Inaya Wahid: Tipe Bapak Itu Bukan "Heh Inaya, Ini yang Harus Kamu Lakukan! Demokrasi Itu Begini-begini"

Senin, 23 Mei 2022 | 18:09 WIB
Inaya Wahid: Tipe Bapak Itu Bukan "Heh Inaya, Ini yang Harus Kamu Lakukan! Demokrasi Itu Begini-begini"
Ilustrasi wawancara. Inaya Wahid saat berbicara tentang sosok ayahnya almarhum Gus Dur dalam program Podcast on the Go (POTG). [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

(Itu) Ga tau sampe gede. Taunya pas jadi presiden, kerjaan bapak lo apa? Presiden. Dulu ga kepikiran pamer. Tapi kalau beneran mau pamer, di Jalan Thamrin itu kan tembusannya Jalan Wahid Hasyim, (nah) kalau mau songong, pengen berdiri di tengah-tengah itu... (Terus) Kalau ada orang yang teriak, "Wooi, emang ini jalan kakek lo?" Emang. Songong.

Mbak Inaya itu kan dibebaskan ya, bagaimana Mbak memilih. Nah, sejauh ini sampai jadi pegiat dan aktivitas HAM karena nilai-nilai bapak yang dibawa, atau seiring menemukan jati diri (sendiri) Mbak?

Kayaknya ga punya pilihan deh... (Hehe) Becanda-becanda. Tapi gini, karena sulit, anak-anaknya bapak ga terlibat. Kalau kemudian itu adalah hal yang selalu ada dari kecil. Misal, bapak-ibu selalu mengarahkan, mengadvokasi... Sepanjang ingatanku kan, mbah itu, mamah dengan kondisi fasilitas apa namanya, kampus yang fasilitasnya ga memadai aja, untuk kursi roda, nyokap tetap ambil S2. Dan itu tetap, kajian perempuan kan, itu dipakai untuk kajian advokasi, isu-isu perempuan dan segala macam. Di mana demand-nya itu semangat ikut demo, apalah, buat kebijakan. Dan dari kakek-nenek.

Nah, itu realita yang selalu aku temuin dari kecil. Dan sulit untuk ga kemudian tidak terjun ke situ. Dan ngeliat orang-orang yang biasa didiskriminasi, kemudian tidak mendapat perlakukan tidak adil, dan kemudian ga merasa bahwa ini ada yang salah deh, harus ada yang dilakukan. Itu sulit banget meninggalkan, karena kita ketemu terus-menerus dengan mereka. Terutama waktu bokap meninggal, terus temen-temen dari kelompok minoritas gitu ya... Sebenarnya aku ga mau pakai istilah minoritas-mayoritas, tapi di sini menggambarkan kelompok masyarakat yang dimarjinalkan, gitu ya. Nah, itu kan kemudian banyak yang ke rumah, terus kemudian mereka dengan bilang, bapak udah ga ada, sekarang siapa lagi yang mau bantuin kami, siapa lagi yang bakal melindungi, siapa lagi yang nemenin, dan segala macam.

Waktu itu kita mikir, ga mungkin kita ini tidak nerusin. Jadi akhirnya kakak-kakak dan mamah itu, kita kumpulin temen-temennya bapak, terus kami godok. Apa sih yang sebenarnya diperjuangkan, pemikiran Gus Dur itu apa, apa yang mesti kita lakukan? Ya udah, akhirnya kami membuat jaringan Gusdurian itu. Dulu itu kami selalu bilang, Gus Dur itu satu orang, tapi kerjaannya sampai sejuta, makanya ga pernah pulang. Karena dia selalu di grassroot, dia selalu ketemu komunitas ini-itu, dan ga pernah pulang, gitu. Nah, sulit buat kami ga bisa kayak gitu kan. Ini gimana cari satu orang yang kayak Gus Dur. Ya sudah, kalau kita ga bisa nyari satu orang yang kayak Gus Dur, jadi Gus Dur kan kayak sejuta tuh, jadi kita cari sejuta orang itu.

Itu kan banyak yang dikumpulkan, komunitas banyak gitu. Sulit ga sih, mengumpulkan? Sempat ada perbedaan pendapat mungkin?

Perbedaan pendapat mesti ada-lah, pasti ada-lah. Kalau mau ga buat gitu, ya ga usah membuat dengan basis demokrasi-lah, yang diperjuangin Gus Dur. Bikin aja yang otoriter sekalian, selesai. Tapi kan bukan itu. Bagaimana Gus Dur sangat menyoroti kebebasan individu, kemudian penghargaan identitas yang berbeda itu. Mau ga mau ya begitu. Susah, ya susah. Tapi kalau ga gitu, hari ini kita enggak, ya, negara demokrasi. Kan gitu kesulitannya, karena begitu beragam. Samalah sama di rumah. Lebih gampang, misal, ada keluarga yang otoriter, jadi semuanya teratur. Tapi kan problemnya ga muncul gitu. Ada di bawah semua, dan tiba-tiba "jeder", meledak gitu kan, jadi masalah lagi.

Tapi negara demokrasi, ya, konsekuensinya seperti itu. Keberagaman itu kan base-nya di situ (demokrasi). Jadi udah, kamu mau apa, gua butuhnya apa. Jadi sebenarnya ya, pelurus atau guide. Guide itu jadi penting banget. Seperti lines gitu, (bahwa) kita kan beda-beda nih. Sama kayak kerja di sini, kan beda-beda. Tapi di sini karena beda-beda, terus lo jadi seenaknya, kan ga gitu. Atas nama kebebasan (jadi seenaknya), bukan gitu.

Banyak perbedaan, ada keberagaman. Sebenarnya menyatukan itu, perlu ga sih?

Baca Juga: Podcast Hamburger Bareng Inaya Wahid: Ghibahin Perhatian Negara untuk Atlet Disabilitas

Artinya, aku melihatnya begini... perbedaan itu, keragaman itu, ya udah faktanya emang beragam, mau ga mau kita terima. Emang beragam. Misal sekarang, Mas mikir enggak, gua ga percaya kita semua beragam. Nah, itu aja kita sudah keragaman. Itu menunjukkan bukti bahwa itu keragaman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI