Suara.com - Generasi Z atau Gen Z menjadi populasi paling banyak di Indonesia saat ini dengan jumlahnya mencapai 74,93 juta, berdasarkan data sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS). Dominannya populasi Gen Z tersebut dianggap sebagai modal generasi kemajuan Indonesia dalam memiliki angkatan muda.
Akan tetapi, Gen Z juga dinilai memiliki karakter yang berbeda dibandingkan dengan generasi pendahulunya, seperti boomers, Gen X, dan Gen Y. Dalam podcast Podkagama yang tayang di kanal YouTube suara.com, Direktur Human Capital BioFarma Endang Suraningsih memaparkan karakter Gen Z yang ada saat ini.
Dalam penuturannya, lulusan Psikologi Universitas Gadjah Mada ini juga berpesan betapa pentingnya Gen Z mengenal dirinya sendiri. Serta membagikan cara untuk medeteksi kekuatan dan kelemahan dalam diri. Berikut rangkuman penuturan Endang dalam Podkagama.
Bagaimana mempersiapkan diri menjadi pribadi yang layak, bisa memberikan value ketika masuk ke sebuah organisasi hingga berkarir di BUMN?
Waktu mahasiswa, kita sudah buat semacam (rencana) hidup. Saya pun juga menyusun mulai dari kapan sih saya lulus, kemudian kalau saya lulus itu kompetensi apa yang harus saya miliki di luar yang pengetahuan, skill set, dalam arti bukan hanya pengetahuan tapi keterampilan-keterampilan apa sih yang mesti saya miliki.
Kalau saya di dalam rahmat itu diberikan umur, misalnya 60 atau 70, kapan saya harus selesai S1, kapan selesai S2, kapan selesai S3. Puji Tuhan, Alhamdulillah ada yang out of the track tapi on the track. Ini kemudian menolong saya untuk kembali lagi ke track gitu.
Skill set apa yang dibutuhkan pada saat itu?
Saya tidak cukup hanya memiliki pengetahuan dasar, tetapi networking itu penting. Kemudian saya juga sering mengikuti program-program, banyak tuh dulu di (Universitas) Gadjah Mada, baik yang sifatnya itu kayak seminar, itu saya ikuti. Dan saya tidak hanya berhenti di psikologi, dari dulu memang sudah biasa lintas fakultas.
Kalau misalnya ada fakultas yang temanya menarik gitu, misalnya tentang kebijakan luar negeri, saya pengin tahu, ya saya ikut. Juga waktu mahasiswa itu melatih skill set dalam arti keterampilan, selain memimpin juga melatih untuk wirausahanya.
Baca Juga: Wawancara Khusus Kurniawan Dwi Yulianto: Dari Magelang, Como 1907 dan Promosi Serie A
Bagaimana membangun sebuah networking yang applicable setelah lulus kuliah?
Saya bersyukur karena saya belajar psikologi, jadi untuk membangun networking itu kita harus memahami orang lain dulu. Sebelum minta dipahami, memahami orang lain terlebih dahulu ya. Kemudian nilai-nilai di dalam hidup ini kalau kita mau didengarkan, kita harus mendengarkan dulu.
Ada semangat pemberdayaan perempuan, apa program yang kemudian dilaksanakan langsung, baik di Biofarma atau di lingkungan BUMN untuk wujudkan itu?
Sebelum ke situ, sebenarnya waktu di UGM Saya sudah belajar diversity inklusivity, kalau bahasa yang sekarang, saya itu cari teman dari latar belakang yang berbeda-beda. Karena teman yang kita pilih itu akan mempengaruhi kehidupan kita.
Saya senang sekali kalau punya teman yang mempunyai pandangan yang berbeda, latar belakangnya teman-teman saya beda-beda, dari suku, agama, keyakinan karena fakultasnya juga berbeda.
Ternyata memang betul kalau kita itu beragam, itu justru letak keindahan sebuah pelangi yang saya pelajari waktu saya masih TK itu lagu pelangi-pelangi. Tapi kalau kita memaksakan sesuatu tidak ada versity itu tadi tanda-tanda jadi kita memaksakan semua itu harus sama.
Dan kebetulan, saya saat ini menjadi pengurus Srikandi BUMN,
Program dari BUMN untuk memberdayakan karyawan-karyawan, pekerja perempuan.
Jadi ini komunitas perempuan itu di human capital, penggiat human capital. Kita juga punya komunitas namanya Forum Human Capital Indonesia, FHCI, itu punya dua sayap.
Pertama Srikandi, satu lagi BUMN muda. Yang di Srikandi ini kebetulan saya pengurusnya di bidang dua, bidang leadership. Fokus terhadap dua hal, satu adalah women and powerment dan women leadershipment.
Bagaimana kita menolong untuk mengeluarkan potensi-potensi yang dimiliki, kalau misalnya gap-nya adalah digital. Bagaimana kemudian mengembangkan literasi digital dan seterusnya.
Kalau hubungan leadership, kita menyiapkan. Karena kita menyadari dan berdasarkan kajian perusahaan-perusahaan yang dikelola dengan manajemen yang diversity-nya atau keberagamannya cukup baik mempunyai peluang untuk sukses lebih tinggi.
Sebagai psikolog dan punya jenjang karir baik di BUMN, apa saran anda kepada Gen Z untuk menyiapkan diri usai lulus kuliah agar bisa punya ketahanan berkarir?
Masing-masing generasi punya kekuatan dan mungkin punya semacam hal yang perlu didialogkan. Ya karena seringkali masalahnya itu understanding others, saling memahami, begitu juga setiap generasi pasti punya kekuatan-kekuatan. Gen Z ini punya kekuatan yang luar biasa karena lahir di era digital. Jadi begitu lahir sudah terbiasa dengan gadget dan sebagainya.
Tapi di sisi yang lain juga lumayan rentan, terutama terhadap isu kesehatan mental. Jadi ketahanan menghadapi masalah, kalau di psikologi itu ada adversity question.
Namun demikian Gen Z juga generasi yang menghargai values. Dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, salah satu kekuatannya juga literasi digitalnya. Kalau generasi baby boomers, kita tahu pasti luar biasa karena memang lahir setelah peperangan. Kemudian setelah itu generasi X, Y, milenial. Mungkin perbedaannya enggak terlalu antara baby boomers dengan X.
Kemudian masuk generasi berikutnya, generasi Y, milenial kemudian Z. Tanpa kita sadari, kita nih yang generasi X, generasi Y itu punya kontribusi terhadap bagaimana menyiapkan generasi Z ini untuk lebih mandiri. Bukan mandiri hanya dari sisi menyelesaikan tugas, tetapi dari sisi menghadapi masalah.
Karena dulu kalau generasi-generasi yang seusia saya itu cari sekolah sendiri, kemudian enggak pernah tuh ditanya 'udah makan belum'. Generasi Y, milenial kemudian Gen Z ini orang tuanya mulai dari milihin sekolah, ditelepon ibunya 'udah makan belum'. Tanpa kita sadari, kita ini generasi pendahulunya juga punya kontribusi untuk membentuk Gen Z jadi kurang mandiri.
Apa yang harus dilakukan Gen Z agar punya kemandirian emosional tersebut?
Pertama, harus bisa menjawab 'who am i? siapa saya?' Itu kemudian bisa melihat apa kekuatan, kelemahan diri karena nobody's perfect.
Apa contoh kontekstual mengenai kekuatan dan kelemahan Gen Z?
Kelebihan Gen Z itu punya kemampuan digital, kemudian IQ oke, artinya tingkat kecerdasannya rata-rata perbaikan gizi dan sebagainya. Generasi Z ini adalah generasi yang punya kecerdasan intelektual yang oke.
Kemudian kalau pribadi lepas, pribadi ini masing-masing mulai melihat ke dirinya itu punya kekuatan sifat apa. Misalnya, pandai berkomunikasi kemampuan bahasa Inggrisnya oke, TOEFL di atas 550. Tapi kelemahannya, misalnya moody, itu juga harus tahu.
Kalau kita tahu kelemahan, kita bisa kelola itu. Terus kalau kita memang enggak kuat kita bisa menghindar. Ini perlu banget menjawab pertanyaan 'who am i' itu.
Bagaimana tips untuk mengenal diri sendiri?
Pertama, bagaimana saya bisa mengenal diri saya dengan bertanya pada diri sendiri, self talk. Karena yang paling mengenal diri kita itu ya diri kita sendiri sama pencipta kita dong. Kedua kita bisa minta masukan kok pada orang-orang yang ada di sekitar yang mengenal kita.
Secara objektif, karena seringkali menjadi sangat sensitif ketika kita tidak mengenali diri kemudian ada teman yang mem-bully langsung jadi down. Kalau kita down itu karena memang nggak mengenai diri sendiri.
Apapun kata dunia, saya kenal kok diri saya, jadi confident. Itu menjadi dasar kita untuk confident. Yang kedua, kita juga perlu mengelola kelemahan, dengan kekuatan dan kekurangan ini kemudian kita melihat opportunity apa, peluang apa yang bisa saya ambil dengan kekuatan dan kekurangan saya gitu.
Apa yang harus dipersiapkan Gen Z untuk menghadapi dunia human capital di masa depan, kemungkinan potensi, fungsi, pekerjaan entah itu di BUMN, private sektor, atau Global company yang akan jadi opportunity teman-teman Gen Z?
Kalau sudah punya confident, dia self confident-nya cukup, dia bisa menjawab Who Am I, berarti dia mengenali dirinya. Kemudian nanti menyelaraskan dengan What maka kemudian ketika sudah mengetahui bahwa time-nya tinggal mendefinisikan screenshot yang diperlukan. Nah kalau di Global pastilah ya, sekarang bukan zamannya digital mindset, tapi yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana open mind ya. Jadi terus-menerus belajar.
Saya seringkali mengatakan perlu waspada itu hal yang saya pelajari. Waspada itu akronim, wajib belajar tanpa henti. Kemudian A-nya, ayo kalahkan rekormu, jadi terus-menerus setiap hari itu kita harus mengalahkan diri kita. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.
Ketiga adalah simak ilmu atau pengetahuan yang lain karena ketika kita bekerja, khususnya kalau mau dikorporasi, bahasa korporasi itu bahasa keuangan. Jadi filosofi bisnis di manapun sama, UUD 45, ujung-ujungnya duit, menggunakan modal kerja 4 minimal kembali 5. Jadi mesti paham bahasa korporasi apapun latar belakangnya dan seterusnya.
Sekarang P, penting kontribusi karena lingkungan itu kadang-kadang mendistrasi kita. Jadi fokuskan pada sejauh apa sih kita tuh berkontribusi. Tapi kita juga bukan Superman, di dunia nyata yang ada itu adalah kita bekerja sama, artinya kita menjadi tembok.
Oleh karena itu A-nya kita harus berkolaborasi sehingga itu hanya adalah andalkan tim. Tinggal D sama A-nya adalah dalami panggilanmu itu. Setiap kita itu pasti bisa di manapun kita berada itu ada panggilan atau ada misi hidup yang diberikan. Nah, itu yang mesti, tadi ya, tugas kehidupanmu apa. Kamu ditempatkan di sini tuh apa sih tugasmu, jadi ya misi hidup.