I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi: Hadapi Hoaks, KPU Perlu Lebih Aktif Sampaikan Data, Butuh Kolaborasi Juga

Sabtu, 19 Februari 2022 | 08:47 WIB
I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi: Hadapi Hoaks, KPU Perlu Lebih Aktif Sampaikan Data, Butuh Kolaborasi Juga
Ilustrasi wawancara. Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi. [Foto: Antara / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Agenda demokrasi Pemilu 2024 semakin terasa mendekati tahapan-tahapan utama dengan resmi terpilihnya tujuh anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan lima anggota Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) periode 2022-2027 melalui proses di DPR RI pada pekan ini. Tinggal menunggu waktu untuk dilantik, setelah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, Jumat (18/2/2022), para penyelenggara Pemilu itu pun harus segera bersiap menjalankan tugas-tugas berat yang menanti.

Salah satu persoalan terkait Pemilu yang sekaligus juga merupakan isu cukup penting di tengah masyarakat belakangan ini adalah masih maraknya peredaran hoaks atau misinformasi dan disinformasi. Hal ini diakui tidak saja memengaruhi kepercayaan kepada para penyelenggara Pemilu, yang sudah terlihat lewat beberapa contoh kasus, namun juga legitimasi penyelenggaraan Pemilu itu sendiri --dan pada ujungnya terhadap proses demokrasi-- jika tidak diantisipasi dan diatasi dengan baik.

Sehubungan itu, dalam acara Diskusi Publik "Kolaborasi Menangkal Hoaks jelang Pemilu 2024" yang diselenggarakan oleh CekFakta.com yang dimotori AMSI, AJI Indonesia, Mafindo dan segenap partner kolaborasinya, beberapa tokoh hadir berdiskusi membahas isu tersebut. Dalam acara yang digelar secara daring pada Rabu (16/2), itu turut berbicara Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, bersama unsur pimpinan Bawaslu, Dewan Pers, Perludem, hingga perwakilan CekFakta.com sendiri.

Lantas, bagaimana persoalan hoaks ini dalam kaitannya dengan Pemilu dari sudut pandang KPU, serta bagaimana langkah antisipasi lembaga tersebut dalam menghadapinya? Berikut petikan penjelasan sekaligus pandangan yang disampaikan oleh I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam acara tersebut, yang dituliskan ulang oleh Suara.com dalam format paparan dan tanya-jawab (wawancara):

Baca Juga: Ketua Umum PPAD Doni Monardo: Purnawirawan Bisa Jadi Wirausahawan Sekaligus Pahlawan

Diskusi ini tentu memiliki makna tersendiri yang menurut saya sangat strategis, karena saat ini KPU yang masih menyelesaikan tugasnya kami sampai akhir April ini, dan KPU baru sudah terpilih tadi malam tentu mempersiapkan segala sesuatunya, sehingga ketika tahapan dimulai persiapan sudah dilakukan secara baik. Tujuannya supaya agar Pemilu dan Pilkada 2024 nanti dapat tertib, demokratis dan damai, tidak diwarnai isu-isu yang menimbulkan keresahan, pembelahan di masyarakat dan sebagainya.

Peran KPU Menyikapi Misinformasi dan Disinformasi Jelang Pemilu 2024

Jadi kalau kita lihat secara umum terkait dengan data literasi digital dan survei Kominfo 2021 kita lihat bahwa konten politik adalah konten yang paling banyak mengandung isu hoaks atau disinformasi yakni 67,2 persen, dan media yang paling banyak menyajikan hoaks adalah media sosial.

Ini tentu perlu dipikirkan antisipasi dan jalan keluarnya, saat ini KPU juga tengah melakukan upaya untuk melakukan perubahan atau melakukan perbaikan dan pembentukan sejumlah peraturan KPU yang dibutuhkan.

Salah satu yang sedang dikaji adalah peraturan KPU tentang sosialisasi pendidikan pemilih dan partisipasi masyarakat, termasuk juga tentang kampanye, jadi itu sudah masuk dalam program legislasi KPU.

Baca Juga: Menkes Budi Gunadi Sadikin: Omicron Tidak Seperti Delta, Strateginya Sedikit Beda, Puncaknya Mungkin Sebulan Lagi

Sebagai contoh misalnya ada suatu berita atau disinformasi  pada pemilu yang lalu tentang 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos ya, saya ingat betul ini dari pusat sampai daerah isu atau disinformasi yang luar biasa, tapi atas support berbagai pihak, teman-teman media untuk membantu KPU meskipun sedemikian luasnya, tapi bisa dijelaskan kepada publik.

Modus Kampanye Negatif dan Disinformasi di Pemilu dan Pilkada 2020

Jadi bagaimana kemudian munculnya konten ujaran kebencian, dan konten disinformasi atau hoaks, pada garis besarnya tentu ini terjadi pada media sosial. Sedangkan media mainstream saya kira sudah memiliki standar dan ada mekanisme kontrol jadi relatif terkendali.

Ini adalah tantangan kita ke depan, terlebih tahapan nanti diselenggarakan saat masa pandemi itu belum berakhir, di satu sisi ada kebutuhan untuk mendorong pemanfaatan IT dan media sosial, sejalan dengan pembatasan-pembatasan, metode sosialisasi dan kampanye tatap muka langsung.

Maka di situ juga ada tantangan bagaimana kita bersama-sama bisa melakukan upaya-upaya agar konten-konten yang ada ini juga konstruktif dalam hal melakukan edukasi ke masyarakat, dan dalam rangka juga menyampaikan informasi-informasi kepemiluan kepada pihak terkait.

Kami mencoba dari tim di Biro Parmas KPU ini memetakan gambaran, bahwa sebetulnya temuan disinformasi cenderung menurun pada Pilkada 2020 dibandingkan Pemilu 2019, tentu ini adalah konteksnya Pilkada yang kebetulan diselenggarakan di tengah-tengah pandemi.

Ini sebetulnya harapan kami meskipun tidak mungkin tidak akan ada, jika dibandingkan dengan peristiwa di 2019. Mudah-mudahan kecenderungan ini juga bisa kita perjuangkan pada saat tahapan Pemilu dan Pilkada 2024 nanti akan dimulai.

Nah, saya mendengar tadi dari CekFakta akan dilakukan juga upaya-upaya ke depan. Jika ini dilakukan lebih awal dibarengi usaha untuk memberikan satu literasi kepemiluan kepada publik di awal, tentu masyarakat akan bisa membandingkan ketika ada berita-berita yang memang tidak berdasarkan fakta dan tidak bisa dipertanggungjawabkan dan lain sebagainya.

Ilustrasi hoaks, berita bohong (Pixabay)
Ilustrasi hoaks, disinformasi, kabar bohong. (Pixabay)

Jadi selain meng-counter berita-berita yang ada dan mencari kebenaran atas fakta yang ditampilkan, maka menyediakan satu literasi atau suatu bacaan atau konten-konten terkait kepemiluan itu menjadi penting. Saya kira ini sangat penting dan strategis untuk dilakukan ke depan.

Ini contoh ada salah satu statement ketua KPU lalu dikutip bahwa seolah-olah pemilu itu akan diundur sampai tahun 2027. Ini salah satu contoh saja. Apa yang dilakukan KPU? Ya, tentu sumber yang bersangkutan mencoba untuk meluruskan menggunakan hak jawab, maka KPU juga membuat rilis atau siaran pers karena KPU sebagai penyelenggara pemilu berdasarkan UU, sementara UU nya tidak diubah dan UU mengatur bahwa Pemilu dan Pilkada 2024 maka itulah acuan KPU.

Memang setelah melalui proses yang cukup panjang, ada proses rancangan konsep tahapan, hari, dan tanggal pemungutan suara pemilu, ada proses konsultasi atas opsi-opsi yang disediakan KPU, saya ingat betul KPU itu mengajukan setidaknya 3 opsi, tanggal 14 Februari, 21 Februari, dan 9 Maret 2024.

Nah kemudian setelah proses itu berjalan, KPU telah menetapkan hari tanggal pemungutan suara itu Rabu, 14 Februari 2024.

Jadi ini memberikan kepastian atas informasi-informasi yang muncul, yang seolah-olah bahwa akan dilakukan pada tahun 2027, dan kami juga sudah mengeluarkan peluncuran dan sosialisasi pada beberapa hari yang lalu di kantor KPU secara terbatas karena situasi masih pandemi, namun selain secara luring tapi juga dilakukan secara daring untuk seluruh wilayah Indonesia dengan melibatkan stakeholder terkait.

Jenis atau Model Konten Disinformasi Kepemiluan

Ada upaya untuk "menyerang" kredibilitas penyelenggara pemilu, secara umum demikian. Beberapa contoh yang saya sampaikan tadi itu adalah kasus-kasus konkret yang ditemukan di lapangan.

Kami, di KPU telah mulai dilakukan, meskipun masih rintisan, jadi kami menghimpun berita-berita tentang KPU dalam setiap harinya. Jadi seluruh berita-berita online yang menyangkut KPU itu sudah dihimpun setiap hari, ada petugas yang menanganinya dan kemudian di-share kepada kami, ketua maupun anggota, untuk sebagai gambaran gitu,

Tentu ini masih sangat terbatas, kiranya nanti bisa disinergikan dengan teman-teman media yang sudah menangani selama ini, tentu kita harapan akan bisa lebih optimal.

Kesiapan KPU Menghadapi Disinformasi Kepemiluan

Saya kira KPU sudah melakukan beberapa hal ya, termasuk mendorong (konten) cek fakta atau hoaks kepemiluan di laman kpu.go.id,

KPU juga sudah melakukan nota kesepahaman dengan para stakeholder terkait seperti Bawaslu, Kominfo, KPi, Dewan Pers, Asosiasi Media Siber Indonesia, dan teman-teman atau instansi lembaga terkait lainnya.

KPU juga telah mendorong Bakohumas KPU kemudian meningkatkan pelayanan PPID KPU, dan terakhir kami telah mengembangkan dan mengoperasikan podcast KPU, yang mana para narsumnya bukan saja dari jajaran KPU tetapi banyak juga generasi muda, pemilih milenial dari kalangan kampus, sekolah, dan lain sebagainya, ini adalah upaya untuk mendorong sosialisasi dan pendidikan pemilih juga upaya untuk pencegahan terhadap disinformasi.

Desa Peduli Pemilu

Kami juga mendorong sosialisasi dan pendidikan pemilu sampai ke desa, dan ada modulnya, jadi modul yang kami dorong untuk pendidikan pemilih dan partisipasi masyarakat itu adalah bagaimana teknis dan metode melakukan identifikasi terhadap berita hoaks.

Jadi KPU memiliki program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan, dibuat pilot project di seluruh provinsi di Indonesia, untuk tahun 2021 sudah berjalan tapi masih terbatas, jadi ada desa yang ditunjuk sebagai pilot project dan di sana ada setidaknya 25 orang relawan atau kader yang diberikan materi-materi tentang kepemiluan, termasuk tentang bagaimana teknik dan metode identifikasi berita hoaks, dan tentang operandi dan solusi ke masyarakat.

***
Bagaimana menindak pelaku hoaks di luar tim resmi calon peserta Pemilu? Banyak pelaku hoaks ditindak, tapi tidak sampai ke otak utamanya.

Ini satu persoalan yang penting, memang itu adalah kendala-kendala di lapangan. Saya melihat memang penting pengaturan di KPU untuk antisipasi sekaligus sebagai bagian dari sosialisasi dan pendidikan pemilih dengan harapan masyarakat juga akan berpartisipasi untuk bersama-sama melakukan satu pencermatan atau masukan jika memang ditemukan unsur-unsur kampanye yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Namun di sisi lain, saya melihat dengan praktik. Sebetulnya saya melihat ada dua mekanisme dalam praktik yang berjalan.

Pertama bisa dikaitkan langsung dengan aspek penyelenggaraan pemilu misalnya kampanye, dan itu bisa untuk akun-akun yang terdaftar di KPU, tetapi kan berlaku juga ketentuan bagaimana konten media sosial dalam ranah publik. Nah jika ada yang merasa dirugikan dia bisa menyampaikan kepada tim atau gugus tugas yang dibentuk, lalu diverifikasi oleh Bawaslu, meskipun dia itu bukan terdaftar di akun resmi, lalu direkomendasikan ke platform yang bersangkutan.

Nah di sini menjadi penting komitmen dari platform itu sendiri, jadi sejauh apa pun langkah yang kita bersama lakukan dari Dewan Pers, AMSI, CekFakta, tapi kalau platform-nya tidak berkenan ya dia (konten hoaks) akan tetap ada.

Bila perlu platform yang bersangkutan mengedukasi mereka yang ada di situ, mana yang sebaiknya dipersilakan karena itu adalah unsur kreativitas mereka dan tidak merugikan ruang publik yang sebetulnya milik semua orang, dan mana yang memang tidak boleh, ini yang harus diperkuat ke depan karena ini multidimensi.

Bagaimana dampak disinformasi terhadap kepercayaan publik pada penyelenggaraan Pemilu? Adakah kajian?

Setahu saya di KPU sudah bahannya tetapi belum menjadi penelitian tersendiri ya, ini penting ke depan karena saya melihat bagaimana pun salah satu kata kunci suksesnya pemilu adalah kepercayaan publik, jadi kita membahas bagaimana upaya untuk mencegah dan penanganan disinformasi ini bermuara pada bagaimana agar publik percaya terhadap integritas dan kredibilitas baik proses maupun hasil daripada pemilu itu sendiri.

Saya kira ini penting untuk teman-teman pegiat pemilu, teman-teman CekFakta, penting untuk melakukan riset tentang ini, dan di KPU tentu ada sejumlah bahan terkait.

Petugas mengecek kotak suara berisi logistik di Kecamatan Menteng, Jakarta, Senin (15/4). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Ilustrasi. Petugas mengecek kotak suara beserta logistik pemungutan suara dari KPU, di salah satu kecamatan di Jakarta, pada penyelenggaraan Pemilu lalu. [Suara.com/Muhaimin A Untung]

Sebagai contoh yang saya sampaikan tadi misalnya tentang surat suara di kontainer. Ada juga hoaks tentang kandidat yang diduga akan mengganti ideologi negara dan sebagainya, ini kan perlu disikapi berhati-hati, karena hal yang sangat sensitif ini perlu secara mendalam dan bijak untuk disikapi.

Tetapi saya melihat dari pengalaman di lapangan, saya mencoba untuk memilah ya, ada yang memang karena informasinya tidak tersampaikan, ada juga suatu narasi yang sengaja dalam perspektif kajian wacana itu digenerik untuk mendapatkan atau membangun suatu perspektif tertentu di ranah publik.

Contoh ya, betul disampaikan tadi dalam setiap informasi yang dirilis KPU melalui media sosial itu, kasus tentang kardus bergembok itu selalu muncul. Tapi patut diduga, saya tidak menuduh, bahwa itu memang sengaja digenerik oleh orang-orang atau pihak tertentu yang ingin selalu meremainder kembali isu atau informasi di masa lalu untuk menjadi suatu maksud atau pandangan tertentu untuk konteks pemilu ke depan.

Kalau kita dalami dari aspek hoaks itu kan begitu ya, tidak semua kontennya baru. Bisa jadi berita lama yang sudah beberapa tahun yang lalu itu diupload kembali sehingga kalau kita tidak cermat membacanya itu seolah-olah berita baru, padahal itu sudah lama, sudah dilakukan klarifikasi, faktanya sudah dicek, sebenarnya secara esensi itu sudah selesai pada saatnya, tapi ini sering diulang-ulang untuk dimunculkan kembali.

Maka saya lihat ke depan memang pendidikan pemilih itu penting, di antara para pemangku kepentingan, termasuk teman-teman media menjadi sangat penting, karena sepertinya belajar dari praktiek dan data yang ada, salah satu tanntangan terbesar dari pemilu ke depan adalah hoaks, karena dia bisa masif dan sampai ke semua orang di mana pun dia, karena sepanjang orang itu memiliki gadget dia bisa masuk di situ.

Bagaimana KPU me-maintenance performa supaya dapat cepat merespon hoaks?

KPU telah melakukan sejumlah langkah, KPU melalui biro Parhumas, misalnya kami mulai mendata akun-akun yang dimiliki KPU RI, Provinsi, Kabupaten/kota di seluruh Indonesia, ini adalah media yang digunakan KPU untuk mempublikasikan, baik program maupun kegiatan untuk menyampaikan rilis terhadap isu yang penting disampaikan KPU kepada publik.

Kemudian kami juga belakangan sudah mulai ada petugas dari staf biro kami. Jadi saya ini dilapori setiap malam sekitar pukul 10-11 malam, seluruh link berita online yang mampu mereka himpun menyangkut pemberitaan tentang KPU, jadi setidaknya kita bisa melihat secara ringkas

Ide ini saya dapatkan setelah mengikuti diskusi dengan teman-teman media, dan kebetulan waktu mahasiswa saya aktif di pers kampus jadi ada gambaranlah, jadi dengan cara itu kita mengatahui hari ini KPU diberitakan tentang apa.

Misalnya ada berita tentang hari atau tanggal pemungutan suara, ada juga masukan ke KPU yang kita bisa cermati disitu tentang hal penting dari berbagai pihak yang mengharapkan KPU untuk menindaklanjuti, dan ada juga yang sepertinya harus diluruskan.

Jika ada terkait fakta-fakta yang perlu dikonfirmasi ke KPU, ya KPU menyampaikan data sebagai otoritas di bidang kepemiluan tentu itu akan membantu, kita bisa sandingkan dengan informasi yang beredar, apakah memang sudah sesuai atau memang sebaliknya.

Pada prinsipnya KPU menaruh atensi yang sangat besar terhadap masalah ini, karena saya meyakini kalau aspek teknis meski sering disampaikan sangat kompleks, tapi sejauh yang saya tahu belum pernah ada Pemilu atau Pilkada yang tidak bisa terselenggara karena kendala teknis, tinggal meningkatkan tata kelola, gagasan dan lebih berpihak pada pelayanan masyarakat penggunaan hak pilih dan hak untuk dipilih.

Soal Desa Peduli Pemilu, bagaimana kaitannya dalam upaya menangkal hoaks dengan keterbatasan literasi dan infrastruktur di desa?

Ya, itu berdasarkan evaluasi yang kami lakukan, Indonesia ini kan sangat luas, aspek geografi, iklim cuaca dan lain sebagainya, jadi pada prinsipnya tentang Program Desa Peduli Pemilu ini kan bagaiman mendekatkan KPU dengan komunitas lokal.

Jadi kehidupan sosial itu satuan terkecilnya kan desa, kampung atau kelurahan ya, bahkan itu sudah ada jauh sebelum kota atau bahkan negara, jadi pemilih ada di situ, kandidat ada di situ, seni-budaya, kearifan lokal, peradaban ada disitu, termasuk wacana tentang kehidupan sosial modern juga tumbuh di desa dengan kemajuan media sosial sekarang.

Memang ada beberapa metode yang secara daring dengan memanfaatkan IT sebagaimana di kota-kota modern dan ini sudah kemudian menjangkau sebagian wilayah Indonesia, ada juga daerah-daerah terpencil, terluar, dan lain sebagainya.

Dengan program ini diharapkan KPU semakin dengan masyarakat dan kami selain menyiapkan modul kami juga melakukan sejumlah webinar seri, kemudian kami juga melakukan pelatihan untuk fasilitatornya.

Jadi teman-teman KPU provisi/kab/kota bisa dilatih. Jadi ada standar yang dirumuskan KPU, tapi bagaimana mereka mengkomunikasikan dengan cara dan bahasa yang bisa dipahami masyarakat, itu juga sudah didorong pada teman-teman di daerah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI