Anggota Kompolnas Choirul Anam Soroti Kesehatan Mental di Balik Maraknya Aksi Kekerasan Polisi

Selasa, 03 Desember 2024 | 17:37 WIB
Anggota Kompolnas Choirul Anam Soroti Kesehatan Mental di Balik Maraknya Aksi Kekerasan Polisi
Anggota Kompolnas Choirul Anam. [Dok Komnas HAM]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aparat kepolisian semakin abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini mengingat semakin maraknya aksi penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap masyarakat sipil.

KontraS mencatat pada periode Juli 2023 hingga Juni 2024 terdapat 645 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Terdapat 754 korban luka dan 38 korban meninggal, yang dirinci 460 kasus di antaranya berkaitan dengan penembakan, 52 penganiayaan, 37 penyiksaan, dan 49 penangkapan sewenang-wenang, 37 pembubaran, dan 33 intimidasi.

Sementara Amnesty International Indonesia mencatat sejak 16 Januari hingga 24 November 2024, terdapat 31 kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat. Sebanyak 23 kasus di antaranya dilakukan oleh anggota polisi.

Termutakhir, tiga peristiwa brutal yang dilakukan polisi terjadi dalam satu pekan. Pertama, kasus Kabagops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar menembak rekannya sesama polisi dari Satreskrim AKP Ulil Ryanto Anshar karena kasus tambang ilegal pada Jumat (22/11/2024).

Baca Juga: 3 Nyawa Melayang di Ujung Bedil: Polisi Bukan Sang Pengadil

Dua hari berselang, pelajar SMK di Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy tewas ditembak Anggota Satnarkoba Polrestabes Semarang, Aipda Robig Zaenuddin. Polisi mengklaim Gamma terlibat aksi tawuran, namun teman-teman korban dan sejumlah saksi di lokasi kejadian membantah --tidak ada tawuran di hari kejadian.

Sementara pada hari yang sama, Minggu (24/11/2024), seorang warga bernama Beni (45) tewas ditembak oleh anggota Brimob di Perkebunan Kelapa Sawit milik PT Bumi Permai Lestari (BPL), Bangka Barat, Bangka Belitung. Korban dituduh hendak mencuri sawit dengan beberapa rekannya.

Rangkaian kasus tersebut tentunya menjadi persoalan yang harus diatasi di internal korps baju cokelat.

Suara.com berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Chairul Anam dalam melihat fenomena tersebut dan langkah-langkah yang akan dilakukan lembaga tersebut. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana sikap anda tentang polisi yang semakin abuse of power dalam penindakan di lapangan?

Baca Juga: Dari Kasus Afif hingga Gamma, Pola 'Fitnah Jenazah' Polisi Terulang

Menurut kami ini adalah bahan penting untuk melihat bagaimana dinamika kepolisian menggunakan kewenangannya, termasuk bagaimana kepolisian harus berlaku profesional.

Kemudian, berbagai kasus yang marak terjadi saat ini mendapat perhatian publik luas, karena ini juga kontrol publik secara langsung, apalagi di era keterbukaan.

Langkah apa yang dilakukan Kompolnas dalam menyikapi kekerasan aparat, termasuk penembakan terhadap warga sipil?

Berbagai peristiwa itu sebenarnya menunjukkan beberapa pola penting. Satu, memang problem terkait penggunaan senjata api dan kewenangannya. Senjata api penting untuk kita awasi sehingga memang dinamika penggunaan senjata api yang melahirkan kekerasan bisa dikurangi. Refleksinya, satu pengendalian secara administratif.

Yang kedua terkait selalu melakukan tes psikologi. Lebih jauh lagi memang penting untuk dilihat penggunaan senjata api ini harus ada satu kebijakan yang lebih spesifik.

Kalau di daerah-daerah tertentu yang memang ada situasi khusus, ya membawa senjata api dibolehkan dengan pengawasannya ketat. Tapi di situasi-situasi tertentu yang aman, yang damai, juga dinamika perkotaan penting untuk memulai penggunaan senjata non-lethal weapon, misalnya taser gun atau kejut listrik yang tidak sampai melukai atau bahkan mengambil nyawa atau menghilangkan nyawa seseorang.

Non-lethal weapon dalam tradisi polisi modern sudah mulai banyak digunakan di berbagai negara. Kami lagi mendorong agar angka kekerasan, penyalahgunaan kewenangan, dan sebagainya turun.

Kasus polisi menembak pelajar di Semarang disebut sebagai extra judicial killing. Bagaimana pandangan Anda?

Apapun istilahnya, yang pasti itu penembakan. Kecenderungannya memang itu termasuk dalam Pasal 338 KUHP, artinya memang sampai menghilangkan nyawa.

Jadi dalam konteks peristiwa, seperti di Semarang, penegakan hukum dengan pasal yang jelas menjadi sangat penting. Ini tidak hanya akuntabilitasnya penegakan hukum, tapi juga memberikan kesan kepada internal bahwa pelanggaran serius ya hukumannya serius.

Anggota Kompolnas Choirul Anam. [Dok. Komnas HAM]
Anggota Kompolnas Choirul Anam. [Dok. Komnas HAM]

Evaluasi apa yang dilakukan Kompolnas terhadap kasus-kasus kekerasan oleh polisi, seperti penyiksaan dan penembakan?

Dalam menyikapi berbagai konteks itu, kami memastikan dua hal. Pertama, penegakan hukum atas berbagai peristiwa memang harus profesional dan harus transparan. Penting agar juga dilihat bagaimana proses berjalan, akuntabilitas berjalan. Apalagi kalau pelanggaran itu dilakukan oleh anggota kepolisian sendiri. Ini juga untuk membangun kepercayaan penegakan hukum oleh kepolisian.

Kedua, tidak cukup dengan penegakan hukum merespons sebuah peristiwa. Tapi juga langkah-langkah evaluasi mendasar, sehingga memunculkan kebijakan-kebijakan baru atau tradisi-tradisi baru atau model pengawasan baru agar kasusnya tidak berulang.

Apakah Kompolnas sudah atau akan menyurati Kapolri terkait kasus-kasus tersebut?

Kalau kasus per kasus ini kan langsung dipantau juga oleh Mabes Polri dan juga mengirimkan tim untuk bekerja di lapangan. Tapi sebagai satu fenomena faktual, kami memang memberikan perhatian terhadap fenomena ini dan akan merumuskan kebijakan.

Salah satunya selain memperketat senjata api, mulai mendorong penggunaan senjata non-lethal weapon. Terkait personelnya, kita mengingatkan soal tes psikologi.

Sebenarnya di samping tes psikologi, penting untuk menggerakkan minimal level Polda di level Polres, ada pelayanan mental health dari psikologi untuk anggota. Bisa seminggu sekali, bisa sebulan sekali sehingga tingkat kestressan, tingkat emosi dan sebagainya bisa dikendalikan. Polisi juga butuh mental health.

Bagaimana Anda menanggapi survei Indikator Politik Indonesia yang menempatkan Polri sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan publik nomor empat pada Januari 2024?

Itu masukan yang penting dan itu bisa menjadi rujukan kenapa sampai hasil tersebut. Nah yang paling penting tantangan ke depannya, ketika menjalankan penegakan hukum atau menjalankan kinerjanya polisi tidak cukup dengan profesional tapi juga transparan.

Transparansi menjadi jantung kinerja dan pembangunan kepercayaan dan harus menjadi fundamen bagaimana Polisi ke depan harus bekerja.

Sejauh mana Kompolnas yakin bisa memperbaiki dan mengawasi kinerja polisi yang semakin hari mendapat stigma negatif di masyarakat?

Kami tidak punya pilihan untuk tidak yakin. Tapi semakin baik, jika Kompolnas juga didukung oleh publik luas. Partisipasi pengawasan oleh publik luas tulang punggung agar pengawasan kepolisian menjadi semakin profesional, semakin transparan dan semakin akuntabel.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI