Namun minimal bisa membuat sesuatu yang bisa ditonton. Soal bagaimana isinya dan lain sebagainya, itu pelan-pelan, karena tidak mudah isinya membuat sesuatu yang memiliki makna tersirat gitu. Nah, kita bina terus, karena pasti nanti ada yang mau lanjut.
Waktu ada Federasi Teater Indonesia pada 2016 itu, saya kepilih menjadi Abdi Abadi. Jadi waktu kau pilih dengan nama Abdi Abadi, itu berat banget, karena mau nggak mau sampai meninggal. Hal ini karena sudah umur sekian, saya masih aktif di teater. Jadi waktu terima penghargaan ini, saya nangis karena saya ngajar ekskul juga, nah itu penuh anak-anak pada teriak "Om Rudolf".

Untuk musik yang dibuat di Teater Keliling juga tidak sepenuhnya tradisional meskipun yang dibawa cerita rakyat, termasuk bahasa yang digunakan. Apakah memang disesuaikan untuk menarik generasi muda?
Sebenarnya saya mengambil dari filosofi tentang kesenian, jadi di sana salah satunya itu kesenian berbicara tentang zamannya. Kalau berbicara tentang zamannya, tentu bahasanya zamannya kala itu juga.
Artinya, anak-anak mulai sekarang itu saya berkonsentrasi yang tentang zaman itu saja. Terus lama-lama, nah, saya keliling anak-anak yang masuk itu datang dari mana-mana, makin lama ini Indonesia banget ini.
Nah, waktu latihan itu mereka berbahasa logat masing-masing. Jadi ketika manggung itu mereka pakai bahasa mereka sendiri dengan logatnya, yang penting bahasa Indonesia. Jadi tetap bagus sesuai zamannya dengan menyesuaikan.
Dan akhirnya lebih ke Bhineka Tunggal Ika, ini jadi lebih beragam. Nah, untuk pertunjukan Mega Mega itu nanti ada pemain-pemain awal juga yang dulu senior kita bawa kembali. Jadi kita pertemukan dengan dimainkan dengan era sekarang saat ini.
Bagaimana melihat seni teater di Indonesia saat ini?
Seni teater kalau melihat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, cukup hidup dan tumbuh. Tapi selebihnya itu masih kayak nggak tahu mau ngapain.
Baca Juga: Kisah Perjalanan Khansa Syahlaa, Remaja 17 Tahun yang Telah Mendaki 81 Gunung di Dunia
Kita minta tolong carikan pemain-pemain teater di Toraja. Ternyata di sana tidak ada teater, bahkan senimannya juga tidak ada. Jadi yang nerima itu malah pengrajin di sana. Lalu dia ngajak anak-anak sekolah untuk tampil drama bersama. Lah, ternyata banyak banget yang belum ada teater.