Brasil dan berkali-kali pindah ke klub kasta bawah 'Negeri Samba'. Sampai akhirnya dia bermain di Liga 2 kasta Sao Paulo bersama São José Esporte Clube pada 2002. Dari sana kesempatan untuk bermain di Indonesia akhirnya datang dan meraih kesuksesan besar.
Lalu, bagaimana kisah perjalanan Danilo Fernando bisa berkarir di Indonesia dan lika-liku yang dia jalani? Berikut ini wawancara ekslusif Suara.com, Minggu (23/2/2025):
Selamat siang coach, selamat untuk kesuksesan Tornado FC promosi ke Liga 2
Siang mas, terima kasih. Kerja keras kita selama satu musim ini akhirnya bisa membuahkan prestasi.
Baca Juga: Paul Munster Nobatkan Dewa United Jadi Tim Terkuat, Persebaya Jaga Momentum
Anda lama melintang di sepak bola Indonesia, bagaimana cerita awalnya bisa berkarir di Indonesia? Siapa pertama kali yang mengajak?
Cerita awalnya itu bulan November 2002 setelah Petrokimia Putra Gresik juara, ada agen yang juga teman dari Jacksen F Tiago, menawarkan saya untuk berkarier di Indonesia.
Singkat cerita saya berangkat ke Indonesia pertama kali turun di Jakarta, lanjut ke Surabaya baru ke Gresik. Saya seleksi dulu selama satu bulan, karena pelatih saat itu (Serghei Dubrovin-red) pulang ke negaranya untuk liburan.
Jadi saya di Gresik cuma ada dua asisten lokal dan tidak berani membuat keputusan (merekrut atau tidak). Setelah pelatih balik ke Gresik baru saya diputuskan direkrut lima hari sebelum kick off. Makanya saya sempat absen di 3-4 pertandingan awal karena masalah administrasi.
Apakah Anda pernah membayangkan sebelumnya bakal bermain di Indonesia?
Saya memang punya cita-cita berkarir di luar negeri. Jadi saya sempat ke Fortuna Sittard B dan sedikit-sedikit ikut latihan dengan tim A. Begitu satu musim selesai, saya langsung lanjut ke Brasil.
Pas dapat tawaran agen ke Indonesia, saya sampai kaget juga tidak pernah dengar Indonesia. Apalagi sepak bola Indonesia saat itu belum populer seperti Liga Jepang, Australia atau Korea.
Ya saya kaget, sampai saya cari di atlas kan, greografi Indonesia letaknya di mana karena penasaran juga. Tapi saya memang suka sesuatu yang baru dan tantangan baru bermain di luar negeri, akhirnya berangkat ke Indonesia.
Apa yang Anda rasakan ketika pertama kali tiba di Indonesia?
Awal datang yang bikin kaget itu cuaca ya. Menang kita (di Brasil) sama-sama tropis. Tapi di sini beda, saat itu habis hujan terus panas. Jadi hawa panasnya naik semua sampai nempel di kulit.
Kemudian dari segi makanan ya, terutama itu untuk adaptasi saya rasa nggak terlalu sulit. Karena bahan-bahan yang biasa yang dipakai di sini juga sama, untuk seharian yang makan bagi, yang malam ya, di kita juga pakai (di Brasil).
Lalu ketika tiba di Petrokima, apa yang Anda rasakan saat itu?
Pastinya yang sedikit kaget dari segi waktu latihan ya. Biasanya di brasil itu mulai jam 9 pagi, di sini jam 7 pagi sudah latihan. Istilahnya masih waktu tidur, kita sudah harus siap untuk berlatih.
Kalau latihan jam segitu dan sampai sekarang, saya pasti tidak sarapan. Jadi latihan dalam kondisi puasa ya sebuah tantangan awal dari siti.
Kalau dari segi latihan sama-sama keraslah, termasuk dari segi fisik juga. Tapi berbedaan di sini waktu itu soal kinerja pengadil lapangan ya. Misal kalau main di luar (tandang) sangat sulitlaha.
Hal-hal yang seharusnya dapat kartu kuning atau merah masih dibiarkan oleh wasit, tapi bagi saya bodoh amat lah waktu itu ingin berprestasi di sini dan punya karir panjang ya tentu harus beradaptasi.
Karena fisik saya sudah terbentuk dari awal, jadi tidak berpengaruh di pertandingan misal ketemu lawan yang keras saya bisa unggul.

Melihat atmosfer sepak bola Indonesia saat itu?
Luar biasa! Hampir sama seperti di Brasil, benar-benar orang menyukai dan fanatik sampai saya dengar teman-teman meningglakan pekerjaan untuk nonton sepak bola. Dukungan luar biasa dan tekanan pun ke lawan itu luar biasa dan lebih besar dari negara saya. 90 menit itu (tekanan suporter lawan) itu masuk di otak kita dan mengganggu kita.
Jadi bagi saya saat itu yang utama bisa mengontrol emosi dan cuek saya. Karena bagi saya waktu itu penting di dalam kapangan tugas kita masing-masing,di luar itu nggak usah terlalu tanggapi. Kalau ditanggapi mental akan terganggu, termasuk fisik dan teknik nggak keluar.
Setelah dari Petrokimia, dibawa Jacksen F Tiago pindah ke tim besar Persebaya?
Saya dari awal memang suka tantangan baru dan itu mendorong motivasi saya lebih meningkat, termasuk untuk kualitas saya sendiri maupun di dalam Karena di Petrokimia saat itu timnya degradasi, ada keraguan dari suporter Bonek dan pengurus kok Jacksen berani membawa dari Petrokimia, padahal timnya degradasi.
Tapi pada saat saya di Petro itu, prestasi timnya ya terpuruk tapi secara individu sebagai seorang playmaker itu mencetak 19 gol dalam kompetisi.
Itu mungkin jadi poin utama Jacksen sebagai pelatih merekrut saya. Ya meski timnya tidak prestasi, tapi saya mingkin dinilai memiliki kualitas dan teknikal yang bagus. Saya merasa di Persebaya bisa meningkat dan bisa membawa prestasi dan langsung juara di musim pertama.
Ada cerita kurang baik waktu di sana (Persebaya). Setelah tur ke Persipura, saya sakit di apartemen tiba-tiba mulai muntah-muntah malam hari bawa ke rumah sakit dan diberi obat jalan. Setelah diminum, saya sempat istirahat sebentar namun subuh muntah-mintah lagi, dibawa ke IGD lagi sudah hilang (pingsan) saya.
Saya tiga hari koma, pakai alat semua, pemacu jantung dan lain-lain. Saya bisa hidup tiga hari itu karena alat-alat. Setelah di MRI semua dan diperiksa lab, ada sebuah virus yang masuk otak saya sebelah kiri dan di situ terjadi pendarahan. Tapi penyakit apa, dokter tidak bisa diagnosa. Karena dicek lab pun tidak muncul penyakit apa, cuma ada virus di otak.
Setelah saya sadar baru teman-teman cerita. Waktu itu diberi obat satu kapsul dari Jerman kalau tidak salah. Kata dokter kalau satu kapsul itu tidak ada reaksi, dokter angkat tangan. Harganya saat itu kurang lebih Rp 10 juta, kalau sekarang bisa Rp 100 juta ya.
Dikasih kebetulan, ya mukjizat mungkin. Tanggal 8 Juni 2004 tepat hari ulang tahun saya, saya itu seperti melihat cahaya besar dan pintu yang besar buka sedikit, saya mau masuk tapi ada suara dari dalam "kembali, belum saatnya". Saat itu juga saya sadar dan bangun dari koma.
Dari koma itu ada perjuangan berat lagi, dokter menyatakan kemungkinan saya akan lupa ingatan atau bisa lumpuh. Saran dokter saat itu tidak boleh bermain sepak bola lagi. Selama satu bulan pas kompetisi libur dua bulan karena pemilu, saya punya waktu setiap hari minum 25 kapsul obat makanya badan sampai bengkak.
Kebetulan di apartemen ada kolam renang dan pelatih fisik waktu itu Teco (pelatih Bali United saat ini) setiap pagi saya latihan satu jam di kolam renang salama satu bulan. Setelah itu baru turun ke lapangan pelan-pelan, akhirnya step by step kondisi mulai normal fisiknya dan sehat lagi.
Pertandingan terakhir lawan Persija Jakarta, saya kebetulan cetak gol waktu itu dan kita juara menang 2-1. Itu yang mukjizat dan kenangan yang luar biasa dan tidak saya lupakan.
Gol ke gawang Persija jadi paling berkesan?
Ya, itu gol paling emosional selama karir saya di Indonesia. Karena ya semacam saya bangkit dari 'kematian' kemudian di pertandingan penting itu bisa cetak gol dan memenangkan pertandingan.
Anda tidak bisa dilepaskan dari tim-tim Jawa Timur, mulai Persebaya, Persik Kediri hingga Deltras Sidoarjo. Mana yang paling berkesan?
Paling berkesan persebaya terutama dari saya degraadaasi berikutnya langsung juara, jadi ada loncatan signifikan dari segi individu maupun tim dalam arir saya.
Atmosfer juga luar biasa. Bonek itu kalau di dalam stadion 20 ribu orang, ya di luar juga sama karena di sana (Stadion Gelora 10 November) itu kecil kan beda dengan (Stadion) Bung Tomo saat ini. Jadi kita main di dalam, masih dengar suporter-suporter teriak dari luar. Itu sangat mendorong motivasi pemain lebih besar.
Itu pengalaman pertama saya yang luar bisa. Selama karir saya itu, bagi saya Bonek luar biasa. Memang ada faktor-faktor tidak sportif itu wajarlah, karena kembali ke emosional masing-masing.
Tapi dukungan ke tim saat itu luar bisa dan kita nggak takut lawan, justru dengan suporter sendiri. Karena tekanan tidak hanya ke tim lawan, tapi juga kami untuk memenangkan pertandingan sebagai tuan rumah.
Jawa Timur bagi seorang Danilo Fernando?
Ya bagi saya, Jawa Timur itu seperti rumah kedua. Karena dari awal kan saya di Jawa Timur, sudah diterima dengan baik oleh masyarakat dan sudah diakui bukan sebagai orang asing, tapi orang lokal sendiri.
Kemana-mana saya dihargai, saya dihormati terutama oleh suporter. Nggak cuma di Surabaya, tapi mau di Lamongan, Gresik, Malang dan lainnya. Nama saya juga menjadi ikon sepak bola juga di Jawa Timur.
Dari segi budaya, kehidupan, makanan saya cocok semua. Jadi dengan cara saya bermain dan tanpa menyerah, adaptasi lebih mudah dan permainan saya bisa berkembang.
Lalu lingkungan kehidupan di sana ada semua dan saya sudah kenal dengan kota dan masyarakatnya. Kalau saya ingin coba di daerah lain, saya juga berfikir soal kenyamanan hati dan lingkungan.
![Danilo Fernando (kanan) saat masih bermain untuk Persebaya Surabaya. [Emosijiwaku.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/24/17459-danilo-fernando.jpg)
Sebagai seorang playmaker tentu banyak berhadapan dengan bek-bek lawan. Bagi Danilo Fernando, siapa pemain belakang yang dinilai paling 'menyusahkan'?
Banyak itu, nggak bisa disebut satu-satu. Tapi waktu itu bukan dihindari, tapi diwaspadai terutama di Jawa Timur itu Hariyanto (Persik Kediri), Kuncoro (Arema) pokoknya yang karakter-karakter keras itu kan.
Kita tidak menghindari, tapi mengantisipasi untuk berhati-hati.
Ada teman-teman Brasil juga seperti Toyo (Antonio Claudio) di Semen Padang, Jack Komboy di Persipura, Bio Paulin, Victor Igbonefo tipikal pemain keras.
Tapi baik semua, nggak pernah kita berantem. Karena bagi saya wajar sepak bola ada kontak fisik, tapi saya salut mereka keras tapi tidak punya niat sengaja mencederai. Mereka murni untuk merebut cepat, tapi karena saya lebih cepat jadinya pelanggaran.
Jika dulu aktif sebagai pemain, sekarang lebih banyak berkutat di belakang layar. Bagaimana menjalankan peran itu saat ini?
Dulu sebagai pemain hanya memikirkan dirinya sendiri, kita jaga konsistensi di luar maupun di dalam agar siap dalam bermain. Sekarang di manajemen, ya di bawah saya ada 40-50 orang yang harus dijaga.
Karakter individu dan psikis pun juga berbeda, ada yang mental kuat dan lebih siap, ada yang pemain muda-muda kita harus kasih arahan dan instruksi.
Lalu hal-hal saat masih jadi pemain, kita dapat teguran tim pelatih maupun manajemen itu jadi posisi saya sekarang. Saya ikut merasakan dan untuk menjaga konsistensi tim sekarang.
Saya baru tahu kenapa saat itu diberi teguran. Ini memang tanggung jawab yang besar, karena tidak hanya ke diri sendiri, namun juga ke masyarakat, sporter dan tentu manajemen.
Tapi setidaknya saya enjoy dan memang suka dengan tantangan baru. Saya itu tipikal orang yang mohon maaf, mental itu kuat jatuh bangun sudah berapa kali.
Sekarang apapun di tim tidak ada kata menyerah, tidak ada kata puas, selalu ingin lebih, ingin prestasi setiap saat dan saya juga ingin membangun titip tim saya itu sebagai seorang mental pejuang.