Suara.com - Salah satu mitra kuat Indonesia selama ini adalah negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Mitra dimaksud termasuk dalam hal perdagangan di mana banyak komoditas Indonesia masih mengandalkan pangsa pasar Eropa, salah satunya yaitu produk kelapa sawit, selain juga hasil-hasil pertambangan dan komoditas lain.
Sebagaimana ditegaskan Duta Besar atau Dubes Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Piket di situs resminya, Uni Eropa (UE) dan Indonesia telah menjadi mitra dekat selama lebih dari 30 tahun. Perjanjian Kemitraan dan Kerja Sama antara UE dan Indonesia yang sudah ditandatangani sejak 2009 dan berlaku sejak 2014, bahkan disebut sebagai yang pertama di ASEAN.
"Uni Eropa melihat Indonesia sebagai mitra kunci di wilayah Indo-Pasifik dan ASEAN. Target kami adalah memperluas hubungan di bidang-bidang yang menjadi perhatian kita bersama," tulisnya, sembari kemudian menambahkan bahwa Indonesia dan UE memiliki kesamaan visi dalam sejumlah besar topik-topik multilateral dan regional.
Baru-baru ini, tepatnya Jumat, 30 September 2022, Suara.com berkesempatan berbincang dengan Dubes Vincent Piket mengenai berbagai hal, mulai dari soal kelapa sawit, nikel, hingga perkembangan situasi Rusia-Ukraina dan potensi ancaman resesi. Berikut petikan pembicaraan dengan Dubes UE tersebut yang dituliskan dalam format wawancara tanya-jawab:
Pertanyaan pertama mengenai kelapa sawit. Pemerintah Indonesia terus menggalakkan praktik keberlanjutan di industri kelapa sawit. Apakah menurut Anda pendekatan itu akan mengubah pandangan Uni Eropa terkait kelapa sawit dari Indonesia dan penggunaannya di Eropa?
Pertama-tama, Indonesia dapat mengekspor kelapa sawit ke UE tanpa hambatan apa pun. Perbatasan (borders) kami selalu terbuka, dan tidak ada pelarangan. Kami juga menerapkan zero tariff bagi sebagian besar produk kelapa sawit Indonesia yang masuk ke pasar kami, serta tarif yang tergolong rendah di ambang batas tertentu. Itu hal pertama.
Kedua, benar bahwa Eropa tengah meningkatkan standar untuk keberlanjutan produk yang kami konsumsi di pasar Eropa --dan hal itu berlaku untuk produk buatan dalam negeri serta produk impor dari luar negeri. Tidak ada diskriminasi bagi salah satu di antaranya. Dan kami ingin memastikan bahwa semua yang kami beli dan konsumsi di pasar Eropa tidak menyebabkan deforestasi.
Indonesia telah berhasil membuat kemajuan dalam mengurangi deforestasi selama beberapa tahun terakhir, dan kami berharap bahwa hal tersebut akan terus berlanjut. Dan jika demikian, menurut saya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Indonesia terkait peraturan di Uni Eropa.
Hal yang sama juga disampaikan oleh perusahaan-perusahaan yang saya temui, baik itu perusahaan besar di sektor kelapa sawit, perusahaan yang lebih kecil, dan smallholders. Mereka tampak cukup tenang dalam mengantisipasi peraturan baru kami. Mereka tahu apa yang dapat mereka lakukan, dan beberapa dari mereka juga sudah mulai menjalankan bisnis secara berkelanjutan. Jadi, menurut saya, tidak ada kesulitan berarti yang harus ditakuti oleh perusahaan Indonesia.
Presiden Jokowi baru-baru ini mengatakan bahwa Indonesia kelihatannya akan kalah dalam gugatan terkait ekspor nikel di World Trade Organization (WTO)?
Bagi kami, kasusnya masih berlangsung, dan keputusan terkait gugatan itu belum diumumkan. Saya tidak akan berspekulasi mengenai hal tersebut.
Bagaimana Uni Eropa melihat pengumuman mobilisasi parsial yang diumumkan oleh Presiden Vladimir Putin baru-baru ini?
Kami mengutuk keras hal itu, yang menyebabkan eskalasi baru dalam invasi Rusia ke Ukraina. Kami sangat mengkhawatirkan bahwa hal tersebut terjadi sekarang.
Serupa dengan apa yang diinginkan 141 negara anggota PBB, kami meminta Rusia untuk menghentikan perang ini, menarik pasukannya ke wilayah di luar perbatasan Ukraina dan Rusia yang diakui pada tahun 1990-an --yang kini telah dilanggar. Itulah yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik ini. Dan selain penghentian perang, diplomasi dan negosiasi untuk mencapai penyelesaian jangka panjang juga diperlukan. Itu merupakan langkah kedua.
Poin ketiga yang kami tekankan adalah bahwa tindakan yang telah diambil menunjukkan bahwa Rusia sama sekali tidak memedulikan konsekuensi yang ditimbulkan perang ini bagi dunia. Yang saya maksud adalah konsekuensi terkait ketahanan pangan dan krisis energi. Kedua hal ini adalah masalah global, dan kami membahasnya minggu ini dan minggu lalu dalam pertemuan Energy 20 di Bali. Dan Rusia sama sekali tidak memedulikan masalah ini, karena jika mereka memang peduli, mereka akan menghentikan perang yang masih berlangsung.
Bagi Uni Eropa, dalam hal ketahanan pangan, kami terus bekerja dengan PBB untuk memastikan ekspor gandum melalui Laut Hitam, yang dinegosiasikan oleh PBB dengan Turki, dilanjutkan. Kami juga merasa mekanisme serupa perlu diberlakukan untuk ekspor pupuk serta amonia, yang merupakan salah satu komponen utama dalam pupuk. Hal ini untuk memastikan bahwa negara-negara di dunia ketiga, di Afrika, dan negara-negara berkembang di Asia, memiliki pupuk yang dibutuhkan untuk masa panen berikutnya. Dan itulah yang sedang kami kerjakan.
Terkait isu energi, Uni Eropa sudah berpaling dari Rusia sebagai pemasok utama, khususnya untuk gas. Kami telah membuat kemajuan yang cukup baik, dan kami telah menemukan pemasok alternatif dengan cukup mudah di Eropa dan di lokasi lainnya. Dengan demikian, ketahanan energi kami sekarang sudah jauh lebih kuat dibandingkan empat minggu lalu.
Saya tidak mengatakan musim dingin ini akan mudah bagi kami, karena harga-harga yang tinggi dan rumah tangga masih menderita akibat harga energi dan harga pangan. Uni Eropa dan negara anggota kini terus bekerja untuk memastikan isu ini tidak menyebabkan masalah yang terlalu besar bagi warga kami.
Apa langkah yang telah diambil oleh Uni Eropa dan negara anggota dalam menghadapi kemungkinan resesi dan euro yang tengah anjlok?
Pertama-tama, sebelumnya kami berada di masa pasca-COVID dan dalam tren yang sangat menjanjikan, dengan adanya pertumbuhan kuat hingga Februari, ketika Rusia menyerang Ukraina dan menyebabkan semua ketidakstabilan di dunia, termasuk di Eropa.
Kami harus melanjutkan pemulihan itu, dan kami memiliki dana untuk itu: 700 miliar euro tersedia bagi negara-negara anggota untuk kembali ke jalur pemulihan. Hal ini tentu tidak akan mudah, tetapi tidak ada cara lain, dan kami tahu apa yang harus kami lakukan, yaitu menggabungkan pemulihan dan menghijaukan ekonomi. Kami akan melakukan kedua hal itu pada saat yang bersamaan, karena walaupun tengah terjadi perang, krisis iklim tidak berhenti, dan kita harus melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
Kedua, terkait mata uang, dolar AS sangat kuat saat ini. AS dianggap lebih aman oleh para trader dari krisis keamanan yang kini dihadapi Eropa. Kami tidak terlalu mengkhawatirkannya karena hal ini adalah sesuatu yang terjadi dari waktu ke waktu, sesekali seumur hidup. Euro dinilai lebih rendah dari dolar AS dan kembali stabil setelahnya. Itulah yang saya harapkan akan terjadi saat kami keluar dari krisis yang terjadi kini.