Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia: Demi Pendidikan dan Masa Depan Anak

Senin, 03 April 2023 | 09:39 WIB
Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia: Demi Pendidikan dan Masa Depan Anak
Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia. [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak banyak barangkali orang yang menaruh perhatian, apalagi sampai coba berbuat untuk membantu pendidikan anak-anak pekerja migran Indonesia di mancanegara. Selain memang tidak mudah, tidak banyak orang yang mungkin cukup peduli.

Namun tidak demikian halnya dengan sosok satu ini. Namanya Mimin Mintarsih. Dia adalah sosok pegiat sekaligus pendiri dari sebuah lembaga pendidikan non-formal bernama Sanggar Sungai Mulia 5, yang berada di Semenanjung Malaysia. Menariknya, anak-anak yang diajar di sanggarnya bukan anak-anak biasa, melainkan kebanyakan dari pernikahan campuran antara wanita Indonesia dengan pria bangsa lain, serta tidak memiliki dokumen kependudukan yang jelas.

Lantas, bagaimana kisah awalnya hingga Mimin Mintarsih tertarik dan bisa mendirikan sanggar belajarnya tersebut? Bagaimana pula kiprah selama perjalanannya? Berikut petikan wawancara khusus Suara.com dengan Mimin Mintarsih, saat berjumpa dalam acara Kementerian Luar Negeri, beberapa waktu lalu.

Boleh ceritakan awal mula perjuangan Ibu mendirikan sanggar pembelajaran di Malaysia?

Terima kasih kepada Suara.com. Saya selain mengelola sanggar bimbingan juga Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Malaysia, sudah 2 periode. Berangkat dari latar belakang sanggar bimbingan adalah sebelum saya diresmikan oleh kedutaan yaitu 2018, saya sudah mulai mencari-mencari bagaimana caranya supaya anak Indonesia ini ada mempunyai suatu pendidikan. Tapi ketika itu belum mempunyai jalannya, dan alhamdulillah pada 2019 tepatnya pada tanggal 11 bulan 11, itu Atdikbud (Atase Pendidikan dan Kebudayaaan), Bapak Dr. Farid Ma’ruf memanggil kami untuk mengadakan pendidikan non formal.

Ketika itu saya bilang kepada Pak Profesor, kalau memang pendidikan non formal ini hanya dibatas sekian tahun, saya tidak siap. Tetapi kalau tidak terbatas, saya siap. Karena pendidikan itu tidak terbatas. Setelah itu, "Nggak bu, ini adalah merupakan program Atdikbud. Siapa pun yang menjadi Atdikbud akan tetap ada sanggar bimbingan." Dan Alhamdulilah permulaan kami diresmikan itu hanya 50 anak. Kenapa kami batasi? Karena tempat tidak ada Pak. Ketika itu tempat tidak ada, dan anak-anak yang di bawah kami adalah memang anak-anak yang tidak boleh sekolah di mana pun. Baik di swasta apalagi di kerajaan. Memang mereka tidak mempunyai dokumen sama sekali, boleh di swasta tapi setelah kelas 5 mereka akan dikeluarkan.

Karena di kelas 6 itu mereka akan dimintai dokumennya untuk ujian akhir kelas 6. Ketika itu dikeluarkan ramai sekali anak-anak yang keluar dari sekolah swasta. Alhamdulilah sekarang saya sudah 3 tahun mendirikan sanggar bimbingan ini, dan murid pun di antara sanggar-sanggar lain terbanyak, 162. Dan semuanya adalah memang anak-anak yang tidak mempunyai dokumen. Cuma alhamdulilah, pihak KBRI sudah memberikan beberapa kemudahan, di antaranya anak-anak dibuatkan surat keterangan lahir, semuanya, yang belum mempunyai akte kelahiran. Dan yang kedua, anak-anak dibuatkan SPLP, paspor sementara. Biasanya SPLP ini untuk pulang, tapi karena ini untuk pegangan anak-anak, KBRI membuatkan SPLP.

Kemudian pihak sekolah kedutaan juga menguruskan modulnya, jadi modul semua adalah 100% ikut Malaysia. Resmi diberikan oleh pihak sekolah kedutaan dan secara gratis, itu dari kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, kami ada kelas calistung. Calistung ini untuk anak yang tidak dibolehi membaca, menulils, dan berhitung usia 8-11 tahun. Bahkan sampai sekarang anak 15 tahun juga ada anak yang tidak bisa membaca, karena memang tidak sekolah sama sekali. Orang tua ini bukan tidak mampu, orang tua ini bukan tidak bekerja, bekerja. Walaupun mereka tidak ada dokumen, ada beberapa majikan yang mengizinkan mereka untuk bekerja, tetapi tidak ada peluang untuk sekolahkan anak-anak.

Jadi setelah Atdikbud dan KBRI memberikan dan memfasilitasi sanggar bimbingan ini luar biasa manfaatnya untuk anak-anak. Dan sekarang saya sudah dua angkatan, jadi angkatan kelas 6 yang dua anak ini masuk ke sekolah Indonesia resmi, formal. Karena dua anak ini pandai pak, jadi masuk ke formal, asalnya memang formal, tapi jadikan formal walaupun tidak ada dokumen.

Baca Juga: Kisah Malaysia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 1997, Hancur Lebur, Gugur di Fase Grup

Kemudian yang 23 anak masuk ke pondok pesantren, kebetulan saya selain pengelola sanggar bimbingan juga pengelola SMP-nya. Nah SMP ini saya letak di sebuah pondok, jauh dari Kuala Lumpur. Hampir perhutanan kemudian kami dari Nahdlatul Ulama diberikan tanah waaf oleh pihak Malaysia dibangunlah pondok, itu swadaya masyarakat Nahdliyin, tidak ada dari pihak Malaysia sama sekali.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI