Suara.com - 'Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang', menjadi slogan melegenda milik Warkop DKI. Namun di balik jargon menggelitik, ada cerita ironi yang dipaparkan salah satu personelnya, Indro Warkop.
Indro Warkop menerangkan, jargon 'Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang' muncul ketika personelnya merasa khawatir, karena komedi yang disuguhkan dianggap membahayakan beberapa pihak.
Sebab di awal Warkop DKI lahir, para personel terdahulunya kritis memberikan kritikan kepada pemerintah lewat lawak yang disuguhkan.
"Ya karena gitu, gil* ya kita diperiksa, cuma karena mau bikin ketawa. Sebentar lagi, ketawa dilarang nih. Bercandanya gitu," kata Indro Warkop saat berbincang di kantor redaksi Suara.com belum lama ini.
Lalu, bagaimana selengkapnya cerita Indro Warkop soal awal mula hadirnya jargon 'Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang'? Berikut wawancara selengkapnya.
Om Indro, seperti apa awal mula Warkop DKI muncul?
Warkop itu lahir dari orang bernama Rudy Badil, Nanu, Kasino. Dari perkemahan mahasiswa di Cibubur, September 1973. Sebenarnya itu adalah bagian dari persiapan demo besar-besaran Malari, peristiwa 15 Januari. Pas api unggun, Kasino sebagai pembawa acara.
Setelahnya, programmer radio Prambors mau ambil materi ini. Tadi mikirnya buat Mapala, karena mereka adalah anak Mapala UI. Akhirnya siaran pecinta alam, tapi kurang seru.
Tapi dari sini nama Warkop DKI sudah muncul?
Baca Juga: Sabrina Chairunnisa Kasih Diding Boneng Uang Cash, Alasannya Bikin Haru
Belum, baru berganti setelah (materi) pecinta alam kurang seru. Kemudian berganti nama menjadi obrolan di warung kopi. Ngomong soal isu yang walaupun disamarkan. Ternyata happening.
Mahasiswa kemudian nggak puas kalau kami hanya di radio. Akhirnya minta kami ke acara, sampai akhirnya umum dan dibuatkan kabaret sama suaminya Titiek Puspa.
Apa sih isi materi dari Warkop DKI, apa terus memberikan kritik kepada pemerintah?
Ya jokes kami yang menyindir. Soal apa, ya saya lupa. Kami kan makin banyak penggemar, sehingga dipandang bahaya dan perlu diawasi. Tapi kami memang diperingatkan.
Ada yang sampai diancam?
Pas siaran itu, ada yang nonton dari jendela, itu ada yang aneh pakai batik, bawa HT. Diancam grup preman, nggak tahu salah kami apa, pokoknya mau dibunuh di FFI Surabaya.
Akhirnya kami dijaga, karena saya lapor ke kakak saya. Kebetulan, sekarang sudah almarhum, beliau itu Laksus (pelaksana khusus) yang termasuk kejar-kejar Ali Sadikin.
Kata dia ‘lu berani banget’ dilihat suratnya, ada bercak darah. Dia ngomong ‘ini bukan preman yang kirim’ ternyata kami hanya mau dibungkam, di kamar dijaga, katanya takut dibunuh, padahal mah bukan.
Ya karena gitu, gila ya kita diperiksa, cuma karena mau bikin ketawa. Sebentar lagi, ketawa dilarang nih. Bercandanya gitu.
Siapa yang akhirnya muncul bikin celetukan gitu?
Kita bareng-bareng, yang akhirnya punya tagline 'jadi kita harus tertawa sebelum tertawa itu dilarang'. Suka pakai peragaan kan, kita mau ketawa, ada tentara atau polisi nggak nih? Sampai akhirnya ada tagline seperti itu.
Sempat khawatir nggak sih om dengan adanya hal kayak gitu?
Ya itu, dari tadinya takut, sampai sudah biasa. Pertama yang kita dikepung polisi. Ya polisinya juga pasti ketakutan lah, kami memberikan kritik, yang dikritik adalah kebijakannya. Aneh, sumir. Kelihatan banget bahwa ini adalah sekadar kekuasaan. Kita kritik. Itu pun bercanda.
Masih inget nggak sih om satu candaan yang dulu dibawakan?
Misalnya, aku juga telat nih, ditangkap polisi. Apaaa gitu alasannya lupa. Ya begitu disamperin, ntar pak kencing dulu. Di balik pohon aku selipin duit di STNK, dulu kan masih murah. Rp 5000. Aku kasih STNK di dalam duit.
(kata) Polisi, 'kencing lagi sana'. Aku selipin lagi 2 ribu, (kata) polisi, masih ada nggak kencingnya? Diperes-peres. Tersinggung mereka, besoknya boleh main, ada show ini. Tapi warkop harus minta maaf pada kepolisian RI.
Setelah itu, minta maaf nggak?
Nggak. Tapi kita tahu jalannya, pakai (trik) 48-48. 48 itu taksi ke gedung Merdeka. Kami nggak minta maaf, bilangnya gini, 'maaf teman-teman kami cerita polisi, itu kejadiannya di India ya, Tuan Takur. Ya kami pikir, kenapa minta maaf? Wong kami melucu kok.