Suara.com - Mendengar nama Yayuk Basuki, masyarakat Indonesia tentu sudah tak asing lagi dengan sosoknya. Ya, mantan atlet tenis asal Indonesia ini sudah jadi legenda.
Yayuk, bahkan pernah dijuluki 'Ratu Tenis' karena ia satu-satunya wanita yang mengharumkan Indonesia di turnamen tenis kelas dunia. Menyandang status legenda di bidang tenis, Yayuk Basuki buka-bukaan bareng Suara.com terhadap perjalanan hidupnya.
Banyak cerita yang ia bagikan, termasuk aktivitasnya setelah gantung raket yang bermanuver menjadi politisi. Yayuk bahkan memiliki cita-cita besar agar keberlanjutan hidup para atlet berprestasi di tanah air tetap diperhatikan. Berikut wawancara dengan Yayuk Basuki:
Dikenal hingga mengharumkan nama Indonesia di olahraga tenis, sebenarnya Anda lahir di mana dengan latar belakang keluarga seperti apa?
Baca Juga: Anya Geraldine Unggah Foto Main Tenis bareng Luna Maya, Netizen Salfok di Bagian Ketiak
Saya asli Jogja, saya lahir di asrama (polisi), kan saya dari keluarga polisi ya. Anak polisi yang tinggal di asrama Pathuk ya. Jadi di Asrama Polisi Pathuk sampai umur 4 tahun dan pindah ke Kompleks Polri Balapan Kota Jogja. Nah Komplek Polri Balapan kan buka rumah lapangan tenis.
Karena ada lapangan tenis, nah langsung di situ gitu jadi memang saya ya di Jogja dan di situ saya tumbuh besar dan sekaligus juga mulai dikenalkan tenis di kompleks Polri Balapan.
Artinya tiap hari selalu ada yang berlatih tenis di lapangan tersebut, hingga Anda tertarik?
Tiap hari ada, dan memang kan kalau saya dulu kan jam-jam tertentu ya pagi sebelum sekolah saya nyempatin lah setengah jam atau 45 menit. Coba latihan sama bapak, dan saya mulai latihan itu usia 7 tahun dengan bapak.
Tapi sebelum main tenis, tugas saya cuma ngambilin bola kakak-kakak saya yang juga dilatih tenis. Karena dulu kan sebelum kenal itu jadi semacam ball boys atau ball girl ya. Saya senang saja ngambilin bola, karena masih kecil, jadi senang lari-lari.
Baca Juga: Review Anime Hoshiai no Sora, Melihat Dunia Anak-Anak melalui Lapangan Tenis Meja
Dikenal sebagai legenda tenis di Indonesia, bagaimana awal karier Anda di bidang olahraga ini?
Jadi orang tua saya memang kedua-duanya walaupun ayah saya seorang polisi ya, tapi kedua-duanya dulu memang latar belakangnya dari olahraga. Ibu saya pemain badminton, bapak saya pemain bola, dari main bola pindah ke pingpong sempat main PON buat Jawa Tengah, dari main pingpong masuk ke tenis dua-duanya.
Nah disitulah kami, saya, satu keluarga mengenal mulai bermain tenis ya mengenal tenis awalnya di situ. Jadi kakak-kakak saya pun bermain tenis tapi memang yang sampai ke nasional itu hanya tiga itu yang nomor dua mbak Mami' kan ada juga lulusan sekolahan khusus olahragawan di Ragunan Jakarta.
Selanjutnya juga yang nomor empat itu, Singgih juga di Ragunan dan terakhir saya. Kita bertiga yang sampai di event PON itu kakak-kakak saya. Kalau saya memang lebih jauh. Saya lima bersaudara dan paling bungsu.
Selama ini Anda berlatih bersama kakak-kakak saja hingga ke PON saat itu?
Ya waktu-waktu kecil iya, waktu kecil itu kan memang kita pelatih pun juga beda-beda dan saya yang terakhir pun juga sama bapak dulu.
Ya waktu bapak ke kantor siang itu, pulang sekolah saya dipanggilin dulu ya buat sparing tapi juga sekaligus bisa ngawasin saya kalau dulu itu.
Kalau sekarang mungkin namanya UNJ ya Kalau dulu kan ada IKIP sebelum IKIP itu ada STO namanya, nah ini namanya Pak Pardi itu yang melatih tiap siang sebelum bapak pulang kantor, sparing dengan kakak saya. Biasanya dengan yang nomor empat itu sering kalau saya main.
Sementara kakak nomor 2, Mba Mami' karena dia sudah lebih awal dulu sekolah di Ragunan terpanggil untuk di nasional gitu jadi kalau kita sudah diamati oleh pelatih nasional.
Ada talon scott-nya akhirnya dia diambil untuk sekolah di Ragunan, nah itu yang terjadi kakak saya udah duluan. Tapi kalau saya sama kakak yang nomor empat yang laki ini, Singgih nah kita masuk Ragunannya bersamaan.
Jadi tahun 1983 lulus SD, saya hijrah, karena kalau dengan pikiran 'kalau saya akan terus di Jogja kemarin mulai mulai limit lah ya'. Nah saya kan ingin mengembangkan pertandingan, otomatis kita juga banyak pertandingan yang di Jakarta atau waktu itu banyak di Malang ataupun Semarang dan sekolahan yang khusus untuk membina atlet juga. Sementara di Jogja waktu itu belum ada.
Lantas, apakah anak Anda juga menurunkan gen atlet sebagai petenis?
Ya suami saya kan juga petenis. Suami saya sama-sama kita juara Asian Games mix double tahun 1990. Nah anak otomatis ekspektasinya pengen jadi atlet juga kan. Tapi kita memang berdua tidak memaksakan saat itu dan dia mengenal tenis ya waktu kecil.
Kita coba kenalin tapi kembali lagi karena sekolahnya dia waktu itu cukup ketat baru pulang itu bayangin anak TK terus SD itu pulang jam 16.00 WIB dari jam segitu dari Pondok Cabe ke lapangan tenis terlalu jauh, enggak ngejar.
Jadi otomatis paling dia untuk pengenalannya baru seminggu dua kali which is enggak cukup ya, tapi dia enggak putus asa.
Tapi akhirnya dia menemui kejenuhan karena masalah jarak. Dia bilang 'mah gimana mau main tenis kalau sekolah aja pulang sore', dia yang protes. Begitu lulus SD, dia minta sekolah di luar. Which is kalau sekolah negeri kan pulangnya lebih awal.
Di jenjang SMP, rata-rata siswa pulang 13.30 WIB. Nah akhirnya kita bikin perjanjian, kamu boleh SMP di sekolah negeri, tapi kita lihat perkembangannya kalau SMP itu kan kurun waktu 3 tahun. Kalau perkembangannya enggak signifikan enggak begitu bagus prestasinya, kamu kembali lagi ke sekolah atau private school. Jadi kita janji lah saya pegang janji itu jadi dia sekolah di luar supaya bisa dia latihan tenis.
Nah dia mencoba untuk catch up, which is perkembangannya bagus. Jadi usia 14 tahun bermain di kelompok 16 tahun dia bisa sampai di semifinal, bahkan sampai juara juga.
Ya jadi sama temannya tuh ada rivalnya lah ya nah, jadi udah SMP SMA saya masukin di Ragunan juga dulu kan saya mantan Ragunan. Jadi kita masukin di Ragunan juga walaupun setelah SMA, saya tidak bisa memaksakan karena anak laki-laki kalau nggak benar-benar spesial ini sayang kalau nggak bisa jauh ya karirnya.
Jadi begitu lulus SMA saya kasih pilihan kasih pandangan lah ya sebagai orang tua memberikan pandangan. Gimana kamu masih mau lanjut tenis tapi sepertinya akan limit dan anak mama cuman satu?. Kamu mesti memikirkan masa depan juga.
Akhirnya dia mencoba untuk daftar kuliah. Ada dua waktu itu, pilihannya ada di UI dan ITB karena dia ingin ambil Teknik Mesin. Dan alhamdulillah di UI dan sekarang udah lulus.
Kembali ke kiprah Anda di bidang tenis, pasca dari olahraga tersebut, saat ini apa yang dilakukan untuk mengembangkan cabor tenis ini?
Ya bicara tentang tenis khususnya saya pasca jadi atlet ya, walaupun namanya juara dan saya olympions, saya sebagai Ketua Indonesian Olimpiade Asosiasi memang tidak hanya mengenal di tenis.
Sekarang saya harus otomatis mengenal cabang-cabang yang lain lagi, terkait apa yang saya lakukan terhadap tenis setelah pasca karir saya. Ada beberapa hal yang saya coba untuk melihat perkembangan tenis sekarang. Memang apa ya?, orang berharap langsung instan, ya enggak bisa, apalagi olahraga tenis.
Permainan tenis ini bicara karena jenjangnya jauh, bicara peringkat dunia enggak ada sesuatu yang instan semuanya harus ada prosesnya dan juga ada progresnya.
Bayangin dengan full, katakanlah ada full support ya itu biaya maksudnya dan anak itu berbakat, belum tentu dia bisa sampai mendunia dalam arti berada di top in. Semua itu tergantung dari komitmennya dia. Kalau dia komitmen memang terjun totalitas mungkin bisa di-support dengan adanya talent yang dia miliki.
Tapi kadang-kadang ada dana, dia justru setengah-setengah, padahal bakatnya bagus, seperti itu, ya enggak bisa juga. Ada juga dana, bakatnya mumpuni, plus mentalnya mental juara, nah itu bisa jadi karena komitmennya, dedikasinya pasti tinggi.
Jadi presentasi itu yang nggak bisa dipisahkan. Semua memang bergantung pada diri anak sendiri dulu.
Nah ini enggak mudah, belakangan kita temukan ada anak kita saat ini yang menggeluti tenis. Ada salah satunya pemain dia peringkat, kalau enggak salah di ganda 26 saat ini. Tapi memang itu ganda.
Tapi memang dia menggelutinya. Memang pada saat begitu selesai kuliah dia pikir dia mau ambil opportunity anaknya, mau latihan keras dan saya lihat keluarganya mampu. Dia bisa, tapi itu semua pun tidak lepas dari bagaimana komitmen dia full udah di-support semuanya nih ya.
Nah pada saat awal dan memulai karir mentally-nya dia juga harus jadi atlet tenis. Ini juga salah satunya It's about mental game. Nah, saya bisa katakan dari 75 persen sampai dengan 95 persen itu mental battle.
Apa peran Anda sendiri sebagai mantan legenda tenis untuk dunia tens di Indonesia?
Iya itu tadi, sorry tadi juga belum saya lanjutkan lagi. Jadi apa yang sudah saya lakukan buat dunia tenis Indonesia pasca sebagai pemain?. Saya mencoba untuk berpikir, saya dulu setelah pensiun sebagai atlet sekarang kontribusi saya di luar sebagai atlet apa yang bisa dilakukan.
Ada beberapa ide memang, akhirnya kemarin tercetuslah saya coba kerjasama dengan aktris Desta ya. Di Tiba-Tiba Tenis awal mulanya saya memang nodong aja, saya bilang 'Des kamu kan kemarin bikin badminton event waktu awal-awal masih kalau enggak salah namanya Tepok Bulu, oh bikin dong coba ini di tenis. Kan kamu suka ngajakin aku main tenis tapi kamu bantulah'. Di situ lah awal mula muncul bagaimana tercetus Tiba-tiba Tenis yang digelar Vindest Sport.
Lalu ada lagi selanjutnya, Lagi-lagi Tenis ya jadi disinilah tenis mulai hype, tenis mulai dibilang viral lah. Begitu juga artis-artis semua jadi tidak hanya artis saja sekarang semua golongan semua orang yang saya lihat di Jogja ini aja waduh cari lapangan susah.
Masalah nanti mereka mampu menjadi seorang pemain kelanjutannya ya itu monggo silahkan kan gitu. Itu bukan peran saya lagi otomatis peran pelatih masing-masing berarti kan melihat fenomena ini ya, ada artis, influencer yang akhirnya tertarik untuk berolahraga tenis. Mungkin dan masyarakat di Jogja suka bermain tenis.
Artinya hype tenis saat ini sebuah tujuan yang ingin Anda capai?
Itu salah satunya ya, itu sebetulnya bukan tujuan tapi masih sasaran. Ya itu sasaran antara otomatis goal saya harus ada yang siapa pengganti saya bahkan kalau bisa lebih baik.
Kalau orang selalu mengatakan ada Yayuk, nah 'Yayuk' yang lain kalau bisa harus lebih baik dari apa yang sudah pernah saya capai, pernah saya mulai awalnya.
Kedua saya juga ingin juga membantu mensupport, make sure ke orang-orang yang pada terjun di olahraga tenis khususnya mereka juga nantinya akan menjadi seorang pelaku olahraga yang totalitas dan kita harus pikirkan kesejahteraannya gitu. Jadi itu ada beberapa goal setting yang mungkin masih on the way.
Gantung raket dan bermanuver ke politik, bagaimana hal itu menjadi pilihan?, adakah pertimbangan panjang dulu?
Jadi awalnya tuh sebetulnya saya itu kan sudah menggeluti dan sudah melatih di luar negeri ya. Saya waktu itu melatih ada pemain dari Cina yang saya latih dia dibiayai oleh Hongkong jadi saya jadilah head coach di sana.
Saya melatih, nah pada saat saya belum perpanjangan kontrak itu hampir mau selesai belum pernah dikontrak lagi. Tapi saya memang ada tawaran lagi, selain perpanjangan lagi di Hongkong ada tawaran di Australia untuk di development project-nya di Kanada sama di development-nya juga.
Saya pulang dulu (ke Indonesia), begitu pulang karena saya tadi kan olympians ya kita ada organisasinya, begitu ngobrol, pulang, terus teman-teman semua pada curhat gitu soal polemik atlet tanah air. Lalu ada celetukan 'wah kayaknya mesti ada yang masuk ke sistem nih'.
Nah sistem satu-satunya kan ber-Senayan (ke DPR) ya. Itu politik kan, saya diem saja, saya cuma bilang 'politik ya'. Saya pertama kali kalau boleh terus terang aja, saya bilang saya enggak terpikirkan, kenapa kalau saya hanya ingin terjun ke politik pernah di 2004.
Pernah saya ditawarin tuh kalau mau hanya ingin menjadi anggota dewan, mohon maaf duduk sebagai anggota DPR gitu kan tapi knowledge dan ini semua enggak selesai. Tapi saya terus terang aja 'politik ya' aduh saya diam. Tapi semua pada curhat.
Karena mereka membutuhkan adanya perbaikan daripada itu tadi, bicara soal kesejahteraan pelaku olahraga ya harus ada perbaikan daripada sistem kekeluargaan di nasional sendiri dan juga bagaimana sistem pada saat mereka berada di kehidupan pasca menjadi atlet.
Jadi cukup banyak hal yang membuat saya jadi berpikir, berarti ini harus ada perubahan di sistem keolahragaannya, kan gitu. Nah, saya ingin langsung, oh berarti harus revisi Undang-Undang, saya diam.
Oke saya minta waktu deh, satu sampai dua minggu. Begitu ketemu lagi dua minggu, udah ya oke saya bilang saya mau. Tapi otomatis sebelumnya kan izin dulu sama suami dan anak, walaupun sebelumnya suami itu sempat ngetawain saya. Karena dulu, tiap kali kalau pulang tour, suami kan seneng banget ngikutin update berita, ya saya ngatain dia.
'Kamu nonton berita terus kamu mau jadi politikus?'. Saya bilang gitu. 'Aduh saya kena karmanya'. Saya pikir gitu, tapi akhirnya it's okey ya awalnya seperti itu. Tapi akhirnya dia mendukung. Oke demi memang untuk kebaikan dan untuk seluruh atlet dan pelaku olahraga di Indonesia ini memang harus ada yang memperjuangkan gitu.
Terus saya tantang sama teman-teman, oke teman-teman semua olympians siapa di antara kita yang mampu untuk terjun ke politik.
Mampu bukan berarti financial saja, tapi siapapun nanti yang lolos mampu memberikan pemikiran-pemikiran dan membantu pemerintah untuk apa yang terbaik harusnya untuk olahraga kedepannya. Itu yang saya tekankan, jangan nanti begitu lolos, kalian cuma duduk manis.
Saya bilang ngapain, ya untuk apa kan, saya enggak mau wasting time juga gitu, karena semua itu harus ada pengorbanan dan mohon maaf ya kalau kita bicara dari sisi saya, egois memikirkan hidup saya sendiri mungkin dengan saya sebagai pelatih itu dapat gaji tiga kali lipat daripada gaji anggota dewan kita. Di luar negeri kita lebih diapresiasi.
Nah itu akhirnya memutuskan, oke karena saya berpikir ini untuk kebersamaan dan memang somebody has to stand for them, saya pikir harus ada yang memperjuangkan dan harus ada yang peduli terhadap mereka di situ. Akhirnya saya bilang, oke saya mau maju. Di situ awal mulanya saya terjun di politik pada 2012.
Terjun di dunia politik tahun 2012 Anda langsung di DPR RI atau merambah dari DPRD dulu?
Untuk DPR RI ya, itu terjun politik dulu nih, tapi kan itu ada prosesnya semua begitu. Ini saya ditaruh Dapil Jawa Tengah karena saya enggak dikasih (di Jogja).
Enggak kan kita masuk dulu, otomatis kan 2012, oke saya siap masuk ke jenjang pengaderannya di dalam partai (PDIP). Nah pas pada saat kampanye di akhirnya saya lolos 2014 itu tapi Dapil saya di Jateng I melingkupi, Semarang, Kendal, Kabupaten Semarang dan Salatiga, empat kabupaten satu kota.
Nah di situ kenapa saya memang awalnya silahkan deh, masuk ini tapi jangan di Jogja ya. Enggak boleh, jadi saya pikir ya udah akhirnya saya ngambil di Semarang dan alhamdulillah diantara teman-teman baru, saya yang lolos.
Jadi disitulah awal mulanya, lalu begitu start masuk, saya terus terang aja, saya masih ingat sekali kita bicara waktu itu Presiden Jokowi terpilih, beliau langsung mencetuskan revolusi mental kalau masih ingat ya 2014 revolusi mental. Saya langsung jadi headline di surat kabar nasional terkenal, saya langsung jawab 'marilah kita mulai dari olahraga karena dengan olahraga itu bisa merubah mental'.
Bicara revolusi mental kita mulai dari olahraga sampaikan dengan kepemudaan itu bisa betul-betul membuat generasi kita apalagi sekarang generasi Z ya, generasi milenial saat itu itu betul-betul bisa kita arahkan mereka jadi generasi yang unggul generasi penuh prestasi itu.
Mengaitkan olahraga ke dalam politik disebut akan banyak intervensi seperti kata Taufik Hidayat yang sempat di Kemenpora, bagaimana Anda menanggapi itu?
Saya kasih bocoran dulu sedikit, banyak yang enggak tahu kan kalau dulu Taufik itu tektokan WA-nya sama saya. Pada saat dia di sampingnya Menpora saya di sisi legislatornya kita sama-sama waktu itu dia selaku staf khusus bidang olahraga dan bahkan saat itu pun sampai juga ibaratnya ya bukan konsultasi tapi kita selalu sharing dia sampai cerita 'Mbak ini saya masukin dari sisi-sisi olahraga tapi kok kayaknya tidak pernah ada conclusion-nya, tidak pernah menjadi masukan yang di mana mereka menjadi output yang baik'.
Terus saya sampai bilang 'kalau memang kamu sudah enggak tahan dan tidak didengar sedangkan kita pelaku olahraga kalau diminta gitu kan otomatis bidang kita di situ ya begitu kita enggak didengar terus ngapain?'. Saya bilang 'ya udah keluar aja resign'.
Bicara Taufik Hidayat karena sekarang pun saya juga memberi inspirasi, 'ayo Fik, kita nih bergantung pada kalian-kalian yang masih muda'. Kalau saya ini kan ibaratnya ya sementara saja. Bisa produktif tapi yang muda ini yang harus bergerak.
Tapi masa produktif saya masih pengin apa yang bisa saya lakukan buat negara dan khususnya langsung ke masyarakat kan gitu. Nah akhirnya pun saya memberi kesempatan dia terjun ke politik juga.
Ini untuk menuju Pileg 2024 yang akan datang ini dia (Taufik Hidayat) juga ikut di politik. Jadi ya mudah-mudahan aja kita bisa memberikan kontribusi yang lebih baik. Karena dulu saya sendirian, kalau ada temannya kan lebih enak.
Selanjutnya, satu kaki sudah berdiri di dalam politik untuk mencapai cita-cita para atlet sejahtera, apa yang akan dilakukan di 2024 nanti?
Gimana pun latar belakang saya kan atlet pasti saya akan lebih lebih memberatkan bahwa this is my skill. Skill saya di mana untuk apa kepedulian saya terhadap pelaku olahraga walaupun otomatis kita akan melebar karena pelaku olahraga itu kan luas.
Ya kan tidak hanya atlet, pelaku olahraga banyak kita bicara pelatihnya, kita bicara klub-klubnya, kita bicara daerah-daerah siapa yang mampu untuk jadi luas gitu?. Nah apalagi saya kan olahraga permainan ya tenis kan olahraga permainan.
Kalau si Taufik yang di badminton juga olahraga permainan. Kita itu kan juga memikirkan strategi dalam bermain memikirkan, otomatis juga begitu juga di sisi politik strategi apa supaya kita bisa didengar.
Kita bisa membantu pemerintah lalu apa perjuangan kita lalu bagaimana nanti kedepannya?. Ya itu kan semua harus kita pikirkan, jadi step by step yang mana dulu nih gitu.
Nah yang kemarin alhamdulillah, 2014-2019 itu konstruksinya udah ada revisi Undang-Undang sistem Keluarga Nasional itu menjadi Undang-Undang baru, yang di mana udah masuk tuh semuanya kita bicara sedikitlah. Paling tidak ada kesyaratan pelaku olahraganya ya.
Lalu olahraga atlet ini mau dibawa ke mana?, jadi ada beberapa hal yang sudah masuk yang sekarang memang belum bisa dicantumkan di situ adalah sistem kesehatannya atau asuransi. Kalau saya mengatakan asuransi saya paham memang tidak bisa diakomodir pemerintah atau tidak bisa dibiayai APBN ya. Itu harus melalui CSR tapi akhirnya mereka memberi solusi, Komisi X DPR RI memberi solusi bahwa bisa kemudian melalui BPJS Premier.
Jadi terus terang saja, saya desak mereka, agar seorang atlet yang sudah berjuang notabene buat negara dituntut untuk tampil dan berjuang buat negara, masa dia cedera dia harus mengeluarkan biaya sendiri?. Sedangkan itu enggak kecil, saya contohnya, pas saya operasi itu kan biaya sendiri.
Karena dulu sistemnya belum baik, maka dari itu apa yang telah saya alami ini harus diperjuangkan untuk atlet-atlet yang lain.
Jadi saya tetap komitmen dan saya tetap kekeh untuk bagaimana memperjuangkan dari sisi olahraga karena memang masih ada PR salah satunya bicara anggaran. Anggaran kita masih terlalu jauh untuk dukungan terhadap olahraga. Jadi ini yang saya rasa bagaimana olahraga kita akan maju kalau anggaran terlalu jauh gitu. Itu yang diperjuangkan.
Itu salah satunya yang akan saya perjuangkan dan kedua nanti otomatis kesetaraan difabel. Kan difabel ini disabilitas sudah ada undang-undangnya juga sendiri otomatis semuanya harus setara termasuk perlakuan terhadap mereka, walaupun sekarang bonusnya udah sama tapi anggaran untuk perlakuan terhadap mereka masih belum semuanya ramah disabilitas.
Nah ini hal-hal Ini kan harus kita perjuangkan terus dan harus disuarakan kalau enggak, ya enggak di dengar.
Nah sama juga dengan tadi atlet juara Asian Games nanti setelah dia jadi atlet kalau mau bekerja sebagai ASN atau di BUMN bisa. Nah begitu juga dari yang Para Games yang difabel. Jadi dia juga harus diperlakukan sama dia berprestasi punya prestasi di Asia ataupun dunia, apalagi kan itu juga harus diperjuangkan dan itu harus disuarakan, kalau enggak ada suara kan enggak akan didengar.
Berbicara DIY, apa saja kekurangan dalam bidang olahraga yang perlu dibenahi?
Ya bicara di DIY sendiri seperti tadi kan saya sempat mention ya DIY ini potensi-potensi atlet tuh cukup banyak dan juga nggak setengah-setengah. Mereka pun juga bisa sampai mendunia sudah ada contohnya kan gitu.
Nah sekarang apa yang perlu kita lakukan?. Begini memang generasi era sekarang dengan era dulu memang berbeda. Satu, era dulu kita enggak perlu mikirin atau bicara rebonding system ya atau bicara apa bonusnya, pelatda-nya dapat apa, dan ini bicara financial lah.
Ya itu (finance) kita tetap, saya tetap melakukan saya tetap bangga membawa nama baik DIY. Tapi kan kalau sekarang era sekarang enggak buat mereka, finance adalah kebutuhan. Jadi kadang-kadang mereka diminta main untuk katakanlah untuk PON gitu, mereka nanya dulu 'hak saya apa?' ini yang memang membuat perbedaan terus terang saja.
Saya lama malang melintang dan tahu kan saya banyak-banyak juga bolak-balik ke Jakarta apalagi mungkin bisa dibilang yang lalu banyak di Jakarta sekarang mulai banyak juga di Jogja. Nah begitu saya lihat yang terjadi seperti itu, salah satu yang saya lakukan adalah kita punya atlet tenis ada Junior Saya melihat pas Porda itu. Saya coba perhatiin dia dalam arti saya kasih nasehat ke anaknya ataupun ke orang tuanya nanti jangan pergi dari Jogja ya saya bilang main PON tetep buat Jogja.
Salah satu kewajiban saya mensupport. Jadi mungkin saya tidak bisa seperti orang kaya yang lain enggak, tapi paling tidak dia tanding di mana atau dia ada kebutuhan untuk latihan apa paling tidak semampu saya saya mencoba mensupport anak ini. Jadi dia supaya tetaplah main karena atlet kita sebenarnya tetap banyak.
Cuman mereka pada main buat di luar Jogja ada yang main buat Jawa Timur ada yang main buat Papua ada yang kan gitu ya kan. Nah ini yang saya bilang apa ya, enggak salah orang itu membutuhkan (finance).
Tapi memang salah satu kekurangan yang perlu kita perjuangkan adalah funding untuk di DIY ini. Kalau kita, paling tidak ada perhatian terhadap atlet dan pelaku olahraganya ataupun pelatihnya ya, saya rasa dan yakin mereka ada kebanggaan buat main buat DIY. Karena kita sudah buktikan bahwa dia ini mampu mencetuskan atlet-atlet baik hingga ke level nasional atau bahkan level dunia.
Dan ada beberapa contohnya, di sepak bola umpamanya. Ada atlet Hokky Caraka kan atlet dari Gunungkidul ya kan.
Terus kemarin ada juga dari DIY selain di tenis ada juga atlet bulutangkis. Jadi saya memperhatikan, karena konsen saya kan memang full banyak di olahraga ya, selalu apa walaupun itu pasti akan melebar, nah yang lain juga tapi kalau udah bicara olahraga enggak bisa dipungkiri bahwa itu dunia saya. Di situ jadi pasti saya akan saya sampai di mana? Apa yang bisa saya bantu?. Apa yang saya bisa lakukan apa yang bisa saya perjuangkan saya pasti akan stand for them gitu.
DIY belum bisa memberikan kesejahteraan ke atletnya, artinya harus ada CSR dari pihak swasta?
Memang APBD kita kan juga minim ya buat olahraga walaupun kita juga ada dana. Saya enggak tahu persisnya dana ini ada enggak buat pendidikan dan olahraga atau kepemudaan.
Nah di luar itu pasti kita butuhkan networking harus ada peran sponsor mudah-mudahan dengan bisa kita besarkannya cabang-cabang olahraga ini di event-event itu kan kalau kita kalau kita expose mereka jadi besar mudah-mudahan sponsor mau masuk. Ada yang bisa mensupport itu salah satunya.
Sebetulnya salah satu peran kita untuk bisa membantu mereka, kalau saya membantu ada anak jurnal ini kan masih itu berupa personal. Tapi saya ingin munculkan dia kalau prestasinya sudah sampai level di nasional, kan otomatis sponsor masuk.
Nah itu saya berpikirnya otomatis networking ini paling penting, karena gini kalau CSR, kembali lagi itu semua butuh ubo rampe banyak gitu intinya banyak sekali. Tapi yang paling mudah adalah kita kalau bisa menjadikan ada atlet kita yang muncul bagus, kita bisa mendorong dia untuk menarik peran sponsor, tentu kita bisa membantu di situ. Karena kita membantu menjembatani dan di situ bicara networking.