Suara.com - Melanie Subono selama ini dikenal sebagai seorang seniman cum aktivis yang lantang menyuarakan berbagai isu mulai HAM, perampasan tanah, kelompok minoritas, yang seringkali juga berkelindan dengan isu perempuan.
Dalam beberapa kesempatan, perempuan kelahiran Jerman, 47 tahun silam itu juga ikut turun mengorganisir beberapa gerakan masyarakat. Tidak heran, jika perempuan berdarah campuran Jawa dan Jerman itu juga sering dikenal sebagai aktivis.
Sebagai seorang musisi, Melanie juga kerap tampil khas dengan jaket dan celana jeans, seperti salah satunya saat mengunjungi Suara.com. Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, perempuan yang juga aktif mengadvokasi isu buruh migran itu, banyak berbicara dan membagikan pengalamannya dalam menyuarakan isu-isu perempuan.
Melanie juga berbicara soal bagaimana ia menggunakan privilese yang ia miliki untuk jadi corong kelompok minoritas, dan tertindas.
Baca Juga: Perjalanan Sunyi Seorang Perempuan dalam Novel 'Tokyo dan Perayaan Kesedihan'
"Gue dikasih mulut, dikasih suara, ya ngomong aja gitu, kenapa? Karena isunya memang ada. Kenapa gue bersuara soal Perempuan? Karena gue Perempuan. Jadi sebenernya jawaban-jawaban logis itu aja sih gitu," ujar Melanie Subono.
Lantas, seperti apa perjalana Melanie Subono menyuarakan isu-isu perempuan dah HAM? Berikut ini wawancara khusus Melanie Subono selengkapnya.
Lahir dari keluarga yang cukup privilese, kenapa Melanie Subono masih mau repot-repot berusuara kritis untuk perempuan dan minoritas?
Gini ya, ada perbedaan antara dua itu, ada yang punya privilese, dipergunakan ada yang menyalahgunakan. Jadi mungkin ada yang menyalahgunakan, kalau gue menggunakan privilese yang ada tapi tidak mau menyalahgunakan sehingga gue masuk ke ranah ranah yang gue sebenernya belum waktunya, atau dipaksakan untuk ada disana.
Sebetulnya, siapa pun nama belakang gue, atau apapun, kepedulian gue itu tentang ke beberapa isu sih engga ada hubungannya dengan nama keluarga atau apapun ya. Gue tetep terlahir sebagai perempuan, gue punya suara, gue punya power, siapapun nama belakang gue, tuh akan tetap gue pergunakan.
Baca Juga: Perempuan di Arena Drifting: Tantangan dan Kegigihan dalam Dunia Maskulin
Kebetulan gue punya nama itu, mempermudah beberapa jalan, jadi lebih disorot, oh lu lebih gampang nih masuk masik, sehingga gue punya pasar baru, gue punya pasar di sebelah sini, gue punya pasar followers seperti ini gitu.
Tapi kalo ketertarikan gue terhadap satu isu, itu engga ada hubungannya dengan nama belakang gue, justru sebetulnya punya nama nama belakang itu kan gue bisa enak-enakan dan ngokang-ngongkang kaki aja kan gitu kan.
Nah kalo tadi tanya kenapa, bersusah-susah, enggak susah. Gua dikasih mulut, dikasih suara, ya ngomong aja gitu, kenapa? Karena isunya memang ada. Kenapa gue bersuara soal Perempuan? Karena gue Perempuan. Jadi sebenernya jawaban-jawaban logis itu aja sih gitu. Kenapa gue harus bersuara tentang lelaki kalau gue Perempuan, kenapa bersuara? Kenapa gue harus diem kalo gue punya mulut ama punya suara gitu, gitu aja sih.
Dari mana muncul keresahan pertama kali?
Enggak inget ya, jadi kan pada dasarnya gue tidak cuman ngomong perempuan, gue bisa ngomong hewan, hari lain gue bisa bicara tentang HAM, hari lain gue bisa bicara mendampingi kawan-kawan yang di misal perampasan lahan atau apapun.
Yang gue inget pertama kali gue masuk benar-benar, gue keknya dari kecil, kayanya dari kecil ya, sudah cukup concern sama hal kalau terjadinya itu keknya enggak adil gitu. Kalau denger cerita dari orangtua ya, gue bisa di jalan sekeluarga dan melihat sesuatu di pinggir jalan, dan itu ga seharusnya, gue tuh bisa “Kok begini sih” gitu, entah apapun isunya waktu itu ya, nah dari situ, dengan berkembangnya umur, berkembangnya pergaulan, berkembangnya lingkungan, mulailah ketemu aktivis-aktivis-aktivis gitu lho, eee, sebenarnya spesialisasi gue tidak Perempuan, kayanya pertama kalinya malah bersuaranya gue itu soal HAM deh, kalau ga salah gue, walaupun gue enggak benar-benar ingat ya. Lalu paling kenceng which is sampai hari ini itu buruh migran, tapi karena gue perempuan maka gue sorotin lebih banyak highlight ke buruh migran perempuan.
Mentor perempuan pertama buat gue, Suci, Mba Suciwati (Istri Munir), itupun sebenernya enggak ngomong soal perempuan, dia lebih banyak HAM 'kan, dia lebih banyak apa yang terjadi terhadap Munir gitu.
Di tangan kiri Melanie juga ada tato terkait Deklarasi Hak Asasi Perempuan Pertama di Dunia di Prancis tahun 1791, boleh diceritakan enggak cerita di baliknya?
Ini tulisannya deklarasi Hak Asasi Perempuan Pertama di dunia. Kalau enggak salah di Prancis tapi gue lupa kota apa, tahun 1791; "Women is born free and remains equal to man in rights,".
Jadi perempuan itu terlahir bebas, dan equal secara hak dengan pria gitu karna baik di hukum manapun. Cuma basicly sih, gue memperlakukan tato semua di badan gue as a reminder buat gue, jadi gue enggak peranah ya masuk ke tempat tato yang lucu gambar ini aja, nggak. Gua butuh hal yang bisa menjadi reminder gue gitu.
Dan ini remind gue banget pada saat gue down, pada saat gue mempertanyakan diri gue, ga bisa dipungkiri gue banyak di ranah yang perempuan itu minoritas, secara music gue rock, sampai hari ini solo rock cewe enggakada, semuanya laki mulu isinya.
Saking gue minoritas, kadang tempat ganti baju aja enggak ada(tempatnya), kan cowo ganti baju dimana aja ya, gitu. Dunia aktivis, ya tetap aja banyakan laki, walaupun perempuan aktivis sekarang banyak.
Jadi kadang-kadang gue butuh reminder, you know what, its okay, kita tu lahirknya bebas kok, kita lahirnya bebas, jadi gue mau buat tato ini as a reminder untuk gue karena gue bukan orangnya yang akan ngomong oh ya gue cinta standar ibu Kartini, ibu Teresa, ngga gitu lho, gue butuh orang yang menguatkan gue secara prinsip, dan kata-kata ini sangat principal banget menurut gue.
Setiap tanggal 8 Maret seluruh dunia memperingati hari Perempuan Internasional, sebagai perempuan yang aktif menyuarakan isu tersebut, bagaiamana situasi perempuan hari-hari ini di Indonesia? Apakah sudah cukup aman dari kekerasan?
First of all gue bukan orang yang bergerak selebrasi ya. Kayak tahun ini diajak lagi gitu,' Ayo ikut dong International women's Day, marching,. Aduh gerah, ngantuk gue kalau pagi. Gue banyak ketemu orang di situ gue berapa kali sih manggung di situ, orasi di situ, dan segala macam ya udah gue ketemu mereka lagi di IWD tahun depannya.
Yang sepanjang tahunnya ikut berjuang paling berapa persen sih? Jadi kayak selebrasi gitu. Tahu enggak sih lo kayak ngomongin AIDS di Hari AIDS, ngomongin perempuan di Hari Perempuan, ngomongin apa malas gue, jadi gue yang tahun ini diajak jujur gue bilang, 'gua ngantuk nih kalau pagi gerah, malas'. Mendingan gue berjuang di kesehariannya.
Nah kalau kondisi perempuan Indonesia sendiri itu tadi maju dan mundur sehingga menurut gue jalan di tempat. First, banyak hal yang perempuan dulu mungkin enggak bisa lakukan ya sekarang sudah perempuan bisa CEO perempuan pernah jadi presiden, ya walaupun begitu, perempuan banyaklah gitu. Sudah bisa jadi hal-hal yang sebelumnya enggak bisa gitu, tapi on the other hand banyak kemunduran gitu.
Banyak korban akhirnya memilih jalur media sosial untuk memviralkan kasus yang dia alami, sampai ada istilah 'belum ditindak kalau belum viral' Melanie setuju dengan cara itu?
Ya karena kita ditanggapi Itu punyanya ada delik pidana perdata delik viral. Iya emang dikerjakan kalau tidak diviralkan? Tapi sekarang dengan banyaknya kasus seperti itu lahirlah lagilah satu undang-undang ITE.
Betapa banyak kasus ibu siapa sih ituh yang gede banget, dia yang dilecehkan gue lupa ada di kota mana ya, sekarang dia yang kena ITE.
Tahukah lo bahwa betapa banyak kasus kekerasan pada perempuan, hampir sampai angka 80% itu sudah diproses panjang-panjang yang narik perempuannya lagi. Tarik ah atas dasar apa kata tetangga, ibu saya minta narik, kekeluargaan aja. Itu ada delik baru delik kekeluargaan gitu. Ya tapi ya enggak salah gitu jadi gue tuh gini gue tipe orang yang gini gue tidak lagi pernah mau menyalahkan keadaan pada cowok pada apapun. Perempuannya sendiri harus respect perempuan.
Respek diri aja dulu kalau enggak enggak akan pernah selesai jangan terus-terusan berlihat pada Ibu Kartini udah lewat aduh bu Kartini sudah hidup sekarang juga migrain. Gue kemarin habis ketawain seorang. Waktu itu kita lagi sering demo-demonya kita ngedorong TPKS, itu perempuan pada demo dan itu kan banyak yang nolak siapa? Perempuan juga kan atas dasar apa, agama; saya kan mau berbakti pada suami. Jadi sebenarnya itu harus kompakin perempuannya dulu gitu, enggak bisa terus-terusan salahin laki atau salahin lingkungan atau salahin keadaan.
Beberapa tahun belakangan juga ada UU TPKS, apakah regulasi itu menurut Melanie sudah cukup?
Yang pada mensah-sahkan pada dapat duit kan? Dalam beberapa hal ada (signifikansi UU TPKS) tapi then again terus kan muncul yang baru-baru juga kan gitu. Kayak yang ya itu tadi salah satunya yang paling menjebak itu ITE, Iya lu berhak melapor, tapi pelapor kena gitu (UU ITE) kan.
Ya buat gue undang-undang kita sebenarnya tuh ah lengkap, undang-undang kita tuh sebenarnya cukup, pengawasannya kagak ada dalam banyak hal. Gini UU TPKS walaupun gue berat dalam beberapa hal ya pada saat kita ngomong yang soal aborsi, ini itu segala macam, tapi ya paling enggak undang-undangnya sudah ada.
Terima kasih gitu, daripada kita ngomong perlindungan pekerja rumah tangga 18 tahun sampai sekarang kan belum sah-sah 18 tahun kita ngawali itu sampai hari ini belum ada sah-sahnya gitu, ya oke kemajuan bisa sah, sekarang.
Tolong pengawasannya. Karena pembuat undang-undang itu membuat undang-undang itu kayak kita bikin target. Lo jadi satu pasal harga lo segini, lo buat. Nah sekarang sudah ada tolong diawasin, yang kemarin pada ikutan demo, tolong dibaca satu-satu banyak kok yang enggak baca juga, cuman ikutan karena a perempuan gitu dibaca satu-satu tolong kita yang jadi monitor.
Sebagai sesama perempuan, bagaimana kita harus saling menguatkan di tengah situasi ini?
Jaga! Pertama jaga perempuan di sekitar kita itu dulu. Jaga kayak kita mau dijaga. Kayak apa sih kita mau dijaga tuh dengan dipuji, dengan digandeng ,dengan dipeluk, dan dikasih tahu hal baik. Lakukan itu ke sekitar kita dan yang bisa melakukan dan paham rasanya kita tuh ya sesama perempuan gitu.
Sayangnya kebanyakan kebijakan masih diwakili oleh laki-laki, perempuan juga ditaruh cuma untuk syarat minimum angka yang ada di pemerintahan, but yang enggak heran perempuannya juga tidak believe in themself bahwa kita tuh hebat. Kita bisa kita keren kita pintar kita mampu, so when you do that aduh perempuan tuh aduh kondisi begini aja perempuan masih kuat loh.
Ya kondisi kita masih suka dilecekan, undang-undangnya belum jelas, masih suka diitu, perempuan tuh masih hebat masih bisa dibilang hebat gitu apalagi kalau kita saling menguatkan perempuan. Kalau sampai ada perempuan menjatuhkan perempuan, itu pasti perempuan yang sangat insecure, perempuan yang sangat sangat sangat insecure dan please ke psikiater. Karena Lu pasti punya masalah sendiri juga gitu, cuman perempuan itu hebat titik.
Kalau enggak gini deh, kalau enggak (hebat) Tuhan enggak akan ngasih mens, hamil, segala macam ke perempuan. Dkasih ke kita karena kita kuat, karena kita bisa, karena kita hebat, dan sekarang tidak akan ada kemajuan di Indonesia baik undang-undangnya baik soal di medsos dari kecil atau besar kalau tidak perempuannya. Sama perempuan menguatkan dan support perempuan