Fenomena Citayam Fashion Week, Sosiolog Rakhmat Hidayat: Mencairkan Batas Sosial, Perlu Disalurkan ke Ruang Produktif

Kamis, 28 Juli 2022 | 17:38 WIB
Fenomena Citayam Fashion Week, Sosiolog Rakhmat Hidayat: Mencairkan Batas Sosial, Perlu Disalurkan ke Ruang Produktif
Ilustrasi wawancara. Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat. [Foto: Dok. pribadi / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama atau istilah Citayam Fashion Week (CFW) beberapa pekan belakangan jadi perbincangan hampir semua orang, mulai dari khalayak umum, generasi muda, hingga kalangan artis, bahkan pejabat pemerintah dan politisi. Nama yang merujuk pada aktivitas anak-anak muda khususnya, yang terutama melibatkan kegiatan semacam peragaan busana di salah satu ruas jalan utama Jakarta, ini bahkan konon sudah sampai ke mancanegara.

Membawa nama Citayam sebagai kawasan asal domisili sebagian anak-anak muda yang mengawali aktivitas ini, CFW kini bahkan sudah "menular" ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan luar negeri. Sementara di sisi lain, Pemprov DKI khususnya dan lembaga terkait lainnya, coba merespons dengan berbagai pengaturan dan rencana terhadap ajang CFW ini ke depannya.

Namun, bagaimana sebenarnya soal CFW ini dan "CFW effect" yang ditimbulkannya? Apa arti keberadaannya dalam tatanan sosial masyarat? Apakah ada hubungannya dengan krisis identitas? Apakah ini juga sekadar fenomena sesaat yang mungkin lambat laun akan hilang atau terlupakan? Atau memang perlukah CFW ditata dan dikelola lagi dengan lebih baik?

Mencoba mengulas beberapa pertanyaan itu, Suara.com baru-baru ini sempat melakukan wawancara dengan sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat. Berikut petikannya dalam format tanya-jawab:

Dari pandangan seorang sosiolog, tanggapan Anda soal fenomena Citayam Fashion Week di Sudirman, Jakarta, ini seperti apa, terlebih saat ini masih jadi topik yang tren di Indonesia?

Tren Citayam Fashion Week ini bisa dipahami sebagai dekonstruksi kemapanan struktural ya. Mereka melakukan dekonstruksi kemapanan struktural yang selama ini berkembang di Jakarta yang gemerlap, metropolis, kapitalis, dengan fenomena kultural yang elitis, pada kelas sosial tertentu yakni pada kelas sosial menengah ke atas yang selama ini menjadi konsumsi utama dari kebudayaan kemapanan kota-kota besar di Jakarta yang sudah berlangsung secara permanen dan diproduksi secara struktural dalam jangka waktu yang sangat panjang di Jakarta. Dulu orang mengenal Melawai. Di tahun 1980 anak-anak muda saat itu ikon tempat nongkrongnya adalah Melawai. Kemudian di era 2000-an dikenal misalnya dengan satu struktur yang dikenal "Anak Jaksel", yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa campuran dalam komunikasi sehari-sehari. Mereka ini memang anak-anak yang berada di daerah Jaksel, Blok M, Senopati dan sekitarnya.

Nah, itu kan kebudayaan yang sudah mapan, bahwa mereka kelas sosial elite. Ketika anak-anak Citayam, Ciputat dan pinggiran, (mereka) hadir ke Jakarta dengan sosok, ciri dan identitas mereka, dengan outfit yang nyentrik dan kontradiksi dengan anak-anak Jakarta yang outfitnya mewah, branded; yang khas dan unik yang diproduksi oleh cara berpikir mereka, cara penampilan mereka, dan mereka melakukan perlawanan terhadap kemapanan yang sudah lama berkembang di Jakarta.

Mereka itu ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa dengan harga outfit yang sekian, nyentrik, aneh, dan punya spot catwalk di pinggir jalan, di trotoar. Kalau misalnya orang elite atas punya etalase catwalk-nya di mall, tapi anak-anak itu catwalk-nya di mana gitu. Mereka berangkat dari Citayam, Depok dan pinggiran lainnya, dengan hanya modal Rp 10 ribu bisa ke Jakarta buat beli minuman es teh manis atau kopi, dan itu cara perlawanan mereka, perlawanan struktural dari anak-anak pinggiran Jakarta.

Pertama itu. Mereka melakukan perlawanan secara struktural yang mungkin mereka nggak bisa ke mall, tapi mereka bisa ke SCBD ini. Terus yang kedua adalah, mereka ini sebenarnya juga melakukan kritik kebuntuan dari daerah penyangga yang memang mengalami krisis hak publik. Daerah penyangga itu kan yang daerah Transjabodetabek, terutama daerah Depok dan Bogor. Kebetulan saya tinggal di daerah Sawangan, berbatasan dengan Bojong dan Citayam. Saya sering naik kereta ke kampus melewati kampung Citayam, jadi saya tahu betul anak-anak yang sering nongkrong, sering nyentrik. Nah, jadi ini cara mereka menegur, mengkritik terhadap negara, karena negara tidak menyediakan ruang publik bagi mereka. Negara tidak menyediakan ruang sosial mereka berekspresi dan akhirnya mereka memilih ke Jakarta. Hanya modal Rp 5-10 ribu ke Jakarta. Dan harusnya daerah penyangga harusnya bisa mengakomodir kebutuhan lokal mereka gitu.

Baca Juga: Berkah Citayam Fashion Week, Omzet PKL di Sudirman Naik Hingga 200 Persen

Jadi saya melihat dua itu. Pertama sebagai ekspresi perlawanan mereka, dan kedua bentuk kritik terhadap pemerintah daerah penyangga karena dianggap gagal mengakomodir ruang ekspresi bagi anak-anak muda itu. Pilihannya yang murah meriah adalah pergi ke Jakarta. Apa bentuk kegagalan pemerintah lokal menyediakan ruang berekspresi itu? Ya, mereka nggak ada tempat berekspresi anak-anak muda nongkrong, taman, untuk main skateboard, pertunjukkan seni musik, itu nggak ada. Karena itu dianggap nggak penting buat pemerintah di daerah penyangga itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI