Suara.com - Terlahir dan besar di keluarga pengusaha, wajar jika bidang pertama yang digeluti seorang Erwin Aksa adalah dunia usaha. Pria yang belajar ekonomi di University of Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), ini langsung terjun di perusahaan yang didirikan sang ayah Aksa Mahmud, Bosowa Group, sepulangnya dari menimba ilmu di mancanegara.
Sempat menjabat Direktur Utama (Dirut), saat ini Erwin Aksa adalah Komisaris Utama (Komut) Bosowa Group, perusahaan yang ketika didirikan pada tahun 1973 di Makassar bernama CV Moneter itu. Bosowa adalah salah satu perusahaan besar di Indonesia dengan setidaknya 10 unit bisnis yang melibatkan mulai dari bidang otomotif, semen, logistik dan transportasi, hingga pertambangan, energi, properti, jasa keuangan, media dan lainnya.
Di luar dunia usaha, Erwin Aksa juga tercatat tekun berorganisasi, antara lain dengan sempat menjabat Ketua Umum BPP HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) untuk periode 2008-2011. Kini, pria kelahiran Ujungpandang pada 7 Desember 1975 ini juga makin dikenal sebagai salah satu pengurus teras Partai Golkar, tepatnya dengan menjabat Ketua Bidang Industri di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai berlambang beringin tersebut.
Baru-baru ini, Suara.com berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan suami dari Andi Fatmawati Manggabarani dan ayah dari tiga anak tersebut. Berbagai hal sempat dibicarakan, mulai dari kesibukannya yang kini kian intens di politik, pandangannya soal pendidikan dan persoalan mendasar bangsa lainnya, hingga rencana dan kesiapan Partai Golkar menuju Pemilu 2024.
Baca Juga: PDIP Belum Kasih Kepastian Soal Pemilu 2024, Pengamat Nilai Ganjar Pranowo Pilih Jalan Sendiri
Berikut petikan wawancara dengan Erwin Aksa yang berlangsung di kantornya di Menara Karya, kawasan Kuningan, Jakarta:
Abang ini kesannya sibuk sekali, ya? Kesibukannya saat ini selain bisnis, politik, juga tadi saya dengar ada soal bola juga, PSSI.
Kalau soal kesibukan, ya, kita harus cari sibuk. Kalau enggak, nanti kita pusing sendiri kan. Stress kalau nggak sibuk. Jadi kesibukan itu hobi sebenarnya. Mau itu bisnis, mau itu politik, olahraga juga tentunya pasti. Jadi, kesibukan itu bagian dari kita punya aktivitas.
Jadi abang selain berbinis, sekarang di Bosowa Group sebagai Komisaris Utama, juga aktif sebagai penggalang strategi pemenangan pemilu Partai Golkar, kemudian juga bapak dari tiga anak ya. Bagaimana cara menjaga kebugarannya, membagi waktunya? Apa tips yang bisa kami pelajari?
Membagi waktu, ya, pastinya [sesuai yang] prioritas dulu kan. Kalau sekarang ini, karena prioritasnya tugas di partai pusat dan sedang banyak perjalanan ke daerah, pastinya waktu banyak di sanalah. Untuk kerjaan, sudah bisa didelegasikan kepada adik-adik (di Bosowa Group ada adik-adik Erwin yang duduk sebagai komisaris juga di jajaran direksi --Red). Untuk keluarga, alhamdulillah anak-anak udah gede-gede, sudah pada kuliah. Jadi ya, memang sekarang ini banyak terlibat di Partai Golkar sebagai pengarah strategis.
Itu setiap hari itu, mengarahkan [strategi] Partai Golkar?
Iya. Partai ini kan dinamis. Jadi otomatis setiap hari kita harus lihat dinamikanya. Apalagi Pemilu tidak lama lagi. Kita sudah memulai lebih awal, dan apa yang ingin kita lakukan di 2024 harus direncanakan sebelumnya kan. Jadi perencanaan itu perlu dibuat, sehingga target-target di 2024 itu tidak meleset-lah. Kira-kira begitu.
Target Partai Golkar [di Pemilu] 2024 apa?
Targetnya kan [jadi] pemenang Pileg, pemenang Pilpres. Jadi kan targetnya dua. Jadi targetnya adalah pemenang Pileg 20% [suara] minimal, terus kemudian [jadi] pemenang Pilpres. Otomatis Golkar berada dalam koalisi yang insyaallah memenangkan Pilpres besok di 2024.
Nah, untuk pemenangan Pileg, Pemilu, kan berarti menentukan perolehan kursi caleg-caleg. Apa strategi khusus yang disiapkan Golkar untuk 2024 ini?
Ya, yang paling pasti kan, apa yang ada di data Partai Golkar di-review dulu. Ya, di-review, dilihat dulu hasil 2019 seperti apa; apa yang salah, apa yang benar, apa yang harus diperbaiki. Dan yang paling penting adalah membangun identitas partai. Jadi membangun isu, membangun opini, membangun sebuah identitas yang selama ini orang tahu Golkar itu sebagai "partai tua", partai lama, partai Orde Baru, Beringin, kuning. Itu semua tentunya harus kita bangun menjadi suatu narasi, opini yang baru.
Sekarang ini Golkar memiliki gerakan, memiliki pesan untuk membela kepentingan rakyat. Sebagaimana Golkar sebelumnya di masa lalu selalu mendekatkan [diri pada] rakyat. Bagaimana pertanian dibangun oleh Golkar, bagaimana Puskesmas, Posyandu dibangun oleh Golkar. Bagaimana banyak sekali program-program nasional yang sekarang masih ada itu adalah legacy dari Partai Golkar.
Jadi kita harus memperkuat itu. Bagaimana pendidikan menjadi prioritas, dibangun-lah pendidikan sampai SD waktu itu. Kan sekarang sudah sampai SMA. Nah, bagaimana ke depan Partai Golkar membangun pendidikan yang lebih baik, sehingga bisa diterima, bisa diserap oleh dunia usaha, baik yang di dalam negeri, maupun yang di luar negeri, sehingga pengangguran bisa diatasi, gitu.
Itu mengenai identitas Golkar ya, bang. Nah, kalau kita lihat dalam strategi pemenangan Pemilu saat ini, sebenarnya ada partai-partai lain yang "meniru" Golkar dan berhasil mendapatkan kursi lebih banyak. Golkar aware nggak dengan perebutan strategi itu?
Golkar tidak pernah membenarkan istilah vote getter. Karena Golkar punya kader, kadernya berlomba untuk bisa duduk di legislatif. Jadi kita tidak pernah menggunakan strategi vote getter. Dengan itu pun, sekarang Golkar masih nomor 2 ya. Jadi saya kira masing-masing partai punya perencanaan sendiri-sendiri. Kita punya perencanaan, partai lain juga punya perencanaan. Yang paling penting kan, apakah perencanaan itu bisa dieksekusi.
Kenapa? Kan dari partai yang punya sejarah panjang begitu, "partai tua", kenapa seorang Erwin Aksa yang dibilang relatif muda, mau turun tangan juga kan membesarkan partai ini juga.
Ya, kan saya lahir dari keluarga Golkar. Orang tua saya Golkar, paman saya Golkar, kemudian saya dibesarkan di Golkar sudah puluhan tahun. Saya berkarier dulu dari bawah kan. Jadi saya kira, [sekarang] eranya anak muda yang sudah di Golkar ini untuk membangun Partai Golkar, sehingga Partai Golkar bisa kembali menjadi pemenang Pemilu seperti 2004 yang lalu.
Saya kira timing-nya bagus, waktunya pas. Apalagi sekarang ini, pemilih-pemilih muda sedang banyak. Mereka pasti ingin melihat partai-partai yang memiliki narasi dan memiliki konsep yang baik, punya pengalaman yang baik, dan juga bisa mengimplementasikan gagasan-gagasan itu dan bisa diterima oleh pemilih-pemilih muda.
Apa yang dilakukan untuk menjangkau pemilih-pemilih muda ini?
Ya, macam-macam. Saya kira kita tahu, kemarin ada lembaga survei sudah mengatakan bahwa Golkar mendominasi pemilih muda. Dan saya kira, kita melihat bahwa Golkar sudah masuk ke era digital sekarang ini. Semua pendaftaran anggota melalui digital, sudah memiliki sekolah kebijakan publik. Kita juga punya sekolah berbasis online. Kemudian kita memiliki recruitment ya, itu dengan online juga. Jadi digitalisasi menjadi sangat penting di partai sekarang ini. Saya kira itu yang menarik.
Yang kedua, pastinya Golkar mengutamakan pendidikan sebagai pondasi dari pada masa depan bangsa ini. Supaya generasi milenial kita ini tidak kehilangan kesempatan, karena kesempatan untuk mendapatkan lapangan kerja itu sangat besar. Tetapi kalau skill-nya, pendidikannya tidak baik, otomatis mereka tidak bisa dapat pekerjaan, pengangguran naik.
Kita punya waktu 10 tahun. Jadi kalau 10 tahun ini tidak dimanfaatkan dengan baik, otomatis kita masuk di generasi yang tua. Sekarang ini kita boleh bangga dengan generasi milenial kita. Sepuluh tahun dari sekarang, sehingga kita tidak bisa lagi mengklaim bahwa Indonesia didominasi oleh milenial gitu. Nah, pendidikan yang seperti itu [yang diperlukan], supaya jangan mereka setelah selesai sekolah tidak mendapatkan pekerjaan.
Lebih spesifiknya soal pendidikan ini, apa bang? Kan kita punya Menteri Pendidikan nih sekarang ini. Apakah Golkar punya ide yang lebih baik?
Saya kira Golkar punya ide yang lebih baik. Ya, kita harus memperbaiki yang namanya pendidikan berbasis vokasional, berbasis vokasi. Kita tidak berbicara hanya mencari pekerjaan di dalam negeri, mungkin pekerjaan di dalam negeri terbatas. Jadi kita harus berbicara juga bagaimana kita mengirimkan tenaga-tenaga skill kita keluar negeri. Jangan hanya Filipina. Kita lihat di luar negeri bukan hanya Filipina. Padahal lapangan kerja terbuka di Timur Tengah. Kita punya hubungan agama dengan mereka, tapi kan mereka rekrut Filipina. Nah, inilah yang saya anggap kesempatan yang kita lewatkan selama 20 tahun terakhir ini.
Itu problemnya di mana? Saya melihat, satu, [mungkin] problemnya Bahasa Inggris. Kalau menurut abang gimana?
Ya, sama, mulai dari basic school-nya, mulai dari elementary school-nya, primary school-nya. Bahasa salah satu contoh, ya kan. Tentunya yang kedua adalah bagaimana ada bimbingan ke arah vokasional lebih awal. Jadi para anak-anak sekolah kita, sudah dibawa kepada suatu hobi yang mereka salurkan untuk bisa mendapatkan nilai. Sehingga mereka tidak hanya belajar yang kemudian tidak punya lapangan pekerjaan.
Kembali ke soal menjangkau anak muda tadi. Ada satu partai politik yang menyatakan bahwa untuk menjangkau anak muda butuh politisi muda. Menurut Golkar bagaimana itu?
Yang memilih itu yang dewasa, yang sudah melihat politik dari tahun ke tahun. Milenial Partai Golkar yang terpilih, pemilihnya ya, ibu ibu, bukan kaum milenial. Milenial ini pemilih cerdas. Lihat anak yang akan memilih nanti di ujung, setelah melihat kira-kira partai mana yang sejalan dengan filsafat mereka, yang sejalan dengan keinginan mereka. Jadi yang banyak, pemilih muda ini belum menentukan sikap, gitu.
Jadi belum tentu menempatkan anak muda terus dipilih. Anak mudanya juga harus punya visi, harus punya pengetahuan juga, harus bisa membela rakyat, harus turun juga, harus blusukan, ketemu dengan rakyat, mendengarkan aspirasi mereka. Supaya mereka bisa mengungkapkan aspirasinya. Mereka bisa memberikan pesan bahwa mereka nanti akan menyelesaikan masalah-masalah yang diterima, yang mereka dengar. Artinya [walaupun di] sosmed bagus, tapi belum tentu bisa bagus kalau tidak dibarengi dengan keberadaan mereka dengan rakyat atau blusukan.
Termasuk Anda juga nanti, sama juga bang?
Ya, kita lihat. Kalau partai menugaskan saya untuk maju, ya, kita harus maju. Karena kan partai membutuhkan kursi yang lebih besar, sehingga Golkar bisa menjadi pemenang di Pemilu besok.
Sudah ada gambaran bang, mau maju dari Dapil mana?
Belum tahu.
Sistem Pemilu kita ini kan, salah satunya, ini Golkar berperang setelah informasi bahwa kita sepakat untuk menebang sistem Pemilu kita [jadi] lebih demokratis, langsung, sistem vote terbanyak. Tapi ada politik uang. Orang-orang yang memilih politik uang kecewa, akhirnya mereka kembali juga ke sektarian juga. Nah, Golkar melihat itu nggak bang, sebagai sebuah masalah? Apa yang harus dilakukan?
Persoalan pertama, itu adalah persoalan ekonomi. Jadi kalau ada yang namanya bantuan sosial, ada namanya mereka memberikan, ya, apa pun-lah namanya bantuan, itu kan artinya berupa uang ya. Jadi itu menurut saya, itu karena persoalan utama bangsa ini adalah ekonomi. Lapangan kerja susah, kehidupan susah, harga-harga lagi naik; jadi saya kira [itu terkait] persoalan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Kemudian ketemu dengan Caleg, tentunya ya mereka untuk bisa diajak berdiskusi tentunya. Setelah berdiskusi tentunya biasanya, akan ada yang namanya goodie bag ya. Ya, itu biasa lah, acara-acara juga begitu.
Nah, menurut saya ya, yang tadi Anda bilang itu adalah [politik] identitas, di mana-mana itu selalu ada. Indonesia ini yang ada partai berbasis Pancasila dan berbasis religius. Jadi, pasti dua per tiga bangsa ini ada yang ingin bahwa partai religius ini survive, makanya dapat religius. Makanya, yang tadi itu, ada identitas. Di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, di luar negeri juga begitu.
Jadi memang, Pilpres lainnya kemarin tuh isunya begitu. Tapi kita harapkan besok ini, isu yang diangkat oleh pemimpin-pemimpin ini adalah isu ekonomi. Isu bagaimana meng-handle korupsi. Isu meng-handle bagaimana turunnya demokrasi, indeks demokrasi. Jadi kita berbicara tentang isu-isu yang harus diselesaikan, [isu-isu] yang menjadi PR, gitu.
Tapi fenomena ini belum biasa di media sosial, bang, tentang fenomena menggunakan isu-isu sektarian itu tadi.
Ya, social media kan tempat orang berbicara, nggak ada yang bisa larang. Tetapi apakah itu benar sama dengan yang di lapangan? Apakah masyarakat ingin menggunakan isu itu atau tidak? Menurut saya, masyarakat ingin toleransi. Bangsa ini kan Pancasila, kita punya ideologi Pancasila. Jadi saya nggak yakin orang ingin menggunakan isu-isu itu untuk memenangkan kekuasaan.
Apakah termasuk dari Golkar juga ada pemimpin seperti itu?
Golkar itu pembela dan pengamal Pancasila. Itu ideologinya. Jadi, ideologi bangsa, dikawal dan diamalkan pula. Jadi tidak diragukan, sudah kita bela, sudah kita amalkan. Jadi orang Golkar selalu mengamalkan Pancasila. Golkar itu dibangun untuk mengamalkan Pancasila.
Dengan kata lain, justru dengan politik identitas Golkar sangat dirugikan?
Golkar masih urutan nomor dua. Jadi, menurut saya, Golkar punya daya tahan yang bagus. Cuma, isu-isu itu akan membuat polarisasi. Yang rugi ya bangsa, bukan Golkar. Golkar selalu mengedepankan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Ini problemnya sedikit-sedikit ada orang yang alim dituduh tidak Pancasilais; atau ada orang yang sedikit berpidato atau ceramah agak keras dituduh tidak Pancasilais. Fenomenanya terbalik nih. Bagaimana [pandangan] dari Golkar nih?
Ya, Golkar membangun toleransi. Silakan berceramah, tetapi jangan membawa ceramah yang membawa kebencian. Jangan berceramah kemudian membawa radikalisme. Kita ingin semua ulama itu dilindungi. Kita ingin semua ulama itu diberikan proteksi, sehingga bagi Golkar ulama itu sahabat. Dan dari dulu, Golkar dengan ulama-ulama itu dekat. Makanya Golkar itu selalu membangun hubungan yang baik dengan ulama-ulama.
Tadi disebut 10 tahun ke depan itu ada peluang besar, ada bonus demografi yang akan menguntungkan. Sebenarnya, problem mendasar kita hari ini yang harus dijawab oleh bangsa ini, apa saja menurut Golkar?
Yang paling pasti itu adalah pendidikan. Berikutnya adalah ekonomi, membuka lapangan pekerjaan. Kembali lagi ke pendidikan, supaya link and match, ya kan? [Dengan] Pendidikan yang baik, dapat pekerjaan; dapat pekerjaan, sejahtera. Kemudian yang kedua, kita ingin transparansi, sehingga apa pun yang namanya bantuan, subsidi, itu transparan sampai ke masyarakat. Supaya masyarakat tidak merasakan adanya korupsi. Korupsi itu bukan [melulu soal] KPK; korupsi itu [juga] yang nyolong BBM, yang nyolong BLT.
Jadi, yang dirasakan masyarakat itu masih adanya ketidakadilan. Mereka masih merasakan hukum baik bagi orang kaya, itu mereka hisap dari sekarang karena mereka kaya. Tapi bagi orang miskin, mereka tidak bisa mendapatkan keadilan, karena mereka tidak bisa seperti orang kaya tadi. Artinya, mereka merasakan justice itu tidak ada.
Itu yang menurut saya Golkar akan berjuang untuk meluruskan kembali apa yang kita harapkan dari reformasi itu. Karena Golkar yang mereformasi yang namanya Undang-Undang Pers; yang membuat Undang-Undang Pers itu zamannya Pak Habibie. Demokrasi, [ada] Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan yang waktu itu. Kemudian banyak sekali undang-undang yang dihasilkan zamannya Pak Habibie, di mana Indonesia mulai menjadi negara demokrasi. Nah, itu harus kita jaga. Kita harus jaga, karena cita-cita bangsa itu kan di situ sebenarnya, reformasi setelah '98.
Terkait soal orang kaya ini juga, problem orang miskin kan bukan hanya soal hukum ya. Berpolitik itu bagi orang miskin kan jauh, bang. Abang kan termasuk keluarga yang punya privilege-lah. Sebenarnya, Golkar membuka nggak sih kesempatan seperti itu, bang?
Golkar itu basisnya dari meritokrasi. Kalau dari kita tuh, tidak ada pemegang saham. Golkar tidak ada dinastinya, Golkar itu tidak punya pemilik. Jadi yang ada adalah meritokrasi. Isinya teknokrat. Teknokrat pengusaha, teknokrat pendidikan, teknokrat hukum, jadi ya meritokrasi. Siapa yang punya kemampuan, siapa yang punya kelebihan, mereka yang akan mendapat kesempatan.
Makanya, Golkar ini adalah partai yang berbasis meritokrasi. Jadi tidak mengenal [apakah] seseorang berada di situ karena dia keluarganya si A, si B; tapi karena meritokrasi tadi. Nah itulah, makanya dulu Golkar dibangun dari golongan. Sehingga [kini] muncul meritokrasi; banyak teknokratnya, banyak pelaku usahanya, dulu [juga] ada TNI dan ASN-nya. Jadi, Golkar itu dibangun dari kelompok-kelompok orang yang berkarya.
Dalam rekrutmen kader partai pun diusahakan tetap akan seperti itu?
Iya. Sekarang Sekolah Public Policy Partai Golkar itu menemukan banyak sekali kader-kader Partai Golkar yang muda ini, memiliki talenta yang bagus. Kemudian mereka kita grooming, kita berikan mereka kesempatan sehingga mereka bisa berprestasi. Banyak, ada bupati [dari] Golkar, itu mereka dulu tenaga ahli. Banyak anggota DPR sekarang dulu dari tenaga ahli. Jadi bukan dari karena pengusaha, karena mereka tenaga ahli; mereka mengerti analisa, mengerti bagaimana menghitung dan sebagainya, membangun pesan --banyak yang terpilih menjadi anggota DPR. Jadi, meritokrasi itu penting.
Jadi, apakah sekolah ini dibuka untuk publik sebenarnya?
Inklusif. Syaratnya, artinya lolos dari wawancara, terus kemudian punya rekomendasi juga dari teman-temannya yang ada di Golkar. Tapi inklusif. [Sebanyak] 30-40% itu berasal dari luar, tidak disyaratkan juga harus masuk Golkar.
Tidak harus anak siapa, gitu ya?
Tidak perlu, ndak ada. Inklusif.
Nah, abang sudah lama nih aktif di Golkar. Membayangkan diri nggak, suatu hari jadi Ketua Umum Golkar?
Itu, belum terpikirkan. Yang paling penting sekarang ini bagaimana Golkar bangkit. Karena Golkar ini kan sekarang sedang turun dari setiap pemilihan. Karena itu menurut saya, Golkar ini perlu dibangkitkan lagi. Kita membangun narasi berpihak kepada rakyat, karena Golkar dibangun dari dulu [memang] berpihak kepada rakyat, membela rakyat, memenuhi kebutuhan rakyat, membangun equality, dan sebagainya. Jadi Golkar perlu bersatu lagi. Tidak ada berpikir dulu siapa mau nomor satu, siapa mau nomor dua. Sekarang ini semua bekerja untuk pembenahan Golkar.
Terus anak-anak gimana, ada yang mengikuti langkah abang, nggak?
Belum, belum. Tergantung kalau ada yang hobi. Politik kan juga harus ada hobinya, [ada] unsur hobinya.
Katanya hobinya film, bang?
Iya, film. Nanti jadi aktivis atau apa, kan harus diceburin dulu, gitu.
Bisa jalurnya melingkar dulu ya?
Harus jadi aktivis dulu kan. Ikut ormas-ormas yang kemudian bisa memimpin kelompok-kelompok ormas. Ormas pemuda, ormas sosial, ormas agama, dan sebagainya. Jadi harus ada karirnya lah.
Abang begitu juga dulu berarti?
Ya, saya kan dulu dari macam-macam. Dulu saya aktivis sekolah olahraga bola, terus saya masuk jadi Ketua IPMI, masuk di KADIN, terus Golkar. Jadi, jalur saya memang dari jalur dunia usaha, entrepreneur.
Jadi abang membebaskan anak-anak jalurnya bagaimana nantinya ya, yang penting positif ya?
Iya. Itulah yang namanya pendidikan berbasis hobi. Kita nggak bisa larang, yang penting selama dia bisa dapat pekerjaannya. Ya, karena kan suatu saat ujungnya kan bahwa anak-anak kita ini harus punya kerjaan. Dunia film lebih bagus. Konten-konten tuh sudah bagus sekarang, industri kreatif.
Jadi harus dibiarkan mereka mengeksplor kesenangannya, hobinya. Nah, ini yang menurut saya pendidikan Indonesia ini masih mundur. Belum ada satu roadmap menuju ke sana. Jadi ini yang harus diperbaiki, karena waktu kita pendek.
Roadmap untuk memancing energi kreatif anak maksudnya?
Iya. Artinya membangun energi kreatif, kemudian membangun sportivitas. Kemudian membangun public speaking dari kecil, membangun keseniannya. Kemudian juga membangun team building-nya. Jadi itu semua harus dibangun. Nah, itu kan formatnya sekolah-sekolah nggak tahu.
Kita nggak tahu apa sih, sebenarnya ini konsep edukasi ini mau ke mana, gitu.
Dan ini belum terasa juga ya, perkembangannya di situasi sekarang ya?
Ya, saya kira, saya nggak tahu sekarang ini... Hmm, apa ya. Ini kan Covid [sudah] dua tahun lebih, pendidikan [jadi] mundur kan. Jadi ya, mudah-mudahan bisa di-catch up, bisa dilampaui-lah nanti pendidikan kita. Tetapi harus tiap [jenjang] pendidikan, nggak usah terlalu dipaksa harus S1 ya. Kalau S1 kita lulus, kita [nggak] dapat kerja, buat apa?
Terkait politik, ini sempat dengar soal Anies Baswedan. Pandangan Anda bagaimana? Kemarin kan ada deklarasi tuh dari Partai Nasdem, mengumumkan Anies Baswedan sebagai bakal calon Presiden? Nah, bagaimana abang memandangnya, atau dari Golkar?
Oh... Golkar kan nggak ada urusannya dengan apa sih, langkah yang lainnya. Masing-masing bisa punya sikap. Ya, kita punya sikap sendiri, punya tata cara sendiri. Partai lain juga punya tata cara sendiri. Kita nggak mau banyak bicara tentang rumah tangga orang. Hahaha.
Tapi kalau Anies Baswedan-nya?
Kenapa tuh?
Terkait Anies Baswedan (sebagai bakal Capres), pandangan Anda bagaimana?
Anies Baswedan yang saya tahu tuh Gubernur DKI. Masyarakat merasakan [dia] berhasil membangun DKI, ya kan? Jalan-jalan bagus, Sudirman-Thamrin bagus, ya kan? Artinya, masyarakat, persepsi dan opininya melihat kepala daerah. Bukan hanya Anies, Ganjar juga begitu. Kepala daerah itu berhasil memimpin kotanya (daerahnya).
Anies berhasil di Jakarta, dan Ganjar berhasil memimpin dari Jawa Tengah. Jadi persepsi publik yang dibangun oleh Ganjar dan yang dibangun oleh Anies, bahwa dia berhasil jadi pemimpin daerah. Itu yang ditangkap oleh masyarakat. Sehingga masyarakat selalu ingin mencari pemimpin yang punya pengalaman, begitu.
Jadi, soal pengalaman ya... Artinya, masyarakat bisa jadi memilih lagi ya mas?
Ya, artinya berjejer-lah. Ganjar dua periode gubernur, ya kan? Jadi, lagi-lagi harus dilihat bagaimana pemimpin itu [yang] nomor satu adalah pengalaman.
Jadi, apakah di Golkar pun masih terbuka kemungkinan? Kan ini sementara, Pak Airlangga juga ingin maju juga sepertinya.
Ya, kalau saya, tidak berbicara tentang Pilpres. Pilpres itu kan ada koalisi. Koalisi kan ada yang menentukan strateginya seperti apa. Nah, Golkar juga tidak bisa mencalonkan sendiri kan tanpa koalisi. Jadi, ya, nanti ada waktunya-lah, Golkar dan koalisinya menentukan siapa yang mau dimajukan. Gitu, hehehe.
[Transkrip wawancara: Angeline Lumban Gaol dan Lois Carissa]