Seksualitas itu di ruang individu masing-masing. Ketika orang itu berbicara seperti melihat wujudnya saja itu sudah langsung berekspektasi yang menilai sesuatu belum sampai ke arah situ. Ini yang selalu menjadi kelatahan-kelatahan kita. Mereka hanya melihat wujud kulit tapi belum sampai mempelajari tingkat spritual yang ada didalamnya. Sebelum menilai baiknya memaknai tubuhnya sendiri. Jangan terlalu banyak bicara tetapi lebih baik perbanyaklah memahami.
Bagi saya, Lengger pun itu kesenian turun temurun dari generasi ke generasi bahkan sampai kemarin saya baru kehilangan Mbok Dariah pada tahun 2018 yang mana mungkin bisa saja dikatakan generasi terakhir. Dan ini tugas saya meregenerasi kembali penari lengger untuk tetap eksis. Anak-anak muda memahami tentang tidak cuma menari saja tetap bagaimana memahami spritual yang harus dilakukan setiap hari misalnya memang ada perjalanan untuk syarat-syarat menjadi penari Lengger. Berbagai macam syarat yang untuk kadang orang melihat Itu adalah sebuah kekuatan yang muncul pada penari Lengger itu namanya Indang. Setiap penari Lengger juga memiliki Indang. Indang itu tidak berwujud laki-laki ataupun perempuan. Jadi sebuah kekuatan yang kadang memang bisa diidentikkan dengan melati atau mawar atau kenanga seperti itu. Sesuatu yang memang indah. Keindahan bukan berarti bergender.
Kalau menurut saya, terlalu banyak kelatahan-kelatahan yang saya sangat prihatin sekali melihat generasi yang belum bisa memahami tubuhnya sendiri. Bagaimana di dalam tubuhnya itu ada dua unsur yang memang wujudnya seperti ini tapi di dalamnya kita tidak tahu. Ketika manusia dikasih roh saat umur empat bulan sampai sekarang itu adalah sebuah perjalanan spiritual. Ada yang jadi penari, presiden, atau menjadi menteri, kita tidak tahu.
Tapi itu melewati perjalanan, dan perjalanan itu adalah spritual waktu yang tubuh ini selalu menjalaninya. Tanpa sadar manusia melakukan itu tetapi banyak sekali doktrin kehidupan yang saringannya kurang jadi akan melakukan kelatahan-kelatahan kehidupan seperti itu. Menurut saya Lengger pun seperti saya ini, saya punya istri, saya juga harus manjat pohon misalnya ibu saya minta tolong ambilkan kelapa muda. Tidak cuma nari-nari Lengger saja. Jadi menurut saya menari adalah sebuah ibadah yang tanpa henti.
Itu kenapa sih orang sekarang memandangnya dengan sudut pandang yang semakin sempit, tidak luas?
Ketika saya hidup di Indonesia saya merasa ada batasan-batasan yang memang sebagai Lengger atau seniman tari masih terbatasi. Aturan kehidupannya harus seperti ini. Ketika saya ke Jepang saya merasa bisa bernafas, artinya mereka butuh tari Jawa karena mobilitas mereka sangat tinggi. Mereka butuh ruang semacam healing dengan adanya tari Jawa, mereka bisa bergerak pelan lalu dengan senyum. Setidaknya mengurangi tingkat kejahatan atau bunuh diri yang ada di Jepang yang memang sangat tinggi.
Dengan tari Jawa yang saya lakukan semacam memperkenalkan budaya Indonesia, saya di sini bisa bermanfaat banyak. Lebih bisa beribadah banyak dengan menari untuk banyak orang. Ini yang sebenarnya saya agak prihatin dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada di Indonesia. Bagaimana sikap kita bisa memahami tubuh kita masing-masing sebelum membuat aturan ataupun penunggalan. Perindividu harus bisa merefleksikan tubuhnya masing-masing.
Tadi Mas Rianto bilang kalau di Jepang malah tidak apa-apa, sedangkan di sini tempat lahirnya Lengger malah bermasalah. Mas Rianto merasa tidak terima atau bagaimana?
Saya merasa sekarang sudah mulai pemahaman, mungkin pemahaman itu pun hanya pemanfaatan yang sementara. Tidak secara serta-merta benar-benar memahami sampai ke dalam pada pelaku-pelaku budaya yang ada di desa-desa. Nenek-nenek yang sudah puluhan tahun tidak menari yang memang tidak penari sebagai Maestro, tetapi sudah tidak ada perhatiannya, akhirnya anak cucunya. "Udahlah, sudah tua, tidak usah menari," ada yang seperti itu. Karena saya masuk ke daerah Jatilawang kemudian ke Pengadegan kemudian ke Kembaran di desa-desa itu saya menjumpai beberapa kalau dibilang mantan bukan mantan penari ya, tetapi bagi saya spirit menarinya masih terus.
Baca Juga: Selain Borobudur, Ini Sederet Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO di Indonesia
Tetapi dengan kondisi lingkungan sosial itu mereka malu untuk menari, karena memang stigma-stigma baik itu dari keluarganya sendiri pun itu misalnya udah nenek-nenek masih tetap menari, malu sama anak cucunya gitu kan. Padahal jiwa-jiwa untuk beribadah nya itu masih tetap terus ingin melakukannya. Nah, di sinilah perhatian dari pemerintah yang mungkin harus menggali kembali ke dalam pelosok-pelosok desa yang memang mereka ini adalah sebagai tonggak budaya dan jati diri yang perlu diperhatikan masih banyak sekali. Sebenarnya saya ingin memberikan momentum besar bagi mereka yang memang sudah puluhan tahun tidak menari sebelum puput usia mereka bisa menampilkan sesuatu kepada generasi dan anak cucunya.