Suara.com - Namanya melesat saat ia menjadi ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Makin berkibar lagi dia setelah memimpin persidangan mantan ketua KPK Antasari Azhar.
Albertina Ho, namanya. Sebelum menjadi hakim di PN Jakarta Selatan (2008-2011), pada 2005 ia menjadi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial.
Selanjutnya, dia menjadi hakim tinggi Pengadilan Tinggi Medan (2016-2019) dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang (27 September 2019 hingga 20 Desember 2019).
Setelah kariernya sebagai hakim berakhir, dia ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Ia berdinas di sana sejak 20 Desember 2019 hingga sekarang.
Berikut petikan wawancara Rin Hindryati dan P Hasudungan Sirait dengan lulusan Universitas Gadjah Mada (sarjana hukum) dan Universitas Jenderal Soedirman (master hukum) tersebut yang berlangsung pada Minggu, 25 Juni 2023. Pokok bahasannya terutama kemajuan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) setelah berusia setahun serta kasus hukum Putri Candrawathi (PC, istri mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo) yang sedang berproses di Mahkamah Agung.
***
Undang Undang Tindak Pidana Kejahatan seksual atau UU TPKS sudah setahun berlaku di negeri kita. Regulasi ini terbilang sangat maju sebab berpihak betul pada korban. Menurut penilaian Anda apakah dalam menjalankannya para Aparat Penegak Hukum kita sudah menyadari roh yang sangat memihak korban tersebut?
Betul sekali; Undang Undang TPKS berpihak pada korban. Bandingkanlah dengan undang undang rujukan sebelumnya, KHUP. Hak-hak pelaku di dalam KUHAP sudah diatur betul. Banyak sekali hak pelaku atau terdakwa yang diatur di sana. Tapi, bagaimana dengan hak korban? Kurang. Nah, dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini hak-hak korban itu betul-betul dilindungi oleh UU.
Salah satu tantangannya dalam pelaksanaan UU TPKS adalah kesiapan, terutama SDM pelaksananya.
Baca Juga: Albertina Ho, Hakim 'Srikandi Hukum' yang Tertawakan Eksepsi Putri Candrawathi
Memang, kalau menurut UU TPKS, bukan hanya LPSK [Lembaga Penjamin Saksi dan Korban], tapi mulai dari penyidik, penuntut umum, dan hakim, harus diberikan pelatihan khusus [bagaimana] menangani tindak pidana kekerasan seksual. Itu tentu saja memerlukan waktu.
Kita berkaca saja pada sistem peradilan pidana anak. Untuk menentukan penyidik, penuntut umum, dan hakim syaratnya ada. Mereka harus punya sertifikat untuk menangani perkara anak. Ha, itu juga memerlukan waktu yang cukup lama. Dan ada tenggat waktu yang lama sebelum UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) berlaku.
Sementara UU TPKS ini kan langsung berlaku. Tentu memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyiapkan bukan saja manusianya tapi juga sarana dan prasarana yang lain. Tentu semua itu perlu disiapkan.
Di antara semua kebutuhan, yang paling mendesak sekarang apa terutama yang berkaitan dengan SDM?
Ya, saya pikir terkait dengan SDM memang perlu segera dipenuhi sesuai idealnya. Meskipun UU TPKS juga sudah mengatur bahwa untuk sementara apabila belum ada, maka bisa saja Kapolri, Jaksa Agung, ketua MA menerbitkan SK dan memberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum, maupun hakim yang disebutkan dalam SK itu sebagai pihak yang menanganinya.
Tetapi, kembali lagi: idealnya kan harus mengikuti pelatihan sehingga mereka lebih matang. Lebih betul-betul memahami UU TPKS itu sendiri. Soalnya, saya lihat banyak sekali ‘lex specialis’ yang diatur khusus di sana.
Hakim sendiri termasuk yang perlu segera mendapatkan pelatihan agar mereka betul-betul memahami UU TPKS?
Saya pikir semuanya. Jadi mulai dari penyidik, penuntut umum, maupun hakim. Semuanya.
Ada beberapa catatan kalau UU TPKS ini kita kaitkan dengan kasus yang pernah ramai dibicarakan publik yaitu kekerasan seksual yang dialami istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. Salah satunya, Komnas Perempuan tadinya berharap bahwa kasus ini bisa menjadi semacam titik balik untuk membumikan selekasnya UU TPKS. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, menjadi ‘backlash’ bagi mereka. Diserang habis mereka termasuk oleh netizen karena dianggap berpihak kepada PC.
Albertina: Hmm…iya.
Padahal pendekatan yang dilakukan Komnas HAM maupun Komnas Perempuan sudah mengacu pada UU TPKS. Artinya, mereka mempercayai apa yang dilaporkan korban. Komnas Perempuan sebenarnya hendak mengatakan bahwa betul telah terjadi pembunuhan tetapi PC ini adalah subyek perkara tersendiri yakni korban kekerasan seksual. Tapi masalah ini tidak menjadi hirauan penyidik dan majelis hakim. Masyarakat sendiri umumnya beropini bahwa perkosaan tak ada.
Sebenarnya begini: kita harus melihat bahwa dalam hal ini kasus pembunuhan dan kasus pelecehan seksual itu dua kasus yang berbeda. Sehingga kalau dikatakan bahwa PN Jakarta Selatan [pernah] menampik perkara ini sebenarnya karena.…ini bukan berarti karena saya hakim lalu saya membela PN Jakarta Selatan ya, tidak. Tapi, saya mau melihat ini: bahwa yang diajukan di persidangan dan diadili Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah kasus pembunuhan, bukan kasus pelecehan seksual. Nah, dengan demikian maka memang tidak relevan kalau hakim harus mempertimbangkan kasus pelecehan seksual. Karena kan ini dua hal yang berbeda.
Apabila ada kasus pelecehan seksual yang diajukan, saya yakin pasti akan diadili oleh pengadilan karena [prinsipnya] pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan. Jadi harus diadili. Nah, kemarin yang diajukan ke persidangan adalah kasus pembunuhan. Itu kan dua kasus yang berbeda.
Kasus pelecehan seksual sendiri…begini, ini kan saya tidak tahu yang pasti ya…saya cuma lihat dari pemberitaan di media. Entah benar entah tidak, saya hanya melihat dari pemberitaan di media bahwa itu kan pernah dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan; kalau saya nggak salah baca.
Tapi, sampai sekarang kan tidak pernah diproses lebih lanjut. Bahkan kalau saya nggak salah ingat, pernah saya baca kayaknya di-SP3 [penyidikan dihentikan] oleh Polres Jakarta Selatan. Nah, ini kan 2 hal yang sangat berbeda. Jadi, kita tidak bisa mencampuradukkan.
Kalau di persidangan, apakah motif pembunuhan itu bisa menjadi pertimbangan? Atau hakim sama sekali hanya berfokus pada kasus pembunuhannya?
Begini. Satu tindakan pidana itu baru bisa kita jadikan dasar pertimbangan putusan apabila sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) yang menyatakan bahwa tindak pidana itu sudah terbukti. Nah, dalam hal ini apabila sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pelecehan seksual itu terjadi…itu [baru] bisa dijadikan pertimbangan oleh hakim.
Tetapi, kalau belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa tindak pidana pelecehan seksual itu terjadi, maka itu belum mesti terjadi kan…antara ya atau tidak.
Tentu saja hakim pun bebas dalam memberikan pertimbangan apakah dia mau mengambil alih itu untuk jadi bahan pertimbangan atau sedikit mau melihat motivasinya atau bagaimana. Hakim juga harus hati-hati karena tindak pidana itu belum terbukti. Kalau kita lihat di dalam pemberitaan yang saya bilang tadi, kalau saya nggak salah juga sepertinya di-SP3 pula oleh Polres Jakarta Selatan. Kalau saya nggak salah baca ya.
Jadi, akan lain ceritanya kalau kasus pelecehan seksual diproses Polres Jakarta Selatan dan kemudian sampai ke pengadilan?
Iya…dan sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa betul terjadi pelecehan seksual. Tentu saja pertimbangan hakim akan menjadi lain juga. Karena hakim mempertimbangkan itu. Dia bisa mempertimbangkannya sebagai salah satu motivasi yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana pembunuhan.
Yang kami pelajari, di awal kasus ini mencuat memang ada upaya hukum ke sana. Putri Candrawathi atau PC melaporkan kasusnya ke Komnas Ham, Komnas Perempuan, dan LPSK.
Iya, ada upaya untuk itu tapi kan tidak ada tindak lanjutnya sampai ke suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Kalau seorang korban kekerasan seksual menghadapi situasi seperti ini, dimana nampaknya keadilan tidak berpihak ke dirinya, apakah masih ada ruang hukum untuk dia menggapai keadilan?
Saya tidak menyatakan bahwa keadilan tidak berpihak [ke korban]…karena kalau saya ya, ini mohon maaf, berpegang pada aturan yang ada. Berpegang pada ketentuan hukum yang ada. Jadi, itu baru bisa kita katakan tidak berpihak [pada korban] apabila memang sudah ada putusan hakim [terkait kasus pelecehan seksual] yang berkekuatan hukum tetap tapi itu tidak dijadikan bahan pertimbangan pada kasus pembunuhan. Kalau ini kan [kasus PC] belum ada. Apakah kita yakin bahwa itu terjadi tindakan pidana itu? Kita tidak bisa berkata apa-apa secara hukum.
Idealnya, apakah dua kasus yang berbeda ini ditangani secara paralel oleh lembaga peradilan yang berbedakah? Tentunya kalau saja kasusnya tidak ditolak Polres Jakarta Selatan.
Bukan ditangani oleh lembaga peradilan yang berbeda ya.. tentu saja mungkin oleh lembaga peradilan yang sama..Eh…sebentar, tidak tahu juga ya saya, apakah peradilan yang sama atau berbeda. Karena kita sendiri tidak tahu ‘locus delicti’nya [tempat terjadinya peristiwa] itu, apakah di Jakarta Selatan atau dimana. Kan kita juga buta ya. Saya juga tidak mengetahui itu.
Tapi yang jelas, kalau kita mau mengatakan bahwa ini betul di situ ada tindak pidana pelecehan seksual, ya idealnya harus berproses sampai di pengadilan, sampai ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Idealnya.
Masalahnya, kasus pelecehan seksualnya tidak berproses lanjut…
Atau mungkin belum [berproses]
Kemudian berkembang opini di tengah masyarakat bahwa kekerasan seksual itu tidak terjadi dan itu tampaknya mempengaruhi putusan hakim. Karena tidak ada pembuktian dan putusan inkrah, publik pun menyimpulkan bahwa itu tidak ada. Apa yang menurut PC terjadi menjadi terdistorsi. Menurut Anda?
Kalau saya pikir, masyarakat atau orang itu ya boleh saja berpendapat ya. Nanti kalau dilarang, marah lagi dianggap melanggar Undang Undang Dasar. Orang boleh saja berpendapat, mau mengatakan apa pun. Boleh saja. Berpendapat boleh.
Tapi, kalau kita berbicara secara hukumnya ya memang hal itu belum terbukti. Belum terbukti ada pelecehan seksual. Ini berbicara secara hukum. Kan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan terbukti sehingga dugaan tindak pidana itu belum berbukti secara hukum.
PC kemudian divonis 20 tahun. Saat ini lagi kasasi. Masih ada nggak ruang buat dia untuk membela diri dengan alasan bahwa kasusnya tidak diproses?
Ah, sebenarnya kan sekarang masih ada…sekarang kan masih dalam tingkat kasasi kan, belum putus. Yang sudah untuk perkara pembunuhannya, kan. Nah, kalau untuk perkara pelecehan seksualnya sebenarnya, korban itu masih tetap punya hak untuk melaporkan itu, kemudian diproses, dan sebagainya.
Dan kalau merasa bahwa kalau memang betul sudah diterbitkan SP3 kemudian SP3 itu menurut korban tidak sah, bisa saja mengajukan pra-peradilan ke pengadilan.
Ruang hukum untuk PC masih saja terbuka. Dengan mengajukan pra-peradilan ke pengadilan dan sebagainya. Sepanjang semuanya ini belum kadaluarsa tentu saja tetap terbuka ruang bagi korban untuk memperjuangkan haknya.
Kasus Ferdy Sambo (FS) dan PC apakah unik? Ada kasus pelecehan seksual yang kemudian memicu tindak pidana lain seperti pembunuhan atau pun penganiayaan?
Kalau menurut saya, perkara-perkara seperti ini banyak, jadi tidak bisa dikatakan unik. Banyak terjadi. Ini sebenarnya menurut saya kasus yang biasa saja. Kebetulan saja ini [melibatkan] orang besar, yang menjadi pelaku. Kemudian [kasus] ini begitu di’blow-up’ oleh media sehingga menjadi satu kasus yang sepertinya luar biasa. Ini kasus yang biasa, yang umum terjadi. Banyak kasus seperti ini. Misalnya, kan kasus anak pejabat Ditjen Pajak [Dendy] yang nggak terima pacarnya dilecehkan sama orang lain lalu dia menganiaya…Jadi banyak kasus seperti ini.
Kalau kasus pembunuhan Brigadir Josua kan sudah ‘clear’. Tapi, untuk kasu PC bagaimana—masih ada peluang untuk menyoal kalau seandainya dia mau?
Albertina: Iya. Silakan saja kalau yang bersangkutan mau. Itu [laporan kekerasan seksual] kan sudah di SP3. Harusnya hidup dulu SP3-nya itu. Apa laporkan itu atau menempuh jalur pra-peradilan supaya dibatalkan SP3-nya atau bagaimana. Ya, lewat jalur-jalur hukum yang bisa ditempuh oleh yang bersangkutan.
Dan pasti yang bersangkutan juga paham karena punya penasihat hukum kan. Dan suami korban juga aparat penegak hukum, tentu saja paham dan tahu hak-haknya.
Sebetulnya yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak korban itu kan LPSK. Tetapi, di kasus ibu PC ini lembaga tersebut justru menolak untuk memperlakukan yang bersangkutan sebagai korban.
Dalam kasus ini, kalau mau lebih valid, bisa tanyakan kepada LPSK. Tentu saja LPSK punya perimbangan-pertimbangan tersendiri untuk melakukan penolakan itu.
Ada juga anggota LPSK yang berbeda pendapat?
Mungkin kalah suara, ya kan. Tapi ya kalau kalah suara, bagaimana lagi. Peraturannya kan seperti itu.
Kami juga menjaring pendapat sejumlah aktivis perempuan. Salah satunya meyakini bahwa perkosaan itu terjadi dengan melihat bahasa tubuh baik FS maupun PC.
Nah, kalau saya, mohon maaf. Saya tidak bisa memberikan penilaian seperti itu karena latar belakang saya kan hakim. Lebih melihat fakta hukum. Kita tidak banyak melihat ‘gesture’ [Bahasa tubuh] karena memang nggak paham. Kita hanya melihat fakta hukum saja di persidangan. Nah, menurut fakta hukum di persidangan, ya seperti itulah kira-kira.
Kami pernah bercakap dengan Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar. Kesulitan korban perkosaan atau kekerasan, menurut dia, adalah menunjukkan bukti visum fisik dan jejak kekerasan. Korban tidak selalu bisa melakukan itu. Kembali ke PC. Jika ia ingin memperkarakan lagi kasusnya, bukti-bukti itu akan sulit diperoleh. Bagaimana seharusnya hakim melihat kal seperti itu?
Sebenarnya hakim tidak kaku juga kalau kita merujuk ke UU TPKS. Soal pembuktian itu, bisa dikatakan dibuka ruang pembuktian yang sangat luas sebenarnya. Berbeda dengan KUHAP. Kalau KUHAP memang ruang pembuktiannya lebih sempit. Misalnya harus ada satu saksi. Lalu, saksi korban harus tetap dapat menunjukkan alat bukti saksi lain yang mendukung, dan sebagainya. Tapi, kalau di UU TPKS kan satu saksi saja bisa dikatakan sebagai saksi. Termasuk orang yang mendengar dari orang lain. Kalau dalam KUHAP itu dikenal sebagai ‘de auditu’. Itu pun masih bisa memberikan kesaksian kalau di UU TPKS.
Tapi, persoalannya kita harus melihat begini: bahwa hakim itu kan ujung dari satu proses sistem peradilan pidana. Dia ujungnya. Nah, awalnya kan proses penyidikan. Setelah ada proses penyidikan baru sampai ke pengadilan. Pengadilan yang akan menentukan terbukti atau tidak. Nah, di proses awal ini [untuk kasus perkosaan PC] belum ada [bukti]. Bagaimana di akhir ini bisa menentukan, ya kan. Jadi, seperti itulah.
Dalam sistem peradilan kita, keyakinan majelis hakim sangat menentukan. Nah, kalau sejak awal hakim sudah meyakini bahwa pelecehan seksual dan kekerasan itu tidak ada tentu segala hal yang berkaitan dengan itu akan dianggap tidak relevan; termasuk bukti psikiatri dan psikologis. Ini dapat mempengaruhi keputusan vonisnya.
Sebenarnya saya pikir tidak juga demikian. Karena begini: keyakinan yang akan diperolah di dalam perkara yang disidangkan itu…atau keyakinan yang timbul itu adalah keyakinan tentang perkara pembunuhan, bukan keyakinan tentang tidak terjadinya pelecehan seksual. Itu kan berbeda. Berbeda kan itu.
Keyakinan yang harus ditimbulkan hakim itu adalah keyakinan bahwa pembunuhan itu terjadi. Hakim yakin bahwa pembunuhan itu terjadi. Keyakinan itu timbul bukan timbul begitu saja karena itu semua harus berdasarkan bukti-bukti. Nah itu. Bukti-bukti pelecehan seksual belum pernah dilakukan untuk diperiksa.
Menarik. Kami juga pernah bercakap dengan Prof. Sulistyowati Irianto dari UI yang terlibat dalam penggodogan UU TPKS. Satu hal yang ia sesalkan adalah penempatan perkosaan di pasal 4 ayat 2, bukan di ayat 1 sehingga posisinya lemah. Perkosaan hanya ‘subordinate’ bukan ‘core’ karena dinyatakan di pasal 4 ayat 2 bahwa ‘…juga meliputi perkosaan.’ Bagaimana menurut Ibu?
Memang kalau dilihat di sini yang akan dipakai adalah KUHAP. Saya belum membaca secara mendetail ayat 2 UU TPKS. Tapi, di ayat 2 ini apakah ada ancaman pidananya tersendiri? Nah, itu juga perlu dilihat. Kalau tidak ada ancaman pidananya tersendiri kita akan kembali ke KUHAP.
Saya juga tadinya berpikir bahwa semua tindak pidana kekerasan seksual ini lalu dimuat di dalam UU TPKS. Saya tadinya berpikir seperti itu. Nah, saya ini kan bukan legislator. Cuma berpikir seperti itu kalau dilihat dari judulnya. Tapi, ternyata masih merujuk kepada [hukum acara] yang lain. Ya, kalau saya sebagai hakim, kita ini pelaksana UU dan ya kita laksanakan saja.
Tapi, kalau dibilang bahwa lalu ini menjadi mengurangi wibawa dari peraturan tentang tindak pidana kekerasan seksual, saya pikir tidak juga. Saya pribadi berpendapat tidak juga karena UU TPKS mengatur tentang perluasan pembuktian maka lebih mudah pembuktiannya dibandingkan kalau kita membuktikan perkara-perkara yang ada dalam KUHP menggunakan KUHAP.
Untuk kasus perkosaan, di KUHAP itu menuntut pembuktian visum fisik?
Albertina: Iya, dan saksi itu harus melihat sendiri, dan sebagainya. Kalau di UU TPKS ini, ini kan saksi nggak melihat sendiri boleh menjadi saksi. Jadi, dengan perluasan pembuktian itu menurut saya sudah cukup baik dalam arti kalau kita perlahan-lahan untuk menuju kepada yang lebih ideal.
Apa yang bisa dilakukan untuk menolong para korban kekerasan seksual sehingga mereka bisa bersuara lewat jalur hukum? Karena umumnya korban perkosaan atau kekerasan seksual itu orang yang lemah dari segi relasi kuasa. Pelakunya sendiri umumnya orang-orang dekat termasuk atasan, guru, dosen, dan keluarga. Dalam perkosaan ‘incest’ pelaku itu bisa ayah, kakak, dan paman sendiri sehingga atas nama kehormatan atau wibawa keluarga kasus kerap dibenam ke permukaan.
Sebenarnya kalau kita lihat di dalam UU ini, kalau saya nggak salah ingat, itu sudah diatur juga bahwa rumah sakit bisa melaporkan kalau tahu [ada kasus perkosaan atau kekerasan seksual]. Ini sudah bagus. Rumah sakit punya kewajiban melaporkan. Kemudian lembaga-lembaga…kita kan mengenal di masyarakat ada lembaga perlindungan. Di Pemda-Pemda, misalnya, ada TPK2S. Itu semua punya kewajiban untuk melaporkan dan sebagainya. Ini kan sudah bagus; sudah melibatkan masyarakat luas untuk ikut melaporkan. Kalau dulu kan tidak.
Tindakan pidana kekerasan seksual ini banyak terjadi di lingkup rumah tangga dan biasanya disembunyikan karena merupakan aib keluarga. Tapi, dengan adanya kewajiban pihak-pihak lain untuk melaporkan, saya pikir cukup membantu. Kemudian ada pemberatan juga. Artinya, kalau keluarga menutupi maka hukumannya akan lebih berat, ditambah sepertiga. Ini sudah beda. Kalau di dalam KUHAP tidak ada pemberatan sepertiga itu.
Secara aturan sudah bagus, cuma pelaksanaannya masih sangat kurang. Lalu, apa yang paling mendesak untuk dilakukan sekarang?
Seberapa bagus pun tapi pelaksanaannya belum optimal ya, itu peraturan hanya di atas kertas. Jadi, pelaksananya harus ditingkatkan kemampuannya. Penyidik, penuntut umum, dan hakim, termasuk.
Nanti ada juga peran LPSK, LSM pendamping korban, dan yang lain. Itu semua harus bersinergi. Dan, kita harus betul-betul bisa menerapkan UU TPKS sesuai dengan tujuan keberadaannya.
Masyarakat luas juga perlu disadarkan tentang hak mereka secara hukum?
Iya, masyarakat pun harus diberikan sosialisasi tentang UU ini sehingga tahu harus melakukan apa apabila menjadi korban atau Ketika melihat tetangganya menjadi korban orang lain. Mereka mesti tahu sampai seberapa hak dia untuk berperan dalam UU ini. Jadi, semua linilah perlu diberi kesadaran dan pemahaman.
Hakim juga perlu ada ‘training’ atau sertifikasi kompetensi terkait penanganan kasus kekerasan seksual?
Undang undang sudah mewajibkan harus ada. Tapi apakah kita siap langsung menyiapkan hakim sekian banyak? Di sinilah makanya diberikan aturan peralihannya, diberi ruang pengecualian. Kalau memang belum ada, ya cukuplah dengan SK MA dulu atau SK Kejaksaan Agung, SK Kapolri. Kalau kewajiban sudah ada diatur, tinggal memang hal ini tidak mudah.
Apakah perlu ada lembaga pengawasan terhadap pelaksanaan UU TPKS?
Ya sebenarnya. Kalau kita lihat dalam UU ini, itu tidak disebutkan. Dan memang semua UU tidak ada. Setahu saya nggak ada UU yang menugaskan orang atau lembaga untuk mengawasi pelaksanaannya. Tidak ada memang.
Itu perlu?
Sebenarnya hakim, atau para aparat penegak hukum, sebagai pelaksana UU dia pasti sudah membaca dan dia harus melaksanakan semua ketentuan di dalam UU itu. Dan kalau dia tidak melaksanakan, biasanya dalam UU itu juga disebutkan ada ancamannya.
Sekarang tentang Anda. Lebih banyak bertugas di mana?
Saya masih di KPK sekarang. Saat ini kebanyakan menangani masalah korupsi. Kalau dulu di Mahkamah Agung memang kebetulan saya juga anggota di Pokja, Kelompok Kerja Perempuan dan Anak. Makanya kami juga banyak menangani urusan kepedulian terhadap perempuan dan sebagainya.
Kontributor : Rin Hindryati dan P Hasudungan Sirait
Kontributor : Rin Hindryati