Suara.com - Asri Welas mendapat karunia tak biasa dari Allah. Putra keduanya, Rayyan Gibran Ridha Rahardja terlahir dengan sejumlah penyakit yang mengiringi.
Lelaki cilik yang biasa disapa Gibran mengidap katarak kongential sejak bayi. Kondisi diperparah dengan masalah sinkronisasi otak kiri dan kanan, yang berdampak pada lambatnya proses tumbuh kembang Gibran.
Di tengah berbagai keterbatasan Gibran, Asri Welas tak menyerah untuk memberikan yang terbaik untuk putranya. Berbagai cara Asri tempuh agar Gibran tetap bisa belajar dan menempuh pendidikan seperti anak-anak lain.
Sempat kesulitan mencari sekolah, Asri Welas akhirnya menemukan tempat belajar yang dirasa cocok untuk Gibran. Di sana, ada metode pendidikan khusus yang dipakai untuk mengajarkan Gibran dalam membaca, menulis dan berhitung.
Lantas, seperti apa cerita pendidikan khusus yang didapat Gibran lewat kehendak kuat Asri Welas untuk mengajarkan berbagai ilmu ke putranya? Berikut, hasil perbincangan Suara.com dengan Asri Welas.
Mbak Asri, perkembangan kondisi Gibran sekarang seperti apa?
Masih terapi sensorik sama motorik. Gibran itu kan usianya 6 tahun, tapi perkembangannya seperti usia 4 tahun, sama seperti adiknya.
Untuk pendidikan Gibran seperti apa, Mbak Asri? Apakah masih terkendala dalam mencari sekolah?
Alhamdulillah, Gibran sudah sekolah.
Gibran menempuh pendidikan formal atau ada metode khusus?
Kalau sekolah lain kan ada kelasnya. Jadi guru di depan, muridnya di belakang semua, duduk. Nah, kalau sekolahnya Gibran nggak, one by one, pakai alat. Namanya kelas montessori.
Seperti apa bentuk pendidikan yang didapat Gibran di sekolah tersebut?
Kan dia keterbatasan mata, jadi medianya lewat hal lain. Salah satunya pakai pasir, nulisnya lewat pasir. Jadi nulis dari 1 sampai 50 dia udah bisa, cuma memang pakai pensilnya belum mau. Kalau untuk ukuran besar kecil, dia pakai boks. Nanti disusun, dari besar ke kecil atau kecil ke besar. Menghitung juga gitu. Sebelum belajar di pensil dan kertas, dia pakai kapur sama pakai barang.
Dengan sistem pendidikan tersebut, apakah Gibran bisa mengikutinya dengan baik?
Ngerti. Jadi kalau misal ditunjukkin, ‘Itu angka berapa?’, itu dia tahu. Misal nanti ditanya, ‘Gimana nulisnya?’ Dia nulis di angkasa.
Dari sisi Mbak Asri selaku ibu, apa yang dirasakan saat melihat Gibran harus menempuh pendidikan dengan cara yang berbeda dari anak-anak seusianya?
Sedih ya sedih. Cuma memang harus sabar. Anak itu beda-beda. Ya kita harus tahu anak kita yang mana. Kalau memang anak kita belum bisa nulis, ya mungkin memang belum waktunya nulis pakai pensil. Tapi bisa kan nulis pakai hal lain? Masing-masing anak kan kemauannya beda. Daripada nggak belajar sama sekali kan, jadi nggak apa-apa.
Boleh dikatakan, Mbak Asri tetap bersyukur dengan pencapaian Gibran saat ini?
Iya. Dia itu sebelumnya butuh waktu tiga bulan loh, buat bisa bergabung dalam grup sama temen-temennya. Tadinya cuma di ujung aja, sendiri. Dia itu termasuk introvert. Jadi butuh membiasakan aja. Sekarang sih udah bisa menikmati, udah bisa nyanyi-nyanyi bareng. Gibran itu bisa pipis di toilet aja butuh waktu 3 bulan loh. Sebelumnya selalu pipis di celana. Jadi misal masuk ke toilet gitu, dia cuma masuk doang, terus keluar. Pipisnya tetep di celana.
Apa yang diharapkan Mbak Asri, dari proses mendidik Gibran dengan metode khusus ini?
Aku pengin dia bisa mandiri terhadap banyak hal. Kan dalam hidup, kita akan ketemu berbagai aplikasi ya, ketemu sama banyak orang. Gibran kan juga udah ada adiknya, itu bisa jadi stimulan buat Gibran juga supaya jadi bergerak lebih cepat. Alhamdulillah, perkembangan Gibran pun belakangan luar biasa.
Cukup terbantu juga ya dengan keberadaan adiknya?
Bener-bener jadi kayak anak kembar. Luar biasa perkembangan Gibran untuk konsentrasi dan kepintarannya.
Jadi, Mbak Asri ke depan akan tetap mengupayakan pendidikan formal juga untuk Gibran?
Nggak ada yang nggak mungkin. Ya kalaupun nanti ujungnya bukan sesuatu hal yang baik, semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Yang penting, niatku baik.