Suara.com - Tidak banyak barangkali orang yang menaruh perhatian, apalagi sampai coba berbuat untuk membantu pendidikan anak-anak pekerja migran Indonesia di mancanegara. Selain memang tidak mudah, tidak banyak orang yang mungkin cukup peduli.
Namun tidak demikian halnya dengan sosok satu ini. Namanya Mimin Mintarsih. Dia adalah sosok pegiat sekaligus pendiri dari sebuah lembaga pendidikan non-formal bernama Sanggar Sungai Mulia 5, yang berada di Semenanjung Malaysia. Menariknya, anak-anak yang diajar di sanggarnya bukan anak-anak biasa, melainkan kebanyakan dari pernikahan campuran antara wanita Indonesia dengan pria bangsa lain, serta tidak memiliki dokumen kependudukan yang jelas.
Lantas, bagaimana kisah awalnya hingga Mimin Mintarsih tertarik dan bisa mendirikan sanggar belajarnya tersebut? Bagaimana pula kiprah selama perjalanannya? Berikut petikan wawancara khusus Suara.com dengan Mimin Mintarsih, saat berjumpa dalam acara Kementerian Luar Negeri, beberapa waktu lalu.
Boleh ceritakan awal mula perjuangan Ibu mendirikan sanggar pembelajaran di Malaysia?
Baca Juga: Kisah Malaysia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 1997, Hancur Lebur, Gugur di Fase Grup
Terima kasih kepada Suara.com. Saya selain mengelola sanggar bimbingan juga Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Malaysia, sudah 2 periode. Berangkat dari latar belakang sanggar bimbingan adalah sebelum saya diresmikan oleh kedutaan yaitu 2018, saya sudah mulai mencari-mencari bagaimana caranya supaya anak Indonesia ini ada mempunyai suatu pendidikan. Tapi ketika itu belum mempunyai jalannya, dan alhamdulillah pada 2019 tepatnya pada tanggal 11 bulan 11, itu Atdikbud (Atase Pendidikan dan Kebudayaaan), Bapak Dr. Farid Ma’ruf memanggil kami untuk mengadakan pendidikan non formal.
Ketika itu saya bilang kepada Pak Profesor, kalau memang pendidikan non formal ini hanya dibatas sekian tahun, saya tidak siap. Tetapi kalau tidak terbatas, saya siap. Karena pendidikan itu tidak terbatas. Setelah itu, "Nggak bu, ini adalah merupakan program Atdikbud. Siapa pun yang menjadi Atdikbud akan tetap ada sanggar bimbingan." Dan Alhamdulilah permulaan kami diresmikan itu hanya 50 anak. Kenapa kami batasi? Karena tempat tidak ada Pak. Ketika itu tempat tidak ada, dan anak-anak yang di bawah kami adalah memang anak-anak yang tidak boleh sekolah di mana pun. Baik di swasta apalagi di kerajaan. Memang mereka tidak mempunyai dokumen sama sekali, boleh di swasta tapi setelah kelas 5 mereka akan dikeluarkan.
Karena di kelas 6 itu mereka akan dimintai dokumennya untuk ujian akhir kelas 6. Ketika itu dikeluarkan ramai sekali anak-anak yang keluar dari sekolah swasta. Alhamdulilah sekarang saya sudah 3 tahun mendirikan sanggar bimbingan ini, dan murid pun di antara sanggar-sanggar lain terbanyak, 162. Dan semuanya adalah memang anak-anak yang tidak mempunyai dokumen. Cuma alhamdulilah, pihak KBRI sudah memberikan beberapa kemudahan, di antaranya anak-anak dibuatkan surat keterangan lahir, semuanya, yang belum mempunyai akte kelahiran. Dan yang kedua, anak-anak dibuatkan SPLP, paspor sementara. Biasanya SPLP ini untuk pulang, tapi karena ini untuk pegangan anak-anak, KBRI membuatkan SPLP.
Kemudian pihak sekolah kedutaan juga menguruskan modulnya, jadi modul semua adalah 100% ikut Malaysia. Resmi diberikan oleh pihak sekolah kedutaan dan secara gratis, itu dari kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, kami ada kelas calistung. Calistung ini untuk anak yang tidak dibolehi membaca, menulils, dan berhitung usia 8-11 tahun. Bahkan sampai sekarang anak 15 tahun juga ada anak yang tidak bisa membaca, karena memang tidak sekolah sama sekali. Orang tua ini bukan tidak mampu, orang tua ini bukan tidak bekerja, bekerja. Walaupun mereka tidak ada dokumen, ada beberapa majikan yang mengizinkan mereka untuk bekerja, tetapi tidak ada peluang untuk sekolahkan anak-anak.
Jadi setelah Atdikbud dan KBRI memberikan dan memfasilitasi sanggar bimbingan ini luar biasa manfaatnya untuk anak-anak. Dan sekarang saya sudah dua angkatan, jadi angkatan kelas 6 yang dua anak ini masuk ke sekolah Indonesia resmi, formal. Karena dua anak ini pandai pak, jadi masuk ke formal, asalnya memang formal, tapi jadikan formal walaupun tidak ada dokumen.
Baca Juga: 64 PMI Ilegal Diamankan di Asahan Usai Pulang dari Malaysia, Nakhoda Ditetapkan Tersangka
Kemudian yang 23 anak masuk ke pondok pesantren, kebetulan saya selain pengelola sanggar bimbingan juga pengelola SMP-nya. Nah SMP ini saya letak di sebuah pondok, jauh dari Kuala Lumpur. Hampir perhutanan kemudian kami dari Nahdlatul Ulama diberikan tanah waaf oleh pihak Malaysia dibangunlah pondok, itu swadaya masyarakat Nahdliyin, tidak ada dari pihak Malaysia sama sekali.
Dan sekarang sudah terbentuk surau dan dua asrama putri dan putra. Anaknya yaitu lulusan dari sanggar bimbingan yang kami kelola, seperti itu. Nah sekarang baru dua angkatan, nah sekarang yang kelas 6 sudah 20 anak yang akan memasuki untuk ujian akhir, seperti itu.
Apakah memang di wilayah Kuala Lumpur ini banyak WNI yang tak berdokumen?
Banyak sekali, pak. Sangat amat banyak. Mereka sebetulnya tidak mau begitu, tapi kadang ditipu oleh majikan. Sudah beribu-ribu habis, paspor habis, semua habis, akhirnya mau tidak mau mereka bekerja secara sembunyi. Ya memang ada beberapa majikan yang mengizinkan, seperti di kedai, kemudian bersih-bersih, kemudian pembantu rumah juga ada. Nah kemarin, di tahun kemarin kami kumpulkan ibu bapak yang kelas 6 akan kami pulangkan ke Indonesia. Saya bilang, oke ibu saya tanggung jawab sampai kelas 6, saya pulangkan ke Indonesia kerja sama dengan pihak KBRI, biar SMP-nya di Indonesia, tidak mau pak.
Semuanya tidak mau, kami tidak mau pulang di Indonesia, karena saya mau kerja apa di Indonesia. Jadi bagaimana anak-anak? Saya serahkan ke kami, bagaimana supaya anak saya ini bisa sekolah SMP. Tapi setelah sepakat dengan pihak KBRI, sampai kelas 3 SMP saja. SMA-nya memang kita harus pulangkan, karena itu sudah usia bekerja pak. Kalo 9 tahun belajar kan, usia belajar ya. Jadi kalo sudah 15-16 tahun udah usia bekerja, sementara ini mereka pulang tidak ada kompensasi dari kerajaan Malaysia.
Apa saja kendala mengajar anak-anak yang memang tidak pernah ikut pendidikan resmi tersebut?
Memang sangat in struktural kami di akhlak, di moral di akhlak itu sangat luar biasa. Tidak sama dengan awal, karena mereka masuk 9 tahun, 10 tahun, yang awalnya terbiarkan, jadi kami utamakan akhlaknya dulu. Akhlaknya dulu, saya tidak punya pandai, kata saya. Tetapi akhlak dulu, Insha Allah kalo akhlaknya baik itu akan ikut, ke mana itu akan kita ajar. Jadi program saya dari mulai 07.30 pagi, itu kami sudah berkumpul, kita bershalawat, menghafalkan juz amma. 07.40 sholat dhuha berjamaah, sholat hajat berjamaah, istighosah, berdoa bersama sampai pukul 08.00 pagi, senam.
Senam 30 menit, setelah senam baru masuk kelas masing-masing, itu program setiap hari seperti itu. Dan sampe sore, jadi ada jamaah sholat Dzuhur, jamaah sholat Ashar. Setelah sholat ashar barulah mereka pulang sampai sore.
Kenapa mereka ini tidak mempunyai dokumen? Karena orang tua yang banyak adalah menikah di bawah tangan. Sehingga tidak punya surat nikah, risikonya kepada anak. KBRI pun kalau memang tidak ini, bagaimana dia mengesahkan anak orang indonesia dan anak ibu bapak, kan tidak ada, surat nikah.
Dan yang menikah bukan orang Indonesia yang banyak, Bangladesh, Pakistan, Afrika pun ada, kalau masih dibiayai masih mending, kami ditinggalkan pak. Jadi mereka ini tidak ada, orang tua tunggal ya iya seperti itu. Tak pernah pulang ke Bangladesh, yang banyak seperti itu. Jadi ada beberapa anak, malahan tidak tau orang tuanya siapa, di ambil oleh anak angkat, di ambil oleh tetangganya, disekolahkan seperti itu.
Apa saja tantangan terbesar mengajar anak-anak pekerja migran?
Orang tua tunggal, kosongan, harus kerja sembunyi, anak lagi kosong. Jadi kalo sampai pihak kerajaan, tapi memang habislah semuanya. Makanya saya tidak izinkan anak-anak menggunakan pakaian seragam sekolah, jadi pakenya biasa. Jadi tidak diketahui sama sekali oleh pihak polisi. Tapi Insha Allah, selama kita masih menjaga-jaga bersama, sebetulnya tau, pihak kerajaan tahu, pokoknya ada sekolah tahu.
Sebab tiap hari polisi keliling di kawasan rumah saya, tapi tutup mata. Itu untuk pendidikan, saya bukan melindungi, tapi saya memberikan pendidikan. Kendala terbesar adalah kami kekurangan guru pak. Guru ini memang sangat sulit sekali, mula-mula dari para mahasiswa, mahasiswa sekarang S2, ada S3, ada degree, sudah lulus, sudah pulang. Nah sekarang yang baru ini agak susah, akhirnya kami mengambil beberapa penghuni muslimat 1, 2, 3 aman. 4, 5, 6 ini agak berat karena sudah fokus di modul.
Jadi kemarin ketika Sekjen Kementerian Luar Negeri ke Malaysia juga disampaikan, pertama kami mohon legalitas karena sampai sekarang belum ada izin dari pihak Malaysia. Nah kalo sudah ada perizinan, mungkin seperti di LC Serawak, kita boleh pakai seragam sekolahnya, nah itu. Tapi kan masih belum punya legalitas, anak-anak masih menggunakan pakaian bebas seperti biasa.
Dari sisi biaya, dari mana saja Anda mendapatkannya?
Nah karena kami tidak ada biaya dari mana-mana pun, donatur tidak, KBRI tidak, akhirnya dikenakan iuran untuk anak-anak. Iuran itu untuk menyewa gedung, saya nyewa gedung pak, 1 gedung tu rumah tingkat, Rp 6 juta. Kemudian ada santri jauh, kami sewakan juga, sekitar 800 ringgit Malaysia dalam Rp 2 juta, itu untuk sewa. Kemudian lapangan, untuk senam anak-anak apa juga kami sewa. Guru-guru juga kami berikan inspektifnya, seperti itu. Jadi uang itulah kami kelola pak, uang dari iuran anak-anak.
Kurikulum apa yang digunakan dalam pembelajaran?
Indonesia, standarnya semua di Indonesia. Dan yang itunya adalah pihak kedutaan, pihak sekolah kedutaan. Jadi yang dibantu oleh pihak sekolah kedutaan, ijazah, kemudian ketika anak pulang ke Indonesia surat keterangan, kemudian modul. Dari pihak KBRI, surat keterangan lahir dan paspor SPLP. Surat keterangan lahir dapet, SPLP dapet. Nanti ketika anak pulang ke Indonesia itu akan tukar kepada akta kelahiran, seperti itu. Dan anak yang menurut saya ini, yatim dan tidak mampu gratis. Jadi yang mampu saja bayar.
Apa ide awal Ibu bisa mendirikan sekolah ini?
Awal ceritanya, saya dan suami pak dari mulai suami masuk Malaysia tahun 1985, itu sudah mengajar. Mengajar anak malaysia, anak siapa pun kita ngajar. Terus saya masuk 1994 ke Malaysia juga sama mengajar. Nah pada sekitar 2006 atau 2008, mulailah anaknya warga asing itu disuruh tukar kembali surat akte kelahirannya ke Jabatan Pendaftaran Negara.
Dari situ banyak sekali yang asalnya warga negara Malaysia ditukar kepada bukan warga negara Malaysia. Ketika Abdullah Ahmad Badawi memerintah, otomatis anak yang bukan warga negara Malaysia tidak boleh ikut ujian. Dari 2006 pun sudah banyak yang tidak sekolah. Cuma ketika itu saya tidak mempunyai peluang bagaimana sih untuk membuat non formal gitu. Berangkat dari murid-murid saya yang tidak bisa sekolah, berangkat dari situ.
Bagaimana anak-anak bisa tertarik mendaftar sekolah Ibu Mimin?
Sebetulnya tu banyak pak, dari awal buka tu sudah banyak yang daftar. Kami dibatasi karena tempat tidak ada. Jadi kata Pak Farid batasi dulu 50. Dibatasi 50 terus meningkat sampai lah sekarang, 162.
Dan sekarang sudah berdiri 32 sanggar bimbingan di Semenajung. Semenanjung malaysia lain sampai selawak. Sanggar bimbingan itu di bawah KBRI, di bawah kedutaan, tapi ada yang dibawah Organisasi Masyarakat, ada yang di bawah alumni, ada yang persendirian. Seperti itu.
Apa saja usulan ke Pemerintah Indonesia agar tetap bisa menjalankan pembelajaran?
Saya usulan dua pak. Pertama, guru tetap, ada nya guru tetap dan itu digaji oleh pihak pemerintah. Sehingga kami tidak memikirkan bulan ini minus nggak ya, sehingga kami tidak perlu cari donatur. Yang kedua legalitas dari pemerintah Malaysia. Sehingga anak-anak biar semangat memakai baju sekolah.
Nah itu yang kami mohonkan, dua itu pak. Itu yang terpenting, untuk masalah biaya dan sebagainya mungkin bisa kami usahakan dengan wali murid. Karena yang dua ini kan harus pemerintah pak. legalitas , guru tetap, itu harus pemerintah. Kalau biaya itu mungkin bisa kami usahakanlah mencari donatur, atau dari wali murid, dan sebagainya.
Apakah sanggar ini menggunakan konsep community learning center (CLC)?
Ya, saya ingin seperti CLC. CLC seperti Serawak itu sudah dapat bansos, dapat guru dari indonesia, boleh pakai seragam, anaknya tenang karena pihak pemerintahnya tahu, ya seperti itu.
Cuma mungkin kalau di Sabah Serawak, itu orang tuanya lebih teratur, karena bekerjanya di ladang, kan di ladang semu. Kalau di Kuala Lumpur dan di Semenanjung nggak, berbagai macam pekerjaan. Ada yang di kedai, restoran, klinik, salon, di kedai makan, itu macam-macam. Jadi sulit untuk mengkoordinirnya. Kalau Sabah Serawak itu senang, semuanya beli kelapa sawit, nah itu salah satu perbedaan.
Boleh tahu, sebelum ke Malayasia, siapa Anda, atau beraktivitas sebagai apa?
Sebelum di malaysia, saya di Pondok Pesantren Tebu Ireng, dari mulai SD kemudian saya terakhir di Ikaha, tebu ireng, ambil syariah. 1994 terus masuk Malaysia sampai sekarang. Anak saya sudah 5 dan Alhamdulilah lima-limanya beasiswa. Yang pertama beasiswa Budapest, ambil doktor sekarang, dari S2 sampai S3. kemudian yang kedua di Turki, beasiswa juga. Yang ketiga sudah bekerja. Yang keempat beasiswa Malaysia, yang terakhir ni rencananya ada berangkat ke Jerman, tapi masih belajar bahasa Jerman. Ya, alhamdulilah.
Apakah suami Anda mengajar juga?
Bapak itu mengajar Al Quran, tapi ngajar secara kampung pak. Tidak ada iuran, tidak keliling ke mana-mana, suami saya tidak minta bayaran ke orang. Dikasih, terima. Nggak, ya udah. Gitu aja. Sampai sekarang dengan menjadi Imam Masjid, dan kalau di struktur NU nya, beliau Musta’ar, sampe sekarang di muslimat, yang dulunya di Fatayat.
Bagaimana koordinasi dengan Muslimat di Indonesia?
Alhamdulillah, satu satunya organisasi indonesia yang sudah diakui oleh pihak pemerintah adalah NU. Sebab kita ada pertubuhan, Nahdatul Ulama. Pengurusnya wajib warga negara Malaysia, yang asalnya Indonesia sudah menjadi warga negara Malaysia di antaranya suami saya. Itu boleh membuat pertumbuhan, pertumbuhannya adalah payung hukum. Payung hukum untuk seluruh kegiatan NU dan banom banomnya, seperti fatayat, ansor, banser, muslimat, kemudian Lazis NU semua. Jadi adalah kita udah punya payung hukum. Jadi kegiatan seperti di lapangan, apa semua sudah tak ada masalah, karena kita sudah payung hukum.
Karena di Malaysia yang banyak ada warga jawa timur, terutama Madura, Lamongan, itu memang basisnya kan NU pak. Jadi mudah sekali kalau untuk menari massa NU itu memang, tempatnya ya banyak seperti itu. Kegiatan sama seperti yang lain, cuma kalo muslimat lebih kepada sosial, seperti kemarin kita mengadakan sunatan massal kepada anak-anak yatim. Itu kami tidak melihat ada anaknya Malaysia, anaknya orang bangladesh, yang penting yatim dan tak mampu. Itu kami buat. Kemudian setiap liburan kami buat camp ibadah pesan terkilat juga saya buat, kalau untuk muslimat kan tiap tahunnya.
Bagaimana Ibu Mimin memberikan perlindungan kepada PMI?
Yang kemarin saya sampaikan kepada Atdikbud, ketika ada workshop, ‘Pak, saya ini harus bahagia, bersyukur, paling banyak muridnya, atau bersedih?’, kata saya. Bersyukur memang sudah ditangani dengan pihak KBRI, tapi semakin hari kok semakin banyak? Hampir setiap hari ada orang daftar. Berarti kan apakah program kita berhasil untuk terus-menerus seperti ini, atau kita akan stop. Nah kalau menyetop, itu memang sebetulnya secara kontrak kerja sudah apa pak.
Bahwa pekerja tidak boleh menikah, apalagi bawa anak. Tapi karena seringnya bertemu, saya hanya berjumpa, kata orang Jawa, ada istilahnya. Nah seperti itu, akhirnya terjadilah pernikahan dan menikahkan pun ada pak, ada izinnya sendiri. Begitu, jadi menikah sudah menikah aja secara resmi, secara hukum, setelah itu mereka tidak akan mendapat, nah semakin banyak seperti itu. Iya kalo berterusan. Nah yang jadi masalah itu ketika operasi (penertiban).
Nah ketika operasi ni orang kan sudah berkeliaran ke mana-mana, terutama yang perempuan, mau lari ke mana? Anak ditinggal, lari ke mana. Seperti itu, jadi memang satu-satunya jalan, ya mungkin dikurangkan dari pihak Indonesia untuk menuju agen-agen yang tidak bertanggungjawab. Karena kesannya rata-rata pelancong. Dari pelancong berterusan.
Mula mula dijanjikan nanti dibuatkan permit sampai di sana, kerja baik, gaji sekian, nanti permit dipotong ini. Sampai sana tidak dibuatkan. Mau pulang pun masa-nya sudah habis lebih dari 1 bulan, seperti itu.
Setelah urus SPLP, apa yang dilakukan selanjutnya?
Ngapain lagi, dan sudah tidak bisa balik, yang pertama. Yang kedua udah kadung enak di sana, karena lihat dari gaji, katakanlah paling murah itu 50 ringgit Malaysia satu hari. Pagi sampai jam 3, jam 4, itu 50 ringgit, Malaysia itu boleh untuk 3 kali makan, 3 hari makan. Istilah bahasa kasarnya seperti itu. Asal mau aja mereka. Menganggur, iya betul.
Bagaimana kesulitan dalam mengajar anak dari orang tua beda negara?
Yang rata-rata adalah ibunya yang dari Indonesia, bapak dari Bangladesh. Tapi yang Bangladesh, Pakistan, itu sudah pintar Bahasa Indonesia. Jadi secara bahasa tidak ada masalah. Jadi ketika saya tanya, mau dijadikan warga mana nih, Bangladesh atau Indonesia saja? Rata-rata yang bapaknya Bangladesh itu, suka anaknya dijadikan warga negara Indonesia. Jadi memang, kadang kemaren ada juga, kenapa nggak dibawa ke Bangladesh, saya suka Indonesia, Indonesia saja. Seperti itu.
Apakah anak-anak merasa tertarik belajar di sanggar?
Anak-anak tetap semangat. Memang anaknya luar biasa, bahkan kalau ada kegiatan ke kurikulum minggu, datang paling awal. Suruh datang jam 7, 06.30 sudah sampai. Nah itu yang membuat kami para pengelola ni, ini bagaimana kalau nggak di fasilitasi, anak-anak semangatnya luar biasa, melebihi dari anak-anak yang formal. Kalau disuruh apa, cepat datang, kegiatan cepet semangat. Itu yang sedang kami ikhtiarkan, supaya anak-anak ini tenang, bebas, kalau sudah dapat legalitas. Insha Allah anak-anaknya secara akhil pun pandai.
Masing-masing pun punya cita-cita sendiri. Ketika pak Juri ke sana, ditanya ini mau jadi apa, dokter, ini polisi, ini polwan. Mereka itu senang bercita-cita sendiri, punya keinginan sendiri. Nah kalau kita-kita ini nggak peduli dengan mereka, ke mana cita-cita mereka mau dibawa, kan begitu, seperti itu, kasihan. Jadi, alhamdulilah sekarang pihak pemerintah pun sudah membuka mata, sudah peduli dengan anak-anak ini, sudah banyak peluang, bahkan Sekjen Kementerian Luar Negeri sudah ke sana sendiri, melihat sendiri keadaan anak-anak seperti apa. Mudah-mudahan ke depannya akan jauh lebih baik.
Apakah para orang tua mendukung anaknya untuk ikut sanggar pembelajaran?
Nggak tau pak, kalau boleh cepet-cepet habis, pulang semua. Terutama orang tua yang kadang-kadang nggak tau, wes nggak usah sekolah anak anak kerja aja, kita panggil kita kasih pengertian. Saya bilang, ibu bapak iya sekarang bekerja, kuat lagi ngasih makan, ketika meninggal anak mau ditinggalin apa, ilmu tidak punya, harta gak punya. Bapak sewa kan di sini rumah, sewa.
Dokumen nggak ada, terus gimana? Baru berpikir. Saya sering manggil, ini anak nggak pernah datang, kenapa? Kata orang tuanya nggak usah sekolah nanti juga kerja kontek sama bapaknya. Iya kalo memang begitu, kalau nggak? Nyampe bapaknya meninggal? Saya panggil, saya kasih pengertian. Alhamdulilah sedikit demi sedikit pak. Orang tuanya itu pengertian juga pak.
Terakhir, berapa jumlah Muslimat yang ada di Malaysia?
Oke, saya mempunyai 8 ranting, pengurusnya saja hampir 200, pengurus saja. Tapi kami buat program, maunya berapa, 700 kami boleh datangkan, seperti itu. Kemarin yang Gubernur terakhir sampai saya buat 300 saja karena mendadak. 300 siap semua, hadir semua. Dan muslimat ada di 9 negara, iya 9 negara, sekarang sudah 9 negara. Termasuk Hongkong, London, Tiongkok, Jepang, Jerman, malaysia. Sekarang sudah mulai agak panas memanas tentang partai, nah itu nanti ramai itu nanti. Di Malaysia juga mulai ramai pemilu, iya.