Suara.com - Jika ada orang yang tetap setiap dengan profesinya sejak awal bekerja hingga kini, maka Mona Monika adalah salah satunya. Tahun ini, tepat 25 tahun dirinya berkiprah sebagai public relation (PR). Dalam perjalanan kariernya itu, Mona telah mencicipi bekerja di berbagai perusahaan ternama, yang membuatnya kaya dengan pengalaman.
Saat ini, Mona menjabat sebagai Head of Group Strategic Marketing & Communications PT Bank DBS Indonesia. Namun siapa sangka, menjadi seorang PR ternyata bukanlah cita-cita Mona. Ia mengaku, dulu cita-citanya adalah menjadi seorang diplomat.
"Aku kepingin ke luar negeri," katanya.
Tapi, sang ayah rupanya punya pertimbangan lain. Ia melihat kalau putri sulungnya itu punya bakat di bahasa, sehingga tiba-tiba saja tanpa bilang-bilang, sang ayah mendaftarkan Mona ke Sastra Inggris di Universitas Nasional.
Baca Juga: Sosok Prof. Budi Santoso, Dekan FK Unair Berprestasi Dipecat Buntut Penolakan Dokter Asing?
"Aku dari dulu memang bahasa Inggrisnya sudah lancar. Aku dulu dari kecil memang sudah belajar bahasa Inggris dan Prancis, jadi ayahku lihat talent aku di language," kata Mona.
Kemampuan berbahasa asingnya itu kemudian menjadi modal Mona untuk terjun ke dunia public relation. Ditambah dengan pengaruh sang ayah yang dulu mengagumi sosok Resita Supit, PR pertama di Indonesia.
"Dulu tuh papa aku suka banget sama Resita Supit, dia PR-nya Abdul Latif dulu, PR pertama di Indonesia itu dia. Karena papaku tahu aku anak yang suka main, jadi dia bilang 'Kamu mendingan ke situ aja'. Aku he-eh he-eh aja," katanya.
Tak disangka, ternyata inilah yang kemudian membuka jalannya berkarier sebagai PR, hingga bertahan sampai 25 tahun.
Berikut adalah bincang-bincang Suara.com dengan Mona Monika di kantornya di sebuah gedung tinggi di kawasan Jakarta Pusat. Tak hanya perjalanan karier, Mona juga bercerita banyak mengenai cita-cita, harapan, dan ambisinya yang masih terus ia kejar hingga saat ini.
Baca Juga: Sosok Semuel Abrijani, Petinggi Kominfo Mundur Rela Lepas Gaji Fantastis Buntut PDN Diretas
Bagaimana perjalanan karier Anda hingga akhirnya mencapai posisi sebagai Head of Group Strategic Marketing & Communications PT Bank DBS Indonesia?
Waktu masih kuliah, aku pernah jadi guru. Gara gara bahasa Inggris juga, sih. Karena dulu High Scope baru buka di Indonesia. Mereka mencari guru preschool yang lancar bahasa Inggris. Aku coba ngelamar, dan dapat. Tapi, aku baru kerja 6 bulan, papaku menawarkan pekerjaan PR di Hotel Kristal, karena ada temannya yang kerja di situ dan mereka memang lagi butuh.
Waktu itu aku belum lulus, tapi teman papaku bisa masukin. Cuma, aku tetap harus interview dan tes. Nah kebetulan aku lolos terus, sampai interview ke GM. Dan I got the job. Tapi sumpah penasaran, karena aku tahu saat itu sainganku adalah orang dari psikologi UI yang sudah lulus, sama satu lagi dari mana aku lupa, tapi mereka semua bagus. Aku minder saat itu. Dan pas aku dapat pekerjaannya, aku nanya sama mereka, 'kenapa kamu terima saya?'
Lucunya mereka bilang, 'Because you work with kids, because in the end of the day we all are kids. Jadi kita butuh orang yang sabar, yang manage ini.' Benar, begitu masuk di manajemen, memang semua pada banyak maunya, mengedepankan egonya masing-masing. Jadi kalau enggak punya skill untuk me-manage, enggak punya skill kesabaran, emang enggak bisa. Jadi GM dan wakil GM-nya ini, dua-duanya orang bule, mungkin orang bule cara melihatnya berbeda ya, enggak lihat di atas kertas, mereka lihat kemampuan dan di luar dari kemampuan yang untuk role-nya gitu.
Aku kerja di situ, setahun aku diangkat jadi manager. Punya anak buah yang usianya lebih tua. Tapi nggak lama, karena kemudian aku dapat tawaran kerja di Grand Hyatt Bali. Kemudian aku pindah ke Bali. Tapi kemudian papaku sakit, mamaku nangis-nangis aja. Aku kan anak paling tua, ya, mungkin mamaku sedih nggak ada temannya untuk ngurus papaku. Ya sudah, aku tinggalin kerjaan ini.
Tapi begitu aku balik ke Jakarta, ada teman aku telepon, bilang dia mau keluar dari pekerjaannya di British Council, dan menawarkan pekerjaan itu ke aku. Ya sudah, aku kasih CV, interview sama bosnya, dan saya dapat pekerjaan itu. Dan pas aku kerja di British Council, berapa tahun tahun kemudian papa aku meninggal.
Di British Council aku 6 tahun, dan sangat menarik waktu aku kerja di sana. Aku banyak mengerjakan development work kan di sana. Dan tiba-tiba sekarang nih di DBS Foundation mendapat dana lebih besar dari bank untuk melakukan banyak development work, dan aku sudah tahu cara ngerjainnya. Jadi ini kayak grand design Tuhan. Kalau aku nggak kerja di British Council 6 tahun, aku enggak ngerti sekarang jalanin DBS Foundation ini.
Makanya, jangan pernah menyesali di mana kamu berada saat ini, selama kamu mengerjakannya ikhlas saja gitu, kerja keras, ikhlas saja ikutin.
Apa tugas Anda sebagai seorang Head of Group Strategic Marketing & Communications?
Waktu aku start, kita itu lumayan masih kecil. Jadi kita ngerjain public relation, kita ngerjain marketing communication, jadi non sales marketing, tetapi branding dan marketing communication-nya, terus aku ngerjain CSR-nya, terus sama digital marketing. Tapi sekarang menjadi lebar lagi, karena dengan kemajuan teknologi yang ada, jadi sekarang di tim aku tuh ada marketing and branding, data digital dan content, terus ada digital marketing, terus ada content creative team. Nah, terus ada yang namanya DBS Foundation sekarang. Pekerjaannya sudah bukan cuma menumbuhkembangkan wirausaha sosial, tapi sudah lumayan banyak. Nah, terus ada internal communication, terus ada external communication.
Beberapa waktu lalu, DBS Indonesia bekerja sama dengan Badan Pangan Nasional menyuarakan kampanye Live more, Waste Water & Food less. Bisa dijelaskan latar belakang dari kampanye tersebut?
Kita punya new vision dulu itu pengen jadi best bank in the world. Nah kenapa kita ingin jadi best bank in the world, karena kita kan regional bank, jadi kan Asia sebenarnya, bank regional, bukan kayak bank lain yang memang global bank gitu. Tapi walaupun kita regional bank, cuma ambisi kita, mau diakui secara worldwide. Nah, karena itu kita punya banyak improvement untuk mencapai ambisi tersebut. Tercapai. 3 kali sudah kita dinobatkan best bank in the world.
Habis best bank in the world, CEO group kita nanya, 'What's next'. Jadi kita punya visi baru, namanya best bank for a better world. Dengan visi baru ini, kita cara memperkenalkannya, cara komunikasinya gini, purpose driven bank. Kalau purpose driven, jadi apapun yang kita lakukan didasarkan oleh tujuan-tujuan positif.
Nah, tujuan positif ini macam-macam, seperti make sure kita aktif dalam perekonomian, membantu juga untuk me-manage masyarakat sehingga mereka jadi fasih berinvestasi segala macam. Tapi ada satu lagi, yang kontribusinya ke masyarakat. Mau apa? Waktu itu kita masih yang menumbuhkembangkan kewirausahaan sosial. Tapi selain itu apa? Karena kita pengin menebalkanposisi kita sebagai purpose driven bank.
Nah, kita kan punya branding gitu ya. Akhirnya tema brand campaign kita adalah zero food waste atau diterjemahkan ke Indonesia jadi makan tanpa sisa. Karena ternyata di Asia itu sampah makanan tinggi banget. Ironis banget, orang miskinnya banyak, tapi sampah makanannya tinggi banget gitu.
At the same time, sampah makanan itu ternyata bahaya banget, dia kan ada gas metananya, jadi ternyata bahaya banget untuk kesehatan, dan lingkungan. Karena banyak orang berpikir sampah makanan itu organik, padahal sebenarnya enggak. Akhirnya kita bikin origin brand campaign dengan tema seperti itu.
Tahun ini, karena ada pengembangan di DBS Foundation, jadi sekarang yang namanya food security itu sudah masuk di programnya DBS Foundation, yang dulu hanya wirausaha sosial. Sekarang brand campaign kita di-switch, karena itu dimasukin jadi program besar.
Tahun ini kita mulai dengan new brand campaign, yaitu Trust Your Spark. Apa yang dimaksud dengan Trust Your Spark? Kalau di dalam logonya DBS ada kayak spark gitu. Kita punya tagline 'live more bank less', karena kita ingin orang tuh kayak enggak usah mikirin yang lain, karena urusan bank akan kita yang melakukannya. Ingat nggak, sih, dulu kita kalau mau ke bank harus cuti setengah hari. Tapi kan sekarang enggak. Dengan teknologi, kamu bisa tetap melakukan apapun yang kamu mau, and live your life whatever you want.
Apa yang paling menarik dan paling menantang dari pekerjaan sebagai PR di industri perbankan?
Tantangannya lebih kepada seberapa cepat kita bisa agility, serta seberapa cepat kita bisa beradaptasi dengan percepatan perubahan ini. Dulu 10 tahun yang lalu, kerjaan kita kayak robot, begini aja. Paling yang berubah adalah materi-materinya, jadi kita belajar materi baru, belajar lagi materi baru, cuma rumus kerjanya kan sama. Sekarang kan beda banget. Perubahannya cepat, jadi kita harus keep up sama perubahan tersebut. Jadi mesti belajar lagi, belajar lagi. Menurut saya exiting, sih, kita enggak bosan. Sebenarnya semua tantangan yang ada hanya membuat kita menjadi lebih sharp menurut aku.
Di PR juga kan ada namanya krisis. Krisis aja sudah macam-macam bentuknya, udah nggak kayak dulu dan nggak bisa diprediksi. Paling kalau bisa diprediksi, misalnya kalau di perusahaan manufacture, krisisnya mungkin ada kecelakaan. Tapi sekarang macam-macam dan unpredictable.
Dan kita PR tuh sering dianggap seperti cenayang kalau ada krisis di perusahaan. Kalau kita meeting nih, lagi krisis management, kayak pasti semuanya nih nanya, 'Jadi gimana, kita ngomong apa? Kira-kira orang besok akan ngomongnya apa?' Nah, kalau kita jam terbang dan agility kita asah terus-menerus, kita mikir pasti cepat. Mungkin kita enggak tahu exact headline-nya apa, tapi karena kita sudah sering banget berada di situ, dan kita tahu cara kerja mereka kira-kira akan seperti ini nih, jadi kira-kira akan kita mulai dengan tengahnya ini, akhirnya ini. Walaupun belum ada statement, kita sudah tahu cerita kerangkanya.
Ada tips supaya tetap agile sebagai PR?
Satu nggak boleh males. Dua, purpose driven. Jadi kita kalau kerja itu ada purpose-nya. Misalnya, emang kita tuh passionate about this world, gitu. It's about bagaimana kamu bisa membantu perusahaan itu tumbuh dan tumbuh ke jenjang berikutnya.
Ketiga, mesti belajar terus sih. Karena jatuh bangunnya kita enggak semuanya akan sukses kan. Saya sudah jatuh bangun kayak sejuta tahun. Jatuh bangunnya kita itu adalah learning points. Nah, learning point tersebut itu jadi jam terbang buat kita. Jadi jangan menyerah, karena ternyata in the end of the day, bekal itulah yang membuat kamu jadi lebih kaya, menurut aku gitu.
Di sela-sela kesibukan, kegiatan apa yang paling sering Anda lakukan di waktu luang?
Aku tuh appreciate my time. Jadi kalau aku lagi cuti, meski ada sering gangguin, aku sangat appreciate my time. Dan aku tuh orangnya banyak interest. Of course travelling sudah pasti, karena itu kan melihat dunia baru ya. I like photography, I like painting, I playing music, I like listening to music. I like reading. Di luar novel, aku suka baca otobiografi atau essay seseorang. Itu tuh kayak kita belajar cara berpikirnya dia, dan saya senang banget kayak ngedengerin cara atau membaca cara berpikir orang. Kayak 'oh iya, gue enggak pernah pikir kayak begini ya'.