Suara.com - Beberapa waktu terakhir, permasalahan ganja yang secara hukum di Indonesia termasuk sangat terlarang karena dikategorikan sebagai narkotika golongan 1, kembali menjadi perbincangan hangat. Hal itu terutama setelah kembali muncul dan viral berita tentang seorang warga masyarakat yang membutuhkan ganja untuk bahan pengobatan anaknya.
Sementara itu, sejumlah pihak sendiri telah melayangkan uji materi atau uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), yang diketahui sudah berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu pihak yang ikut terlibat dalam pengajukan uji materi itu adalah advokat dari LBH Masyarakat, sebagai salah satu organisasi yang mengadvokasi pemanfaatan ganja khususnya untuk keperluan medis.
Belum lama ini, Suara.com lewat program Obrolan Malam Suara (Ormas) di platform Twitter Space, pun coba mengetengahkan perbincangan itu. Ikut hadir berbicara Ma'ruf Bajammal, advokat dari LBH Masyarakat. Berikut petikan perbincangan dengan Ma'ruf yang dituliskan ulang dalam format wawancara tanya-jawab:
Bisa dijelaskan awalnya sampai akhirnya melayangkan uji materi?
Baca Juga: Meluruskan Pemahaman Mengenai Ganja Medis
Prinsipnya, kami melakukan advokasi ini dengan tujuan untuk melakukan reformasi kebijakan narkotika Indonesia. Mengapa demikian? Karena kami melihat narkotika secara regulasi di Indonesia itu tidak pada tempatnya.
Kenapa seperti itu? Karena sebagaimana kita tahu, ada pembagian golongan narkotika, ada golongan 1, 2 dan 3. Dari penggolongan itu, kemudian golongan 1 tidak bisa digunakan untuk kepentingan layanan kesehatan. Ketentuan itu termaktub dalam pasal 8 ayat 1 dan penjelasan pasal 6 ayat 1.
Ketentuan ini kemudian yang kami jadikan dasar untuk menguji ke Mahkamah Konstitusi, karena kami menganggap bahwa ketentuan ini bertentangan dengan hak konstitusi di negara kita, di mana tercantum dalam UUD 1945 khususnya terkait dengan ketentuan pasal (yang) mengatur hak atas pelayanan kesehatan dan mendapatkan manfaat atas pengembangan ilmu pengetahuan. Kami menganggap ketentuan demikian tidak sejalan dengan UUD tersebut, karena ibu-ibu yang menjadi pemohon uji materi ini kemudian tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan narkotika termasuk di dalamnya ganja.
Itu yang kami jadikan dasar untuk mengajukan uji materi ke MK RI, agar pasal ini diminta dibatalkan MK, karena pasal ini menjadi hambatan setiap orang yang ingin memanfaatkan narkotika golongan 1 termasuk ganja di dalamnya, untuk kepentingan layanan kesehatan. Nah, itu yang dijadikan dasar persidangan berjalan, sampai kita saat ini menanti proses putusan dari MK.
Kendalanya apa sih, hingga akhirnya sidang masih terus berjalan dan belum juga diputuskan?
Baca Juga: Pakar Hukum Pidana Optimistis Legalisasi Ganja Untuk Medis Bisa Terealisasi di Indonesia
Kalau pertanyaannya kenapa, sampai saat ini belum diputuskan. Pertama, secara ketentuan perundang-undangan, memang tidak ada keharusan MK harus memutus dalam tempo waktu sekian lama. Itu memang tidak ada. Kedua, kami melihat mungkin karena memang materi yang ini cukup padat, dan kami juga bukan hanya dari pihak kami, tapi juga pihak dari Presiden juga mengajukan banyak ahli juga, sehingga persidangan banyak memakan waktu.
Kalau pertanyaannya kenapa belum ada putusan hingga saat ini, saya tidak punya kapasitas menjawab pertanyaan itu, karena itu sepatutnya dilayangkan ke MK. Tapi kalau saya bisa untuk memaknai, mungkin hari-hari ini Yang Mulia Majelis Hakim sedang hati-hati dan benar-benar memeriksa agar putusan ini bisa dijalankan dengan khidmat dan penuh kebijaksanaan, agar benar-benar putusan ini bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat khususnya pemanfaatan narkotika golongan 1 untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Itu yang kami harapkan agar MK memutuskan perkara ini.
Melihat respons pemerintah, terkait wacana seperti Ma'ruf Amien yang meminta MUI membuat fatwa, bisa nggak sih ganja ini kemudian diperjuangkan untuk keperluan medis?
Ada dua hal, pertama, terkait dari sikap Ibu Santi (Santi Warastuti yang sosoknya viral setelah lantang menyuarakan kebutuhan ganja untuk pengobatan anaknya --Red), dan kedua, dari masyarakat. (Apa yang dilakukan) Ibu Santi mungkin itu sebagai kefrustrasian sebagai seorang ibu mencari harapan untuk menyembuhkan anaknya. Alhamdulillah, respons dari publik cukup baik.
Jadi kalau kita melihat memang, publik melihat seharusnya ibu ini ditolong. Ibu ini harusnya diberikan ruang mengobati anaknya dengan ganja medis. Publik mendukung dan support, karena memang ini yang seharusnya benar terjadi. Bukan ditolak dan dikatakan tidak bisa dilakukan.
Kenapa demikian? Karena, di mana rasa keadilannya ketika sedang butuh pengobatan dalam hal ini ganja bisa untuk mengobati, dan (tetapi) terhambat ketentuan oleh hukum. Itu kan pasti akan melukai perasaan publik. Jadinya bukan narkotikanya yang kejam, tapi pejabat publiknya. Sehingga publik semua mengecam.
Artinya, secara perasaan batin, publik menganggap tidak benar hukum yang hari ini berlaku. Ya, kami harap juga ini menjadi sinyalemen positif untuk kemudian advokasi narkotika untuk kepentingan kesehatan di masa yang akan datang.
Ada kisah lain juga mungkin, atau latar belakang lain terkait ini?
Mungkin menurut saya banyak. Ini seperti puncak gunung es. Bahkan ada yang rela melepas kewarganegaraannya untuk mendapatkan pengobatan ganja medis. Indonesia salah satu negara yang hukum narkotikanya itu sangat kejam di dunia, yang kemudian regulasi atau kebijakannya tidak sejalan dengan asbabun nuzul dengan narkotika itu sendiri.
Apa asbabun nuzulnya? Kalau kita lihat, narkotika ini kan dia sebenarnya dapat bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Kemudian secara internasional, regulasi itu ada yang menyatakan seperti itu. Di Single Convention (on Drugs) 1961 di bagian pembukaannya; di UU kita ada ketentuan demikian, di bagian pertimbangan huruf C UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebutkan seperti itu. Narkotika dapat bermanfaat di bidang pengobatan, kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Sayangnya, regulasi dan ketentuannya yang ada justru melarang untuk kesehatan. Dari sisi hukum, ini bentuk dari kegagalan pembentukan hukum, karena asbabun nuzulnya ini bisa dimanfaatkan untuk kesehatan tapi regulasinya melarang. Ini kemudian jadi dasar kenapa dilarang di Indonesia. Banyak orang yang ketakutan, karena (meski) terang-terangan dimanfaatkan untuk kesehatan, seperti kasusnya Fidelis itu (malah) dipidana sama penegak hukum.
Orangtua kita yang hari ini mengajukan uji materi ke MK itu tidak pernah menggunakan untuk anaknya. Ada salah satu yang pernah menggunakannya, tapi bukan di Indonesia tapi di Australia. Dan ada progres secara fisiknya, (pasien jadi) lebih baik ketika memanfaatkan ganja ini. Itu kemudian jadi pemantik Ibu Santi untuk (ingin) menggunakan ganja untuk medis. (Tapi) Dari kami memberikan advice, kalau ibu gunakan ganja, bisa dipidana. Seperti terjadi dengan Fidelis, (dia) kan gunakan untuk istrinya tapi justru dipidana. Saat Fidelis di penjara, kesehatan istrinya menurun sampai meninggal. Ini kan sangat melukai perasaan batin kita semua; bagaimana hukum narkotika di Indonesia sangat kejam saat ada orang yang membutuhkan tapi kemudian dipidana.
Semangat itu yang kita bawa ke Mahkamah Konstitusi, agar MK melihat hukum narkotika kita kejam dan tidak sejalan dengan UU. Artinya apa? Kita meminta ada pilihan penggunaan narkotika golongan 1 itu terbuka, termasuk ganja, karena kembali lagi, sampai pihak otoritas yang menentukan yang mau menggunakan pengobatan itu untuk dia sendiri atau keluarganya.
Semangat inilah yang harus dibawa. Pilihan itu tidak dikunci, tidak dilarang, itu yang kita sampaikan ke MK. Bahwa pilihan pengobatan itu otoritas menentukannya ada di orang itu sendiri, sehingga pilihan itu terbuka. Penentuan itu ada di kita. Dokter (pun saat ini) tidak bisa menggunakan pilihan itu karena regulasinya melarang.
Kontributor : Wivy Hikmatullah