Inaya Wahid: Tipe Bapak Itu Bukan "Heh Inaya, Ini yang Harus Kamu Lakukan! Demokrasi Itu Begini-begini"

Senin, 23 Mei 2022 | 18:09 WIB
Inaya Wahid: Tipe Bapak Itu Bukan "Heh Inaya, Ini yang Harus Kamu Lakukan! Demokrasi Itu Begini-begini"
Ilustrasi wawancara. Inaya Wahid saat berbicara tentang sosok ayahnya almarhum Gus Dur dalam program Podcast on the Go (POTG). [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Belum lama ini, dalam salah sebuah kesempatan spesial, Suara.com berbincang cukup panjang dengan Inaya Wahid, putri bungsu almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden ke-4 RI. Wawancara ringan yang memuat banyak obrolan seputar pengalaman sebagai putri Gus Dur sebagai tokoh keragaman namun juga dikenal humoris.

Berikut petikan perbincangan kami lewat program POTG (Podcast on the Go) dengan sosok bernama lengkap Inaya Wulandari Wahid ini:

Sebagai salah satu anak Gus Dur, hal menarik apa yang Mbak Inaya rasakan?

Jadi gini, menjadi anak presiden itu tidak semua orang mendapatkan pengalaman yang sama. Jadi itu sesuatu yang, kalau bisa dibilang, spesial; kayak menang lotre. Dan orang cenderung mikirnya gitu. Kalau dibilang apa yang menarik, itu, kayak dibilang menang lotre. "Yeay, bapak gua jadi presiden, dan gua bakal hidup enak." Gitu. Tapi problemnya, presidennya itu Gus Dur. Jadi itu ya, gak tau buat orang lain, tapi menurut gua ternyata itu ga seenak yang dibayangkan. Banyak banget ga enaknya. Tapi kan orang ini tidak paham itu, meskipun ga seenak-seenaknya. Banyak dari kami yang merasa kehilangan kebebasan. Ada hal-hal yang mau ga mau kami harus tukar gitu, apa bahasanya.. kompensasi.

Baca Juga: Podcast Hamburger Bareng Inaya Wahid: Ghibahin Perhatian Negara untuk Atlet Disabilitas

Jadi gini. Ada kakak aku yang nomor tiga. Dia bener-bener hidup sebagai anonymous. Bukan anonymous (mungkin), tapi orang ga kenal dia, dia ga muncul di publik. Selama bapak jadi presiden, itu dia ga muncul di publik. Bahkan orang-orang Istana sendiri ga tau kalau dia ini anaknya Gus Dur. Dia juga masih nge-kos. Jadi waktu itu, dia masih kuliah dan masih nge-kos. Nah... Karena buat dia itu adalah sebuah kemewahan.

Nah, banyak orang-orang ga paham. Kayak mikir, ya, enak jadi anaknya presiden. Tapi belum tentu. Kadang enaknya, apa yang akan kamu lakukan selalu dilihat. Misal pandemi ini, ke mana-mana kita pakai masker. Muka gua ketutup setengah, gua bisa ngelakuin macem-macem nih. Ternyata ga juga. Orang-orang tetep kenal. Ga enaknya di situ, ga bisa bebas. Dan apa yang kita lakukan, orang selalu men-judge. Siapa pun, ya, lo juga bakal digituin. At least, paling deket, tetangga doank. Tapi ini kan lingkupnya nasional, dan yang men-judge itu banyak banget. Orang mah banyak yang ga kenal kita sama sekali, ga pernah tau kita kayak apa, wujudnya seperti apa. Tiba-tiba seenaknya bilang, "Ya, lo kan begini-begitu."

Walaupun sudah berkamuflase bukan seperti Inaya, orang menganggapnya Inaya? Begitu ya?

Iya. Contohnya gini. Pas tahun lalu aku kena Covid gitu ya, dan aku hanya posting di Instagram, hanya ingin memberitahu bahwa kalau orang penetrasi atau segala macem gitu ya, terus ya, cuma mau kasih semangat aja buat yang kena Covid, terus tiba-tiba itu di-repost. Bukan hanya itu, bahkan dijadikan berita. Ada yang menjadi pressure. Itu komennya kayak... "Hah... kalau dia kena Covid, kasih perhatian, enak banget." Terus salah gua di mana? Gua cuma posting di Instagram lho. Ya, itu salah satu ya; kalau orang nyinyir, kita ya terima aja.

Mbak Inaya kan anak bungsu. Ada perlakuan khusus, Mbak?

Baca Juga: Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati soal Wabah PMK pada Ratusan Ternak: Kita Coba Ambil Tindakan Cepat

Ya, yang aku tau, aku anak bungsu ya. Berarti (itu) di keluarga ya? Iya, ada perlakuan khusus, khusus disuruh-suruh, di-bully, gitu. Ga bisa ngelawan. Kakak-kakak mau ngapain, kamu sana.

(Terus) Mau?

Ya gimana, disuruh-suruh, ditekanin selanjutnya. Ga bisa ngapa-ngapain.

Nggak mau melawan, gitu?

Ya, kalau udah gede, enggak. Walaupun sudah gede, kadang masih gitu juga. Tapi gitu tuh, khusus buat disuruh-suruh, buat di-bully-bully. Kadang kesel juga. Dulu kalau kecil, barang-barangnya leles (sisaan) udah, barang sisaan. Kadang dianggap, "Ah, dia mah anak kecil." Ya, disepelekan. Bahkan ada temenku bilang, udahlah dia mah ga merdeka dari lahir. Kadang kakak-kakak berpikir, "Kamu tuh harusnya begini. Aku lebih paham." Kadang mereka juga over protektif. Ada juga.

Tetep dijagain, sampai se-protektif itu?

Aku gini... organik. Aku ga bilang wajar, itu organik. Ketika setiap orang punya adik, kemungkinan akan melakukan itu.

Sejauh ini, (adakah) Bapak memberikan perlakuan khusus (yang) membentuk Inaya seperti sekarang?

Bapak itu gini... perlakuan khusus buat anak-anaknya itu dengan menganggap anak-anaknya ga usah diurusin. Jadi kalau orang lain tuh, ya, dulu itu waktu aku kecil, selalu bercita-cita: "Kok aku ga punya ayah insinyur aja, dokter gigi aja." Kayak jam 6-7 malem udah pulang ke rumah, aku tau dia pulang, (bapak) ada di mana. Lha ini, bapak gua kerjaannya apa, gua ga tau. Temen-temenku kayak...

Aku inget ada satu kejadian yang menurutku membekas banget. Kelas 1 SD, ini hari pertama sekolah. Maju satu-satu untuk memperkenalkan diri, ayah kerja apa dan gitu-gitu. Dan itu aku beneran hampir nangis. Nungguin giliran kayak stress banget, karena aku ga tau pekerjaan ayahku apa. Apa pekerjaan ayahku? Setauku dia ga pernah pulang. Tapi ga tau dia apaan. Aku ga tau harus ngomong apa, aku juga ga ngerti. Akhirnya waktu itu cara ngelesnya adalah, karena aku bener-bener ga tau harus nyebut apa... mmm, buat anak kecil, bapakku itu kerjanya di PBNU, dia Ketua PBNU. Tapi itu profesi apa, itu kan kita ga tau ya. Anak kecil itu ga paham.

Jadi waktu itu aku ngelesnya, waktu itu aku naik... Kan di kelas itu ada foto-foto pahlawan, di tembok tuh ya. Jadi, instead ngomongin bokap gua, saat itu gua cuma bilang (nunjuk), "Itu kakek saya." Karena ada foto kakek gua. Dan itu gua bener-bener lolos gitu. Terus temen-temen gua, ya udah. Terus guru-guru gua, "Hah, ya ampun..." Ga ngomongin bokap, karena beneran ga tau siapa bokap. Pekerjaan apa Ketua PBNU itu.

(Itu) Ga tau sampe gede. Taunya pas jadi presiden, kerjaan bapak lo apa? Presiden. Dulu ga kepikiran pamer. Tapi kalau beneran mau pamer, di Jalan Thamrin itu kan tembusannya Jalan Wahid Hasyim, (nah) kalau mau songong, pengen berdiri di tengah-tengah itu... (Terus) Kalau ada orang yang teriak, "Wooi, emang ini jalan kakek lo?" Emang. Songong.

Mbak Inaya itu kan dibebaskan ya, bagaimana Mbak memilih. Nah, sejauh ini sampai jadi pegiat dan aktivitas HAM karena nilai-nilai bapak yang dibawa, atau seiring menemukan jati diri (sendiri) Mbak?

Kayaknya ga punya pilihan deh... (Hehe) Becanda-becanda. Tapi gini, karena sulit, anak-anaknya bapak ga terlibat. Kalau kemudian itu adalah hal yang selalu ada dari kecil. Misal, bapak-ibu selalu mengarahkan, mengadvokasi... Sepanjang ingatanku kan, mbah itu, mamah dengan kondisi fasilitas apa namanya, kampus yang fasilitasnya ga memadai aja, untuk kursi roda, nyokap tetap ambil S2. Dan itu tetap, kajian perempuan kan, itu dipakai untuk kajian advokasi, isu-isu perempuan dan segala macam. Di mana demand-nya itu semangat ikut demo, apalah, buat kebijakan. Dan dari kakek-nenek.

Nah, itu realita yang selalu aku temuin dari kecil. Dan sulit untuk ga kemudian tidak terjun ke situ. Dan ngeliat orang-orang yang biasa didiskriminasi, kemudian tidak mendapat perlakukan tidak adil, dan kemudian ga merasa bahwa ini ada yang salah deh, harus ada yang dilakukan. Itu sulit banget meninggalkan, karena kita ketemu terus-menerus dengan mereka. Terutama waktu bokap meninggal, terus temen-temen dari kelompok minoritas gitu ya... Sebenarnya aku ga mau pakai istilah minoritas-mayoritas, tapi di sini menggambarkan kelompok masyarakat yang dimarjinalkan, gitu ya. Nah, itu kan kemudian banyak yang ke rumah, terus kemudian mereka dengan bilang, bapak udah ga ada, sekarang siapa lagi yang mau bantuin kami, siapa lagi yang bakal melindungi, siapa lagi yang nemenin, dan segala macam.

Waktu itu kita mikir, ga mungkin kita ini tidak nerusin. Jadi akhirnya kakak-kakak dan mamah itu, kita kumpulin temen-temennya bapak, terus kami godok. Apa sih yang sebenarnya diperjuangkan, pemikiran Gus Dur itu apa, apa yang mesti kita lakukan? Ya udah, akhirnya kami membuat jaringan Gusdurian itu. Dulu itu kami selalu bilang, Gus Dur itu satu orang, tapi kerjaannya sampai sejuta, makanya ga pernah pulang. Karena dia selalu di grassroot, dia selalu ketemu komunitas ini-itu, dan ga pernah pulang, gitu. Nah, sulit buat kami ga bisa kayak gitu kan. Ini gimana cari satu orang yang kayak Gus Dur. Ya sudah, kalau kita ga bisa nyari satu orang yang kayak Gus Dur, jadi Gus Dur kan kayak sejuta tuh, jadi kita cari sejuta orang itu.

Itu kan banyak yang dikumpulkan, komunitas banyak gitu. Sulit ga sih, mengumpulkan? Sempat ada perbedaan pendapat mungkin?

Perbedaan pendapat mesti ada-lah, pasti ada-lah. Kalau mau ga buat gitu, ya ga usah membuat dengan basis demokrasi-lah, yang diperjuangin Gus Dur. Bikin aja yang otoriter sekalian, selesai. Tapi kan bukan itu. Bagaimana Gus Dur sangat menyoroti kebebasan individu, kemudian penghargaan identitas yang berbeda itu. Mau ga mau ya begitu. Susah, ya susah. Tapi kalau ga gitu, hari ini kita enggak, ya, negara demokrasi. Kan gitu kesulitannya, karena begitu beragam. Samalah sama di rumah. Lebih gampang, misal, ada keluarga yang otoriter, jadi semuanya teratur. Tapi kan problemnya ga muncul gitu. Ada di bawah semua, dan tiba-tiba "jeder", meledak gitu kan, jadi masalah lagi.

Tapi negara demokrasi, ya, konsekuensinya seperti itu. Keberagaman itu kan base-nya di situ (demokrasi). Jadi udah, kamu mau apa, gua butuhnya apa. Jadi sebenarnya ya, pelurus atau guide. Guide itu jadi penting banget. Seperti lines gitu, (bahwa) kita kan beda-beda nih. Sama kayak kerja di sini, kan beda-beda. Tapi di sini karena beda-beda, terus lo jadi seenaknya, kan ga gitu. Atas nama kebebasan (jadi seenaknya), bukan gitu.

Banyak perbedaan, ada keberagaman. Sebenarnya menyatukan itu, perlu ga sih?

Artinya, aku melihatnya begini... perbedaan itu, keragaman itu, ya udah faktanya emang beragam, mau ga mau kita terima. Emang beragam. Misal sekarang, Mas mikir enggak, gua ga percaya kita semua beragam. Nah, itu aja kita sudah keragaman. Itu menunjukkan bukti bahwa itu keragaman.

Jadi maksudku, (itu) fakta yang ga bisa dibantah. Cuma pilihannya, itu jadi problem atau mau dijadikan sudut pandang lain, misalnya kekuatan. Karena, aku ngobrol sama beberapa orang dari negara lain, bahkan pemerintahnya, dia cerita, iya, segitu pentingnya keragaman itu sampai ada negara-negara yang homogen itu "ngimpor". (Mereka) "Ngimpor" masyarakat dari latar belakang yang berbeda, "ngimpor" diaspora atau apa gitu ya. Jadi "ngimpor" imigran, mau ga mau. Karena negara-negara itu, perusahaannya itu, yang kerja di situ, seringkali yang didahulukan yang latar belakang berbeda. Kenapa? Karena perbedaan latar belakang itu akan membawa kekuatan yang berbeda juga. Dia akan membawa POV yang berbeda, membawa skill yang berbeda juga, dia juga membawa speciality yang berbeda juga.

Kalau aku suka ngomong gini nih, pakai joke zaman dulu: "Kalau content creator jadi petani, terus influencer jadi petani, presiden jadi petani, pengacara-hakim jadi petani, nanti petani jadi apa? Jadi banyak!" Joke zaman dulu banget. Tapi pertanyaanku selanjutnya: "Bisa ga, satu negara isinya petani semua?" Kan ga bisa. Jadi keragaman itu, apa pun kondisinya tetap dibutuhkan, walaupun keadaannya berbeda. Kalau aku cenderung memilih, ya, jadikan kekuatan.

Masuk akal juga ya?

Iya, moga-moga... Atau itu sotoy-sotoy-an aku aja, ga tau juga. Tapi aku merasakannya seperti itu.

Pemikiran seperti itu, dapat, datangnya dari mana? Dari Gus Dur, atau dari seiring berjalannya hidup?

Ya, itu campuran. Tipe bapak itu bukan "Heh Inaya, ini yang harus kamu lakukan! Kamu tau ga demokrasi itu apa? Demokrasi itu gini-gini." Malah seringkali sama bapak, ga pernah ngomongin kerjaan, ga pernah ngomongin negara. Kalau sama bokap, (yang diomongin) yang receh-receh aja, remeh temeh aja, ga mikir yang berat. Ya udahlah, bapak gua udah pusing mikirin negara. Ya sudah, sama bokap ya nonton bola. Ya udah, yang simpel-simpel aja, ngomongin film, wayang. Tapi bokap kan begitu, seumur hidup.

Sama bokap, aku tiga kali dikasih nasehat. Nasehat pertama itu waktu aku ketahuan sama bokap ga sekolah selama sebulan penuh. (Itu) Bapak gua dipanggil sama kepala sekolah. Lucunya, pas bapak udah dipanggil kepala sekolah... "Ah, bokap manggil. Nah, tumben. Tumben ada, jam 9-10 malem sudah ada di rumah." Itu tumben banget. Udah gitu, dia manggil. Wah, aku udah benar-benar ga kebayang, "Matilah gua, ga akan bisa keluar kamar, sampai dihukum, mungkin disiapkan dinikahkan." Karena saking dosanya gede banget, sebulan penuh gua ga sekolah gitu, nongkrong, kabur ke warnet, segala macem.

Terus kita ngobrol biasa gitu. Tapi kan kita sebegitu bersalahnya, kayak, "Kapan nih dia bakal ngomong, memberikan vonis..." Kayak, "Masuk kamar, jangan keluar lagi! Papa rantai!" Itu udah siap-siap gitu kan. Tapi dia itu ngobrol santai, sedangkan kitanya kayak, "Waduh, mati nih... Kapan nih, kapan gua dieksekusi?" Terus sampai terakhir ga ada percakapan tentang bolos sekolah. Cuma tanya, "Ke mana aja emang?" Ya, ke mana aja, sesuka-suka... kadang ke Gramedia, kadang ke mana, kadang kalau dulu itu juga ke rental PS. Jawabannya, "Oh... ya udah. Kenapa (bolos)?" Ga apa-apa, ga suka aja. "Oh, ya udah." Gitu.

Terus beliau ngomong yang lain. Terus beliau ngomong gini, "Nanti gede mau ngapain?" Bukan "gede mau jadi apa", tapi "mau ngapain". Karena ngapain itu bisa ke mana-mana. Kalau jadi polisi, ya sudah, jadi di situ, selesai. Nah, waktu itu aku bilang, aku suka nulis, karena waktu itu aku senang bikin cerita. Terus, "Ya sudah, bagus." Ya, nulis kan bisa jadi apa aja, penulis, jadi script-copywriter. ghostwriter. Beliau jawab, "Oh, ya bagus. Ya udah, mulai nulis sekarang. Karena orang jadi jenius itu kalau dia di tempatnya." Itu nasehat pertama yang aku dapetin dari bokap. Jadi, kita ga bisa jadi gede kalau kita ga ada di tempat kita. Kalau kita kepaksa, kalau kita apa, ya, kepaksa mungkin ga apa-apa, tapi kayak ya, kita jenius karena kita di tempatnya.

Apakah Gus Dur ada mengarahkan Inaya untuk menjadi seperti beliau?

Bokap melakukan ini, melakukan itu, setelah gede baru tahu, oh ternyata ini yang dilakukan bokap gua. (Pernah) Kelompok yang dibela bapak itu datang. "Kamu tuh, tau ga, bapakmu tuh dulu gini-gini. Gila nih orang, tenaganya satu orang, kaya ngerjain kerjaan ribuan orang." Jadi kalau hari ini aku jadi Inaya Wahid itu karena lihat (Gus Dur), bukan karena disuruh ke sana disuruh begini-begitu.

Artinya, bapak itu membebaskan Mba Inaya?

Iya, dari dulu. Kalau ada orang datang, "Gus, kami ingin Inaya seperti ini, seperti itu." Bapak jawabnya, "Ya, tanya Inaya. Ngapain tanya sama saya." Toh saya yang jalani.

Atau saat rambut saya merah. Generasi milenial ke atas pasti ingat saat rambut saya dicat pink di Istana, terus jadi berita. Oh, kakak saya yang nomor satu itu bilang ke Gus Dur, "Oh Pak, rambutnya Inaya dicat." Bokap cuma manggil, "Rambut kamu dicat?" Iya. "Kamu tahu kan secara fikih, dan impact-nya (orang) ngehujat?" Tahu. "Terus, kamu siap ngambil konsekuensinya?" Saya jawab siap. Terus Gus Dur bilang ke kakak saya, "Lah wong orangnya aja siap terima konsekuensinya, ngapain aku ikut-ikut." Itu jawabnya Gus Dur.

Sejauh ini, apa sepak terjang bapak yang Mbak Inaya ingat?

Ya, itu, bapak itu based-nya liberation, membebaskan. Bahwa tiap orang berhak menjadi dirinya sendiri sesuai identitasnya, tiap orang punya haknya dan kewajibannya. Dah, itu aja. Terus gua yang sok-sokan menuntut kamu misalnya, untuk tak berambut panjang, ga bisa gitu.

Eh, tapi ini cuma mau ngingetin, dulu Indonesia pernah punya episode orang berambut gondrong hingga tatoan itu bisa mati ngga dibolehin sama negara. Kenapa? Itu artinya bahwa kebebasan hari ini itu diperjuangin, jangan disia-siain. Hari ini Mas bisa gondrong, itu nggak segampang itu perjuangannya. Atau sesimpel (soal) pakai jilbab. Dulu di tahun 80-an, 90-an, itu pakai jilbab itu bentuk perlawanan, karena dulu ga boleh. Jadi kalau hari ini orang bebas pakai jilbab, atau bahkan menghakimi orang yang ga pake... ehm... curhat, hahaha... nah, itu ada perjuangan banyak orang di situ. Jadi jangan disia-siain. Jadi jangan diganti pada yang nggak pro pada pembebasan itu.

Hari ini teman-teman gen Z nonton Bumi Manusia, terus sambil lihatin Iqbal. Enak lah. Dulu aku baca bukunya Pram itu ngga boleh, harus diem-diem. Aku pernah ketahuan di sekolah. "Mana bukunya?" ditanyain guru. Aku umpetin, aku kasih buku catatan matematika. Tapi guru itu ga percaya, terus guru itu ngomong ke guru Bahasa Indonesia, terus dia panggil aku, ditanya aku baca apaan. "Baca Bumi Manusia-nya Pram." Terus aku dibelain. Jadi kalau hari ini orang bisa merasakan kebebasan, itu tidak tiba-tiba muncul, tapi ada perjuangan di dalamnya.

Kalau sekarang, pandangan Mbak Inaya sendiri, generasi sekarang merespon perubahan kebebasan berekspresi sudah cukup baik gak sih?

Jadi gini. Bahwa kita punya harapan banyak, iya, apalagi yang di Jogja, teman-teman lewat "Gejayan Memanggil", itu kan generasi Z, bukan generasi saya. Persoalan bangsa bodo amat, mikirnya, "Aku belum punya rumah." Sementara yang bergerak teman-teman generasi Z, luar biasalah.

Yang simpel aja nih, UU Cilaka nih, bagaimana yang turun itu adek-adek generasi Z dengan segala keunikan yang mereka miliki. Dan kemudian siapa yang naikin jadi trending topic? Kalau temen-temen generasi atas ga tau, itu para fansnya BTS.

Sebenarnya kita punya harapan banyak. Misalnya, hari ini pelaku kekerasan seksual di-call out, meskipun misal ada cancel culture itu kebablasan. Saya sangat percaya, hari ini akhirnya RUU TPKS gol. Jadi UU itu berkat anak muda yang ngga berhenti memperjuangkan setelah 10 tahun.

Kalau dibilang ga ada harapan, engga lah. Masih banyak harapan buat anak muda. Kalau kita ga punya harapan buat anak mudanya, waah... meng-sedih berjamaah lah. Aku tuh percaya itu, sesuatu yang organik akan ada, selalu ada suara anak muda yang membawa perubahan.

Mbak Inaya dibentuk oleh Gus Dur dengan lingkungan yang beragam. Sosok Mbak Inaya ini ingin dibawa seperti apa sih?

Buat aku, selalu jadi tantangan untuk menjadi otentik. Meskipun orang itu akan selalu bilang, "Perasaan, dia yang kelakuannya paling nggak tertata, nggak terjaga. Lu ga ada jaim-jaimnya. Trus lu mau bilang lu ga otentik, itu nggak masuk akal." Padahal, jujur, aku ngerasa emang ga otentik. Ada yang harus dijaga; nama baik keluarga, (sebagai) cicit pendiri NU, putri Presiden ke-4 RI, kaya gitu-gitu. Tetep ada tuntutan seperti itu, harus baik-baik sama orang.

Nih aku sedang berusaha untuk menjadi otentik. Tapi ya, sulit juga. Jadi kalau mau ditanya seperti apa, ya, seotentik mungkin. Gus Dur itu kan otentik, tapi sulit banget. Liat aja, dia di-kick out dari Istana karena salah satunya dia menjadi otentik, (sosok yang) nggak kompromi.

Bapak itu humoris banget ya?

Aku tuh ngerasa, kalau manusia itu sense of wisdom-nya itu tinggi, akan lebih banyak liat hidup itu. Ngapain sih serius-serius amat, ntar juga mati. Itu motto aku tahun lalu. Hidup ngga seserius itu, karena kita ngga akan keluar hidup-hidup.

Tapi Mbak Inaya ini lucunya diwarisi dari Gus Dur ya?

Ya, aku rasa ini penanda bahwa aku ini benar anaknya Gus Dur ya... ga ketuker sama presiden lain. Hahahaha.

Joke apa yang paling diingat Mba Inaya dari Gus Dur?

Banyaklah. Jadi dulu, hobinya temen-temenku waktu kuliah (itu) nanggap bapak stand up. Jadi beneran bilang, "Kalo bapak lo di rumah, harus ngundang kita." Pernah nih, bapak datang siang, mereka beneran bolos kuliah, duduk nonton bapak. Jadi ya udah, cerita segala macem. Mereka senang, mereka bahagia. Joke-nya kaya apa, ya, banyak. Salah satu yang paling legend itu, dia bilang di Indonesia polisi jujur cuma ada tiga. Itu dah nampol banget.

Joke lainnya, ya, buat saya itu sih joke, apa namanya... (Soal) Umat mana yang paling deket sama Tuhan. Kata orang Hindu, ya kamilah, kami hubungannya udah kaya sama ponakan, maka nyebutnya "Om". Orang Kristen, ya kamilah, manggilnya Bapa. (Umat) Islam diem aja. Kok diem aja? Kamu ngerasa ngga paling deket? Ya, kan manggilnya pakai toa. Itu tuh tendangannya kenceng banget. Itu nggak ngehina, tapi sebagai perenungan, (soal) menganggap agama gue yang paling bener. Ya iyalah, karena itu wajib. Tapi mengatakan yang paling benar, dan berhak mengatakan itu ke semuanya, ya engga.

Mbak Inaya punya goals yang belum kecapai dan ingin digapai ga sih?

Ada, banyaklah. Aku ngerasa ini bukan Indonesia seperti Indonesia yang aku inginkan dan bapak inginkan ya. Meski ga ada yang sempurna, tapi ya nggak gini-gini amat. Ga kemudian kita dipersekusi by buzzer atau by society hanya karena menyampaikan sebuah pendapat, nggak kepecah seperti hari ini. Indonesia yang sekarang masih jauh dari ideal.

Pengennya sih ngomongnya kaya gini ya: rakyat sejahtera dan mendapat keadilan. Tapi dalam hati, nggak minta banyak-banyak... asal ga dihujat dan dihakimi netizen aja. Ngga muluk muluk. Karena selama ini, ya, banyaaak dihujat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI