Suara.com - Distribusi dan pemerataan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu tantangan bagi sistem layanan kesehatan Tanah Air. Menurut Data Bapenas Tahun 2018, rasio dokter spesialis per 1.000 penduduk tahun 2025 sebesar 0,28, yang artinya 28 dokter spesialis untuk 100.000 penduduk.
Dengan komposisi ketersediaan dokter spesialis saat ini, maka target rasio Dokter Spesialis Penyakit Dalam 3 orang untuk 100.000 penduduk, Spesialis Obstetri dan Ginekologi juga 3 orang untuk 100.000 penduduk.
Menurut Data Kementerian Kesehatan per 1 April 2022, jumlah dokter umum dan dokter spesialis di rumah sakit seluruh Indonesia sebanyak 122.023 orang dan kekurangan sebesar 8.182 orang dokter.
Hal yang perlu digarisbawahi bahwa kekurangan ini hanya didasarkan pada standar minimal ketersediaan dokter pada rumah sakit dan belum memperhitungkan beban kerja pelayanan.
Situasi ini yang juga menjadi perhatian bagi Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Moh Adib Khumaidi SpOT. Dalam wawancara khusus dengan Suara.com, beberapa waktu lalu, dokter yang juga menjabat sebagai Ketua Medical Association of South East Asian Nations (MASEAN) mencoba mengurai masalah ketimpangan distribusi dokter spesialis di Indonesia.
"Tantangannya terkait juga tentang kebijakan dokter untuk bekerja di daerah yang belum mendapatkan partisipasi dari pemerintah daerah yang lebih baik. Artinya ada beberapa data yang kita dapatkan, problem di daerah itu ada faktor infrastruktur, ada faktor keterbatasan juga dengan alat kesehatannya, yang ketiga problem tentang jenjang karir. Keempat, hubungan insentif," kata Ketua IDI Adib saat berbincang dengan Suara.com beberapa waktu lalu.
Selain bicara soal pemerataan distribusi dokter spesialis di Indonesia, Adib juga memaparkan alasan organisasi yang dipimpinnya menolak dengan keras Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan yang disusun oleh Pemerintah. Lantas, seperti apa pandangannya? Berikut ini wawancara lengkap dengan Ketua PB IDI Adib Khumaidi.
Terkait dengan distribusi dokter spesialis, belum lama ini sempat ramai di media sosial. Situasinya seperti apa distribusi dokter spesialis di Indonesia?
Kita harus melihat dari sisi yang lebih komprehensif, distribusi dokter spesialis itu ada beberapa faktor yang bisa terjadi. Pertama memang kita bicara tentang produksi. Produksi dengan distribusi itu tidak bisa dipisahkan karena kita mencetak sesuai dengan kebutuhan, memproduksi sesuai dengan kebutuhan.
Tapi kita nggak punya data tentang kebutuhan dokter di setiap wilayah, itu yang harus kita dorong. Jadi kalau dari sudut pandang kami belum semua wilayah, kita hanya melihat aspek secara nasional tapi kebutuhan dokter spesialis di beberapa wilayah tidak disebutkan.
Tapi yang jelas, identifikasi roadmap per wilayah dari assessment data yang ada saat ini, jumlah dokter spesialis dan kebutuhannya itu harus dibuat dalam wilayah masing-masing dengan dasar juga kelompok prioritas. Apakah di setiap wilayah itu sama mempunyai skala prioritas untuk dokter spesialis. Yang paham kondisi itu kan teman-teman di daerah.
Itu yang harus kita dorong, sehingga pada saat nanti kita butuh jumlah dokter spesialis tertentu maka produksi ini akan disesuaikan dengan wilayah masing-masing.
Tantangannya terkait juga tentang kebijakan dokter untuk bekerja di daerah yang belum mendapatkan partisipasi dari pemerintah daerah yang lebih baik. Artinya ada beberapa data yang kita dapatkan, problem di daerah itu ada faktor infrastruktur, ada faktor keterbatasan juga dengan alat kesehatannya, yang ketiga problem tentang jenjang karir. Keempat hubungan insentif.
Keempat hal itu tidak bisa dipisahkan. Sehingga saat kita ingin mendorong distribusi ke daerah. Untuk memenuhi keempat hal ini tentu bukan hanya dari pusat saja, daerah juga harus dilibatkan. Jadi bicara distribusi harus juga melibatkan daerah, itu sudah ada di undang-undang pemerintah daerah nomor 23 tahun 2014. Jangan sampai nanti over supply dan tidak terdistribusi dengan baik.
Kemudian dari sisi jumlah tadi kalau kita sudah punya assessment data maka harus bisa jadi satu dasar. Misalnya di wilayah Jawa atau DKI Jakarta sebenarnya sudah cukup dokter spesialis sehingga itu bisa jadi satu dasar oleh pemerintah daerah untuk menyatakan bahwa kebutuhan dokter dan dokter spesialis di wilayah tersebut sudah tutup. Sehingga kita bisa lakukan moratorium karena ada datanya. Kalau sudah ada moratorium itu dokter-dokter yang baru lulus nanti akan masuk ke daerah yang lebih membutuhkan.
Lantas, moratorium menjadi PR siapa?
Ya, sebetulnya Kemenkes dan pemerintah daerah. Jadi bicara analisa kebutuhan dokter spesialis per wilayah.
Kalau bicara produksi kualitas Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia seperti apa?
Kalau bicara kualitas FK itu kewenangannya ada di Kementerian Pendidikan. Kalau sekarang sudah agak unggul, dan saya mungkin tidak terlalu detail karena tidak terlalu paham, yang lebih paham institusi pendidikan kedokterannya. Tapi yang jelas kualitas daripada fakultas kedokteran sekarang, dengan 95 fakultas kedokteran, tentunya akan berbeda.
Tapi memang didorong untuk semuanya masuk ke dalam akreditasi unggul. Karena kalau dulu ada istilah (akreditasi) C, B, atau A. Sekarang pakai bahasa akreditasi unggul atau belum terakreditasi. Tapi yang jelas kualitas daripada fakultas kedokteran ini yang menjadi tanggung jawab dari asosiasi institusi pendidikan kedokteran bersama kementerian pendidikan untuk menjaga kualitas.
Jadi betul-betul diperhatikan apa yang menjadi dasar-dasar penentuan kualitas itu berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh mereka. Termasuk kualitas Rumah Sakit pendidikan, kualitas penelitian, dan lainnya itu yang jadi satu dasar.
IDI bersama organisasi profesi kesehatan begitu keras menolak RUU Kesehatan. Memangnya, apa kerugian bagi masyarakat bila RUU itu disahkan?
Walaupun kemarin sempat muncul adanya draft rancangan undang-undang naskah akademik dengan sumber yang belum terkonfirmasi, karena pihak-pihak terkait menyatakan bahwa bukan dari mereka sumbernya. Tapi terlepas dari itu, ada satu dasar yang harus diperhatikan dalam pembuatan undang-undang.
Pertama, dalam proses pembuatan undang-undang itu harus menjaga keselamatan rakyat yang tertinggi. Itu jadi dasar utama kita. Kemudian kedua juga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga juga berkaitan dengan nasionalisme kebangsaan tetap harus diperhatikan. Ketiga hal itu menjadi satu dasar.
Apabila dalam isi undang-undang itu keberpihakan orang pada kelompok terkait, kalau bicara keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ya termasuk tenaga kesehatan juga harus jadi sebuah perhatian. Ini jadi satu concern yang kita kedepankan dalam pembuatan rancangan undang-undang itu. Kekhawatiran inilah yang kemudian menjadi satu dasar apalagi ada hal-hal yang sangat krusial dalam beberapa pasal dalam draft undang-undang yang kemarin tersebar itu. Sehingga ini jadi suatu perhatian bagi kita sehingga kita harus menyampaikan.
Jangan sampai nanti muncul satu regulasi undang-undang yang tidak tepat sasaran, tidak mampu laksana, dan tidak tidak mengedepankan asas keadilan sosial juga keselamatan rakyat. Jadi ini konsep utama secara umum. Terkait juga dengan masalah eksistensi organisasi profesi dokter, perawat, bidan yang kemudian dihilangkan. Ini juga jadi satu perhatian buat kita bahwa saat pandemi ini memberikan pelajaran bagi kita pengelolaan manajemen krisis di saat pandemi, pemerintah melibatkan stakeholder, melibatkan media massa, masyarakat, institusi swasta, semua mendukung.
Saya kira untuk menyelesaikan masalah kesehatan pun bukan berarti menghilangkan peran dari organisasi profesi, tapi harus meningkatkan atau memperkuat daripada peran organisasi profesi.
Apa sebenarnya manfaat adanya organisasi profesi untuk masyarakat?
Organisasi profesi itu adalah sebuah organisasi yang core-nya ada dua, yaitu body of knowledge dan etik, ini sebagai ruh dalam organisasi profesi. Kalau bicara body of knowledge, kita akan bicara soal standar kompetensi, kualifikasi. Bicara tentang etik itu adalah sebuah model profesi. Dua hal itu yang menjadi sangat penting dan itu menjadi ruh dari organisasi profesi termasuk Ikatan Dokter Indonesia.
Sehingga program atau hal-hal yang menjadi perhatian dalam tujuan Ikatan Dokter Indonesia sangat berkaitan juga dua hal itu. Akan muncul etik standar pelayanan, standar kompetensi yang itu akan muncul dalam suatu organisasi profesi. Kalau itu muncul di luar organisasi profesi maka bisa jadi ada dua standar.
Double standard akan membuat sebuah kondisi yang kebingungan dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat itu sendiri. Sehingga peran dari organisasi profesi adalah suatu upaya perlindungan hukum bagi masyarakat sendiri juga bagi tenaga medis.
Tidak cukup hanya dengan Kemenkes?
Ada peran namanya regulasi, ada yang kemudian peran berkaitan dengan profesi itu sendiri. Artinya profesi ini men-support dari peran-peran regulasi yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan.
Selama ini kita selalu bersinergi, karena organisasi profesi, baik IDI maupun PPNI, selalu bermitra dalam membuat kebijakan kesehatan, selalu melibatkan organisasi profesi. Karena bicara konfigurasi, juga bicara organisasi profesi yang lebih tahu peer grup anggotanya. Sehingga umpama kalau ada anggota yang berkaitan dengan kompetensi etik dan pelayanan, nanti melalui peer grupnya.