Suara.com - Garis kerut sudah terlihat di wajahnya. Namun, hal itu tidak menjadi halangan bagi Rudolf Puspa untuk meneruskan perjuangannya untuk bisa menghidupkan seni teater di era modern saat ini. Bahkan, meski sudah 50 tahun berlalu, ia tetap terus mengenalkan seni peran dengan berbagai lakon cerita yang berbeda-beda.
Bersama dengan rekan-rekannya, Rudolf Puspa membangun Teater Keliling Indonesia. Teater ini yang menjadi pondasi kuat Rudolf Puspa mengenalkan seni peran di atas panggung kepada masyarakat Indonesia.
Meski tak bisa dipungkiri, banyak tantangan yang harus dihadapi Rudolf Puspa, hal itu tak membunuh semangat dalam dirinya. Bahkan, baginya, teater memberikan banyak pelajaran bagi hidupnya. Teater juga yang membuatnya berjumpa dengan istri tersayangnya, Dery Syma.
Oleh sebab itu, ingatannya akan seni teater sejak dulu masih membekas jelas diingatannya. Hal ini yang dibagikan Rudolf Puspa kepada Suara.com, Senin (8/1/2024). Dengan wajah ceria dan penuh antusias, Rudolf Puspa membagikan cerita dirinya membangun Teater Keliling, beserta pengalaman dan makna teater bagi dirinya.
Berikut kisah hidup Rudolf Puspa dan seni teater, hasil wawancaranya bersama Suara.com.
Baca Juga: Kisah Perjalanan Khansa Syahlaa, Remaja 17 Tahun yang Telah Mendaki 81 Gunung di Dunia
Untuk teater yang dibuat oleh Pak Rudolf yaitu Teater Keliling. Namun, sebenarnya apa alasan di balik memilih teater secara keliling?
Sebetulnya kembali ke kebiasaan pribadi saya. Saya ini wong Solo yang punya kebiasaan senangnya blusukan, jadi semuanya keluyuran terutama kalau malam. Jadi anak Solo itu kalau SMP kelas 3 itu sudah mulai senang keluar rumah. Sampai jadi lelucon di sana kalau punya teman, jam 07.00 itu jangan ke rumah, itu pasti keluar sampai pagi, tapi sekolah tetap bagus.
Nah kebiasaan ini ketika saya sekolah di SMA, masuk ekskul, saya milih teater. Ketika saya kelas 2, saya dijadikan ketua teater, itu mulai timbul rasa ‘kok ini cuma di sekolah’. Nah, habis itu coba ke sekolah lain, lalu habis itu nyoba ke kota, lalu ke luar kota. Ketika pindah ke Jakarta tahun 1974, saya mendirikan teater keliling ini.
Terus saya coba tawarkan ke teman, itu mulai 1972 saya sebar ide-ide gagasan untuk keliling ini. Ada 10 orang termasuk Dery (istri), didukung terus dijadikan yang memimpin karena saya nggak tahu organisasi. Nah, dia punya bakat karena dia kuliah di Trisakti, jadi ikut kegiatan kemahasiswaan, kan, organisasi, akhirnya jalan 1 Juni 1974 itu bisa pentas di Jember.
Saya kemudian keluar dari pekerjaan saya di TIM dan keliling bersama Teater Keliling.
Bagaimana pak Rudolf memperkenalkan teater ke orang-orang di luar kota atau daerah itu?
Jadi saya keliling itu bukan hanya sekadar keluyuran, tapi melihat kehidupan teater. Dari baca koran itu kok kayak nggak ada kegiatan, di Jakarta sendiri susah kala itu. cuma ada beberapa lagi dan pentas cuma sekali dua kali. Jadi membuat saya berpikir, ‘kok teater nggak hidup ya’ dan bertanya-tanya mengenai permasalahannya.
Akhirnya waktu tahun pertama itu, kami baru tahu bahwa permasalahannya itu kalau zaman Orde Baru itu sangat kasihan teater itu. Kayak sebuah kesenian yang tanpa undang-undang, tanpa apapun, tapi kok dilarang.
Kalau kita nanya apakah dilarang pemerintah, itu sebenarnya nggak ada, cuma kok dibikin sulit izinnya. Yang namanya perizinan itu bisa 2 sampai 4 bulan karena harus bisa beri alasan ngapain anak-anak muda ke daerah itu.
Jadi ada kecurigaan kalau anak muda itu dikumpulin untuk membuat ormas untuk melawan pemerintah. Kalau itu juga ada pikiran bahwa teater itu hanya mengkritik pemerintah. Nah, karena sulit, kami ada tujuan untuk menghidupkan teater-teater di daerah. Meskipun tidak mudah juga untuk melaksanakannya di daerah-daerah perizinannya.
Kala memperkenalkan seni teater kala itu, bagaimana antusiasme masyarakat?
Luar biasa antusiasme masyarakatnya itu. Dan setelah kita pelajari, ternyata orang Indonesia punya warisan pertunjukan seni dari zaman dulu sudah hidup, seperti wayang orang, ketoprak, ludruk, dan itu rakyat kita itu terbiasa nonton itu.
Cuma waktu itu tantangan untuk pentas sedikit sulit, karena ada pandangan kalau pementasan akan memberikan kritik negatif. Padahal kesenian Indonesia ini, pertunjukan itu selalu memang ada. Selain hiburannya, tetapi juga membawa pesan kemanusiaan. Cuma kala itu diterjemahkan sebagai kritik.
Kala itu ada tiga hal yang dinilai harus diwaspadai, seperti wartawan, LSM, dan seniman terkhusus teater.
Bahkan saat kita pentas di luar negeri, juga sampai perizinannya dipastikan apakah mengkritik pemerintah atau tidak. Tapi kita selalu bilang kalau ingin membawa pesan kemaanusiaan dan mengenalkan Indonesia. Jadi waktu dulu, setiap tampil selalu ditanya apakah ini ada kritik kepada pemerintah.
Dengan dibuatnya Teater Keliling sejak 1974, sejauh ini sudah berapa pementasan yang dilakukan? Lalu di negara mana saja yang sudah dilakukan pementasan?
Sekitar 1700-an dan itu sudah dilakukan juga ke 11 negara yang artinya tiga benua. Tinggal satu benua yang belum, yaitu Amerika. Karena untuk Amerika itu nggak mudah, karena terlalu menutup diri, alasannya untuk melindungi karya negerinya dan senimannya itu sendiri.
Mereka sangat keras akan hal itu. Mereka memang sedikit menutup, takut kalau kebudayaannya kalah dengan yang baru. Tapi mudah-mudahan, kita terus mencoba untuk bisa tampil di Amerika.
Melihat perkembangan saat ini, Teater Keliling terlihat mengadakan pentas Musical Mega Mega. Kalau boleh tahu, ceritanya tentang apa?
Itu sedang dipersiapkan. Mega Mega itu naskah yang sebenarnya kita pilih untuk acara 50 tahun Teater Keliling Indonesia tanggal 13 Februari nanti. Nah, kita pilih pementasan yang pertama kali dipentaskan oleh Teater Keliling Indonesia, Mega Mega itu merupakan karya pertama yang dipentaskan Teater Keliling Indonesia.
Dan ini sudah dilakukan pentas 167 kali keliling Indonesia, bahkan di Malaysia dan Australia. Jadi kisahnya ini ditulis pada 1962 oleh Arifin, menggambarkan orang-orang Indonesia yang sedang mencari jati dirinya.
Nah, ini untuk menyindir bahwa Indonesia itu jati dirinya belum muncul. Makanya ada 5 tokoh di situ, ada Mae dan lainnya yang semuanya punya pekerjaan berbeda-beda, tapi berkumpul kalau malam tidurnya di bawah beringin Keraton Jogja. Itu hasil pengamatan Arifin.
Dan ini ditulis secara surealistik, jadi banyak pemikiran-pemikiran yang misalnya tokohnya jadi copet, sampai dia bilang ‘mencopet adalah seni hidup paling tinggi’. Jadi kayak sifat dunia itu untung-untungan dan tutup mulut. Makanya drama ini kalau dipentaskan ger-geran dari awal sampai habis. Tapi dari awal itu kayak kena sentil-sentil di hati dari surealistiknya di situ.
Melihat perjalanan yang cukup lama, lebih dari 50 tahun, apa alasan pak Rudolf memilih untuk tetap aktif di dunia teater?
Karena saya melihat bahwa teater itu sendiri harus dihidupkan terus. Teater itu nggak boleh mati. Karena ini kan membuat kebudayaan bisa dilihat, bisa ditonton, bahkan di dalam teater komedi itu Aristoteles mengatakan bahwa pementasan komedi itu yang paling sulit karena menyentil kelemahan-kelemahan manusia, tapi dengan cara ketawa.
Sehingga pementasan teater itu pemain dan penonton itu sama-sama menertawakan diri sendiri. Jadi tingkat budaya beda-beda dan kembali pada kearifan lokal, ternyata di Indonesia itu sangat beragam. Nah, itu yang membuat kami itu berpikir bagaimana kearifan lokal itu bisa terangkat kebudayaan yang namanya Indonesia itu.
Soalnya sedih kan sepanjang hidup sekian tahun, Undang-Undang Kebudayaan baru ada tahun 2017. Undang-undang nomor 5 tahun 2017 baru diketok palu ditandatangani presiden namanya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan. Dan itu usahanya Hilmar Farid yang berjuang karena sulit. Sampai akhirnya 2017 baru akhirnya diketok.
Teater keliling juga terus melakukan regenerasi hingga saat ini. Kalau dari pak Rudolf sendiri, bagaimana meneruskan ide-ide ini ke generasi muda?
Sebetulnya saya dulu nggak pernah berpikir untuk regenerasi. Karena saya lihat, misalnya dulu ada Teater Rendra, dia meninggal teaternya mati. Teguh Karya meninggal, Teater Populer mati. Teater Kecil yang saya juga di sana, Arifin meninggal, juga mati.
Jadi saya mikir Teater Keliling kalau misalnya saya meninggal, daripada mimpi-mimpi nggak karuan, jadi saya masa bodoh mau hidup atau enggak.
Tiba-tiba 2013, Oi (anak Rudolf Puspa dan Dolfry Indra) sudah lulus kuliah, datang bilang, "Pah, saya itu kesel banget, nyesel SMA saya nggak suka sejarah. Bangsa ini rusak karena nggak tahu sejarah, Pah". Terus saya jawab, ‘Ya itu yang papa perjuangkan sekarang’. Nah, setelah itu, dia mau membuat cerita sejarah itu mulai dari kisah Pangeran Diponegoro musical.
Terus yang kedua The Great Rahwana yang dia full memimpin Teater Keliling. Saya sama mamanya bilang, "Ayo kamu jalan-jalan kita ngikutin di belakang".
Apalagi sekarang kita dapat bonus demografi, nah ini anak-anak seperti kalian ini, kita bukain jalan nanti idenya soal pertunjukan seperti apa. Saya bilang masa bodoh, walaupun musiknya agak ngerap atau kostumnya seperti apa, tidak apa-apa.
Saya bilang kepada mereka itu, ini anak muda kalau ditinggalkan, bisa masa bodoh saja. Nah Oleh sebab itu, maka harus dilanjutkan. Kalau dimanfaatkan akan berhasil, kok, karena kalau sudah berhasil, keseniannya akan menghidupi
Berarti dari generasi muda yang ikut bergabung, itu karena keinginan diri mereka sendiri?
Waktu pertama itu saya bilang kalau teater keliling itu anggotanya kecil. Apalagi kalau pergi keliling, itu anggotanya kecil cuma 10 orang. Makanya buka audisi dipilih siapa yang masuk, karena banyak yang ingin bergabung, jadi enggak ada paksaan. Jadi sekarang, apa-apa audisi, dan itu membuat hangat gitu, karena tumbuh meskipun hasilnya belum begitu bagus karena baru mulai.
Namun minimal bisa membuat sesuatu yang bisa ditonton. Soal bagaimana isinya dan lain sebagainya, itu pelan-pelan, karena tidak mudah isinya membuat sesuatu yang memiliki makna tersirat gitu. Nah, kita bina terus, karena pasti nanti ada yang mau lanjut.
Waktu ada Federasi Teater Indonesia pada 2016 itu, saya kepilih menjadi Abdi Abadi. Jadi waktu kau pilih dengan nama Abdi Abadi, itu berat banget, karena mau nggak mau sampai meninggal. Hal ini karena sudah umur sekian, saya masih aktif di teater. Jadi waktu terima penghargaan ini, saya nangis karena saya ngajar ekskul juga, nah itu penuh anak-anak pada teriak "Om Rudolf".
Untuk musik yang dibuat di Teater Keliling juga tidak sepenuhnya tradisional meskipun yang dibawa cerita rakyat, termasuk bahasa yang digunakan. Apakah memang disesuaikan untuk menarik generasi muda?
Sebenarnya saya mengambil dari filosofi tentang kesenian, jadi di sana salah satunya itu kesenian berbicara tentang zamannya. Kalau berbicara tentang zamannya, tentu bahasanya zamannya kala itu juga.
Artinya, anak-anak mulai sekarang itu saya berkonsentrasi yang tentang zaman itu saja. Terus lama-lama, nah, saya keliling anak-anak yang masuk itu datang dari mana-mana, makin lama ini Indonesia banget ini.
Nah, waktu latihan itu mereka berbahasa logat masing-masing. Jadi ketika manggung itu mereka pakai bahasa mereka sendiri dengan logatnya, yang penting bahasa Indonesia. Jadi tetap bagus sesuai zamannya dengan menyesuaikan.
Dan akhirnya lebih ke Bhineka Tunggal Ika, ini jadi lebih beragam. Nah, untuk pertunjukan Mega Mega itu nanti ada pemain-pemain awal juga yang dulu senior kita bawa kembali. Jadi kita pertemukan dengan dimainkan dengan era sekarang saat ini.
Bagaimana melihat seni teater di Indonesia saat ini?
Seni teater kalau melihat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, cukup hidup dan tumbuh. Tapi selebihnya itu masih kayak nggak tahu mau ngapain.
Kita minta tolong carikan pemain-pemain teater di Toraja. Ternyata di sana tidak ada teater, bahkan senimannya juga tidak ada. Jadi yang nerima itu malah pengrajin di sana. Lalu dia ngajak anak-anak sekolah untuk tampil drama bersama. Lah, ternyata banyak banget yang belum ada teater.
Jadi misi sekarang itu tiap tahun kita akan tetap keliling mencari daerah-daerah yang susah itu. Tujuannya cuma satu, yaitu main drama, enggak susah. Jadi yang penting bisa main dan pentas dan tunjukkan.
Jadi meskipun konsep sederhana, mereka bisa lihat bahwa begini saja sudah bagus. Mereka juga jadi lebih berani dan ngomongnya bisa sehari-hari saja menyesuaikan. Jadi ke sana tidak terpaksa menggunakan bahasa-bahasa yang terlalu baku.
Kalau dukungan dari pemerintah sejauh ini bagaimana?
Dari sejak awal, kita selalu mendekati yang namanya Direktorat Kesenian dulu. Karena ketika urusan-urusan kan harus ada rekomendasi dari Direktorat Kesenian. Akhirnya kan kenal. Akhirnya, walaupun gak ada dananya, bisa dapat rekomendasi.
Tapi rekomendasi kan kita bisa jual, untuk sponsor, ke perusahaan apa. Nah sekarang sudah sampai tingkatnya kenal Menteri. Terus kita mau ke Australia. Menterinya bilang, ‘Kasih uang, dananya berapa. Ingat ya jangan sampai dipotong apa-apa ya. Kasih dia penuh’.
Tapi pas ngambil duit di bendahara, lama banget gak keluar-keluar. ‘Besok Bu. Besok lagi datang’. Sudah 2 hari baru dia terus terang, walaupun Pak Menteri bilang dapat dana, tapi ini sudah di luar kementerian.
Jadi tetep ini gak bisa kalau gak ada. Akhirnya harus ada 10 persen untuk mereka, 10 persen nanti ke polisi. Minta izin kayak pementasan kemarin yang di TIM, di Ciputra itu kan, izinnya harus sendiri. Kantor polisi itu. Nanti 3 orang kita kirim yang jaga sana.
Jadi harus keluar sekitar Rp 1-2 jutaan. Jadi itu hal-hal yang, ya sudah kayak begitu sih. Jadi kayak tawar menawar.
Harapannya untuk dunia teater secara umum, dan terkhususnya untuk Teater Keliling?
Jadi saya ingin penerus-penerus ini ya yang sudah, sekarang kan sudah tersaring, ada yang sampai menjadi tim produksi tetap, itu kan sudah ada itu di bawah komandonya Po semua itu. Jadi saya hanya menitipkan ke mereka bahwa yang penting kamu punya misi gitu. Masing-masing punya misi dan berbeda-beda itu nggak apa-apa.
Ini misinya teater keliling ini. Tapi ketika kamu berbuat, ketika kamu main di panggung, misi kamu juga harus ada. Apapun deh. Misalnya kamu bilang, 'Saya main ini karena saya butuh uang, saya ingin dapat uang’. Nggak apa-apa, itu misi kamu. Misalnya di sini belum dapat, ya nggak apa-apa, tunggu aja. Sampai kamu bisa. Supaya berharga, kamu punya nilainya gitu gimana? Mainnya harus bagus kan.
Sehingga orang butuh kamu. Kalau orang udah butuh, namanya orang butuh, ya kamu minta apa aja dikasih. Itu saya tanam-tanamkan gitu. Karena saya yakin kok, pada saatnya, masa sih sampai nanti Indonesia umur 100 tahun, kesenian tidak hidup di Indonesia. Dulu pernah mempunyai sejarah panjang kesenian Indonesia itu luar biasa kok. Ludruk apa itu disenangkan karena itu lebih kencang kritiknya kan.
Kini yang mahal sewa gedung. Pemerintah sudah menyatakan di undang-undang, pemerintah adalah fasilitator. Ya sudah, sediakan dong. Karena gedung-gedung itu termasuk fasilitas.
Di internasional pun, semua masih sewa, tetapi ada subsidi dari pemerintah. Kayak di luar negeri, yang membangun gedung-gedung teater itu biasanya swasta, tapi dapat subsidi dari pemerintahnya. Sehingga sewanya itu bisa ditekan, grup-grup ini mampu membayar.
Nah itu yang kemenangan di sana. Sehingga seni teater di Eropa umumnya sudah kebutuhan. Orang nonton. Orang kemarin di Spanyol, nyari tiket untuk nonton itu sudah habis. Jadi satu pertunjukan itu bisa 3 bulan. Dan yang paling panjang itu 3 tahun. Saya pernah nonton di Paris itu pertunjukan hari ke 9.900 berapa, sampai saya nanya, 'Kamu main dari zaman muda ya? Sampai tua'.
Dan saya yakin bisa, karena kita mempunyai sejarah yang pernah hebat kesenian di Indonesia. Seni pertunjukan, walaupun namanya wayang, entah apapun. Tapi itu kan hebat.