Strategi Unik CEO XL Axiata Dian Siswarini Hadirkan Budaya Kekeluargaan di Era Persaingan Industri Telekomunikasi

Kamis, 07 Maret 2024 | 11:27 WIB
Strategi Unik CEO XL Axiata Dian Siswarini Hadirkan Budaya Kekeluargaan di Era Persaingan Industri Telekomunikasi
CEO PT XL Axiata, Dian Siswarini. [XL Axiata]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tengah persaingan bisnis telekomunikasi yang ketat dan maraknya "bajak-membajak" talenta, PT XL Axiata memiliki strategi unik untuk mempertahankan karyawannya.

Strategi ini berfokus pada budaya perusahaan yang kental dengan kekeluargaan, di mana karyawan merasa dihargai, dipedulikan, dan memiliki tujuan yang lebih tinggi.

Salah satu yang menerapkannya adalah CEO PT XL Axiata, Dian Siswarini, yang mulai bergabung sejak 1996 hingga saat ini.

Rupanya, banyak cerita di balik pencapaiannya selama bekerja di XL Axiata yang membuatnya betah hingga sekarang.

Bagaimana ceritanya? Berikut hasil wawancara Suara.com dengan CEO PT XL Axiata, Dian Siswarini beberapa waktu lalu.

Bagaimana strategi awal sampai sekarang, hingga soal culture perusahaan yang diterapkan Bu Dian Siswarini?

Kalau strategi kita Pak, menempatkan people itu sebagai aset terbesar perusahaan.

Kita perlu people yang agile, people yang memberikan lebih.

Kalau mereka kita tuntut memberikan lebih seperti itu, mungkin harus tahu worthiness for them.

Kita declare bahwa kita di XL itu bukan sekadar "one company", tapi "one family", sehingga kita merasa memang kita ini berada di family yang care satu sama lain.

Kita nggak sebatas bahwa ini hubungan kerja, dan itu kita mesti secara genuine melakukannya.

Jadi pada saat perusahaan membutuhkan sesuatu itu, nggak harus lagi ada transaksi.

Kalau sekarang, generasi milenial dan gen Z itu mereka butuh purpose yang lebih tinggi.

Jadi yang kita berikan itu, if you work here, kita nggak cuma kasih istilahnya menjual [secara] intimate, nggak. Kita itu create impact for the society. [Dan ini] Buat mereka itu bunyi banget.

Jadi kita mesti tahu nih, motivasi apa nih supaya orang mau memberikan lebih, mau berusaha lebih. Budaya itu sih yang kita create.

Kalau ada teman-teman, mau siapa aja, ada engineer atau siapa pun mau ketemu CEO kapan saja, silakan. Terbuka, pintu kita tuh dibuka, biar orang tuh nyaman.

Mulai kapan standar-standar tentang tim itu dibuat? Karena mungkin di awal Bu Dian Siswarini bergabung di XL Axiata kan culture-nya berbeda?

Jadi kalau kita sebagai orang, itu kan sebenernya ada empat sisi.

Kita sebagai lover, jadi istilahnya yang care; kita sebagai warrior, artinya yang mempunyai weapon kompetisi itu apa.

Ada lagi kita sebagai visioner, yang mengarahkan; ada lagi sebagai thinker, jadi yang mikirin resiko tadi, analisa segala macam.

Kalau dulu, mungkin kita selalu mikir kalau jadi leader mesti visioner dan thinker gitu.

Kalau sekarang, enggak. Yang penting itu lover side kita. Lover, di mana kita itu menunjukkan bahwa we care, bahwa kita ada di situ.

Tadinya saya pikir, oke, yang penting orang itu visioner.

CEO gitu kan? Kita kasih tools buat mereka.

[Tapi itu] Nggak cukup, dan barang kali nggak utama, bahwa kita [lebih penting] untuk caring.

Sebetulnya sih nggak terlalu susah-susah amat sih, menunjukkan empati aja. Jadi lebih [ke] understanding.

CEO XL Axiata, Dian Siswarini (kedua dari kanan) menghadiri pameran Mobile World Congress atau MWC 2024 di Barcelona, Spanyol pada 26-29 Februari 2024. [Suara.com/Suwarjono]
CEO XL Axiata, Dian Siswarini (kedua dari kanan) saat menghadiri pameran Mobile World Congress atau MWC 2024 di Barcelona, Spanyol pada 26-29 Februari 2024. [Suara.com/Suwarjono]

Apa yang membuat gaya kepemimpinan Bu Dian Siswarini berubah?

Mungkin juga ada pro-kontra ya. Karena sudah lama, jadi bisa tahu sebetulnya dinamika seperti apa.

Jadi kalau saya bikin tim itu, saya tahu siapa saja yang bisa tergabung di tim itu.

Drawbacks-nya kadang-kadang kurang fresh eyes, kadang-kadang kita kurang eksternal perspektif.

Itu biasanya saya akali dengan dari tahun ke tahun tuh, mungkin sekitar 20 persen tuh kita ambil kalau ada posisi baru tuh dari luar.

Memang dari waktu ke waktu harus ada yang membawa ke perspektif kita jadi lebih diverse.

Kalau kita sudah lama melakukan sesuatu yang sama, kan cenderung pakai trik yang sama.

Cara kalau buat saya sih, ya itu, pakai orang yang baru. Biar [mereka] ngasih tahu saya, "Bu Dian lebih baik pakai cara yang ini nih."

Kan kita biasanya: "I've been doing for so many years, saya sudah tahu yang itu salah, yang ini bener." Jadi untuk ngasih tahu.

Bagaimana Bu Dian Siswarini mengomunikasikannya sampai ke bawah?

Jadi memang itu poin yang penting sekali, [bahwa] pemikiran kita itu sampai ke yang bawah.

Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan kalau kita menyampaikan komunikasi.

Bahasa di level BOD beda banget dengan yang di bawah.

Satu itu. Jadi harus pakai bahasa yang mudah dicerna oleh mereka.

Kedua, optimisme [bahwa] kita bisa menghadapi any situation masih tetap harus ada.

Tapi kita harus bilang ke mereka, "Hei, ini kalau kita tidak melakukan sesuatu, ini kita bisa tergerus."

Kuncinya lagi, kalau kita tidak bisa menerangkan itu dengan satu slide, itu forget it.

Jadi satu slide harus, maksimum. Strategi saya itu selalu sama: satu slide menjelaskan semuanya.

Saya belajar dari profesor saya di Harvard dulu, 2013, "Kalau kamu memikirkan strategi perusahaan dan kamu harus bikin 10 atau 20 slide untuk menjelaskan, itu tidak mungkin."

Belakangan malah saya cuma bilang sama teman-teman, strategi kita ada tiga: nomor 1 A, nomor 2 A, nomor 3 A.

Kalau kita sudah harus melakukan explanation yang panjang, sudah nggak sampai.

Bagaimana Bu Dian Siswarini bisa berkomunikasi dengan baik, padahal backgroundnya sangat technical?

Ya... itu saya pelajari dengan tidak mudah.

Jadi saya tuh beruntung sekali, karena dulu waktu Pak Hasnul masih ada. Pak Hasnul tuh coach saya.

Pak Hasnul tuh ngelihat, bertahun-tahun saya di teknik, jadi saya [sampai] punya pemikiran pattern tertentu.

Dia bilang, kalau misalnya saya terbiasa memakai tangan kanan, "Itu kalo tangan kamu diikat, tidak mungkin pakai tangan kiri."

Jadi, dia bilang: "Gimana pun selama kamu pakai tangan kanan, nggak mungkin tuh kita menulis atau makan pakai tangan kiri, kecuali kita mau berkorban banyak."

Jadi dia bilang, "Udah, ikat tangan kanannya. Ingat ya, 1 + 1 bukan 2 aja, bisa 3, bisa -1, bisa 10."

Awalnya saya bingung gimana ini.

Kalau kita di network kan hitam putih, problem itu solusinya cuma satu. Tapi kalau di sini enggak.

Jadi, belajarnya lumayan lama, Pak.

Bincang-bincang selengkapnya atau bagian lainnya dari wawancara Suara.com dengan CEO PT XL Axiata Tbk, Dian Siswarini, dapat disimak dalam video berikut:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI