Suara.com - Pembahasan tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) sempat menjadi topik hangat beberapa waktu lalu. Menurut salah satu kandidat Rektor Universitas Padjadjaran (UNPAD) Prof. Dr. Keri Lestari, M.Si. kenaikan UKT sebaiknya menjadi pilihan terakhir.
Ia mengusulkan mekanisme pencarian dana non-tuition, seperti memanfaatkan aset idle dan menggandeng mitra industri untuk proyek pengembangan.
"Kenaikan UKT itu suatu hal yang tidak bisa dihindari karena adanya inflasi. Tapi, saya katakan tadi bahwa kenaikan UKT itu adalah alternatif terakhir manakala kita tidak bisa menjaga balancing keuangan karena tidak ada sumber lain yang bisa menjaga itu. Selama kita bisa menjaga balancing keuangan, balancing antara input dengan output, saya pikir itu alternatif terakhir. Makanya kita coba dulu dengan tadi, bagaimana kita mengutilize aset yang idle, bekerjasama membuat korporasi bisnis yang baik, yang tidak menjadikan seolah-olah universitas itu dikomersialisasi, ujarnya dalam wawancara khusus bersama Suara.com, ditulis Sabtu (15/6/2024).
Prof Keri memiliki pengalaman yang luas dalam berbagai posisi strategis di universitas tersebut. Hal ini memberinya pemahaman mendalam tentang dinamika dan kebutuhan institusi. Salah satu topik menarik yang dibahas adalah mengenai strategi UNPAD untuk mencapai peringkat 500 besar dunia. Prof. Keri menekankan pentingnya pemetaan indikator kunci yang berdampak dan relevan dengan pemeringkatan global.
Selain itu, Prof. Keri juga berbicara mengenai tantangan keuangan yang dihadapi oleh universitas. Beliau menegaskan bahwa kemandirian pendanaan menjadi salah satu prioritas, dengan menggali potensi aset dan sumber daya yang ada untuk mendukung berbagai program dan inisiatif. Inovasi dalam hal ini menjadi kunci, dengan menjalin kemitraan strategis yang mampu memberikan manfaat ekonomi tanpa membebani mahasiswa.
Berikut ini wawancara khusus Suara.com dengan salah satu kandidat Rektor Universitas Padjadjaran (UNPAD) UNPAD, Prof. Dr. Keri Lestari, M.Si. selengkapnya.
Lagi seru soal pergulatan calon Rektor UNPAD ini, sudah sejauh mana progresnya?
Kita sekarang ini pada tahap untuk kemarin sudah asesmen psikologi terus tadi baru selesai tes kesehatan dan nanti kita penelusuran rekam jejak ya. Kemudian juga nanti mungkin akan ada paparan dengan profesor senat akademik dan terakhir MEA akan memilih.
Ke depannya ada beberapa tahap lagi di bulan akhir Mei dan Juni. Kemudian Insyaallah awal juli nanti MEA akan menetapkan Pleno tertutup.
Baca Juga: Dibalik Kisruh UKT, Beda Pendidikan Nadiem Makarim dan Presiden Jokowi: Lulusan Harvard VS UGM
Pada periode sebelumnya, Anda sempat mencoba maju, dan sekarang maju lagi. Apasih yang mendorong Prof untuk mau mencalonkan diri jadi Rektor UNPAD?
Jadi gini sebetulnya itu lebih dari keinginan untuk memberikan suatu hal yang terbaik ya. Jadi UNPAD ini buat saya tidak hanya sekadar tempat untuk saya belajar, atau tempat saya bekerja tapi, saya ke teman-teman UNPAD ini melibatkan perasaan.
Saya itu diajarkan tentang pengabdian itu dari kecil, karena kebetulan ibu saya juga kan dosen dan guru besar di UNPAD. Jadi saya tuh ke UNPAD itu enggak pas kuliah aja dari mulai saya kecil tuh sudah dibawa-bawa ibu saya, udah dikenali ke UNPAD kadang-kadang ibu saya ngajar saya di ruangannya, jadi sudah seperti keluarga besar.
Setelah itu alhamdulilah qadirullahnya saya kemudian masuk ke UNPAD. Pernah mengalami juga bekerja dengan beberapa rektor gitu ya, kemudian juga pernah memegang satu fakultas, pernah jadi wakil dekan, dekan dan kemudian wakil rektor. Akhirnya mengetahuilah mengenai tantangan. Tantangan ke depan itu kan ada dua jalur ya, satu jalur keunggulan, satu jalur untuk kita juga harus mandiri sisi pendanaan.
Unggul itu harus membutuhkan pembiayaan menuju keunggulan, mandiri dari pendanaan ini kita tidak bisa hanya mengandalkan kepada dana tuition dari mahasiswa, jadi gimana caranya kita bisa mendukung keunggulan ini, tetapi tetap berpihak kepada masyarakat dalam hal ini mahasiswa untuk mendapatkan pelayanan terbaik.
Kalau saya baca-baca sedikit ya bu, ada kualifikasi untuk calon rektor salah satunya indikatornya adalah peningkatan reputasi UNPAD untuk level global, kalau saya tidak salah tuh sekarang peringkat 600-an. Apakah sudah ada strategi untuk meningkatkannya?
Jadi, biasanya kita tuh kalau melihat ranking jangan hanya melihat ingin sampai ke angka berapa, tetapi mari kita cari indikator utamanya apa. Nah dulu waktu saya jadi Wakil Rektor, saya sempat main ke kantor pemeringkatan yang ada di Singapura. Saya sempat ke sana melihat bagaimana caranya, terus bagaimana Universitas lain juga survive di bidang itu, lalu apa sih untungnya untuk mengejar pemeringkatan itu, apakah hanya sekedar branding ataukah ada feedback yang lain? Ternyata ada manfaatnya yakni terbuka berbagai kesempatan untuk bekerja sama.
Biasanya kita melihat brand equity dari calon universitas yang bekerja sama tersebut, jadi kalau kita misalnya ada di level tertentu itu peluang kerja sama juga meningkat, dan itu juga relevan dengan peningkatan yang ada di nasional.
Jadi pencapaian ranking tersebut juga akan berdampak terhadap dukungan pembiayaan bagi performa universitas. Contoh kalau misalkan kita ini bisa menunjukkan performa yang baik di pemeringkatan itu ada dana khusus untuk internasionalisasi misalnya nah tinggal kita bagaimana membuat strateginya mencari indikator-indikator yang impactful sehingga nanti yang kita lakukan betul betul terarah strategis dan tepat sasaran.
Di samping ada indikator itu juga pastinya, ibu kan jadi calon orang nomor satu di Jatinangor, pasti ada catatan-catatan pembenahan dari kepemimpinan sebelumnya. Itu sudah ada daftar yang Prof rancang gitu?
Iya, jadi ada pepatah yang mengatakan bahwa setiap waktu ada orangnya, setiap orang ada waktunya. Nah, gitu ya, betul. Jadi setiap lini masa pimpinan itu memberikan yang terbaik pada waktunya. Namun begitu kita masuk ke lini masa yang lain, tantangan kan berbeda. Mungkin zaman dulu enggak ada tantangan World Class, sekarang ada tantangan World Class.
Terus kemudian, tantangan World Class itu dijadikan sebagai indikator untuk dukungan pendanaan, misalkan dari Kementerian. Sehingga bukan namanya pembenahan, tetapi adaptasi terhadap tantangan yang ada. Jadi, apa yang dilakukan oleh para Rektor terdahulu, itu sudah memberikan yang terbaik pada masanya. Namun dengan berbagai tantangan yang ada, kita mengadaptasikan, kita merespon positif terhadap tantangan yang ada. Nah, sekarang diharapkan apa, meneruskan dari yang sudah dilakukan oleh Bu rektorina untuk bisa sampai ke 500 sekarang. Alhamdulillah nih, sudah naik 200 poin di 600.
Nah, gimana cara naik-naik ke 500 ini, memang ada beberapa strategi-strategi yang sudah dilakukan. Di antaranya adalah bagaimana kita memappingkan potensi yang ada di Unpad yang kiranya bisa mempunyai daya ungkit yang kuat untuk memenuhi indikator-indikator yang tadi yang strategis tadi, karena kalau melihat ya, beberapa universitas yang saya pelajari, ada beberapa 1, 2, 3 universitas di Indonesia yang posisinya di kasih pemeringkatan.
Dan kita juga melihat bahwa dengan SDM UNPAD saat ini yang ada, saya optimis gitu karena SDM yang saat ini ada juga, dia mempunyai layer dari kualitas SDM yang baik, gitu. Jadi kami sudah tidak menerima lagi S2, penerimaan dosen sekarang lu sudah S3 dengan performa publikasi, gitu ya.
Ketat sekali ya, bu.
Sekarang jadi dosen itu kualifikasinya lumayan loh ya, terus sudah gitu juga, tapi di UNPAD juga memberikan juga apa ya, privilege terhadap keunggulan tersebut. Jadi maksudnya dosen yang masuk ke Unpad, dia memang harus punya performa, tetapi Unpad juga memberikan juga kesejahteraan yang seimbang.
Nah, sekarang tinggal bagaimana kepiawaian pimpinan untuk menyediakan kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan kan enggak selamanya dari uang ya, kesejahteraan tu, bagaimana kenyamanan dia bekerja? Bagaimana support sistem dia bisa mempunyai performa yang baik? Bagaimana juga dia mempunyai branding yang baik? Nah, branding setiap periset, ini yang kemudian akan kita kembangkan, gitu ya. Dan dengan kita mempunyai branding periset yang baik, masing-masing periset itu akan menjadi penunjang untuk brand equity UNPAD yang baik juga.
Jadi sebetulnya kalau melihat dari core bisnis UNPAD yang sudah lama gitu, kan itu sudah sekitar kita berdiri tahun 1957. Ya udah cukup matang dalam pengelolaan SDM, pengelolaan tata kelola. Tinggal bagaimana kita mengadaptasikan dengan tantangan yang memang dihadapi saat ini, gitu aja.
Kalau itu kan untuk secara kelembagaan ya, kalau untuk mahasiswa, tentunya calon pemimpin nomor satu ini pasti diperhatikan juga oleh mahasiswa. Apakah ada kebijakan-kebijakan yang nantinya akan pro mahasiswa?
Seperti yang saya sampaikan, tantangan dari pimpinan Universitas ke depan adalah bagaimana mereka bisa membuat "Survival mode" untuk kemandirian pendanaan. Jadi, katakanlah dana tuition ini tidak kita naikkan, tapi harus ada kemampuan untuk mencari penunjang subsidi dari dana yang lain. Sudah hampir sekitar dua periode tidak ada kenaikan UKT, dan inflasi sudah cukup tinggi.
Untuk mencapai keunggulan dan kesejahteraan, tentunya diperlukan pendanaan. Walaupun kesejahteraan tidak selalu terkait dengan uang, tetapi untuk mendukung sarana yang baik dan dukungan kesehatan yang baik, tetap harus ada sumber-sumber yang bisa digunakan. Dana tuition dari mahasiswa harus menjadi pilihan terakhir. Jadi, kalau kita memerlukan dana tambahan karena inflasi atau tuntutan performa, kita harus bisa mencari dana non-tuition.
Bagaimana caranya? Pertama, Universitas PTNBH itu punya aset idle yang besar. Kita bisa bekerja sama dengan mitra supaya aset idle yang besar itu memberikan manfaat. Contohnya, saya bersama Kementerian Perdagangan membawa hasil riset hilirisasi ke Maroko. Produk riset kami adalah stevia yang cocok dengan gaya hidup di Maroko, karena prevalensi diabetes di sana tinggi. Mereka bisa menikmati teh manis yang aman untuk diabetes dengan stevia. Selain itu, kami mendapat LOI untuk mencari lahan menanam kopi di Indonesia karena ada permintaan kopi dari Maroko.
Lahan Unpad yang besar bisa digunakan untuk menanam kopi yang kemudian diekspor. Selain itu, bisa menjadi teaching farming untuk mahasiswa pertanian, sehingga mereka tahu ada komoditi yang bisa diekspor. Dengan cara ini, kita bisa mandiri dari segi keuangan tanpa bergantung pada UKT.
Bicara soal UKT, tadi juga ada rapat Mendikbudristek Pak Nadiem Makarim dengan DPR membicarakan soal kenaikan UKT yang dianggap memberatkan mahasiswa, terutama dari keluarga menengah ke bawah. Kalau di Unpad sendiri atau Prof sendiri, bagaimana melihat fenomena ini?
Tidak semua orang Indonesia tidak mampu, buktinya banyak yang sekolah ke luar negeri. Tapi tidak semua anak Indonesia mampu. Jadi, kita perlu menyediakan program subsidi silang. Orang yang mampu membayar lebih, ya bayar lebih. Intinya adalah kita harus punya cara untuk menilai bahwa seseorang memang mampu.
Saat rapat tadi, Pak Nadiem bilang kenaikan UKT hanya berlaku untuk mahasiswa baru 2024 dan akan menyasar yang menengah ke atas. Kalau di Unpad bagaimana?
Sama, di Unpad juga ada grading. Banyak mahasiswa yang masih bayar UKT sekitar 2 juta, ada yang rata-rata sekitar 5-7 juta. Yang UKT-nya di atas itu, kita lakukan penilaian berdasarkan kemampuan ekonomi.
Ada juga gitu loh. Nah, gimana cara menyasarnya?
Sebenarnya gampang, Mbak. Cara menyasarnya itu tinggal dilihat aja dari rekening listrik, rekening handphone, rekening teleponnya. Rekening handphone-nya itu nggak bisa menafikan karena dia hidup dengan itu. Gaya hidupnya ada di situ, gitu kan. Nah, di situlah kita bisa menakar. Kemudian, lihat pajaknya, SPT-nya. SPT menunjukkan seberapa besar pendapatannya. Jadi, intinya marilah kita sama-sama membesarkan pendidikan ini secara fair. Orang yang mampu membayar sesuai dengan kemampuannya, yang tidak mampu kita tolong.
Tetapi, universitas juga punya inovasi-inovasi yang nanti bisa mengisi kekurangan dari subsidi tersebut. Nah, isian itulah yang kemudian menjadi kemampuan dari pimpinan untuk memutarkan itu. Tapi tentu masih dalam business core-nya sebagai lembaga pendidikan. Jangan sampai hilang dari business core-nya itu. Lembaga pendidikan harus berpegang kepada pendidikan karakter, kemudian berpegang juga pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Itu tetap core-nya di situ. Jangan sampai nanti atas nama kita memerlukan pendanaan, jadi menurunkan kualitas, misalkan.
Nah, itu juga jangan. Jadi, kita tiba-tiba atas nama keinginan pendanaan, akhirnya UKT-nya mahal, misalnya, potong pukul rata buat semua. Enggak gitu. Jadi, memang ini membutuhkan tools tertentu untuk menilai kemampuan orang tua si siswa. Tapi jangan salah, orang yang mampu pun bisa tiba-tiba nggak mampu.
Kenapa? Misalnya, orang tuanya tiba-tiba sakit atau yang sering terjadi adalah orang tuanya bercerai. Atau bisa juga tiba-tiba orang tuanya kena PHK. Itu bisa terjadi dalam perjalanan pendidikan anak-anak itu. Nah, kita juga harus punya safety belt untuk mereka. Safety belt itu bisa dalam bentuk kerjasama dengan mitra, misalkan dulu pernah ada program kawan asuh. Jadi, kita punya kerjasama untuk menerima mahasiswa dari mitra, tapi mahasiswa dari mitra tersebut membayarnya berapa kali UKT untuk temannya. Nah, itu ada program kawan asuh seperti itu. Kenapa bisa? Karena memang dia punya kemampuan untuk itu. Orang Indonesia kalau sekolah ke luar negeri pembayarannya dua kali, tiga kali lipat lebih dari di Indonesia. Belum lagi hidup di sana.
Tapi menurut Prof nih, setuju nggak ada kenaikan UKT seperti yang direncanakan oleh Pak Menteri?
Iya, jadi gini, kenaikan UKT itu suatu hal yang tidak bisa dihindari karena adanya inflasi. Tapi, saya katakan tadi bahwa kenaikan UKT itu adalah alternatif terakhir manakala kita tidak bisa menjaga balancing keuangan karena tidak ada sumber lain yang bisa menjaga itu. Selama kita bisa menjaga balancing keuangan, balancing antara input dengan output, saya pikir itu alternatif terakhir. Makanya kita coba dulu dengan tadi, bagaimana kita mengutilize aset yang idle, bekerjasama membuat korporasi bisnis yang baik, yang tidak menjadikan seolah-olah universitas itu dikomersialisasi.
Tidak, tetapi itu adalah bagian dari untuk membuat tempat-tempat yang sifatnya dijadikan sebagai tempat magang anak-anak. Contoh punya rumah sakit pendidikan, di situlah nanti calon dokter, nurse, apoteker belajar di situ bersama-sama dalam interprofessional collaboration. Nah, di situ kita punya role model. Artinya apa? Maka si dokter atau calon dokter atau calon nurse yang ada di sana harus tahu mengendalikan rumah sakit itu tidak hanya sekedar membuat orang sembuh, tapi juga bagaimana mengendalikan manajemen rumah sakit. Jangan sampai dia begitu lulus, misalnya, kemudian mengendalikan manajemen rumah sakitnya nggak benar jadi bikin rugi rumah sakit orang.
Nah, gimana caranya kita membuat role model di rumah sakit pendidikan kita bahwa pelayanannya bagus, kemudian juga secara bisnis dia tahu role modelnya gimana dalam bisnis itu. Rumah sakit pendidikan. Kemudian juga kita bisa bikin teaching factory, teaching factory juga sama, dia harus punya impact terhadap pemasukan. Artinya dia harus teaching factory, farm factory segala macam itu harus menunjukkan real bisnis yang sebenarnya untuk mahasiswa. Jadi bisnis yang dipunyai oleh kampus itu adalah sarana mereka untuk magang, bukan sekedar laboratorium buat dia nyoba. Iya, jadi kita mengajarkan satu bisnis yang berbasis keilmuan mereka yang kemudian jadi bayangan nanti saya kalau lulus mau jadi begini. Jadi tugas saya lulus saya akan begini atau profesi saya lulusnya akan begini.
Nah, di situlah dia akan mempunyai satu kesungguhan dalam belajar karena dia tahu bahwa ini loh real world yang dia akan hadapi nanti sehingga saya harus belajar A, B, C, D untuk mahasiswa. Nah, untuk kita dosen juga akan mempunyai satu bayangan, "Oh, ini real world yang akan dihadapi oleh si mahasiswa sehingga kurikulum apa sih yang diperlukan yang mendukung pada kompetensi anak itu." Jadi, dengan satu korporasi akademis seperti ini, keuangan bertambah dari non-tuition, tempat magang juga punya kita supaya anak-anak kita juga siap untuk bekerja.
Kemudian yang paling penting adalah tempat untuk uji publik kurikulum. Karena apa, kurikulum kita kan harus update, ya kan? Update supaya menjadikan kurikulum itu membekali anak pada kompetensinya. Sehingga dengan ada tempat yang seperti ini, kita akan selalu update dengan kebutuhan dari masyarakat. Jadi mana kurikulum yang memang harus kita tinggalkan karena udah nggak perlu lagi, misalnya. "Oh, sekarang kurikulumnya perlu ditambahin digitalisasi," misalnya, itu masukin. "Oh, yang ini nggak usah ada, ganti dengan ini," itu dapatnya dari mana? Itu dapatnya dari tempat-tempat magang tadi karena kita bertemu dengan real world-nya sesudah kuliah anak ini akan masuk ke seperti apa ekosistem itu. Jadi itulah mungkin salah satunya.
Terus kedua, sekarang kan zaman sertifikasi. Apa-apa sertifikasi, ya. Insinyur sertifikasi, tenaga kesehatan lagi rapat sekarang gimana cara membuat sertifikasi. Nah, lembaga-lembaga universitas juga bisa menjadi lembaga sertifikasi. Cuman kita harus mendaftarkan, misalnya, untuk sertifikasi nakes harus daftar ke Kemenkes, lalu bikinlah tema-tema sertifikasi yang bisa diikuti secara massal. Kita memberikan manfaat supaya mendapatkan nakes yang kompetensinya bagus. Tetapi Unpad juga akan mendapatkan tambahan pemasukan dari lembaga sertifikasi itu. Dan itu sebetulnya satu apa ya, kita mendapatkan tambahan dari non-tuition dari core bisnis kita di pendidikan tetapi lewat sertifikasi. Jadi sebetulnya saya melihat bahwa Unpad dengan usianya yang saat ini cukup matang, yang sudah dikembangkan oleh para rektor terdahulu, itu memang sangat bisa untuk di-direction untuk maju ke arah yang lebih baik sesuai dengan tantangan yang ada saat ini. Kita responsif dengan tantangan yang ada saat ini.
Yang kenaikan UKT di kampus. Sempat ada gonjang-ganjing nggak tuh? Ada keresahan mahasiswa, naik nggak nih Unpad?
Dulu juga saya lagi mahasiswa sama. Jadi kalau isu UKT bukan isu saat ini, itu isu yang sudah lama ada. Naik 100 ribu aja jadi pembahasan. Tapi nggak apa-apa, itu pendewasaan dari mahasiswa. Bagaimana mengasah empati, mengasah sensitivitas dari mahasiswa kita nih yang sudah melewati masa itu. Harus menerima itu sebagai sarana untuk mendewasakan mereka supaya mereka sensitif terhadap masalah di masyarakat. Supaya nanti dia sebagai future leader juga akan berpihak kepada masyarakat. Itu mah dinamika, nggak apa-apa.
Kalau menurut saya, riak apapun yang ada di mahasiswa itu adalah dinamika yang harus kita terima sebagai sarana untuk pendewasaan dari para mahasiswa tersebut. Karena dulu juga saya sama, naik UKT dikit waktu saya mahasiswa juga sama, udah protes tuh dari zaman baheula.
Yang protes bukan kita sih, Bu, orang rumah.
Orang rumah naik lagi atau misalnya gini. Selain orang rumah juga kan mungkin kita tidak merasakan sulitnya bertambah sekian ratus ribu, tapi teman-teman kita ada yang kayak gitu. Jadi biasanya yang memicu kegiatan, apa ya, yang memicu protes mahasiswa itu adalah solidaritas kan bagus menciptakan jiwa korsa. Nggak apa-apa selama itu disampaikan dalam koridor yang baik, tetap menyampaikan secara konstruktif dan santun. Itu nggak apa-apa. Tapi kalau penyampaiannya udah brutal, udah tidak dalam koridor yang baik, nah itu yang harus kita kasih tahu. Gini loh caranya kalau protes.
Untuk memastikan, Prof, kalau misalkan kenaikan UKT ini menurut Pak Menteri akan ditetapkan untuk mahasiswa baru 2024, kalau di Unpad dipastikan tidak ada kenaikan ya?
Saya belum mendengar akan ada kenaikan, tapi saya pernah mendengar statement bahwa Insya Allah tidak akan dinaikkan.
Nah, ini masih membahas soal kenaikan UKT. Maksudnya, kondisi keuangan keluarga yang menjadi penyebab mahasiswa mengeluh. Ada lagi, Prof, alasan lain di mana mahasiswa berpikir, "kita bayar UKT mahal, UKT naik lagi, tapi fasilitas yang kita dapat di kampus itu kok gitu-gitu aja." Itu gimana memandangnya, Prof?
Jadi gini, kalau kenaikan UKT akan dijalankan dengan perbaikan fasilitas, sepertinya memang berat. Karena kenaikan UKT itu makanya sampai harus ditingkatkan, berarti kebutuhan dasar untuk penyelenggaraan pendidikan memang sudah nggak cukup, apalagi untuk memperbaiki fasilitas yang lain. Namun, saat ini untuk memperbaiki fasilitas itu banyak cara selain dari UKT. Ada hibah dari luar negeri, ada hibah dari dalam negeri, ada hibah dari Kemendikbud. Itu untuk memperbaiki fasilitas tersebut.
Unpad pernah dapat dana dari IDB untuk bikin gedung-gedung, memperbaiki gedung. Jadi kalau memperbaiki fasilitas kita mengharapkan pada UKT, saya pikir itu hampir nggak mungkin. Karena UKT itu untuk operasional pendidikan. Memang operasional pendidikan itu memerlukan fasilitas yang baik, tetapi kalau kita mengharapkan dari UKT untuk operasional pendidikan plus perbaikan fasilitas, jadi naiknya mau berapa?
Perbaikan fasilitas itu juga costly. Makanya saya sampaikan tadi, kita harus ngajak kerjasama. Misalnya di Fakultas Farmasi, perbaikan satu lab, kita ngajak dari laboratorium klinik tertentu, seperti Prodia. Mereka ngasih alat-alat canggih, jadi kita punya lab baru alatnya canggih tapi kita nggak beli karena kita dapat kerjasama seperti itu, dapat hibah. Atau kita bisa juga kerjasama dengan alumni.
Betul, kadang mindset mahasiswa kan gitu ya, kita bayar mahal, buktinya apa?
Iya, tapi saya juga balikin lagi ke mahasiswanya. Artinya, kalau nanti fasilitas itu sudah diperbaiki, tolong dirawat. Contoh, merawat toilet aja kadang-kadang mahasiswa nggak mau. Sementara fasilitas itu kan buat mereka juga. Kalau bersih dan nyaman kan buat mereka juga. Misalnya ada yang suka duduk di meja sehingga mejanya jadi rusak.
Jadi kita kembalikan kepada kita semua sebagai keluarga besar dalam satu universitas. Oke, ini diperbaiki, tapi tolong dirawat. Atau misalnya yang belum sempat diperbaiki, ayo kita sama-sama cari alumni atau pihak lain untuk perbaikan bersama dengan dana dari alumni tersebut. Nanti kita kasih tahu bahwa lab ini direnovasi oleh siapa, kita kasih namanya di ruangan itu. Itu sudah dilakukan di beberapa universitas.
Setelah UKT, Prof, ngomongin soal riset. Selama ini urusan riset di Indonesia kan kepentok dengan dana. Kita punya ini itu, tapi kepentok sama dana nggak ada. Itu juga yang mengakibatkan ada pandangan bahwa riset Indonesia ini tertinggal dari negara-negara ASEAN. Bagaimana Prof menyikapinya?
Jadi gini, riset itu ada beberapa kategori ya. Satu, riset dasar. Riset dasar nggak boleh ditinggalin karena tidak ada riset hilir tanpa riset dasar. Kedua, ada riset hilir. Riset hilir juga ada dua basisnya: Technology Readiness Level (TRL) atau Demand Readiness Level (DRL).
Kalau TRL, kita sudah melakukan riset bertahun-tahun secara bertahap sampai pada tahap yang advance dan bisa digunakan oleh industri, berarti TRL-nya tinggi. Namun, biasanya tidak semua TRL ini diperlukan oleh industri. Menurut kita penting, menurut industri tidak marketable. Jadi tidak semua yang TRL-nya tinggi bisa digeser ke produksi di industri.
Ada lagi riset namanya DRL, artinya demandnya sudah kencang, pasarnya sudah ready. Ini yang paling enak karena marketnya ada, risetnya pasti didukung oleh industri yang punya market. Contoh, stevia. Demandnya tinggi karena mereka ingin gula yang aman alami dan tidak berisiko terhadap diabetes. Tapi ada masalah aftertaste yang tidak enak. Nah, gimana caranya kita meriset agar aftertaste itu hilang. Begitu aftertaste hilang, market sudah siap menyerap.
Tetapi semua jalur riset ini mesti difasilitasi oleh universitas. Karena kita adalah lembaga riset, jangan cuma memfasilitasi yang industrialisasi aja atau hilirisasi saja, karena tidak ada hilirisasi tanpa riset dasar. Jadi antara riset dasar dengan hilirisasi harus saling mengisi. Kalau dikatakan kita belum maju, dengan segala keterbatasan yang ada, pengalaman saya kalau riset menunggu fasilitas lengkap, itu mau kapan terjadi.
Itulah fungsinya kita punya mitra kerjasama. Kita bisa sharing resource, sharing alat. Kita bisa kirim yang akan diriset ke universitas yang sudah punya alat yang canggih. Kita sebut sebagai joint riset, atau hasilnya bisa dalam bentuk joint publication. Jadi sebetulnya kalau mau riset, riset aja. Jangan menunggu fasilitas lengkap.
Oke, pada pemerintah selanjutnya kan ada pemimpin baru, Pak Prabowo dan Mas Gibran. Keduanya sudah menyampaikan terkait visi misi mereka, khususnya di dunia pendidikan. Prof, sebagai orang akademisi, ada harapan nggak sih Prof pada mereka berdua untuk dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi?
Kalau saya lihat dari keduanya, ini adalah kombinasi generasi senior dan junior yang bisa saling melengkapi. Terkait dengan program-programnya, kita tunggu realisasinya seperti apa. Salah satunya kita dengar ada program memberikan makan gratis, susu gratis. Mungkin untuk kita di kota besar itu tidak terasa, tapi untuk mereka yang di pinggiran yang makan aja susah, itu meaning.
Sekarang bagaimana kita bantu tata kelolanya yang baik. Karena tentu mengatasnamakan anak dari populasi 270 juta di Indonesia, katakanlah 30% atau 40% yang mau dikasih, itu sekitar 100 juta lebih. Bagaimana kita membantu tata kelolanya agar yang diberikan betul-betul berkualitas dan bagaimana mensertifikasi tempat yang membuat makanannya agar higienitasnya terjaga. Sekali lagi memang ada resiko memberi makan banyak orang, seperti resiko higienitas. Itu sebetulnya, mungkin kita nanti bisa memberikan masukan supaya program ini bisa berjalan dengan baik.
Oke, dan ini pertanyaan terakhir Prof, karena kemarin di media sosial sempat ramai soal tidak ada nama Prof tapi menyinggung Prof, ada kode-kodenya lah ya. Prof ini disebut-sebut terlibat di kasus korupsinya Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Tapi sudah ditakedown di media sosial. Mumpung ada Prof, mungkin bisa memberikan klarifikasinya?
Prof. Keri: Ya saya juga nggak tahu dasarnya apa, tapi alhamdulillah terima kasih untuk Suara.com yang secara cepat juga melakukan klarifikasi. Jadi intinya begini, saya juga nggak ngerti tiba-tiba ada informasi seperti itu. Saya anggap itu sebagai dinamika. Kata orang, semakin tinggi kita berada, anginnya semakin kencang. Tapi yang disayangkan itu kan kalau kami sebagai akademisi, kami tidak bermain di profesi, kami bermainnya di karya. Jadi kalau ini dikaitkan dengan pemilihan Rektor, ya kita doakan saja yang melakukan hal tersebut diberikan hidayah. Jadi saya memberikan yang terbaik, jadi Rektor atau tidak, pengabdian tetap ada. Dan saya tidak mau menghalalkan segala cara untuk mengejar posisi itu. Mari kita berikan pengabdian yang terbaik, dan kita semua keluarga besar.
Apa yang disampaikan, kita jadikan saja sebagai penegur dosa buat saya dan keluarga. Jadi susah bicara, karena banyak hal yang harus saya jaga, termasuk Unpad dan keluarga saya. Jadi dengan adanya pemberitaan seperti kemarin, menjadi pertanyaan banyak orang. Yang mendasari juga saya nggak paham, yang diomongin juga saya nggak paham. Jadi intinya saya ingin berbuat untuk Unpad, saya mencintai negara ini, saya ingin berbuat untuk negara ini.
Apa yang saya lakukan bersama teman-teman adalah untuk mendukung para petani Indonesia. Alhamdulillah saat ini mangga Jawa Barat sudah bisa diterima di Jepang. Itu hasil riset kita, bekerja sama dengan Barantan. Risetnya mandiri, tidak mendapatkan dana apapun dari situ. Dan riset itu dilakukan tahun 2021-2022, dipublikasikan 2023, kita diplomasi 2024, turun surat dari MAF Jepang bahwa mangga dari Jawa Barat bisa diekspor sebagai produk pertama.
Jika daerah lain ingin mengekspor komoditi tersebut, diharapkan melakukan riset yang sama seperti yang dilakukan di Jawa Barat oleh saya dan tim. Jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan yang lain. Kita akan teruskan riset, diplomasi, dan inovasi kita di bidang pangan yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Hasilnya bisa dilihat di Unpad atau di website Kementan.
Jadi terima kasih untuk suara.com atas klarifikasinya. Terima kasih juga buat teman-teman yang selama ini terus mendukung kami, dengan segala dinamika yang ada. Mohon doanya agar kita bisa tetap berbuat yang terbaik untuk bangsa ini.