Suara.com - Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof dr Ova Emilia, M Med Ed, SpOG(K), PhD membagikan kisah perjalanan karier yang inspiratif, dari jenjang pendidikan hingga akhirnya dipercaya memimpin salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Dikenal sebagai sosok berdedikasi tinggi, Prof Ova meniti karier di dunia akademik sekaligus aktif dalam praktik kedokteran. Pengalaman luasnya di bidang pendidikan dan profesi kesehatan menjadi fondasi kuat yang mengantarkannya ke posisi sebagai Rektor UGM.
Dilantik pada tahun 2022, Prof Ova memulai masa jabatan lima tahun sebagai pemimpin universitas, membawa semangat baru bagi pengembangan pendidikan tinggi.
Dalam wawancara bersama Suara.com, ia berbagi cerita tentang perjalanan hidupnya, mulai dari bangku kuliah hingga menjabat sebagai rektor.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Zaenal Arief Legenda Persib: Bicara Karier hingga Shin Tae-yong
Di tahun ini UGM akan ulang tahun yang ke-75, bagaimana perjalanan kuliah di Gadjah Mada?
Saya lahir di Jogja kemudian mengikuti orang tua yang kebetulan dosen tapi pindah-pindah. Dari Jogja sempat ke Jakarta, Cirebon, Bandung, balik lagi Jogja, terus ke Jakarta, dan terakhir pindah dan berhenti di Jogja. Akhirnya masuk ke UGM.
Waktu itu memang saya penginnya masuk Institut Teknologi Bandung (ITB), cuman orang tua nggak boleh karena terlalu jauh, sehingga akhirnya masuk UGM dan sampai sekarang cinta UGM.
Dari sekian perjalanan hidup Prof Ova, mana waktu yang membuat Prof itu sangat terkesan, terutama dari sekolah kemudian kuliah?
Kalau saya menikmati semua perjalanan itu, dan saya memang tipe orang yang senang mencoba dan tertantang kalau ada sesuatu yang mengusik. Contoh, waktu saya kelas 5 SD kalau mau jajan pas istirahat antre panjang.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif! Rudianto Lallo Bicara Evaluasi Polri: Penyalahgunaan Senpi Polisi Berujung Maut
Akhirnya, punya ide gimana kalau jualan. Saya jualan pisang goreng dan rujak di situ, dan itu didukung sama guru-guru dan orang tua. Jadi artinya itu untuk mendidik bahwa saya sensitif terhadap suatu problem.
Masuk ke jenjang kuliah dan lulus, kemudian akhirnya menjadi rektor, mungkin boleh cerita sedikit perjalanan karier dari kuliah?
Saya menjalani dua stream, stream pendidikan akademik, dan stream profesi. Setelah kemudian S2, S3, ada stream profesi juga. Saya sebagai spesialis obstetri ginekologi, kemudian saya ambil lagi subspesialis.
Setelah itu saya membidangi di dalam karier saya itu ada dua hal besar. Kalau profesi memang saya di bidang kesehatan perempuan, obstetri ginekologi. Tetapi kalau di bidang akademik, saya di bidang pendidikan kedokteran khususnya.
Dua bidang itu yang mewarnai karir saya selanjutnya. Iya saya praktik, berinteraksi dengan pasien. Setelah jadi rektor saya tidak praktik.
Menggabungkan antara profesi yang langsung berhubungan dengan masyarakat, dan mendidik. Bagaimana keduanya ini bisa seiring dan akhirnya menjadi salah satu cita terbesar?
Saya kira keduanya sama saja dari sisi prinsipnya, dan memang sejak mahasiswa saya sudah jadi asisten dosen, jadi saya senang ngajar, senang ikut di dalam bimbingan-bimbingan untuk memfasilitasi adik-adik di bawah. Itu yang akhirnya secara natural, saya ingin jadi dosen.
Bagaimana Prof Ova me-manage UGM, kampus yang sangat besar dan sangat terkenal di Indonesia? Apakah menjadi Rektor juga bagian dari cita-cita sejak awal?
Nggak, sih. Saya seperti air saja, karena saya awalnya memang dosen, dan itu sudah kepuasan. Dari awal saya sensitif, kalau misalnya ada hal yang bermasalah, saya ikut ‘greteh’, ownership-nya sangat tinggi, sehingga saya banyak ikut di dalam kegiatan-kegiatan di kampus.
Saya kebetulan S2 Pendidikan dan itu bidang baru yang dulunya belum banyak ditekuni oleh teman-teman, dan karena itu saya jadi mendapat banyak kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas.
Mulai jadi koordinator hingga jadi koordinator perubahan kurikulum. Jadi saya mengawal perubahan kurikulum itu suatu milestone yang besar di dalam karir saya, menjadikan kurikulum pendidikan kedokteran menjadi problem based learning, dan diangkat sampai ke tingkat nasional.
Perjalanan itu sampai akhirnya jadi asisten wakil dekan, wakil dekan, dekan, kemudian rektor. Jadi seperti mengalir, bukan sesuatu hal yang dicita-citakan dari awal.
Salah satu kontribusi besar adalah membuat kurikulum yang kemudian dipakai, boleh diceritakan terkait apa?
Itu sebetulnya khusus untuk pendidikan kedokteran, walaupun itu bisa diaplikasikan untuk pendidikan-pendidikan yang lain. Jadi model pembelajaran problem based learning adalah belajar berdasarkan masalah. Karena memang paradigmanya orang dewasa dia itu belajar dari masalah, kalau dia punya masalah baru dia cari tahu.
Di kedokteran mata kuliahnya kan banyak dan itu kadang-kadang abstrak. Ini diubah, dijadikan problem base, jadinyabelajar berbasis masalah.
Misalnya, problem sakit kepala, dari situ mahasiswa belajar tentang apa yang menyebabkan sakit kepala, anatominya seperti apa, fisiologinya gimana, jadi dia belajar secara kompleks dan komprehensif. Sehingga itu memacu rasa ingin tahu dari mahasiswa.
Jadi pada saat proses belajar, proses orang menemukan jawaban itu sangat penting. Walaupun memang tidak mudah, karena membalik cara belajar dan cara mengajar. Dosen tidak lagi banyak kasih kuliah, tapi sebagai fasilitator di dalam grup-grup kecil.
Apa yang menjadi tujuan besar Prof Ova ketika menjadi rektor, dan kemudian belajar cukup lama di Gajah Mada, ingin melakukan perubahan?
Pertama kali yang kita lakukan awal dulu adalah upaya untuk men-digitalize dan menjadikan UGM Smart University. Rencana strategisnya akan mulai yang otomatis jadi Intelligent University di tahun 2027. Di tahun 2022, kita mulai dengan mencoba membuat enterprise arsitektur.
Jadi karena antara fakultas UGM tumbuhnya nggak bareng, kita harus menyatukan itu. Tahun 2022 kita mulai membuat itu cukup panjang, nggak mudah, karena memang besar.
Saat ini kita sudah masuk dalam proses digitalisasi, dan di beberapa hal itu kita membuat otomasi menggunakan AI. Beberapa layanan sudah mulai menggunakan itu untuk memudahkan.
Bagaimana mempersiapkan mahasiswa yang siap menerima tantangan di tahun-tahun ke depan? Kemudian tantangan AI yang sangat membantu, tetapi juga kalau tidak dengan etika yang benar bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang mempermudah, sehingga mahasiswa prosesnya tidak sesuai dengan harapan yang lama?
Memang kita tidak bisa menafikan peran AI. Justru kita sendiri, termasuk pengajar dan universitas, mulai mempelajari bagaimana kita bisa memanfaatkan. Kita menjadikan AI sebagai alat, jangan sebagai pengambil keputusan.
Jadi, kita juga perlu meng-arrange ulang, bagaimana caranya mahasiswa menggunakan AI dan bagaimana caranya kita untuk melakukan evaluasi terhadap hal tersebut.
Apa arti 75 tahun bagi Prof Ova? Apakah ini juga salah satu milestone karena perjalanan sangat panjang dengan banyak kisah cerita. Apakah memang sesuai dengan awal kondisi yang sekarang ini masih relevan dengan visi misi hingga akhirnya 75 tahun Gajah Mada berkiprah?
Yang menarik dari UGM yang masih relevan sampai sekarang itu adalah jati diri yang konteksnya sampai sekarang ini masih sesuai.
Ada lima jati diri, pertama sebagai Universitas nasional, karena sebagian besar adalah mahasiswa dari seluruh Nusantara. Kemudian universitas kerakyatan, yang tidak hanya diartikan sebagai pendidikan murah, tetapi juga menjawab persoalan-persoalan aktual dari masyarakat sesuai zamannya.
Kemudian juga universitas perjuangan. Perjuangan pada konteks 75 tahun lalu mungkin sangat berbeda dengan sekarang. Keempat adalah universitas Pancasila, menjaga tentang bagaimana Pancasila itu dilaksanakan dan dijalankan. Yang terakhir adalah pusat kebudayaan, itu tetap masih menjiwai apa yang ada menjadi cita-citanya UGM.
Kalau dari sisi 75 tahun terus apa yang akan kita lakukan? Yang jelas menurut saya ada tiga pilar utama yang yang perlu kita kawal bersama.
Pertama kualitas UGM, tentunya dikaitkan dengan peningkatan standar internasionalisasi, seperti berbasis online, dan memastikan employability rate meningkat.
Kedua, inclusivity. Kita menerima orang dengan berbagai latar belakang sosial, budaya, ekonomi dari berbagai adat ataupun tempat. Kita juga banyak menggunakan afirmasi dengan unit layanan disabilitas.
Ketiga adalah entrepreneurship, yang ini kita perlu selalu beradaptasi dengan situasi dan mandiri. Itu kira-kira yang kita harapkan dari 75 tahun UGM.
Bagaimana mengelola SDM kampus sendiri untuk bisa tetap relevan?
Itu memang satu hal yang saya katakan tantangan tersendiri. Makanya, support untuk digitalisasi itu menjadi penting. Misalnya tata kelola SDM dengan menggunakan digital system, itu menjadi menjadi memudahkan kita.
Kemudian juga misalnya untuk peningkatan kompetensi dari tenaga kependidikan, misalnya, menggunakan sistem online itu menjadi lebih dimudahkan. Memang kita perlu melihat semuanya bukan hanya nyaman bekerja, tetapi juga memberi kesempatan untuk berkembang.
Gadjah Mada yang dikenal sangat kuat khasnya adalah alumni. Kemudian pengabdian masyarakat, karena itu juga termasuk menjadi salah satu role model. Bagaimana tetap menjalankan atau memastikan mutu pendidikan itu tetap terjaga?
Alumni itu sangat berperan, walaupun dia ada di luar, tetapi sebetulnya dia merupakan tulang punggung dari berjalannya misi kita.
KKN merupakan salah satu vehicle untuk pengabdian masyarakat. Itu bisa berhasil karena peran dari Kagama di lapangan. Walaupun kegiatan itu hanya 8 Minggu, tetapi link antara yang senior dan junior itu mulai terbentuk. Dan di situ yang terus kemudian muncul ikatan-ikatan network yang bermanfaat untuk kedepannya.
Belakangan, yang cukup menarik dari Gadjah Mada adalah keterampilan kewirausahaan. Apakah itu memang menjadi salah satu tantangan terbaru yang harus dibangun ke depan?
Itu termasuk hal yang kita ajarkan, kita bekalkan. Tentang future skills yang kaitannya dengan leadership, komunikasi, kewirausahaan, problem solving, dan digital society.
Mahasiswa di kampus mempunyai semacam komunitas-komunitas yang disebut unit kegiatan mahasiswa (UKM), dan kita memberikan kesempatan untuk dapat bertemu dengan praktisi-praktisi, entah praktisi yang memberikan pendanaan, ataupun yang memberikan ide-ide.
Dari 2022 sampai sekarang selama menjadi rektor, ada hal menarik yang menantang, termasuk pilkada dan pilpres? Mengingat beberapa kandidat merupakan alumni dari Gajah Mada
Saya melihat itu sebagai hal yang nggak tahu apakah itu ujian atau tidak. Misalnya, kebetulan saja kan bahwa kandidatnya adalah alumni UGM. Alhamdulillah banyak kandidat dari Universitas Gajah Mada dan kami bangga, kami juga fasilitasi pada waktu itu untuk merangkul semuanya.
Tiga bakal calon kami undang dalam sesi yang berbeda dengan pertanyaan, itu maksudnya untuk menggelar bahwa kita itu mendukung proses demokrasi itu.
Kita juga ingin memberikan pendidikan yang konstruktif kepada generasi muda tentang demokrasi itu sendiri. Prinsip kami di universitas itu kan sebagai lembaga yang netral, tidak condong pada satu atau yang lain. Saya terus terang memisahkan tentang hal tersebut.
Reporter : Kayla Nathaniel Bilbina