Dan pasti yang bersangkutan juga paham karena punya penasihat hukum kan. Dan suami korban juga aparat penegak hukum, tentu saja paham dan tahu hak-haknya.
Sebetulnya yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak korban itu kan LPSK. Tetapi, di kasus ibu PC ini lembaga tersebut justru menolak untuk memperlakukan yang bersangkutan sebagai korban.
Dalam kasus ini, kalau mau lebih valid, bisa tanyakan kepada LPSK. Tentu saja LPSK punya perimbangan-pertimbangan tersendiri untuk melakukan penolakan itu.
Ada juga anggota LPSK yang berbeda pendapat?
Mungkin kalah suara, ya kan. Tapi ya kalau kalah suara, bagaimana lagi. Peraturannya kan seperti itu.
Kami juga menjaring pendapat sejumlah aktivis perempuan. Salah satunya meyakini bahwa perkosaan itu terjadi dengan melihat bahasa tubuh baik FS maupun PC.
Nah, kalau saya, mohon maaf. Saya tidak bisa memberikan penilaian seperti itu karena latar belakang saya kan hakim. Lebih melihat fakta hukum. Kita tidak banyak melihat ‘gesture’ [Bahasa tubuh] karena memang nggak paham. Kita hanya melihat fakta hukum saja di persidangan. Nah, menurut fakta hukum di persidangan, ya seperti itulah kira-kira.
Kami pernah bercakap dengan Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar. Kesulitan korban perkosaan atau kekerasan, menurut dia, adalah menunjukkan bukti visum fisik dan jejak kekerasan. Korban tidak selalu bisa melakukan itu. Kembali ke PC. Jika ia ingin memperkarakan lagi kasusnya, bukti-bukti itu akan sulit diperoleh. Bagaimana seharusnya hakim melihat kal seperti itu?
Sebenarnya hakim tidak kaku juga kalau kita merujuk ke UU TPKS. Soal pembuktian itu, bisa dikatakan dibuka ruang pembuktian yang sangat luas sebenarnya. Berbeda dengan KUHAP. Kalau KUHAP memang ruang pembuktiannya lebih sempit. Misalnya harus ada satu saksi. Lalu, saksi korban harus tetap dapat menunjukkan alat bukti saksi lain yang mendukung, dan sebagainya. Tapi, kalau di UU TPKS kan satu saksi saja bisa dikatakan sebagai saksi. Termasuk orang yang mendengar dari orang lain. Kalau dalam KUHAP itu dikenal sebagai ‘de auditu’. Itu pun masih bisa memberikan kesaksian kalau di UU TPKS.
Tapi, persoalannya kita harus melihat begini: bahwa hakim itu kan ujung dari satu proses sistem peradilan pidana. Dia ujungnya. Nah, awalnya kan proses penyidikan. Setelah ada proses penyidikan baru sampai ke pengadilan. Pengadilan yang akan menentukan terbukti atau tidak. Nah, di proses awal ini [untuk kasus perkosaan PC] belum ada [bukti]. Bagaimana di akhir ini bisa menentukan, ya kan. Jadi, seperti itulah.