Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia: Demi Pendidikan dan Masa Depan Anak

Senin, 03 April 2023 | 09:39 WIB
Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia: Demi Pendidikan dan Masa Depan Anak
Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia. [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dan sekarang sudah terbentuk surau dan dua asrama putri dan putra. Anaknya yaitu lulusan dari sanggar bimbingan yang kami kelola, seperti itu. Nah sekarang baru dua angkatan, nah sekarang yang kelas 6 sudah 20 anak yang akan memasuki untuk ujian akhir, seperti itu.

Apakah memang di wilayah Kuala Lumpur ini banyak WNI yang tak berdokumen?

Banyak sekali, pak. Sangat amat banyak. Mereka sebetulnya tidak mau begitu, tapi kadang ditipu oleh majikan. Sudah beribu-ribu habis, paspor habis, semua habis, akhirnya mau tidak mau mereka bekerja secara sembunyi. Ya memang ada beberapa majikan yang mengizinkan, seperti di kedai, kemudian bersih-bersih, kemudian pembantu rumah juga ada. Nah kemarin, di tahun kemarin kami kumpulkan ibu bapak yang kelas 6 akan kami pulangkan ke Indonesia. Saya bilang, oke ibu saya tanggung jawab sampai kelas 6, saya pulangkan ke Indonesia kerja sama dengan pihak KBRI, biar SMP-nya di Indonesia, tidak mau pak.

Semuanya tidak mau, kami tidak mau pulang di Indonesia, karena saya mau kerja apa di Indonesia. Jadi bagaimana anak-anak? Saya serahkan ke kami, bagaimana supaya anak saya ini bisa sekolah SMP. Tapi setelah sepakat dengan pihak KBRI, sampai kelas 3 SMP saja. SMA-nya memang kita harus pulangkan, karena itu sudah usia bekerja pak. Kalo 9 tahun belajar kan, usia belajar ya. Jadi kalo sudah 15-16 tahun udah usia bekerja, sementara ini mereka pulang tidak ada kompensasi dari kerajaan Malaysia.

Apa saja kendala mengajar anak-anak yang memang tidak pernah ikut pendidikan resmi tersebut?

Memang sangat in struktural kami di akhlak, di moral di akhlak itu sangat luar biasa. Tidak sama dengan awal, karena mereka masuk 9 tahun, 10 tahun, yang awalnya terbiarkan, jadi kami utamakan akhlaknya dulu. Akhlaknya dulu, saya tidak punya pandai, kata saya. Tetapi akhlak dulu, Insha Allah kalo akhlaknya baik itu akan ikut, ke mana itu akan kita ajar. Jadi program saya dari mulai 07.30 pagi, itu kami sudah berkumpul, kita bershalawat, menghafalkan juz amma. 07.40 sholat dhuha berjamaah, sholat hajat berjamaah, istighosah, berdoa bersama sampai pukul 08.00 pagi, senam.

Senam 30 menit, setelah senam baru masuk kelas masing-masing, itu program setiap hari seperti itu. Dan sampe sore, jadi ada jamaah sholat Dzuhur, jamaah sholat Ashar. Setelah sholat ashar barulah mereka pulang sampai sore.

Kenapa mereka ini tidak mempunyai dokumen? Karena orang tua yang banyak adalah menikah di bawah tangan. Sehingga tidak punya surat nikah, risikonya kepada anak. KBRI pun kalau memang tidak ini, bagaimana dia mengesahkan anak orang indonesia dan anak ibu bapak, kan tidak ada, surat nikah.

Dan yang menikah bukan orang Indonesia yang banyak, Bangladesh, Pakistan, Afrika pun ada, kalau masih dibiayai masih mending, kami ditinggalkan pak. Jadi mereka ini tidak ada, orang tua tunggal ya iya seperti itu. Tak pernah pulang ke Bangladesh, yang banyak seperti itu. Jadi ada beberapa anak, malahan tidak tau orang tuanya siapa, di ambil oleh anak angkat, di ambil oleh tetangganya, disekolahkan seperti itu.

Baca Juga: Kisah Malaysia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 1997, Hancur Lebur, Gugur di Fase Grup

Apa saja tantangan terbesar mengajar anak-anak pekerja migran?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI