Suara.com - BAGI Marthen Abrauw, persoalan tanah yang disebut sudah menjadi lahannya LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan rencananya hendak dijadikan Bandar Antariksa di Biak, bukan sekadar masalah haknya secara pribadi. Ini adalah soal tanah moyangnya, tanggung jawabnya, serta nasib anak cucu marganya kelak.
Marthen Abrauw sendiri bukan sosok sembarang, karena dia adalah seorang mananwir atau ketua adat yang tentu harus memikul tanggung jawab lebih besar. Makanya, ketika ditemui di kampungnya di Desa Saukobye, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua, awal Maret 2022 lalu, rasa gundah sekaligus kegeraman terpancar dari omongannya.
Ini adalah masalah 100 hektare tanah ulayat marga Abrauw yang sejak lama diklaim LAPAN di daerah itu. Tanah yang sejatinya tidak mungkin dijual karena merupakan warisan leluhur, serta diperuntukkan bagi kehidupan mereka sampai anak cucu nanti. Lahan yang menjadi gantungan hidup mereka sehari-hari, yang selama ini juga senantiasa dilestarikan oleh Marthen dan warga lainnya.
Masalahnya, jika memang tanah tersebut kemudian menjadi lahannya LAPAN yang konon puluhan tahun lalu sudah membayar Rp 15 juta untuk itu, lalu di mana lagi marga Abrauw akan hidup? Apalagi jika memang jadi dibangun bandara antariksa atau fasilitas LAPAN lainnya yang jelas-jelas tak dipahami warga apa kegunaan dan manfaatnya.
Baca Juga: Koalisi Sipil Desak Pemerintah dan DPR Batalkan Pembentukan 3 Provinsi Baru di Papua
Menyambung artikel liputan khas yang sudah lebih dulu diterbitkan Suara.com, berikut petikan pembicaraan dengan Marthen Abrauw yang ditulis ulang dalam format wawancara tanya-jawab:
Bagaimana proses pelapasan lahan 100 hektar ke LAPAN?
Tamat di SD, saya sudah keluar, tinggal di Nabire sana. Saya pulang kesini terus tidak lama ini, dari tempat ini. Jadi proses yang kalian maksud itu, menurut saya punya orangtua itu, mereka minta banyak waktu itu Rp 1 miliar.
Tapi karena ada Koramil, kalau kita orang menghalangi pembangunan, ya kita (dituduh) mau bikin OPM lagi. Kita diancam, orangtua kita. Tahun itu (1980), diancam. Teteh bilang, "Ya sudah, daripada kita mati. Terima sudah."
Saat itu ada DOM (Daerah Operasi Militer), kita tidak aman saat itu. Saya masih kecil. Orangtua saja yang bawa dorang kesana-kemari.
Baca Juga: Surati Jokowi, Organisasi Papua Merdeka Desak Indonesia Segera Gelar Dialog Damai dengan PBB
Jadi karena pertimbangan keamanan, (makanya) lahan itu diserahkan?
Iya, tertekan begitu. (Ada stigma OPM) Iya waktu itu.
Pelepasan lahan 100 hektar (waktu itu) dibayar berapa?
(Dibayar) Rp 15 juta waktu itu. Waktu itu habis dibayar, tidak dikelola. Ditinggal saja begitu, sampai 20 tahun lebih. Patok itu waktu surveinya tahun 1980-an.
Di hutan adat itu ada apa saja?
Kalau di hutan itu babi hutan, mambruk, maleo hutan, kakaktua putih, nuri. (Ada) Kayu besi, matoa, kayu bawang, kayu abram, kayu semua ada. Kita mau ke pantai lewat hutan itu. Kita semua berkebun di sana, mencari di sana.
Bagaimana marga/suku lain ada di sini?
Jadi orangtua kita kasih tempat untuk mereka (marga pendatang dan penduduk dari pulau seberang). Tanpa ada ganti rugi, tidak ada ganti rugi. Kita semua punya tanaman habis, buat tempat penduduk. Semua suku Makassar, Buton, Batak, ada semua disini.
Jadi di hutan itu tempat berkebun, dan pantai tempat mencari ikan. Tapi karena tsunami, jadi tempat pemukiman (sebagiannya Kampung Warbon). Makin hari berkembang ke sana (ke hutan), bangun rumah. Jadi tidak lama lagi anak-anak semua pindah ke sana (mereka tumbuh dan akan membangun rumah ke sana).
Tanggapannya tentang LAPAN bagaimana? Apakan bermanfaat bagi masyarakat?
Kalau saya tidak, saya tidak berpikir bagian itu. Saya berpikir saya punya tanah, saya punya anak-anak ini. Saya tidak bisa. Kalau dorang mau bangun, bangun di tempat lain. Kalau saya punya tanah, saya tidak mau dibangun. Karena ini akan habis, saya punya generasi bagaimana? Jadi saya minta tolong itu. Jangan, saya tidak mau.
Sudah pernah berbicara dengan pemerintah?
Saya berbicara dengan Dewan Adat. Jadi kami bawa kami punya keluhan, kami masyarakat ini, untuk menyampaikan itu kepada pemerintah. Kami orang, anak orang kecil, kami tidak bisa (tak berdaya). Karena kami bicara kami diancam (seandainya kami bicara). Kami masyarakat adat, kami dijamin juga dengan aturan (dalam UUD). Kami sampai sekarang masih bertahan.
Artinya kalau pembangunan itu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Tetapi kalau kami sendiri, masyarakat adat tidak berpikir itu, karena itu sudah lama juga. Bahasa "gula-gula" begitu. Banyak yang sudah terjadi (pembangunan proyek menyengsarakan masyarakat setempat), tidak ada kesejahteraan, seperti biasa saja sampai hari ini.
Jadi kita punya tanah tidak mau diambil. Saya tidak mau. Saya tidak mau ada paksa-paksa saya keluar, tidak bisa. Saya punya tanah turun-temurun dari saya punya nenek moyang. Moyang yang tinggalkan tanah buat saya, warisan terakhir (moyang) buat saya. Saya tidak bisa.
Ini kalau saya lepas, berarti saya punya generasi mau hidup di mana? Tidak bisa saya lepas tanah ini, tinggal sedikit saja untuk anak cucu dorang. Dan bukan hanya anak cucu saja, orang yang tinggal dengan saya di sini, hubungan kekeluargaan yang ada, kekerabatan yang ada. Jadi mereka mendukung saya, jangan lepas tempat. Saya memang tidak mau lepas tempat ini.
Lalu, adakah rencana mengembalikan uang Rp 15 juta dari LAPAN?
Jadi pemerintah punya sertifikat, saya yang punya tanah. Kami kasih kembali uang. Kami ada rezeki, kami akan kembalikan. Jadi saya tidak bicara pembangunan. Saya bicara saya punya tanah. Pembangunan (pemerintah) kamu punya.
Saya juga bicara tentang kesejahteraan, saya punya anak, saya punya generasi, belum tentu mereka dapat jaminan. Saya yang hidupnya seperti ini. Apalagi dorang bertabrak dengan kemajuan yang begitu besar.
Sebenarnya, sebelumnya adakah sosialisasi soal ini?
Kalau dari pemerintah, belum pernah untuk kita sendiri marga Abrauw. Kalau untuk masyarakat luas sudah.
Di hutan adat, dekat pantai, itu ada pohon keramat marga Abrauw ya?
Abrauw itu artinya pohon ini punya nama Abrauw. Itu asal-usul marga (kami). Ini keramat bagi kami, karena segala sesuatu moyang kami tinggal di sini. Jadi kami mau buat sesuatu, kami datang minta izin. Mohon dia (moyang) bisa bantu kami, perjalanan kami, perjuangan kami.
Ini identitas kami. Sewaktu-waktu kami dalam keadaan mendesak, kami harus kembali ke sini (pohon Abrauw yang dikeramatkan) untuk meminta bantuan dari moyang. Dalam ritual ini kami biasa membawa (buah) pinang, sirih, rokok, sama logam. Moyang turun dari gunung, tinggal di (belakang) pohon Abrauw (tempat berlindung mendirikan pondok-pondok), berkembangnya di sini.
Pohon ini hanya ada di sepanjang pantai dekat kawasan hutan adat, ya?
Ada di tempat lain, tapi cuma satu-satu saja (di sepanjang pantai dekat lokasi rencana LAPAN ada sekitar empat pohon). Biasa orang bilang daunnya seperti tembakau, jadi orang bilang dia daun tembakau. Tapi dia orang tidak tahu ini pohon namanya Abrauw. Jadi kita pake marga Abrauw. Jadi nenek moyang kita cari tempat untuk tinggal di pantai ini, selalu di bawah pohon ini. Jadi orang manggil dia (moyang) Abrauw.
Kalau LAPAN jadi membangun Bandara Antariksa, menurut Anda hutan adat dan pohon keramat kalian akan hilang?
Kalau perluasan wilayah lagi, otomatis daerah ini akan diambil (ada rencana LAPAN menambah wilayahnya dari 100 hektare jadi 1000 hektare). Jadi kalau semua diambli, tidak bisa lagi, ke mana kami (mencari ikan dan ritual).
Apa yang dikhawatirkan dengan pembangunan LAPAN ini, selain kehilangan tanah adat?
Yang kami khawatirkan anak-cucu kemudian nanti. Kita ini belum bisa ini (bersaing). Yang sekolah saja belum tentu punya pekerjaan, tingggal di kampung, kembali berkebun. (Tapi) Lahannya untuk berkebun bagaimana (kalau diambil LAPAN)?
------------------------------
Artikel ini merupakan bagian dari hasil liputan kolaborasi Suara.com dengan Jubi, Tempo, dan Project Multatuli.