Suara.com - Kenaikan kelas selalu menjadi momen mendebarkan bagi Fifin. Jantungnya berdegup lebih cepat dan ia sulit tidur pada malam menjelang kenaikan kelas. Bukan karena khawatir nilainya buruk hingga bikin tidak naik kelas. Sufintri Rahayu, nama lengkapnya, khawatir sang guru akan mengacak tempat duduknya dan membuatnya berpisah dengan Mira, teman sebangkunya sejak kelas 1 Sekolah Dasar.
Tapi momen itu akhirnya memang tiba. Fifin harus berpisah dengan Mira dan mesti duduk dengan teman yang baru dikenalnya. Keringatnya mengucur deras setiap membuka obrolan dan berkenalan dengan orang baru.
Tapi siapa sangka, bahwa Fifin yang saat kecil dikenal kurang pergaulan dan tidak punya banyak ambisi, kini justru menjadi salah satu pimpinan di sebuah perusahaan multinasional berskala global. Ya, selama lebih dari satu tahun belakangan, Sufintri Rahayu justru dipercaya menjadi Direktur Corporate Affairs Nestle Indonesia.
Saat berbincang dengan Suara.com baru-baru ini, Fifin pun mengungkapkan bahwa dunia komunikasi bukan cuma karier, tapi sudah mengalir di dalam tubuhnya.
“Jadi buat saya komunikasi itu bukan cuma sebuah karier, pekerjaan, tapi it’s already in my DNA,” ujarnya.
Lantas, bagaimana perjalanannya dari seorang anak kecil yang terkenal pemalu dan tertutup, hingga saat ini bisa menjadi Direktur Corporate Affairs Nestle? Berikut cuplikan wawancara khusus Suara.com dengan Sufintri Rahayu.
Apa yang bikin tertarik di bidang komunikasi? Bagaimana awal mulanya?
Jadi tuh, maybe tahun ini udah tahun ke-23 aku bekerja, tapi sebelum itu saya sempat bekerja part time. Mungkin kalau diceritain sedikit, flashback, anak SMA itu biasanya pikirannya pengen jadi dokter, insinyur, masuk tentara gitu. Sementara saya sudah merasa communication itu is my forte gitu ya.
Baca Juga: CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia dan Mimpi Mendemokratisasi Gaya Hidup Sehat Masyarakat Indonesia
Waktu itu belum terlalu populer (communication), dan universitas yang punya komunikasi hanya Padjadjaran University. Nah, saya tuh udah mulai dari kelas 1 SMA sudah doing some research juga, dan ketika orang-orang ambisinya pengen masuk IPA, saya pengennya masuk sosial gitu.
And I’m very active, untuk ikut organisasi OSIS, di bagian kehumasan. Emang udah pengen banget kayak begitu, akhirnya nemu about communication as well.
Jadi setelah lulus SMA, my mission itu emang pokoknya saya mau masuk Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Jadi kalau misalnya di UMPTN, pilihan nomor satu most of it ITB atau UI kan, saya malahan pilihnyaUnpad dulu baru UI. Dan alhamdulillah saya kepilih di UMPTN, dan mulai belajar communication juga secara science gitu.
Dan I really loved it. Saya merasa bahwa one thing that I’m really good at, secara pengalaman, ya communication. Jadi buat saya komunikasi itu bukan cuma sebuah karier, pekerjaan, tapi it’s already in my DNA. I use it also untuk bagaimana mengelola komunikasi saya bersama keluarga. Misalnya sekarang saya punya anak, bagaimana bisa memahami interpersonal communication dengan dia, empathy communication gitu.
Dan saya merasa itu saya yang paling bisa. Jadi kalau misalnya ada yang nawarin saya sekarang gitu, “Bu Fifin, mau jadi Finance Director”, tentu saya bilang saya gak mau gitu. Saya merasa memang saya bagusnya di communication.
Tapi, adakah inspirasi yang membuat Anda menjalani karier ini?
Sejujurnya gak ada inspirasi apa-apa, probably more to challenge. Saya tuh waktu kelas 5 SD, ketika naik kelas dan terima rapor, ibu saya dipanggil sama wali kelas. Wali kelas bilang, "Iya, Fifin bagus secara nilai, alhamdulillah selalu ranking 1 atau 2, tapi kuper atau kurang pergaulan. Mainnya sama temen yang itu-itu aja, dan lack of ambition gitu."
Jadi, pas saya sadari dari TK sampai kelas 5 SD, mungkin teman saya bisa dihitung jari gitu. Dan kalau ada tamu datang ke rumah, saya selalu lari, masuk ke kamar, pura-pura tidur, kunci pintu gitu, karena saya takut banget untuk mengenalkan diri kepada orang lain untuk berkomunikasi gitu.
And I’m really comfort, kalau saya bisa berteman sama itu-itu aja. Capek ah kayaknya, ngejelasin lagi siapa nama saya, sukanya apa, gitu-gitu. Bahkan kalau saya kenaikan kelas gitu, saya malamnya gak bisa tidur. Takut deg-degan bakal dipindahkan duduk sama siapa gitu.
Nah, gara-gara challenge itu, ibu saya ngasih feedback ke saya. That’s really my first direct feedback dari seseorang, which is ibu saya. Dan tidak mungkin kalau ibu saya tidak memberi honest feedback kan ya.
Dan saya reflect gitu ya. Anak kelas 5 SD reflecting to herself, dan kemudian, “Ah masa sih, gue kayak gitu. Let’s change it!" Kemudian saya bisa belajar. Although itu sangat sulit sekali.
Jadi waktu saya pertama kali "di-reshuffle", sahabat saya itu namanya Mira. Biasanya saya duduknya selalu sama dia, dari kelas 1 SD. Waktu saya "di-reshuffle", itu saya keringat dingin banget. Terus kemudian I loved it, because I found something new gitu, dari teman yang baru.
Dan karena memang itu sebuah hal yang saya push, jadi akhirnya it’s a regular. Dan, now I can say that I am very ambitious. Kalau misalnya saya ingin sesuatu, saya kerjakan itu dengan sebaik-baiknya.
Dan buat saya, saya itu ambivert. Jadi kalau saya lagi pusing sesuatu, but I am very mindful ketemu sama temen-temen lagi dan you got very positive vibe, sayanya juga jadi semangat gitu. Tapi kalau misalnya udah sendirian di rumah, baru terasa capeknya. But I'm really comfortable with networking. Jadi banyak belajar, bagaimana sih berkomunikasi dengan orang. Lama-lama saya jadi suka, mempelajari lebih lanjut.
Balik lagi ke urusan karier. Walaupun di bidang komunikasi, tapi industrinya kan berbeda-beda. Nah, ini tantangannya apa?
Sebenarnya ini sesuatu yang saya inginkan juga, it’s part of my plan. Jadi I remember, waktu saya pertama kali lulus, langsung kerja fresh graduate direkrut oleh sebuah organisasi besar. Dan saya bekerja langsung jadi managerial level. You go here, you go there, pergi ke luar negeri, ke luar kota, but I don’t know the essence. Sebenarnya kerja di public relation kayak gimana sih, dan I push myself untuk kerja di PR agency. Di mana saya belajar banyak hal bagaimana mengelola komunikasi buat brand, buat CSR, communication, issue handling, reputation management.
Dan di situ saya ingat salah satu mentor saya, he is really tough mentor, saying that “Kamu tuh kalau kerja di dunia komunikasi, kamu harus liat helicopter view. Makin banyak kamu punya pengalaman, makin bisa kamu dapatkan strategic direction sebuah perusahaan."
Karena saya ketika itu mulai dari account executive, manager, sampai jadi director, dan bisa me-manage the whole department.
Nah waktu bikin strategi komunikasi, kita harus banyak dapat pengalaman-pengalaman. Jadi saya senang banget diekspose dengan banyak klien. Ada dari industri B2B, B2C, FMCG, sampai covering NGO.
Nah, setelah saya udah jadi seorang pimpinan di sana, saya masih merasa belum enough. Akhirnya saya memutuskan anak muda waktu itu saya pindah ke client side.
Nah, buat saya, mindset dari mentor saya itu benar. Ketika kita harus menjadi seorang communication strategist, kita harus bisa melihat dari helicopter view. Selain itu, sebagai seorang perempuan, saya mempunyai journey yang dijalani oleh seorang perempuan. Dari single, kemudian pasangan, anak. Salah satunya juga kenapa saya berpindah-pindah, selain saya pengen belajar terus, saya meng-adjust seperti ritme kehidupan personal saya sebagai seorang wanita, seorang ibu.
Saya cari perusahaan ketika saya masih sendiri, saya ke mana aja oke, keluar negeri berbulan-bulan, I am okay. But then ketika saya punya suami, saya harus adjusting with his view on several things. Dan ketika saya punya anak, I also adjusting that. Dengan saya kerja di Nestle, dan sebelumnya di Bukalapak, itu saya cari yang kerjanya dekat rumah. Sehingga saya memiliki efektivitas waktu, sekaligus bisa menjadi pribadi yang multirole gitu.
Di Nestle sendiri kan relatif masih baru ya, kurang lebih satu tahun. Apa tantangan yang dilihat dan memutuskan berlabuh di sini?
Kisahnya very personal. Jadi rumah saya di seberang kantor. Jadi setiap saya keluar rumah, mau ga mau saya lewatin sini dari saya kecil. Dan saya selalu lihat logo Nestle di atas dulu yang sarang burung. Di supermarket saya juga selalu lihat itu, dan mengkonsumsi produk Nestle regular setiap hari.
Memang salah satu my desire is also to work with Nestle in a long term, setelah saya tentunya belajar banyak. Alasan pertama tentunya adjusting my forte as a mom. Saya merasa Nestle ini perusahaan yang sangat family friendly dan bahkan sebagai darah dan nadinya, Nestle emang untuk men-support family.
Menjadi seorang leadership di perusahaan yang kita sangat believe that product is really good, itu menurut saya adalah sebuah keharusan. Saya sangat percaya produk Nestle adalah produk yang luar biasa, diproduksi dengan good manufacturing, dan kemudian safety-nya sangat dipikirkan, dan marketing-nya juga very, wow, tremendous. Dan juga bagaimana kita menjadi perusahaan yang sangat humanis.
Jadi saya sangat bangga sekali bisa bergabung dengan Nestle, terutama ketika saya di-over untuk melakukan transformasi di leadership saya, di Corporate Affairs, bahwa Nestle itu perusahaan yang sangat humble, namun kita juga tetap bisa catch up dengan apa yang terjadi. Reputation management is mandatory.
Dan kebetulan saya juga memiliki skill dan pengalaman untuk mengelola reputasi perusahaan, dan melakukan transformasi.
Saya masih baru ya, sebiji jagung, but I hope that with I am here, it’s creating impact. Dan saya ingin berlabuh sampai saya pensiun di sini, InsyaAllah.
Sebagai perempuan di posisi pimpinan perusahaan, tantangannya seperti apa sih?
Saya tuh pernah di perusahaan yang majority laki-laki juga, misalnya di oil and gas, tobacco company, atau di technology yang leadership-nya banyak laki-laki. Tapi to be honest, saya tidak pernah merasakan ada imbalance treatment atau saya di-treat tidak sewajarnya karena saya perempuan.
Saya pernah baru-baru ini terpilih menjadi leader. Advice Director yang melakukan training leadership di Nestle headquarters, bersama 20 lebih pimpinan dari Nestle seluruh dunia. Di mana saya perempuan dari Asia dan menggunakan kerudung. Itu udah minoritas banget. But, I think everything it’s in our mind. Jadi saya percaya banget dengan itu.
Kalau kita merasa kita sendiri sudah di-exclusive-kan, kita akan menjadi being exclusive. But if we embrace ourself sebagai pribadi yang inclusive, orang akan menerima itu.
Jadi buat saya, it’s a good challenge misalnya saya menjadi minoritas. Misalnya laki-laki, atau saya bekerja di lifestyle yang berbeda dengan saya. Bagaimana kita tetap bisa memenangkan peperangan itu.
Saya merasa bahwa women empowerment itu gak selalu harus apa yang dikerjakan laki-laki dikerjakan kita juga, (bukan) “gua bisa kerjain apa yang lo kerjain”. Tapi bagaimana kita bisa jadi key person yang cuma kita yang bisa kerjain. Jadi kita dihargai.
Saya berterima kasih over the journey of my career. Buat kolega saya, atasan saya, yang laki-laki yang encourage to do the fullest. Buat saya itu penting sekali apa yang ada di pikiran kita, dan kita jangan meng-exclusive-kan diri. Being inclusive is really important.
Hal itu juga gak terlepas dari lingkungan ya. Nah, lingkungan apa yang dibutuhkan supaya bisa mendukung perempuan di karier?
Kalau ceritain ini, jadi mellow banget ya. Tapi it’s really the real situation. Saya berterima kasih sekali sama suami saya. I really believe bahwa Yang di Atas itu selalu menyatukan couple itu yang sesuai, saya jadi percaya banget. Kalau bukan karena suami saya yang mendukung karier saya, menjadi seorang partner, mungkin saya enggak bisa jadi seperti sekarang.
Suami saya sangat mendukung terus. Kemudian saya punya orang tua yang sangat mendengarkan, tentunya selalu mendoakan saya; dan saya punya anak yang luar biasa pengertian.
Memang ini tidak mudah. Ada masanya anak saya harus saya tinggalkan karena saya business trip misalnya. Tapi, saya sangat ber-partner dengan suami saya, sehingga we don’t have kayak ibu-bapak role, tapi kita sekarang partnering. Jadi kalau saya tidak ada di rumah, dia berperan sebagai bapak dan ibu, kalau suami saya lagi di luar kota juga, kebetulan suami saya juga orang sibuk, saya berperan sebagai bapak dan ibu. Dan ketika kita bersama lagi, we are celebrating that. Jadi bareng-bareng gitu.
Dan anak saya, itu juga saya ajarkan dari kecil bahwa at the end of the day, kamu akan sampai pada masa di mana kamu harus mandiri. Itu tinggal a matter of time, gitu.
Karena saya dan suami saya bilang ke anak saya, "Kiandra, nanti bunda sama papa akan ditinggal sama Kian nih kalau sudah besar.” Jadi, we all as individual, tapi kita sama-sama bersatu menjadi sebuah keluarga. Itu saya tanamin. By the way, itu anak saya 7 tahun ya. Tapi dia sangat mandiri sih menurut saya.
Jadi anak saya it’s really very easy. Dia bisa attach sama siapa saja yang bisa menjadi inner circle dia di rumah. Jadi ada saya, suami saya, ibu saya, bapak saya yang sudah enggak ada setahun lalu, my driver, my nanny, jadi dia enggak, kalau Bahasa Jawa, enggak bosen gitu ya. Ketika saya kerja, dia akan anterin saya sampai mobil dulu sebelum dia sekolah. Sekarang malahan dia yang ninggalin saya duluan.
Dia bilang, “Bye bunda, nanti pulang jam berapa, I will be waiting for you. Tapi kalau aku udah ngantuk, aku tidur duluan ya bun.” Gitu. But I have commitment with my husband, setiap jam 7 malam, either one of us udah ada di rumah gitu, untuk ngajarin dia.
Jadi saya beruntung punya suami. Jadi kesuksesan itu kuncinya resilience. Pertama kita harus agile, dan ada faktor luck, keberuntungan, dan saya beruntung dikasih Allah suami yang luar biasa supporting.
Balik lagi tadi alasan memilih Nestle kalau family oriented, yang mendukung kesetaraan gender gitu, mungkin sebagai pimpinan sendiri, ada gak sih kebijakan atau peraturan yang mendukung lebih banyak perempuan berada di posisi yang sekarang?
Nestle secara global itu sangat men-encourage untuk gender empowerment atau gender balance. Secara global sekitar lebih dari 40 persen pimpinan itu perempuan, sudah konsisten, dapat penghargaan dari Bloomberg untuk women empowerment. Di Indonesia sendiri mungkin udah lebih dari target global.
Kami sebutnya di Nestle Indonesia management community, benar-benar balanced antara perempuan dan laki-laki. Di pabrik, selain kita buat pabriknya itu women friendly, juga mempekerjakan perempuan itu sangat balanced. Kayak sekarang pabrik yang mau kita buka di Bandaraya, itu target tadinya 50-50, sekarang udah almost 40 juga.
Dan kantornya memang yang didesain sesuai kebutuhan-kebutuhan karyawan. Termasuk karyawan perempuan. Misalnya ada nursery room. We have regulation kayak parenting leave, buat mom-nya yang baru melahirkan bisa mengambil cuti 6 bulan, bapaknya juga ambil cuti. Meskipun joke temen-temen itu, suka ga diambil karena kerja di kantor tuh lebih ringan dibanding menjaga istrinya yang baru melahirkan.
But we have that. Jadi sebelum adanya peraturan yang diaplikasikan, diregulasi pemerintah, kita sudah melakukannya secara globally.
Nah kalau saya sendiri, saya punya pengalaman karena udah cukup lama bekerja ya, jadi I have been through a lot of face in my life. Banyak kolega, atasan, saya bisa memilah antara atasan sesuai hati saya, maupun yang tidak sesuai dengan hati saya. Dan saya merasa bahwa at the end of the day, ketika kitanya happy, growth kita membuncah gitu.
Jadi bagaimana kita bisa meng-combine antara kenyamanan kerja dan kualitas kerja gitu. Don’t get me wrong. Saya itu orangnya tajam, sangat quality, demanding, ambitious, tapi di sisi lain mental health, the comfortability in work, itu nomer satu juga. Kalau kita sakit, unhappy, kita gak bisa deliver. Termasuk sakit itu mentally ya. Jadi saya sangat mendukung women empowerment, bagaimana seorang ibu bisa didesain agar menjadi pribadi sendiri. Bukan ibu Kiandra, tapi seorang Fifin juga gitu.
Dan saya embrace itu ke anak buah saya. Dan melihat teman-teman leadership lain, most of them sama value-nya.
Bu Fifin katanya ingin Nestle jadi tempat berlabuh sampai pensiun. Impact apa yang ingin dibawa?
Pertama, I think Nestle itu banyak sekali cerita yang bagus. Saya merasa to be honest, kita sudah melakukan banyak hal yang good not only for the business but also for individuals, community, for the planet. Cuman kita terlalu pemalu. Jadi saya ingin Nestle ada di sana terus, bersama dengan teman-teman yang lainnya, sharing our story, inspired company yang bisa menginspirasi banyak orang dan konsisten of doing that.
Jadi mengelola reputasi Nestle agar menjadi top leader. Dan tentunya masa saya udah hampir habis, masanya generasi muda. Buat saya mewariskan apa yang sudah saya pahami, dan menjadi greater than great gitu dibanding saya. That is actually my ambition now.
Saya senang banget dengan Gen Z, anak-anak intern, MT, and just want to know how they view about the earth, dan menitipkan planet ini kepada mereka. Menjadikan mereka pribadi-pribadi yang siap dengan challenge di masa depan.
Value apa yang Bu Fifin yakini yang menjadi pendorong selama ini?
Kalau mau di-draw about myself, saya tuh orang yang sangat focus that I wanna to complete it. Kalau saya memulai sesuatu, saya harus menyelesaikan itu dengan baik. Selain itu, saya percaya these whole things, kedatangan mas ke sini, dan saya bisa melakukan banyak hal, itu sudah ada yang mengatur. We do the best that we can do. Satu hal kita lakukan terus menerus, tapi kita percaya banget bahwa segala sesuatu itu sudah ada yang ngatur. Jadi kita serahkan sama Yang di Atas.
Menurut Anda, apa yang harus dipersiapkan oleh generasi selanjutnya?
Saya suka sekali sama anak muda jaman sekarang. They are very smart, cepet banget melakukan banyak hal. Dan karena saya came from a start up technology, saya suka ngikutin mereka juga. Tapi mungkin ada hal-hal yang didapatkan dari pengalaman.
Jadi Gen Z, harus sabar terhadap dirinya sendiri. Mungkin kuncinya itu ya, sabar, untuk bisa akhirnya reach that point. Dan harus bisa be more empathic, terhadap dirinya sendiri, knowing that we are in a growth mindset. Dan kemudian bahwa berkembang itu terus menerus, gak ada salahnya kita gak tau dan terus belajar.
And then lastly, but not least, kita gak tau lagi what is the challenge masa yang akan datang. Jadi kita tetap harus menjaga supaya kita tetap harus positive thinking. Jadi don’t overreacted, oversharing, gampang tersulut gitu lah. Karena memang that is actually the power of kekinian sekarang, karena segala sesuatu sangat cepat, informasi cepat. Jadi kecepatan itu yang menjadi sebuah nilai.
Padahal kalau jaman dulu ada ketepatan. Ada cerdas cermat gitu. It is really good sebenarnya kalau kita apply itu di masa yang sekarang. Kita denger sesuatu, kita cek dulu, ga ada yang instan. Mungkin itu buat teman-teman generasi muda sekarang, tidak ada yang instan. Jadi segala sesuatunya juga harus cepat, tapi tepat, begitu.