Bowo Leksono: Ingin Festival Film Purbalingga Kelak Jadi Terminal Karya-karya Bagus

Selasa, 17 Agustus 2021 | 23:14 WIB
Bowo Leksono: Ingin Festival Film Purbalingga Kelak Jadi Terminal Karya-karya Bagus
Ilustrasi wawancara Direktur CLC Purbalingga Bowo Leksono. [Suara.com / Citra Ningsih]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Situasi pandemi nampaknya tak menghalangi Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga untuk tetap berkreasi. Tahun ini, Festival Film Purbalingga (FFP) akan diselenggarakan dengan cara virtual sepenuhnya pada 21 – 28 Agustus 2021 mendatang.

FFP merupakan program tahunan CLC Purbalingga Jawa Tengah sejak 2006 lalu yang selalu dinanti-nanti sineas se-Barlingmascakeb (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, dan Kebumen). Namun lantaran pandemi COVID, penyelenggaraan FFP terpaksa harus mengubah pola lama dengan pola baru.

Seperti diberitakan sebelumnya, FFP ke-14 tahun 2020 sempat diselenggarakan semi virtual yakni penayangan melalui streaming Youtube dan sebagian lainnya penonton datang langsung. Pelaksanaan FFP akhirnya bertransformasi dari nonton bareng secara langsung, berubah menjadi nonton bareng secara virtual.

Lika-liku dalam proses penyelenggaraan FFP dilalui dengan berbagai kondisi. Tak ubahnya tahun ini, CLC Purbalingga harus menerapkan pola baru dalam sepanjang sejarah.

CLC Purbalingga sangat melekat dengan sosok yang bernama Bowo Leksono. Ia merupakan pendiri CLC Purbalingga yang hingga kini masih aktif berkontribusi baik melalui karya maupun peranannya. Berikut adalah hasil wawancara khusus Suara.com bersama Direktur CLC Purbalingga Bowo Leksono.

Bagaimana tujuan dan sejarah FFP yang berdiri sejak 2006?

Saya ingin menarik jauh sebelum itu. Dari mulai saya lulus kuliah pada tahun 2000 kemudian nganggur setahun. Saya di kuliah Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) ikut aktif teater. Kemudian tahun 1994 keluar dan lanjut ke Universitas Diponegoro (Undip) fakultas hukum tahun 1995. Saat di Undip tidak ada teater, jadi saya akhirnya bikin.

Saat jadi mahasiswa aktif di teater jarang kuliah, saat itu masa reformasi. Saya merasa menemukan diri saya dengan berkesenian walaupun kuliahnya nggak nyambung. Saat itu yang penting kuliah. Beda kalau sudah bisa berhitung seperti sekarang jika ternyata biaya kuliah bisa untuk beli truk.

Nah, sebelum tahun 2000 sudah mulai masuk era digital. Tahun 2001 saya ke Jakarta menjadi wartawan dan sering meliput event film pendek. Banyak festival video pendek di Jakarta yang saya datangi. Dari situlah saya terinspirasi. Saya berasumsi bahwa melalui karya film kita bisa menyampaikan pesan.

Jika sebelumnya menyampaikan pesan melalui teater dan puisi, sekarang bisa melalui film. Tapi saya pikir bentuknya harus berbasis komunitas untuk bisa berdiri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI