Suara.com - Badan Pemeriksa Keuangan RI menemukan sejumlah kejanggalan dalam proyek penyediaan base transceiver station atau BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya, yang dibangun Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi alias BAKTI.
Pembangunan BTS 4G oleh BAKTI Kominfo ini menargetkan 7.904 lokasi di wilayah terluar, terdepan, dan terpencil (3T) yang dibagi dalam dua tahap, yakni 4.200 site di 2021 dan 3.704 site di 2022.
Khusus pada tahap 1, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 11 triliun, persisnya Rp 11.042.168.261.000, yang bersumber dari Rupiah Murni dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Non Badan Layanan Umum (BLU).
Hanya, temuan BPK mengungkap proyek tahap 1 itu bermasalah mulai dari perencanaan, prakualifikasi, tender, hingga pelaksanaan. Hal ini berujung pada tidak tercapainya target pembangunan sekaligus ditetapkannya lima tersangka kasus korupsi BTS 4G oleh Kejaksaan Agung, salah satunya adalah Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif.
Baca Juga: Dapat Fasilitas dari Bakti Kominfo, Menelusuri Misteri Jabatan Adik Johnny G Plate di Kominfo
Suara.com yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) bersama Jaring.id, Tempo.co, Detik.com, Liputan6 SCTV, Tirto.id, dan Narasi TV menemui Anggota III BPK Achsanul Qosasi di kantornya pada Senin (6/3/2023).
Berikut penjelasan lebih lanjut dari Achsanul terkait temuan BPK dalam proyek BTS 4G yang dibangun BAKTI Kominfo pada 2021 lalu.
Bisa dijelaskan bagaimana awal mula adanya temuan BPK ini?
Saya harus ceritakan dulu bahwa BPK itu memeriksa di tahun 2021 dan tahun 2022 untuk BTS ini. Ada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang sudah selesai memang, tahap perencanaan dan sebagian pada saat melakukan pembangunan BTS ini.
Ada hal yang terlambat dalam penyelesaiannya, yang pasti karena Covid-19 pada saat itu. Jadi BPK juga fair terhadap pembangunan-pembangunan di masa Covid-19, kita kurangi juga waktunya.
Baca Juga: Sang Adik Dapat Fasilitas BAKTI Kominfo, Kejagung Dalami Ada Tidaknya Perintah Johnny G Plate
Sehingga apa yang disajikan di laporan itu ya itulah adanya, tidak sesuai dengan target yang diputuskan. Targetnya itu sekitar 2000-4000, ternyata yang terselesaikan cuma 1.916 titik.
Itulah yang terjadi faktanya. Alasannya karena Covid-19 ya kita terima. Cuma kan ada beberapa hal yang mestinya terselesaikan.
Ada beberapa syarat kualifikasi pemenangan tender yang ditemukan bermasalah dalam temuan itu. Bapak bisa jelaskan?
Pada saat tender memang kami temukan beberapa hal yang memang tidak sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan. Nah kita sampaikan di dalam LPH itu untuk dibaca. Mungkin penyidik juga bisa memanfaatkan laporan ini, saya persilakan.
Karena penyidik dari Kejaksaan Agung sudah berkoordinasi dengan BPK untuk melakukan hal tersebut, dan kita sajikan. Kita pernah ekspos juga di BPK dengan mereka. Kita sampaikan sejumlah temuan.
Di dalam perjalanan memang ada sejumlah perbaikan yang dilakukan oleh Kemenkominfo. Jadi mereka cepat-cepat merespons karena dipanggil oleh aparat penegak hukum. Mereka cepat-cepat melakukan respons, menindaklanjuti temuan kita dengan membangun sejumlah site yang belum terbangun.
Kemudian memperbaiki yang menurut kami belum pas, tidak sesuai dengan spek. Sehingga mereka cepat mengejar waktu itu.
Tapi proses hukum kan sedang berjalan. Biar nanti penyidik dan para teman-teman di BAKTI ini untuk melakukan pembuktian tentang hal itu. BPK ada semua kertas kerjanya siap menyampaikan tentang itu.
Ada syarat kualifikasi harus mempunyai pengalaman, tapi ada beberapa PT yang ternyata tidak seperti itu. Apa komentar Anda?
Itu yang kita permasalahkan juga, kita sampaikan. Artinya hal tersebut kan juga diakui oleh BAKTI, dan mereka terhadap laporan itu kan menerima dan akan menindaklanjuti terhadap temuan-temuan kita.
Cuma memang sulitnya, ini sudah ditunjuk dan sudah berjalan proyek ini. Kalau pembatalan tender misalnya, itu kan semakin merugikan negara nantinya karena sudah berjalan proyek ini.
Sehingga bagaimana pun nanti untuk pembenaran terhadap hal ini agar BAKTI membuktikan kepada BPK kalau itu memang tidak terjadi, rekayasa terhadap tendernya.
BTS ini sudah tercantum di renstra dan terkoordinasi dengan program-program lain yang dibangun dengan Kominfo seperti satelit dan Pusat Data Nasional (PDN). Bapak bisa jelaskan?
Ini merupakan program strategis nasional yang sudah disepakati merupakan bagian dari janji Nawacita Presiden Jokowi pada saat itu. Waktu itu mereka bikin Palapa Ring barat, timur, dan tengah.
Kemudian berikutnya adalah membuat ground segment. Ground segment itu ada sejumlah BTS-BTS. Bahkan nanti sampai kelurahan bakal menangkap sinyal-sinyal yang akan disiapkan oleh BTS-BTS ini.
Terakhir di bulan April akan ada yang namanya Satelit Indonesia Raya (SATRIA). Sehingga satelit ini diharapkan untuk daerah-daerah 3T, bisa menangkap sinyal, dan bisa menangkap informasi secara up to date.
Itu adalah tujuan dari pemerintah agar rakyat bisa melek teknologi dan menerima informasi lebih cepat seperti sejumlah rakyat yang ada di kota besar.
Dalam perjalanannya memang yang Palapa Ring berjalan baik. Baik di barat, timur, dan tengah sudah implemented. Sudah jalan. Tinggal BTS ini ada permasalahan hukum memang.
Seharusnya memang apa yang dibangun untuk SATRIA nanti, terakhir kan SATRIA. Jadi begitu SATRIA ini mengudara, mestinya sejumlah BTS yang dibangun itu bisa applicable dengan SATRIA.
Nah temuan BPK memang ada sejumlah alat-alat yang sudah terpasang, yang nantinya kalau SATRIA ini berjalan, artinya on mengudara, mereka harus mengganti lagi. Mengganti alat-alatnya karena tidak applicable terhadap SATRIA
Nah hal-hal begini ke depan, ini kan baru 1.900 ya? Ke depan untuk pembangunan sisanya agar BAKTI ini memperhatikan bahwa ini SATRIA sudah pasti ada, ya negara harus menyiapkan kepentingan yang bisa applicable dengan SATRIA. Itu disiapkan dengan Kominfo, gitu.
Apa nama alatnya?
Nama alatnya saya enggak tahu. Tapi itu bagian dari penerima sinyal, kira-kira begitu. Itu yang harus diganti dan mestinya disiapkan dari awal, bahwa ini applicable dengan SATRIA nanti. Pertimbangan-pertimbangan dari pihak BAKTI pun sudah disampaikan kepada BPK.
Laporan BPK menyebutkan ada ketidaksesuaian dalam anggaran. Bapak bisa menerangkan itu?
Begini, ini masalah perencanaan. Pada saat merencanakan, mereka merencanakan program 7000-an titik ini di atas meja, istilah pemeriksa ya. Artinya tidak turun, tidak survei ke lapangan. Bahwa di sini, titiknya di sini.
Sehingga pada saat pembangunan, banyak titik-titik yang mestinya tidak perlu dibangun. Karena redundant dengan punyanya Telkomsel, dengan yang sudah ada. Medannya enggak bisa lah, enggak layak untuk dibangun. Bahkan di situ sudah ada (menara BTS).
Sehingga BPK minta jumlahnya harus dikurangi. Nah dengan jumlah pengurangan itu, tidak lagi 7.000 mestinya. Cukup sekian ribu, dari sejumlah angka yang ditemukan BPK. BAKTI pun menerima hal itu.
Artinya apa? APBN yang disiapkan untuk BTS ini enggak harus 7.000, harus berkurang dari itu. Nah itulah yang saat ini kami minta. Carilah titik yang sesuai.
Jadi desanya itu memang sesuai betul, memang butuh itu. Kadang-kadang rakyatnya tidak ada. Gitu loh. Jadi ternyata begitu tim saya turun, ini tidak ada rakyat sama sekali. Terus ini melayani siapa?
Akhirnya dibatalkan, dan itu cukup banyak yang begitu. Ya karena tadi perencanaannya tidak dilakukan secara matang.
Disebutkan ada beberapa anggaran pemborosan dalam laporan BPK. Apakah semua sudah terhitung, atau masih ada elemen-elemen lain?
Karena kita ini kan mengambil random ya, dan kita tidak (berdasarkan) populasi. Kalau populasi kan ribuan, makanya saya turunkan tim lagi untuk meyakinkan itu.
Jadi dengan beberapa sampling yang kita lihat. Ya minimal itulah yang terjadi. Potensi lebihnya? Ya potensi lebih karena kita yang ambil ya itulah, kemungkinan terjadi lebih besar ya sangat mungkin.
Jadi BPK tidak memeriksa sampai ribuan titik. Kita ambil mungkin sekitar 700 atau 400. Pokoknya lebih dari 50 persen dan menurut kami itu sudah layak untuk diambil satu kesimpulan.
Jadi bukan populasi, tapi kita ambil secara random sampling, dan itu di Indonesia Timur semua memang.
Bapak bersedia bicara soal berapa kerugian negara dalam proyek ini?
Mereka meminta perhitungan kerugian negara ini kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tapi dari total saya tidak bisa estimasi. Saya tidak ingin bicara di publik ini. Dari hasil LHP itu kita bisa hitung berapa besar. Itu baru yang kena random kan?
Tapi mereka (BAKTI) menerima. Di dalam LHP itu mereka menerima. Mereka akan memperbaiki. Nah sekarang mereka itu cepat sekali memperbaiki.
Dalam 3-4 bulan terakhir, terhitung dari bulan September sampai dengan Desember 2022, begitu banyak perubahan yang sudah dilakukan.
Artinya dari yang tidak ada sekarang sudah mereka bangun, yang tadinya kurang mereka sudah… mereka cepat menindaklanjuti ini.
Nah tinggal nanti tim saya akan turun lagi untuk mengecek. Makanya dua tim saya turunkan. Pertama tim untuk pemeriksaan Laporan Keuangan (LK) untuk 2022, satu lagi tim Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) untuk meyakinkan terhadap apa yang dilakukan oleh BAKTI. Apakah sesuai dengan yang kita harapkan?
Nah nanti kita akan koordinasi dengan penyidik, dan koordinasi dengan BPKP yang menghitung kerugian negara. Saya juga sudah sampaikan ke ketua BPKP agar fair, menghitungnya juga adil. Hasil BPK itu bisa dikoordinasikan dengan tim penyidik, dan itu pasti dilakukan.
Biasanya mereka ini juga tidak sembarangan menentukan itu. Biasanya mereka datang ke kita, berdiskusi, bahkan ekspos. Sehingga rasa keadilan dalam hal melihat kesalahan seseorang itu betul-betul terjadi di sini.
Yang dikejar tim PDTT, apa hanya mencocokkan dengan rencana anggaran proyek, atau jauh lebih dari itu?
Jauh lebih dari itu.
Ada temuan lain, misalnya dugaan-dugaan atau hal lainnya?
Nah itu nanti diskusinya dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK pasti akan berdiskusi juga dengan kita tentang hal itu. Ya biarkan ini jalan dulu. Saya tidak ingin menyampaikan tentang metodologi pemeriksaan, karena itu menjadi domain pemeriksa dan itu tidak boleh diketahui siapa pun.
Tapi yang pasti, kami ingin pemeriksaan ini dilakukan untuk kepentingan penegak hukum. Agar penyidik mendapatkan informasi yang utuh tentang hal ini. Dan mereka betul-betul profesional di sini, antara penyidik dan pemeriksa sudah berkoordinasi.
Terhadap apa temuan kita, itu kan sudah ada fakta-faktanya. Sehingga penyidik berani menetapkan status seseorang. Silakan saja itu, itu kan kewenangan.
Kami bukan aparat penegak hukum. Kami ini pemeriksa. Sehingga informasi dari kami itu bisa memperkuat dengan apa yang dibutuhkan oleh mereka.