Suara.com - Dalam salah satu acara talkshow atau bincang-bincang online tema keberagaman yang diselenggarakan Suara.com dengan dukungan IMS (International Media Support) bersama HAMburger Podcast, Purwokertokita dan beberapa pihak lain, baru-baru ini, hadir Rianto, sang penari maestro kesenian Lengger Banyumasan.
Rianto adalah sosok yang sejak awal tekun dan serius menggelar, mengajarkan, hingga membawa dan menyebarluaskan Tari Lengger ke dunia internasional. Sosoknya bersama kesenian Lengger pun kian terkenal, setelah muncul dalam film Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) besutan sutradara Garin Nugroho pada 2018 lalu.
Lantas, apa saja kisah Rianto dan seni tari Lengger yang ditekuninya? Bagaimana juga ia memandang eksistensi Lengger saat ini, yang lebih dari sekadar tarian namun sudah menjadi sebuah elemen budaya? Apa pula harapan dan cita-citanya ke depan? Berikut petikan bincang-bincang dengan Rianto dalam talkshow tersebut, yang ditulis ulang dalam format wawancara tanya-jawab:
Kita mengenal sosok Mas Riyanto yang sudah sangat viral. Namun, mungkin ada juga yang belum tahu, sebenarnya Mas Riyanto memaknai Lengger itu seperti apa?
Baca Juga: Selain Borobudur, Ini Sederet Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO di Indonesia
Definisi Lengger yang saya pelajari sebelum-sebelumnya ketika saya sekolah di SMKN 3 Banyumas yang dulunya adalah SMKI kemudian sekarang menjadi SMK Negeri 3 Banyumas, pengertian dari Lengger itu definisinya memang setiap budayawan ataupun peneliti berbeda-beda. Dahulu saya mengetahui istilah Lengger itu, "leng" itu adalah lubang dan "ngger" itu adalah laki-laki atau bisa juga disebut "jengger", mahkotanya ayam jantan. Dalam seni pertunjukan Lengger itu dikira perempuan tetapi laki-laki. Nah ini yang sebenarnya membuat stigma yang kadang-kadang masih belum sempurna. Artinya bahwasanya ketika yang menarikan perempuan otomatis stigmanya adalah erotisme kemudian eksploitasi tubuh seperti itu yang memang berakar dari tradisi budaya Banyumas. Terus kemudian yang dilakukan oleh laki-laki memang stigmanya kepada yang tadi itu hubungannya dengan gender yang mana laki-laki menarikan Lengger nanti orientasi seksualnya berbeda gitu ya.
Sebenarnya kalau kita maknai sendiri kalau yang saya teliti sampai hari ini, Lengger itu adalah "leng" itu adalah lubang setiap manusia memiliki 9 lubang dan 9 lubang kehidupan yang memang ini sangat erat sekali dengan kehidupan manusia. Ada hidung, mata dan mulut, ada telinga kemudian ada lubang yang di bawah. Ini adalah sebuah ciri bahwa manusia hidup memiliki kebersamaan dengan alam sekitar. Misalnya makrokosmos dan mikrokosmos kecil jagad kecil dan jagad gede kemudian kiblat papat limo pancer, kakang kawah adi ari-ari itu yang kadang jarang sekali dimengerti oleh orang-orang sekarang.
Nah, ini kalau kita dalami kembali bahwa Lengger di dalam itu ada lubang kehidupan yang mana meleburkan nyawijining diri atau tubuh antara laki-laki dan perempuan itu sudah melebur menjadi satu karena ini dulu Lengger adalah untuk upacara ritual kesuburan yang mana dilakukan oleh kaum laki-laki. Mengapa? kaum laki-laki dulu itu periodenya lebih banyak panjang untuk tingkat tingkat spritualnya dianggap kesuciannya lebih panjang daripada perempuan. Mohon maaf kalau perempuan memang umur 14 tahun sudah haid gitu kan. Jadi ini akan terbatasi takutnya untuk kontinuitas tingkat spritual untuk memediumkan bumi dan langit di dalam kesenian Lengger itu akan semakin terbatasi. Jadi kemungkinan pada zaman dulu itu sebelum peradaban datang ke tanah Jawa itu kita mengenalnya ada zaman awang uwung. Nah itu yang dipercaya, bahwasanya manusia itu sangat dekat sekali dengan alam dan itu cara mereka bersyukur, cara mereka menyampaikan ucapan terima kasih kepada alam dan Tuhannya yaitu melalui apa dengan ritual tradisi kebiasaan mereka dan ini dilakukan oleh kaum laki-laki yang bekerja di sawah. Memang Lengger itu lahir dari rahim kaum tani.
Kaum tani pada zaman dulu itu emang berpindah-pindah, jadi di sebaran Banyumas itu ada di Purbalingga, ada di Banjarnegara, ada di Ajibarang, ada di Cilacap, di Kebumen, ada di Wonosobo. Itu masyarakatnya memang kulturnya hampir sama, agraris, dan itu muncul karena memang kebutuhan kehidupan pada saat itu itu, bagaimana mereka menyambungkan kehidupan dengan alam semesta. Kalau dulu mau menebang pohon saja diadakan lengger, laki-laki yang menebang dan berdoa mereka. Setelah menebang pohonnya ditanam kembali, tidak ditinggal begitu saja, tetapi ada upacara ritual disitu untuk menumbuhkan kembali seperti reboisasi. Lalu menanam padi mereka juga dengan berdoa. Terus suara panja untuk menaruh padi, ketika tidak ada airnya, suaranya "klok klok klok", memunculkan irama kehidupan yang digarap kemudian menjadi musik. Doa-doa mereka dengan tarian yang sangat sederhana dengan geleng-geleng kemudian disebut lengger.
Awal mula gerakan sekarang yang dibakukan dahulunya sangat sederhana menari sambil bernyanyi. Lalu sekarang karena untuk edukasi jadi dibekukan gerakannya. Tanpa mengurangi dasar-dasar yang ada. Jadi di sebaran Banyumas hampir seluruhnya tumbuh kesenian Lengger dengan style yang berbeda-beda setiap daerah dan setiap pelaku Lengger memiliki ciri khas masing-masing dahulunya memang dilakukan oleh kaum laki-laki dan mereka memiliki upacara ritual tersendiri. Lengger sendiri artinya sudah laki-laki. Jadi kalau misalnya Lengger Lanang, itu artinya ya Lanang Lanang. Terus kalau Lengger wadon, ya artinya Lanang wadon. Sebenarnya pengertian Lengger sendiri sudah laki-laki. Yang sebenarnya harus diinformasikan bahwa Lengger sudah laki-laki.
Baca Juga: Kenalkan Eksistensi Lengger Banyumas hingga Jepang, Rianto: Media Healing Kurangi Angka Bunuh Diri
Tadi Mas Rianto bilang bahwa bagaimana segala macam yang ada di tubuh kita, Lengger itu kan membicarakan ketubuhan kita. Dia sebenarnya sangat dekat dengan alam. Untuk melakukannya saja ada ritual-ritual tertentu yang tidak boleh merusak. Apakah Lengger itu kemudian berbicara seksualitas adalah hal yang spiritual?
Seksualitas itu di ruang individu masing-masing. Ketika orang itu berbicara seperti melihat wujudnya saja itu sudah langsung berekspektasi yang menilai sesuatu belum sampai ke arah situ. Ini yang selalu menjadi kelatahan-kelatahan kita. Mereka hanya melihat wujud kulit tapi belum sampai mempelajari tingkat spritual yang ada didalamnya. Sebelum menilai baiknya memaknai tubuhnya sendiri. Jangan terlalu banyak bicara tetapi lebih baik perbanyaklah memahami.
Bagi saya, Lengger pun itu kesenian turun temurun dari generasi ke generasi bahkan sampai kemarin saya baru kehilangan Mbok Dariah pada tahun 2018 yang mana mungkin bisa saja dikatakan generasi terakhir. Dan ini tugas saya meregenerasi kembali penari lengger untuk tetap eksis. Anak-anak muda memahami tentang tidak cuma menari saja tetap bagaimana memahami spritual yang harus dilakukan setiap hari misalnya memang ada perjalanan untuk syarat-syarat menjadi penari Lengger. Berbagai macam syarat yang untuk kadang orang melihat Itu adalah sebuah kekuatan yang muncul pada penari Lengger itu namanya Indang. Setiap penari Lengger juga memiliki Indang. Indang itu tidak berwujud laki-laki ataupun perempuan. Jadi sebuah kekuatan yang kadang memang bisa diidentikkan dengan melati atau mawar atau kenanga seperti itu. Sesuatu yang memang indah. Keindahan bukan berarti bergender.
Kalau menurut saya, terlalu banyak kelatahan-kelatahan yang saya sangat prihatin sekali melihat generasi yang belum bisa memahami tubuhnya sendiri. Bagaimana di dalam tubuhnya itu ada dua unsur yang memang wujudnya seperti ini tapi di dalamnya kita tidak tahu. Ketika manusia dikasih roh saat umur empat bulan sampai sekarang itu adalah sebuah perjalanan spiritual. Ada yang jadi penari, presiden, atau menjadi menteri, kita tidak tahu.
Tapi itu melewati perjalanan, dan perjalanan itu adalah spritual waktu yang tubuh ini selalu menjalaninya. Tanpa sadar manusia melakukan itu tetapi banyak sekali doktrin kehidupan yang saringannya kurang jadi akan melakukan kelatahan-kelatahan kehidupan seperti itu. Menurut saya Lengger pun seperti saya ini, saya punya istri, saya juga harus manjat pohon misalnya ibu saya minta tolong ambilkan kelapa muda. Tidak cuma nari-nari Lengger saja. Jadi menurut saya menari adalah sebuah ibadah yang tanpa henti.
Itu kenapa sih orang sekarang memandangnya dengan sudut pandang yang semakin sempit, tidak luas?
Ketika saya hidup di Indonesia saya merasa ada batasan-batasan yang memang sebagai Lengger atau seniman tari masih terbatasi. Aturan kehidupannya harus seperti ini. Ketika saya ke Jepang saya merasa bisa bernafas, artinya mereka butuh tari Jawa karena mobilitas mereka sangat tinggi. Mereka butuh ruang semacam healing dengan adanya tari Jawa, mereka bisa bergerak pelan lalu dengan senyum. Setidaknya mengurangi tingkat kejahatan atau bunuh diri yang ada di Jepang yang memang sangat tinggi.
Dengan tari Jawa yang saya lakukan semacam memperkenalkan budaya Indonesia, saya di sini bisa bermanfaat banyak. Lebih bisa beribadah banyak dengan menari untuk banyak orang. Ini yang sebenarnya saya agak prihatin dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada di Indonesia. Bagaimana sikap kita bisa memahami tubuh kita masing-masing sebelum membuat aturan ataupun penunggalan. Perindividu harus bisa merefleksikan tubuhnya masing-masing.
Tadi Mas Rianto bilang kalau di Jepang malah tidak apa-apa, sedangkan di sini tempat lahirnya Lengger malah bermasalah. Mas Rianto merasa tidak terima atau bagaimana?
Saya merasa sekarang sudah mulai pemahaman, mungkin pemahaman itu pun hanya pemanfaatan yang sementara. Tidak secara serta-merta benar-benar memahami sampai ke dalam pada pelaku-pelaku budaya yang ada di desa-desa. Nenek-nenek yang sudah puluhan tahun tidak menari yang memang tidak penari sebagai Maestro, tetapi sudah tidak ada perhatiannya, akhirnya anak cucunya. "Udahlah, sudah tua, tidak usah menari," ada yang seperti itu. Karena saya masuk ke daerah Jatilawang kemudian ke Pengadegan kemudian ke Kembaran di desa-desa itu saya menjumpai beberapa kalau dibilang mantan bukan mantan penari ya, tetapi bagi saya spirit menarinya masih terus.
Tetapi dengan kondisi lingkungan sosial itu mereka malu untuk menari, karena memang stigma-stigma baik itu dari keluarganya sendiri pun itu misalnya udah nenek-nenek masih tetap menari, malu sama anak cucunya gitu kan. Padahal jiwa-jiwa untuk beribadah nya itu masih tetap terus ingin melakukannya. Nah, di sinilah perhatian dari pemerintah yang mungkin harus menggali kembali ke dalam pelosok-pelosok desa yang memang mereka ini adalah sebagai tonggak budaya dan jati diri yang perlu diperhatikan masih banyak sekali. Sebenarnya saya ingin memberikan momentum besar bagi mereka yang memang sudah puluhan tahun tidak menari sebelum puput usia mereka bisa menampilkan sesuatu kepada generasi dan anak cucunya.
Saya dengar Mas Rianto membuat Rumah Lengger. Ini visinya kan mendokumentasikan, sebagai bank data segala sesuatu soal Lengger. Saya dengar belakangan punya tujuan besar?
Dengan adanya Rumah Lengger saya mencoba untuk mewadahi beberapa aspirasi dari teman-teman Lengger, kemudian seniman-seniman yang ada di desa gitu ya, saya mencoba dari tahun 2016 saya untuk mengajukan ke dinas. Karena Banyumas ini sebenarnya memiliki kekayaan budaya dan alam yang sangat luar biasa, yang potensinya perlu kita benar-benar jaga dan kita bisa edukasikan kepada masyarakat. Kita punya Lengger, tetapi kita tidak pernah tahu siapa itu lengger? Kita punya Lengger tetapi kita tidak tahu arsipnya di mana? Tidak ada wadah galeri atau untuk tingkat apa pembelajaran kepada generasi yang lain, terus misalnya cunduk mentulnya Mbok Dariah di mana? Atau pun edukasi memberikan informasi tentang Lengger di lebih dari 30 negara yang pernah saya kunjungi, hal tersebut memang ada sebuah pengakuan mereka baik di kampus, universitas, atau pun di acara international festival di teater seperti itu.
Nah, ini yang mungkin saya sedang bangun untuk bagaimana saya dengan adanya Rumah Lengger sekarang, kemudian komunitas Lengger yang ada di Jepang, komunitas Lengger yang ada di Meksiko, komunitas yang ada di Paris, kemudian ada komunitas lengger yang ada di Australia. Itu orang-orang lokal negara mereka. Jadi mereka datang ke Banyumas untuk belajar, kemudian mereka kembali lagi untuk membangun komunitas sendiri.
Dari situ saya pingin sekali dengan kesenian Lengger ini yang bisa mengglobal itu bisa diakui oleh UNESCO. Pelan-pelan sekali saya mencoba untuk mengarah ke situ. Kalau misalnya pemerintah kurang mendukung, ya saya dengan masyarakat ayolah urunan KTP, bawa ke UNESCO. Semoga diberi umur panjang untuk bisa melanjutkan itu agar supaya temen-temen seniman ataupun para maestro yang ada di desa mereka merasa bangga dengan adanya Lengger.
Apakah mereka orang luar negeri tetap menggunakan aksen "ngapak"?
Pastinya ya, karena kan mereka harus pakai sindenannya Banyumasan (nembang Jawa). Itu semuanya suka ada ricik-ricik, eling-eling yang dasaran gitu ya. Apalagi kemarin memang di Jepang baru saja memesankan calung untuk di daerah Fukuoka. Terus yang kemarin di Tokyo juga sudah ada satu perangkat calung, dan komunitasnya sekarang mereka ada di Universitas Fukuoka juga mau membuka musik calung dan mereka otomatis belajar langsung dengan bahasa gaya Banyumasan gitu ya. Istriku juga belajar bahasa Banyumasan seperti itu. Jadi kalau marah-marahan, dia pakai bahasa Jepang, saya pakai bahasa Banyumasan. Jadi ya, tidak nyambung. Di Meksiko dan Italia juga ada beberapa teman yang mungkin nanti akan memesan calung, kemudian mengembangkan budaya Banyumasan di sana karena saking tresnanya.
Dalam tarian Lengger itu ada sebuah tradisi (ritual) yang harus dilakukan. Apakah yang sedang belajar harus ikut melakukan itu?
Tetap harus dilakukan kalau mereka ingin menjadi Lengger. Jadi kalau sekadar menari Lengger, tidak harus. Jadi antara penari Lengger dengan Lengger itu sudah berbeda. Pengabdian terhadap Lengger kalau beliau atau mereka yang ingin menjadi Lengger itu memang harus melakukan ritual-ritual yang harus diberikan oleh leluhur. Ritual itu sebenarnya adalah lebih mendekatkan diri pada alam. Harus supaya memahami alam, bukan artinya musyrik atau pun apa. Tetapi bagaimana kita menahan tentang hal-hal yang seperti puasa Ramadhan saja lah.
Ini di dalam Jawa sendiri ada seperti itu. Adanya sajen juga itu bukan berarti bahwa itu harus mengundang setan. Bahwa sajen ini misalnya bunga mawar, bunga mawar putih, mawar merah itu harum yang membuat tubuh kita itu menjadi rileks kemudian bisa lebih konsentrasi dan lain sebagainya. Kemudian makanan-makanan seperti itu kita harus puasa mutih misalnya, terus puasa geni kita makan makanan yang dibakar dengan api. Memang misalnya mungkin makan buah, atau makan apa itu, sayur itu boleh, tapi yang sayur yang tidak dikena api, tidak dimasak. Terus biasanya filosofi dari kita membersihkan dengan mandi kita membersihkan tubuh kita di tengah malam misalnya ya, itu bukan berarti kita harus mengundang setan untuk masuk ke dalam tubuh.
Sebenarnya kita benar-benar dalam kondisi yang rileks, kemudian tidak ada ingar-bingar yang lain, kita benar-benar membersihkan tubuh kita. Itu lebih fokus, artinya memfokuskan tubuh kita itu dari misalnya tujuh sumur yang berbeda. Itu mungkin dari pengalaman sumber yang memang mungkin kita perlu kali berbeda-beda. Itu kemudian kita harus respek dengan lingkungan alam yang ada. Mendoakan leluhur supaya leluhur itu tetap menjaga manusia atau pun alamnya juga seperti itu. Sebenarnya sebagai pelaku Lengger itu masih melakukan ritual seperti itu, ketika mau pentas itu pasti melakukan sampai sekarang. Hanya saja sekarang pemahaman ini mungkin dilakukan oleh penari yang memang ia hanya ingin menjadi seorang penari Lengger yang tanpa melewati syarat-syarat itu, sah-sah saja, tetapi isinya berbeda, artinya keimanannya berbeda.
Kontributor : Anang Firmansyah