Suara.com - Nama atau istilah Citayam Fashion Week (CFW) beberapa pekan belakangan jadi perbincangan hampir semua orang, mulai dari khalayak umum, generasi muda, hingga kalangan artis, bahkan pejabat pemerintah dan politisi. Nama yang merujuk pada aktivitas anak-anak muda khususnya, yang terutama melibatkan kegiatan semacam peragaan busana di salah satu ruas jalan utama Jakarta, ini bahkan konon sudah sampai ke mancanegara.
Membawa nama Citayam sebagai kawasan asal domisili sebagian anak-anak muda yang mengawali aktivitas ini, CFW kini bahkan sudah "menular" ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan luar negeri. Sementara di sisi lain, Pemprov DKI khususnya dan lembaga terkait lainnya, coba merespons dengan berbagai pengaturan dan rencana terhadap ajang CFW ini ke depannya.
Namun, bagaimana sebenarnya soal CFW ini dan "CFW effect" yang ditimbulkannya? Apa arti keberadaannya dalam tatanan sosial masyarat? Apakah ada hubungannya dengan krisis identitas? Apakah ini juga sekadar fenomena sesaat yang mungkin lambat laun akan hilang atau terlupakan? Atau memang perlukah CFW ditata dan dikelola lagi dengan lebih baik?
Mencoba mengulas beberapa pertanyaan itu, Suara.com baru-baru ini sempat melakukan wawancara dengan sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat. Berikut petikannya dalam format tanya-jawab:
Baca Juga: Berkah Citayam Fashion Week, Omzet PKL di Sudirman Naik Hingga 200 Persen
Dari pandangan seorang sosiolog, tanggapan Anda soal fenomena Citayam Fashion Week di Sudirman, Jakarta, ini seperti apa, terlebih saat ini masih jadi topik yang tren di Indonesia?
Tren Citayam Fashion Week ini bisa dipahami sebagai dekonstruksi kemapanan struktural ya. Mereka melakukan dekonstruksi kemapanan struktural yang selama ini berkembang di Jakarta yang gemerlap, metropolis, kapitalis, dengan fenomena kultural yang elitis, pada kelas sosial tertentu yakni pada kelas sosial menengah ke atas yang selama ini menjadi konsumsi utama dari kebudayaan kemapanan kota-kota besar di Jakarta yang sudah berlangsung secara permanen dan diproduksi secara struktural dalam jangka waktu yang sangat panjang di Jakarta. Dulu orang mengenal Melawai. Di tahun 1980 anak-anak muda saat itu ikon tempat nongkrongnya adalah Melawai. Kemudian di era 2000-an dikenal misalnya dengan satu struktur yang dikenal "Anak Jaksel", yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa campuran dalam komunikasi sehari-sehari. Mereka ini memang anak-anak yang berada di daerah Jaksel, Blok M, Senopati dan sekitarnya.
Nah, itu kan kebudayaan yang sudah mapan, bahwa mereka kelas sosial elite. Ketika anak-anak Citayam, Ciputat dan pinggiran, (mereka) hadir ke Jakarta dengan sosok, ciri dan identitas mereka, dengan outfit yang nyentrik dan kontradiksi dengan anak-anak Jakarta yang outfitnya mewah, branded; yang khas dan unik yang diproduksi oleh cara berpikir mereka, cara penampilan mereka, dan mereka melakukan perlawanan terhadap kemapanan yang sudah lama berkembang di Jakarta.
Mereka itu ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa dengan harga outfit yang sekian, nyentrik, aneh, dan punya spot catwalk di pinggir jalan, di trotoar. Kalau misalnya orang elite atas punya etalase catwalk-nya di mall, tapi anak-anak itu catwalk-nya di mana gitu. Mereka berangkat dari Citayam, Depok dan pinggiran lainnya, dengan hanya modal Rp 10 ribu bisa ke Jakarta buat beli minuman es teh manis atau kopi, dan itu cara perlawanan mereka, perlawanan struktural dari anak-anak pinggiran Jakarta.
Pertama itu. Mereka melakukan perlawanan secara struktural yang mungkin mereka nggak bisa ke mall, tapi mereka bisa ke SCBD ini. Terus yang kedua adalah, mereka ini sebenarnya juga melakukan kritik kebuntuan dari daerah penyangga yang memang mengalami krisis hak publik. Daerah penyangga itu kan yang daerah Transjabodetabek, terutama daerah Depok dan Bogor. Kebetulan saya tinggal di daerah Sawangan, berbatasan dengan Bojong dan Citayam. Saya sering naik kereta ke kampus melewati kampung Citayam, jadi saya tahu betul anak-anak yang sering nongkrong, sering nyentrik. Nah, jadi ini cara mereka menegur, mengkritik terhadap negara, karena negara tidak menyediakan ruang publik bagi mereka. Negara tidak menyediakan ruang sosial mereka berekspresi dan akhirnya mereka memilih ke Jakarta. Hanya modal Rp 5-10 ribu ke Jakarta. Dan harusnya daerah penyangga harusnya bisa mengakomodir kebutuhan lokal mereka gitu.
Baca Juga: Ngamen Sejak Kecil, Bonge Mau Lanjut Sekolah dan Terima Tawaran Beasiswa Sandiaga Uno
Jadi saya melihat dua itu. Pertama sebagai ekspresi perlawanan mereka, dan kedua bentuk kritik terhadap pemerintah daerah penyangga karena dianggap gagal mengakomodir ruang ekspresi bagi anak-anak muda itu. Pilihannya yang murah meriah adalah pergi ke Jakarta. Apa bentuk kegagalan pemerintah lokal menyediakan ruang berekspresi itu? Ya, mereka nggak ada tempat berekspresi anak-anak muda nongkrong, taman, untuk main skateboard, pertunjukkan seni musik, itu nggak ada. Karena itu dianggap nggak penting buat pemerintah di daerah penyangga itu.
Sekarang kan akhirnya Citayam Fashion Week tidak hanya diikuti oleh anak-anak pinggiran, tetapi kalangan elite juga ikut terjun ke Citayam Fashion Week. Apakah (ini) bisa disebut adanya krisis identitas?
Karena mereka melakukan perlawanan kemapanan struktural di metropolitan, di Kota Jakarta, dan akhirnya mereka jadi trending center yang itu jadi daya tarik kelompok menengah ke atas, karena akhirnya politisi, selebriti, dan terakhir adanya berita mengejutkan juga buat kita (bahwa) Baim Wong sempat akan mendaftarkan hak cipta Citayam Fashion Week (ini disampaikan sebelum belakangan ada berita di mana Baim Wong menyatakan mencabut pendaftaran HAKI yang dilakukannya -Red). Itu kan menunjukkan bahwa sebenarnya orang sudah mengalami kejenuhan, orang sudah mengalami inkolusi kultural terhadap sesuatu yang bersifat mewah, komersil, gegap gempita. Tapi dengan sekarang yang tradisi subkultur yang remeh-temeh, orang menjadi (merasakannya) menarik, punya sensasi, daya tarik, dan punya greget. Itu akhirnya membuat orang jadi tertarik, didukung oleh media sosial yang mempromosikan. Jadi ini semacam jadi perlawanan kelas pinggiran kok, menjadi satu pusat kebudayaan baru, yang itu jadi daya tarik kelompok menengah ke atas dan mereka tertarik bergabung ke budaya mereka (anak pinggiran).
Artinya, itu tidak bisa juga dibilang krisis identitas tadi?
Sebenarnya enggak juga ya. Sekarang itu identitasnya itu kemudian menjadi cair. Dulu kan kalau identitas struktur terkait dengan identitas sosial ya. Jadi kalau bicara tahun 1980-an, identitas sosial anak-anak muda Jakarta itu memang nongkrongnya di Melawai dengan mobil mewah. Kemudian kan terkenal juga Radio Prambors, kemudian nongkrong di situ. Kemudian ada selatan Jaksel. Kemudian datanglah anak Citayam ini yang identitasnya kelas bawah, anak-anak pinggiran atau akar rumput. Nah, mereka ingin melawan dominasi kelas atas itu. Ternyata dengan CFW ini, batas-batas kelas sosial itu sudah runtuh, sudah tidak ada lagi. Karena orang menjadi berbaur, orang menjadi melebur di situ. Yang tadinya anak-anak pinggiran di situ, datanglah selebritis, datanglah politisi ke situ, datanglah kelas-kelas menengah profesional.
Teman-teman dosen saya juga banyak yang datang ke situ, foto-foto, merasakan euforia di sana dan akhirnya menjadi cair. Tadinya ada kelas menengah atas; ini orang kaya, (ini) orang pinggir, orang kelas bawah. Orang kelas bawah kan tahun 80-90an sampai sekarang mungkin, anak itu kalau ke Senayan City mereka kaget, kayak shock. Mau belanja apa, beli kopi aja mahal. Nah, itu kan jelas batas-batas identitasnya. Saya pikir, (dengan) adanya CFW ini batas-batas sosial itu luntur, cair, semua orang tumplek ke situ. Nggak ada batas-batas orang kaya, orang menengah, semua campur merasakan bagian dari komunitas subkultur yang namanya CFW itu.
Menurut Anda, dalam fenomena CFW ini apakah ada masalah kultur, karena kan selalu diikuti (yang lain) seolah latah kultur?
Betul. Nah ini juga akan direproduksi namanya, orang menjadi latah, nanti akan muncul di daerah yang lain, mas. Misalnya di daerah Bandung, Surabaya, Medan, orang akan meniru dan mereproduksi CFW. Itu akhirnya kemudian di satu sisi memang kreatif, (bagi) anak pinggiran Bandung, Surabaya, Medan dan lainnya. Tapi itu kemudian masalahnya kehilangan otentitas identitas kebudayaan. Mereka nggak original lagi.
Saya pikir anak-anak Citayam itu kelebihannya genuine, orisinal, otentik lah mereka itu. Ya, siapa sih yang tadinya kenal Jeje, Bonge kan, tapi tiba-tiba mereka sekarang melebihi artis-artis seperti Baim Wong, setara dengan Rafi Ahmad. Makanya kemudian Jeje dan Bonge itu ada julukannya, jadi "sultannya" SCBD. Jadi kalau selama ini "sultannya" ada di Bintaro dan Andara, nah ini "Sultan SCBD" itu Jeje dan Bonge. Orang jadi penasaran pengen tahu Jeje dan Bonge. Ini yang menentukan bahwa ada perbedaan otensitas kebudayaan awal Citayam tersebut. Tapi kalau daerah lainnya meniru dan menduplikasi, nah mereka kehilangan identitasnya. Dan mereka di daerah baru itu tidak akan bertahan lama ya, sesaat.
Citayam ini kan sekarang ramai Satpol PP melarang. Itu sebenarnya jangan dilarang. Semakin dilarang, semakin membludak dan (ter-)eksposure; semakin ditekan, semakin direpresif, dilarang, ditutup, itu nggak boleh. Karena anak-anak Citayam itu mereka warga kota yang punya hak mengkonsumsi, untuk mengisi ruang. Sama kayak saya, akademisi, para pedagang kaki lima, kita punya hak yang sama mengkonsumsi untuk pribadi ruang-ruang di kota. Justru harus diberikan ruang, harus diadvokasi oleh pemerintah, misalnya disediakan panggung, acara, event, ada fashion show, mengundang sponsor, stand up comedy. Jadi untuk menghidupkan, bukan dilarang. Ini (dilarang -red) berbahaya, karena semakin ditekan akan semakin meledak, dan akan jadi perlawanan yang masif untuk anak-anak Citayam sendiri.
Kalau melihat dari fenomena CFW ini, ada nggak sih sisi kreatifnya? Atau (apakah) mereka hanya sekadar ajang pamer outfit yang nyentrik?
Dua hal itu sebenarnya nggak bisa dipisahkan ya, karena mereka itu kan masih anak-anak muda yang masih (dalam masa) transisi. Mereka ingin pamer dengan outfit-outfit yang kalau kita lihat di wawancara, itu kan harganya berapa. Kan ada yang murah meriah, dibeli di toko mana gitu. Ya, sebenarnya, mereka ingin pamer, karena ingin menunjukkan eksistensi, jati diri di ruang publik, apalagi di kota metropolitan.
Sebenarnya kreativitasnya mereka hanya ingin melihat bahwa mereka juga bisa eksis, karena mereka punya konten YouTube dan Instagram. Mungkin kreativitasnya di sana. Termasuk soal baju yang aneh-aneh dengan gaya nyentriknya, juga termasuk kreativitasnya, perlawanannya di situ. Kalau kita lihat orang Jakarta menengah ke atas, kan pakaiannya branded, berharga, mahal. Tapi kan anak-anak ini yang murah-murah, aneh, nyeleneh. Jadi sebenarnya kreativitasnya bisa dipahami, dalam anak pinggiran tadi, tapi itu sebagai identitas mereka sekaligus sebagai cara mereka buat eksis. Karena mereka selama ini merasa dipinggirkan. Karena mereka dulu kan mengenal Citayam itu apa sih, kayak tempat "jin buang anak" gitu kan. Tapi sekarang kan Citayam jadi (dapat) promosi gratis. Orang semua jadi pengen tahu Citayam apa, di mana, dan (ini) sebenarnya sisi lain untuk promosi gratis bagi Citayam.
Tadi dijelaskan (bahwa) sisi kreativitasnya lebih kepada pakaian yang nyentrik. Apakah fenomena ini bagian dari korban budaya karena misinformasi di media, atau seperti apa?
Ya, mereka juga sebenarnya bisa dikatakan adalah korban dari surplusnya informasi dan kebebasan di media sosial. Artinya, sebenarnya mereka diuntungkan oleh meledaknya media sosial, (dunia) digital di masyarakat. Orang dengan mudah broadcast, share di YouTube dan lainnya, termasuk media-media konservatif, termasuk TV memberitakan live, kemudian channel Youtube, podcast. Mereka diuntungkan dengan itu. Artinya kalau tidak ada media sosial itu, mungkin nggak semeledak sekarang. Mereka diuntungkan. Anak-anak Citayam dapat panggung dan mendapatkan spot-nya, eksposure publiknya di situ.
Sebetulnya ini yang harusnya dilihat, di-maintainance, jangan sampai ini menjadi liar, menjadi melebara ke mana-mana. Ini maksudnya melebar ke mana-mana ini, bisa melebar ke masalah hukum. Karena akan jadi gugatan nanti kalau nanti ada yang melaporkan ke Kementerian terkait hak cipta misalnya. Dan ini bisa jadi bahaya menggelinding, yang bisa dimobilisasi kelompok-kelompok tertentu, komunitas politik misalnya dan seterusnya. Sebenarnya ini harus dilihat secara lebih dari sosial kultural, dari sisi identitas, keativitas, jangan sampai ini melebar ke sisi yang tidak produktif.
Tren CFW ini juga memang kemudian memunculkan adanya pengajuan dan penerbitan hak cipta dari beberapa sosok yang mendaftarkan ke Kemenkumham ya (Baim Wong sempat disebut lagi di sini sebelum kemudian ada kabar sudah menyatakan mencabut pendaftaran HAKI yang dilakukannya -Red). Itu bagaimana?
Nah, itu yang menjadi kontraproduktif ya. Dengan pendaftaran itu, buat apa kepentingannya? Karena anak-anak Citayam itu kan anak-anak yang putus sekolah, anak kelas bawah, anak ekonomi kelas bawah. Tapi kemudian mereka jadi korban eksploitasi kelas atas, yang kemudian ingin mendapatkan keuntungan ekonomi, ingin dapat cuan dari tren Citayam itu, harus dapat izin atau seperti apa. Mereka ingin mengekploitasi kepentingan ekonomi. Kemudian akhirnya apa? Ya, anak-anak Citayam itu jadi korban dari komersialisasi dari kelas tertentu. Siapa itu? Ya, itu yang mendaftarkan itu. Seharusnya kemudian diakomodir, dinaungi oleh pemerintah, diarahkan, diberikan ruang, agar jangan sampai ini jadi rebutan, jadi konflik ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu untuk mendapatkan ekonomi. Menurut saya, ini mencederai kebebasan anak-anak Citayam itu.
Kedua, ini kemudian jadi masalah baru karena mereka mencoba (mendaftarkan) hak cipta itu adalah mencoba untuk mengeksploitasi kepentingan anak-anak Citayam. Anak-anak Citayam itu tidak mengerti apa-apa. Jangankan mereka ngerti hak cipta itu apa, sekolah aja nggak selesai kan. Mereka itu anak-anak lugu yang polos dan cuma pengen nampang, ekspresif bergaya, di tengah kehidupan mereka yang susah terbelit secara ekonomi, tapi mereka ingin eksis. Jadi akhirnya kalau ada laporan pengajuan hak cipta, itu jadi ironis, dan menurut saya menjadi hal yang disayangkan.
Ke depan, pemerintah harusnya seperti apa mengelola CFW ini, agar tidak berhenti dan bahkan berkembang ke tren-tren baru yang bisa saja bermunculan nanti?
Ini harusnya disalurkan ke dalam ruang-ruang ekonomi kreatif yang produktif, misalnya dengan event-event tertentu. Bikin satu event, misalnya setiap weekend, dari Jumat, Sabtu, Minggu, bikin event panggung. Bisa mengundang beberapa model untuk mereka sama-sama anak Citayam tersebut untuk (naik) pentas. Bisa bikin perform (penampilan) sekalian penyanyi, konser, komedian stand up. Juga bisa melibatkan dari BUMN, Pemda DKI jelas terlibat. Kemudian siapa lagi, misalnya Kemenparekraf, terus juga misalnya dari Kemenpora bikin acara-acara anak muda yang lebih kreatif dan menyenangkanlah. Jangan serius-serius. Seperti bikin konser musik, misalnya (pas momen) 17-an ala Citayam Fashion Week, mengundang influencer, sehingga itu lebih produktif dan teratur. Mereka kalau bisa dijadikan komunitas nggak apa-apa, jadi misalnya kayak Jeje dan Bonge, misalnya (jadi) founder, co-founder.
Undanglah diplomat asing, duta-duta besar, pengusaha, menikmati malam-malam di SCBD itu. Atau istri-istri dubes juga bisa tampil catwalk dengan anak-anak Citayam Fashion Week, jadi kelihatan menarik. Jadi eksposure ke dubes-dubes itu juga bagus juga. Ini event sosial non-komersil, pasti artis akan tertarik. Kalau dikelola kan, bisa saja dengan penyanyi-penyanyi yang sedang tren dan naik daun sekarang, misalnya Tulus, satu-dua lagu, lalu ada satu-dua anak Citayam yang catwalk di sana, atau ibu-ibu menteri gantian untuk fashion week di situ, kan menarik itu. Atau juga Kemenpar bisa mempromosikan baju-baju adat, batik daerah-daerah dari Indonesia, kan lebih bagus eksposurenya, akan lebih kelihatan. Kuliner juga bisa digelar di situ. Misalnya di sekitar SCBD itu misalnya, (lalu lintas) mobil-motor ditutup, jadi orang bisa leluasa. Ada panggung, orang bisa jalan, skuter, bawa sepeda. Itu akan jadi keren banget.
Kontributor : Wivy Hikmatullah