Suara.com - Awal Juli 2024, masyarakat dikejutkan dengan cerita dari artis sekaligus komedian Ade Jigo. Ia bersama warga Jalan Gunung Balong III, Lebak Bulus, Jakarta menghadapi eksekusi pengosongan lahan oleh juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Di hari itu, suasana perkampungan yang biasanya ramah dan hangat berubah mencekam. Warga korban penggusuran, termasuk Ade Jigo, beradu fisik dengan petugas pengadilan dan aparat kepolisian untuk mempertahankan tanah mereka.
Ade Jigo dan para ahli waris meyakini, surat-surat tanah mereka asli dan sah diakui oleh negara karena sudah bertahun-tahun menetap di sana. Namun menurut putusan pengadilan, rumah beberapa warga di sana dinyatakan berdiri di tanah milik seseorang bernama Martha Metty Nasiboe, yang sudah mengajukan gugatan sejak 1993.
Meski sempat berusaha keras menghalau proses pengosongan lahan, Ade Jigo dan para ahli waris korban penggusuran tetap tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa menangisi memori masa kecil yang ikut rata dengan tanah, bersama bangunan rumah yang dirubuhkan.
Baca Juga: Cerita Bos Hotel Sukses Keluar dari 'Badai' Pandemi Covid-19 Hingga Buka-bukaan Rencana Ekspansi
Hanya saja, Ade Jigo dan para ahli waris korban penggusuran merasa perjuangan mereka belum selesai. Masih ada upaya lanjutan yang akan ditempuh setelah tempat tinggal mereka dikosongkan paksa.
Lantas, seperti apa cerita di balik penggusuran lahan menurut versi Ade Jigo serta para ahli waris yang lain? Benarkah ada praktek mafia tanah yang merugikan kedua pihak berperkara?
Seperti apa juga upaya Ade Jigo dan para ahli waris korban penggusuran untuk melawan dugaan mafia tanah kalau benar terjadi?
Berikut, pemaparan Ade Jigo kepada tim Suara.com dalam sebuah wawancara khusus baru-baru ini:
Apa kabar Ade Jigo setelah penggusuran?
Baca Juga: Wawancara Khusus Solikin 'Pelindung' WNI Di Malaysia Peraih HWPA 2023
Memang itu kan sebenarnya tanah orang tua ya. Jadi kalau saya memang posisinya sudah tinggal di Tangsel. Kalau warga, ada yang mengungsi ke kontrakan, ada yang ikut saudaranya. Namun, dari mereka masih suka bolak-balik memantau kondisi di lapangan.
Kalau dari keluarga Ade Jigo, yang kena berapa?
Yang kena itu sekitar 8 kepala keluarga. Tapi itu ada juga yang tidak ada di-list, ikut kena juga.
Bagaimana bisa, padahal obyek eksekusi semestinya semua tertera di putusan?
Jadi kan, ada rumah yang awalnya tidak digusur tuh, mereka. Awalnya tidak digusur, dilewatin, karena memang tidak ada di gugatan. Tapi setelah semuanya ambruk, dia balik lagi ke situ, kena juga.
Berarti, dari juru sita, apakah asal-asalan pada saat proses eksekusinya?
Iya, mereka kayak cap-cip-cup aja gitu. Walaupun sudah jelas obyeknya salah, namanya salah, tetap saja salah.
Ada kemungkinan bahwa kedua pihak sama-sama jadi korban makelar karena obyek sengketa dulunya tanah garapan. Benarkah seperti itu?
Kalau dibilang dua-duanya korban makelar, kayaknya nggak mungkin kalau menurut saya.
Apa alasannya?
Dari pertama kali orang tua kami pada tinggal di situ tuh, tahun 60-an, sudah ada yang tinggal di situ. Saat itu BPN pun membuatkan sertifikat buat kami. Nggak mungkin dong bikin surat dobel, pasti BPN kroscek dulu dong? Setelah jadi surat, mereka kan pasti kroscek dulu datanya. Tanahnya di mana, batasnya apa, dasarnya apa.
Berarti, bisa dikatakan, Ade Jigo masih yakin bahwa korban mafia tanah cuma dari warga yang tergusur saja ya?
Ya kalau dibilang sama-sama korban, menurut saya kurang fair aja. Orang di surat kemenangan PK mereka aja, itu ada 16 yang tergugat dan 8 pihak itu kami tidak mengenal itu siapa. Yang delapan memang warga kami, tapi sisanya delapan lagi itu tidak tahu siapa. Apakah itu orangnya mereka yang sengaja diterjunkan, biar seakan-akan mereka juga tergugat, atau memang orangnya ada tapi siapa, itu juga belum tahu nih. Ya mungkin bisa jadi mereka itu yang dulu usil, yang dulu mungkin ngejual-jualin tanah punya si penggugat. Tapi kalaupun misalkan ada, kami anak-anaknya kan pasti tahu, dulu tanahnya beli sama siapa. Makelar kan biasanya cuma satu. Tapi dari 8 tergugat itu, bahkan di dalamnya ada PT, ada BPN juga termasuk. Padahal di wilayah situ nggak ada PT, nggak ada kantor. BPN juga digugat, masak diam saja nggak kroscek?
Lalu, sebagai upaya dari para ahli waris, termasuk Ade Jigo, apa lagi cara yang harus ditempuh?
Biasa kan kalau mafia itu semua sudah dikondisikan ya. Pihak-pihak yang terlibat di situ diduga sudah dikondisikan. Nah, kami akan melakukan langkah apa, kalau tidak ada bukti-bukti yang menguatkan, ya kami bisa apa? Kami mengumpulkan bukti-bukti dulu nih, berkas-berkas. Bener nggak sih, dulu ada transaksi jual beli? Bener nggak sih, surat kami ini asli atau tidak? Setelah berkas kami semua sudah terkumpul, disinkronkan dan kuat, baru kami perjuangkan.
Setelah pengumpulan bukti, apakah akan coba menemui BPN?
Kalau memang itu hak kami, ya kami akan berjuang terus. Mau sampai ke Kementerian ataupun Presiden, kalau memang hak kami, ya kami perjuangkan. Kami akan upayakan ke sana.
Apakah ada himbauan dari Ade Jigo untuk masyarakat yang sama-sama berpotensi jadi korban mafia tanah?
Kalau bisa sih data-data, berkas-berkas semua yang dipegang sekarang, segera dipastikan itu asli. Pastikan juga bahwa tempatnya itu memang kita yang menduduki gitu. Jangan sampai ini, sasaran mereka adalah tanah kosong atau rumah kosong, yang lama tidak berpenghuni. Nanti oleh mereka diduduki, lalu dibuatkan surat.
Jadi, sebaiknya jangan sampai dibiarkan kosong ya tanahnya?
Betul. Jadi lebih baik, kalau yang punya lahan kosong atau rumah kosong, minimal ada kehidupan lah di dalam. Ada orang yang menjaganya. Bisa juga entah itu dibikin warung, entah itu dibikin kontrakan. Intinya, jangan sampai kosong. Kalau kosong lama, nanti mafia-mafia tanah itu masuk.
Apakah warga masih ada yang bertahan di sana?
Sebenarnya ada beberapa rumah yang masih berpenghuni, karena mereka tidak ada di dalam surat gugatan kemenangan PK-nya pihak mereka, tapi ikut diintimidasi oleh pihak orang-orang penjaganya mereka di sana, untuk segera mengosongkan lahan.
Warga-warga ini akhirnya ikut pindah atau bertahan?
Mereka bertahan, kan memang di surat putusannya tidak ada nama mereka. Sempat dijanjikan dengan Rupiah juga itu, satu rumah 10 juta Rupiah. Kan murah banget ya, jadinya mereka nggak mau.