Atasi Sampah Plastik di Laut, The Circulate Initiative & Yayasan Mahija Parahita Nusantara Hadirkan Program RSI

Restu Fadilah Suara.Com
Senin, 18 November 2024 | 16:00 WIB
Atasi Sampah Plastik di Laut, The Circulate Initiative & Yayasan Mahija Parahita Nusantara Hadirkan Program RSI
Pemulung di TPST Bantar Gebang Bekasi. [Dok: Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - The Circulate Initiative, organisasi nirlaba yang berdedikasi untuk mengatasi permasalahan polusi plastik di lautan pada negara berkembang mulai melebarkan sayapnya ke Indonesia. Organisasi nirlaba yang sudah berdiri sejak 2019 lalu itu membawa program Responsible Sourcing Initiative (RSI).

Tim Suara.com berkesempatan untuk wawancara langsung Director of Programs, The Circulate Initiative, Annerieke Douma dan Ardhina Zaiza selaku Chairwoman, Yayasan Mahija Parahita Nusantara selaku pihak-pihak yang berperan aktif dalam program ini. Berikut hasil wawancara eksklusifnya:

Bisakah Anda menjelaskan tentang The Circulate Initiative, apa yang melatarbelakangi berdirinya, dan juga apa misi utamanya?

Annerieke Douma: Jadi, The Circulate Initiative adalah organisasi nirlaba. Kami melakukan banyak pekerjaan di pasar yang sedang berkembang dengan misi untuk mengatasi polusi plastik di lautan dengan membangun sistem sirkular yang kredibel.

Baca Juga: Tak Sudi Ditegur Gegara Buang Sampah Sembarang, Pria Lansia di Johar Baru Tewas di Tangan Tetangga

Responsible Sourcing Initiative diselenggarakan oleh The Circulate Initiative dan merupakan program global multi-year yang berfokus pada pemberdayaan pekerja sampah informal. Selain itu, juga memastikan penyediaan plastik secara bertanggung jawab, sambil menangani isu-isu hak asasi manusia yang paling mendesak dalam rantai nilai daur ulang plastik. Sehingga inisiatif ini memang berfokus pada perubahan sistem. Saat ini kami bekerja di Indonesia, Vietnam, India, Kenya, dan Ethiopia untuk inisiatif ini.

Kami menyadari bahwa kami tidak dapat mengatasi polusi plastik tanpa para pekerja yang terlibat karena lebih dari enam puluh persen dari seluruh pengumpulan plastik secara global dilakukan oleh waste figures. Waste Figures ini adalah istilah internasional yang mereka pilih untuk menyebut diri mereka sendiri.

Ada lebih dari 2,2 juta pemulung di Indonesia, dan kami tahu bahwa Indonesia memiliki tantangan dalam mengatasi polusi plastik. Jadi, kami bekerja sama dengan merek-merek global, seperti The Coca Cola Company dan lainnya, di berbagai negara untuk memahami dan mencari cara bagaimana kami dapat mendukung pemulung dalam meningkatkan kesejahteraan mereka serta menciptakan rantai pasokan yang transparan dan kuat.

Misalnya, banyak merek yang bekerja sama dengan kami menyediakan banyak produk kemasan di pasaran, dan mereka mengatakan bahwa mereka akan menggunakan sekitar lima puluh persen plastik daur ulang dalam kemasannya. Untuk mencapai hal tersebut, mereka harus melaporkan bahwa plastik daur ulang tersebut dikumpulkan dan juga diproduksi dengan memperhatikan kondisi hak asasi manusia yang baik.

Kami tahu bahwa para pemulung menghadapi banyak tantangan terkait hak asasi manusia dalam hal ini. Singkatnya adalah kami tidak dapat menyelesaikan polusi plastik tanpa menyertakan stakeholder utama ini dan kami perlu bekerja bersama dengan mereka untuk menemukan solusi. Inilah latar belakang terbentuknya Responsible Sourcing Initiative.

Baca Juga: Waduh! Pesta Rakyat Pelantikan Prabowo-Gibran di Jakarta Hasilkan 43,17 Ton Sampah

Apa  peran Yayasan Mahija Parahita Nusantara dalam program Responsible Sourcing Initiatives?

Ardhina Zaiza: Jadi mungkin sedikit balik dulu ke belakangnya ya. Latar belakang Yayasan Mahija Parahita Nusantara sendiri sebenarnya sangat sejalan dengan Responsible Sourcing Initiative di Indonesia ini karena memang kami adalah yayasan nirlaba yang didirikan pada tahun 2020 sebagai hasil kolaborasi Coca-Cola Europacific Partnership dan Dynapack Asia.

Jadi Yayasan Mahija Parahita Nusantara didirikan sebenarnya oleh para produsen. Fokus kami itu ada pada upaya mempromosikan praktik pengelolaan plastik khususnya botol PET yang inklusif dan etis di Indonesia.

Bersamaan juga didirikan Amandina Bumi Nusantara, yaitu pabrik daur ulang. Jadi bersama-sama kami membuat ekosistem daur sampah yang bertanggung jawab. Yayasan Mahija Parahita Nusantara sendiri memastikan bagaimana praktik yang adil dan berkelanjutan ini berjalan sampai ke hulu.

Kami juga memastikan bahwa praktik berkelanjutannya tetap ada dan kami juga tentunya melibatkan pemulung atau kami menyebutkan juga Recycling Heroes. kami memberikan mereka akses kepada kegiatan sosial ataupun layanan sosial yang sebenarnya mereka sangat butuhkan.

Dalam project Responsible Sourcing Initiative untuk Indonesia ini, porsi kami disini adalah sebagai implementor karena kami sudah kurang lebih melakukan hal yang sama. Karena kami punya value chain-nya, jadi kami bertindak sebagai implementor yang nanti akan melakukan implementasi dari program.

Membangun rantai pasokan sampah plastik di Indonesia, membutuhkan kesadaran kolektif dan kolaborasi dari tingkat pemerintah hingga masyarakat secara keseluruhan. Jadi bagaimana hal ini dapat dicapai?

Ardhina Zaiza: Kolaborasi sangat dibutuhkan, karena hal tersebut tidak dapat dilakukan sendiri, baik itu misalnya oleh hanya produsen, recyclers, aggregators atau yayasan seperti kita. Jadi semua memang harus kolaborasi bersama-sama walaupun punya porsi masing masing.

Kalau dari sisi pemerintahan, responsible sourcing atau pengadaan bertanggung jawab  menjadi satu keharusan yang dilakukan oleh setiap stakeholder yang terlibat di dalamnya.

Karena kami sudah sering berada di lapangan, jadi kami mengerti kira-kira harus diimplementasikan seperti apa dan berapa lama.

Dari sisi publik pun juga harus ada demand yang memang ingin memakai produk-produk yang bertanggung jawab.

Annerieke Douma: Sebagian besar rantai nilai sampah di tingkat bank sampah dan pengepul bersifat informal. Untuk menarik lebih banyak pembiayaan dan pendanaan dari sektor swasta, hal yang penting adalah mengubah rantai pasokan menjadi transparan hingga pengumpulannya.

Karena semua ini adalah momen transaksional, mulai dari pemulung, mitra pengumpulan kecil, pusat pengumpulan, perusahaan daur ulang, hingga merek. Mereka semua perlu bekerja sama untuk memastikan sistem tersebut berfungsi. Lalu, ketika ada transparansi, kita bisa melihat apa yang perlu ditingkatkan.

Misalnya, peran pemerintah sangat penting karena jika kita tahu sampah tidak dikumpulkan tapi dibakar atau ditimbun di suatu tempat tertentu, (dimana kami sering melihatnya), maka pemerintah perlu memberikan izin dan lisensi untuk beroperasi. Namun, kita juga memerlukan investasi keuangan untuk memastikan adanya investasi infrastruktur.

Jadi pekerja sampah dan pusat pemilahan merupakan tempat dimana dukungan pemerintah sangat penting – misalnya, membangun pusat pengumpulan dan pemilahan serta fasilitas pemulihan material. Jadi, ini adalah contoh-contoh kolaborasi yang sudah terbentuk.

Apa yang bisa kita lakukan di rumah adalah memastikan kita segregate atau memisahkan tipe sampah. Kami memastikan kualitas bahan yang dikumpulkan oleh pemulung adalah kualitas tinggi; karena jika kita menggabungkan sampah organik dengan plastik, kualitas akan menjadi rendah, penghasilan mereka akan lebih sedikit, dan mereka memerlukan lebih banyak upaya untuk membersihkannya. Jadi, kampanye kesadaran juga perlu dilakukan.

Strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai sekaligus memberdayakan pekerja sampah informal?

Ardhina Zaiza: Dari sisi yayasan, salah satu strateginya adalah fokus pada pengelolaan plastik yang bernilai tinggi, seperti botol plastik bening. Sehingga kami mendorong dengan memajukan waste workers dari segi produksi plastik bening, karena saat ini fokus kami juga adalah PET.

Botol plastik bening lebih mudah didaur ulang menjadi botol baru dan nilainya bisa meningkatkan value dari plastik itu sendiri, terutama apabila tidak tercampur sampah lain dan bersih. Sehingga lebih mudah untuk dipisah oleh para pekerja informal.

Berbeda dengan plastik berwarna yang nilainya lebih rendah dan sulit masuk dalam skema ekonomi sirkular dan diproduksinya tidak menjadi bottle-to-bottle.

Dari sisi implementasi, pengembangan proses daur ulang dapat dilakukan melalui teknologi atau inovasi.

Dengan mendorong pengambilan plastik bening oleh pekerja informal, kita tidak hanya mengurangi limbah plastik sekali pakai, tetapi juga meningkatkan penghasilan mereka melalui bahan yang lebih bernilai.

Annerieke Douma: Salah satu strateginya adalah bagaimana kita bersama-sama memastikan bahwa sampah tersebut memiliki nilai tambah, karena jika ada nilainya maka sampah tersebut akan diambil dan dijual. Kami berada di tahap awal. Beberapa perusahaan daur ulang plastik bernilai rendah di Indonesia menghasilkan material untuk rumah dan barang lainnya, menambah nilai. Itu salah satu strategi melalui pasar. Strategi efektif lain yang sangat penting adalah Extended Producer Responsibility (EPR).

EPR masih bersifat sukarela di Indonesia. Saya memperkirakan dalam beberapa tahun mendatang, hal ini akan menjadi suatu kewajiban di banyak negara. Seperti Vietnam, penerapan EPR kini diwajibkan, juga di Filipina dan India. Jadi, sudah menjadi undang-undang nasional dimana pemerintah menyatakan setiap produsen yang menjual kemasan plastik di pasar harus menggunakan minimal tiga puluh persen bahan daur ulang dalam kemasannya. Produsen juga perlu membayar berapa banyak kemasan yang mereka pasarkan, dan biaya tersebut harus dialokasikan ke sumber pengumpulan.

Jadi, strategi inklusivitas pemulung, sistem operasional, dan mekanisme UU EPR itu harus memberikan porsi kepada pemulung. Jadi, jika mereka memungut sampah, mereka menyediakan layanan pengumpulan dan harus membayar untuk layanan tersebut.

Selain itu, jika pemulung memiliki KTP, maka mereka dapat membuka rekening bank dan harus terdaftar sebagai petugas sampah resmi. Jadi, ada banyak langkah yang harus diambil. Misalnya, hal ini terjadi di Afrika Selatan. Ini adalah proses langkah demi langkah. Inilah yang mulai terjadi sekarang di India. Jadi, kita bisa belajar dari negara lain bagaimana langkah-langkah tersebut diambil. Namun, hal ini dimulai dengan kewajiban EPR, dan undang-undang tersebut perlu mencakup manfaat bagi pemulung. Itu sangat penting.

Artinya yang diharapkan sekarang adalah bagaimana kita bisa menerapkan apa yang sudah diterapkan di India dan Afrika Selatan? Namun apakah itu memerlukan proses yang panjang?

Annerieke Douma: Penting bagi kita untuk belajar dari kisah sukses dan tantangan negara lain. Tidak hanya ada satu model yang bisa kita terapkan di setiap tempat.  Kita berharap dapat bekerja sama dengan pemerintah, dan pencapaian pertama yang ingin kita capai adalah pengakuan pemerintah terhadap pemulung sebagai pemangku kepentingan yang penting.

Kemudian, kita bisa bekerja sama untuk mengintegrasikan keseluruhan sistem dan hal ini bersifat  jangka panjang. Di India, program ini dimulai pada tahun 2016, hanya 6-7 tahun yang lalu. Ada banyak asosiasi pemulung yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan, dan mereka bekerja sama dengan organisasi seperti kami, UN Environment Programme, UNDP, dan juga pemerintah.

Pada dasarnya, kesejahteraan pekerja sampah di Indonesia, sebagaimana yang diketahui publik, masih tertinggal cukup jauh. Apa saja tantangan spesifik terkait kesejahteraan dan hak asasi pekerja informal, dan bagaimana kita dapat mengatasinya?

Ardhina Zaiza: Sebetulnya challenge-nya banyak ya. Kalau kita lihat di lapangan, masalahnya tidak spesifik kepada pemulung saja karena ini memang isu sosial dengan akar permasalahannya yang lebih luas. Dari hasil observasi di lapangan melalui interview dengan pemulung dan assessment juga, challenge utama adalah rekognisi dan akses.

Jadi yang pertama adalah rekognisi, dimulai dengan sebatas nama penyebutan mereka yang bahkan berbeda-beda di tingkat pemerintah. Di satu sisi ada yang menyebut mereka sebagai Pahlawan Sampah. Namun, di sisi lain disebut tunawisma. Sebatas rekognisi untuk resmi disebut sebagai apa sudah tidak sama. Berdasarkan data yang ada, terdapat lebih dari 2 juta pemulung di Indonesia dan mereka membantu mengumpulkan hingga 1 juta ton sampah. Artinya kan mereka memberikan kontribusi yang signifikan. Tetapi memang pada praktiknya, apabila kita melihat dari kacamata sosial, mereka tidak mendapatkan pengakuan atau rekognisi atas kontribusinya.

Challenge kedua adalah akses terhadap fasilitas-fasilitas sosial yang biasa kita dapatkan. Saya pun sejujurnya, ketika terjun langsung ke lapangan, baru sadar bahwa ternyata banyak pemulung yang bahkan anaknya itu tidak ada akte lahir; orang tuanya tidak punya surat nikah; tidak punya KTP atau surat nikah.

Nah, itu kemudian menjadi akar masalah yang lebih besar, karena tanpa surat-surat tersebut, mereka tidak mempunyai BPJS sehingga tidak ada akses ke Puskesmas. Jadi, semuanya itu sangat kompleks.

Karena pemulung tidak mendapatkan akses tersebut, maka anak mereka pun tidak punya kesempatan akses untuk sekolah. Salah satu yang kami lakukan adalah untuk memberikan akses edukasi kepada anak-anak pemulung melalui program-program yang kita jalankan.

Tanpa adanya akses edukasi, kemungkinan menyebabkan cycle kehidupan anaknya seperti orangtuanya. Pilihan hidup mereka sebatas menikah dan melanjutkan pekerjaan orangtuanya. Siklusnya tidak akan berubah.

Annerieke Douma: Jadi, apa yang kita lihat di banyak negara serupa. Permasalahannya menyangkut keselamatan dan kesehatan mereka, dan mereka hidup berdampingan dengan sampah.

Untuk memperbaiki situasi tersebut secara global, kami berkolaborasi dengan banyak mitra—perusahaan daur ulang, pemulung, Aliansi Pemulung Internasional, dan banyak merek.

Bersama-sama, kami mengembangkan kerangka kerja untuk memahami apa yang layak pada level yang paling dasar dan apa yang bisa dilakukan karena, dalam banyak kasus, mereka berpenghasilan kurang dari gaji minimum, dan itu pun belum cukup. Mereka tidak makan tiga kali sehari, dan itu tidak bisa dibenarkan. Jadi berapa standar gaji minimumnya?

Oleh karena itu, kami mengembangkan Inisiatif Pengadaan yang Bertanggung Jawab untuk diimplementasikan oleh pemerintah, organisasi lain, dan pemangku kepentingan terkait.

Saat kami bekerja sama dengan Yayasan Mahija Parahita Nusantara, mereka sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Misalnya, mereka menyediakan pemeriksaan kesehatan bagi banyak pekerja sampah informal. Itu adalah contoh standar minimum di bidang kesehatan dan keselamatan. Kami bisa menyediakan akses ke rumah sakit, tapi kami hanya bisa melakukannya jika pemerintah menyatakan, “Kami mengakui para pekerja sampah, dan mereka memiliki hak untuk pergi ke rumah sakit.”

Indonesia adalah negara kedua yang mengimplementasikan RSI setelah Vietnam, pelajaran apa yang dapat dipetik dari Vietnam terkait inisiatif ini?

Annerieke Douma: Pertama, untuk memahami apa yang ingin kita lakukan, kita harus memahami situasinya terlebih dahulu. Berdasarkan penilaian tersebut, kita akan mengetahui situasi di seluruh area rantai nilai. Itu adalah langkah pertama.

Kemudian, kami bekerja sama dengan mitra dan pemangku kepentingan untuk mendiskusikan hasil penilaian dan menetapkan solusi yang menurut mereka perlu diterapkan, dan merekalah yang memutuskan, bukan kami.

Hal serupa juga terjadi di Vietnam. Kami belajar bahwa dalam prosesnya, kami tidak perlu banyak bertanya di awal karena ini adalah pertanyaan yang sangat pribadi mengenai hak asasi manusia.

Ardhina Zaiza: Berdasarkan The Harmonized Responsible Sourcing Framework for Recycled Plastics,  ada lima key area yang kami perhatikan sebagai pengukuran keberhasilan, yaitu Economic empowerment, Health and safety, Autonomy and inclusion, Collective Representation, dan Gender equality.

Jadi kita lihat kelima area itu dan di masing-masing area itu ada yang namanya minimum indicator yang harus dicapai, atau disebut Advanced Indicator. Bisa dikatakan sangat bertanggung jawab kalau sudah mencapai indikator-indikator di Advanced Indicator tersebut.

Di Indonesia sendiri, dan seperti di negara-negara lain, proses pelaksanaan proyek ini dimulai dengan stakeholder engagement dulu. Jadi The Circulate Initiative juga engage dengan siapa saja yang mau melakukan ini. Dalam hal ini kita bekerja di dalam value chain PT Amandina Bumi Nusantara yang disebut sebagai recycler atau pabrik daur ulangnya. Nah, di value chain-nya Amandina turun ke bawah. Di bawahnya, ada yang namanya collection center atau aggregator. Di bawahnya lagi, itu namanya collection partner atau lapak. Dimana lapak-lapak ini supply plastiknya ke collection center. Di bawahnya lagi, baru kita menyebutnya pemulung.

Jadi ada berbagai tingkatan, satu sampai empat. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada pemulung yang menjual barang ke pemulung lain. Jadi itu sudah di bawahnya lagi. Jadi itu sebabnya kita harus melibatkan semua orang. Karena tentu saja, kalau kita mau mensejahterakan pemulung, kita harus melibatkan mereka semua dalam satu ekosistem. Karena tidak mungkin ketika kita berbicara ekonomi empowerment atau plastik, mungkin yang tadi saya bicarakan, pada dasarnya ada akses ke recognition dan sebagainya.

Kemudian bagaimana kita bisa bekerja sama untuk memberikan pelatihan terkait keselamatan kerja? Jadi semua orang di ekosistem harus berkontribusi atau punya ide cara kerja yang melibatkan semua orang. Jadi akhirnya kalau dari atas pendekatan programnya sudah oke, maka akan lebih mudah untuk diimplementasikan kebawah. Itu sebabnya kita harus melihat visi dan misi proyek in secara menyeluruh.

Tadi contoh di Vietnam, kita sudah bercerita bahwa kita tidak hanya menyentuh sebatas pemulung saja untuk keberhasilan proyek ini. Jadi kita juga memberi dukungan kepada collection center atau aggregator. Misalnya sesederhana mereka tidak punya catatan finansial yang baik, sehingga bisnisnya selalu rugi. Akhirnya, orang-orang di bawahnya, seperti pemulung akan dikasih harga nya murah. Jadi mau tidak mau, itu sebenarnya saling berkesinambungan dan kita tidak hanya melihat dari sudut pandang pemulung saja, tapi kita libatkan semua orang. Jadi value chain-nya itu yang kita libatkan.

Kami juga tidak melakukan serta merta berdasarkan pemahaman kita saja. Kami melakukan yang namanya baseline assessment di mana kita mewawancarai bahkan sebanyak lebih dari 90 orang kemarin.

Dari baseline assessment tersebut, kita ingin tahu dari sisi collection center-nya seperti apa, collection partner-nya seperti apa, kemudian dari sisi pemulung apa yang bisa kita tingkatkan. Kita bisa mendapatkan banyak insight dan akhirnya mengetahui apa yang mereka butuhkan saat ini. Jadi ketika kita sudah mengumpulkan solusinya, kami membagi jangka waktu pelaksanaanya apakah short-term, medium-term atau long- term. Jadi akan banyak dilihat sih faktor nya.

Bisakah Anda memberi kami beberapa hal penting tentang baseline assessment tersebut?

Ardhina Zaiza: Menurut saya hasilnya cukup konsisten dengan apa yang kami sudah kami ketahui perihal kondisi para pemulung di Indonesia. Tidak semua pemulung sanggup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Bisa saja pendapatannya berbeda-beda beberapa area itu. Hasil baseline assessment kita kemarin ada di area Tangerang, Subang, dan Bekasi berbeda-beda.

Pertama, memang dari sisi pendapatan mereka fluktuatif pastinya di baseline assessment, sehingga ada yang bisa memenuhi kebutuhan dan ada yang tidak bisa makan dua kali sehari.

Kemudian kedua, sesuai dengan apa yang tadi saya bilang juga, konsisten juga bahwa tidak adanya akses untuk kesehatan, karena tidak punya KTP atau ID lainnya.

Ketiga, antara mereka belum ada kesadaran atau mungkin memang tidak ada fasilitasnya untuk sanitasi.

Apakah apa ada paguyuban pemulung di Indonesia?

Ardhina Zaiza: Ada Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) cuman memang seberapa luas bekerjanya masih butuh di telurusi.

Yang jelas di beberapa area, berdasarkan hasil baseline assessment kita, pemulung tidak tergabung. Mereka bahkan tidak tahu apakah butuh serikat atau tidak, apa yang mau di perjuangkan dan siapa yang mau mendengarkan.

Ini memang yang nanti kedepannya akan kami fokuskan sebagai bagian dari framework tadi, yaitu mengenai Collective Representation. Namun, kita juga kita harus lihat dengan gaya hidup mereka yang berbeda-beda, sehingga mereka punya komunitas tersendiri. Memang sangat kompleks dan akan lebih efektif jika kami bekerja mulai dari komunitas kecil mereka dulu.

Di Yayasan Mahija Parahita Nusantara, kami akan menginisiasi program yang namanya “Mahija Agent of Change”, dimana kita akan melakukan kaderisasi sejumlah leaders untuk bantu menggerakkan kesadaran atas hak-hak mereka sebagai warga Indonesia dan rekognisi kontribusi mereka kepada masyarakat.

Apa harapan TCI dan Mahija untuk masa depan pekerja informal sektor limbah di Indonesia? Dan bagaimana masyarakat dapat terlibat atau berkontribusi dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut?

Ardhina Zaiza: Harapannya tentu saja kita bisa mengaplikasikan ini di Indonesia, dimulai dari yang kita libatkan baseline assessment tadi.

Tapi tentu saja harapan besarnya adalah hal ini bisa diimplementasikan dan di-endorse oleh pemerintah juga, bahwa responsible sourcing ini penting, sehingga para pemulung dan pekerja informal lainnya mendapatkan pengakuan dan akses terhadap hak-hak dasar sebagai warga negara. Tentunya, kami juga ingin mereka bekerja di lingkungan yang aman, dan semua haknya termasuk kesehatan dan sebagainya terpenuhi serta bisa mereka akses.

Karena jika harapan kita ingin diimplementasikan di seluruh Indonesia, tentu saja bukan hanya satu recycler saja yang bergerak, atau bukan hanya satu brand saja, tapi semua.

Bagaimana publik bisa meng-endorse ini? Tentu saja dengan memahami terlebih dahulu, dan punya edukasi tentang bagaimana sistem persampahan bekerja. Kemudian juga menciptakan demand bahwa saya ingin membeli produk dengan responsible sourcing atau pengumpulan sampah yang bertanggung jawab.

Jadi, kalau kita bicara tentang sustainability, di luar sana banyak kan? Jadi, paling tidak konsumen harus bisa melihat bahwa ada added value dari produk yang dia beli.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI