Andi Khomeini Takdir: Isolasi Mandiri Harusnya Terpantau dengan Baik, Biar Lebih Aman

Senin, 09 Agustus 2021 | 20:56 WIB
Andi Khomeini Takdir: Isolasi Mandiri Harusnya Terpantau dengan Baik, Biar Lebih Aman
Ilustrasi wawancara, dr. Andi Khomeini Takdir SpPD-KPsi. [Foto: Dok. pribadi / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Isolasi mandiri atau isoman menjadi pilihan sekaligus anjuran bagi warga yang terpapar virus Corona atau positif Covid-19, khususnya yang merasakan gejala ringan atau bahkan tanpa gejala (OTG). Pilihan ini pun kian banyak diambil ketika fasilitas kesehatan di berbagai daerah kewalahan dalam menangani pasien Covid-19.

Meski saat ini di beberapa daerah terjadi tren penurunan pada jumlah pasien yang dirawat di klinik, puskesmas maupun rumah sakit, beberapa daerah lain nyatanya masih mengalami angka kenaikan kasus. Hal ini membuat isolasi mandiri (isoman) tetap menjadi salah satu pilihan sekaligus anjuran.

Hanya saja, banyak di antara warga yang positif Covid-19 yang menjalani isoman dengan prosedur yang kurang tepat, atau malah tidak berkoordinasi sama sekali dengan pihak-pihak terkait semisal Satgas Covid-19 di lingkungannya atau juga dokter dan tenaga kesehatan lain. Ketidaktahuan sebagian masyarakat mengenai bagaimana sebenarnya isolasi mandiri yang benar, sekaligus aman dan nyaman, pun jadinya berisiko pada meluasnya kasus dengan antara lain munculnya cluster rumah tangga.

Belum lama ini, melalui kegiatan diskusi online (Focus Froup Discussion atau FGD) bertajuk "Cara Aman dan Nyaman Isolasi Mandiri untuk Menghindari Dampak Buruk Covid-19", Suara.com memperbincangkan hal tersebut dengan dr. Andi Khomeini Takdir SpPD-KPsi. Dokter dengan spesialisasi penyakit dalam dan khususnya masalah psikosomatis ini, pun memaparkan banyak hal yang setidaknya bisa menjadi bahan pertimbangan para warga yang menjalani isoman.

Baca Juga: Prof Sri Rezeki Hadinegoro: Ancaman DBD Saat Pandemi, Waspada Beban Ganda Penyakit Infeksi

"Isolasi mandiri bagi mereka yang bergejala ringan itu angkanya (periodenya) minimal 10 hari, ditambah 3 hari bebas gejala. Habis itu, pasien-pasien, teman-teman yang sakit ini, tidak perlu PCR lagi. Jadi PCR-nya hanya satu kali di depan. Kenapa mesti ada yang PCR-nya berulang? Itu untuk settingan gejala yang sedang-berat, yang biasanya dirawat di rumah sakit," jelas dr. Andi Khomeini dalam salah satu bagian paparannya.

Lebih jauh, dr. Andi pun memaparkan bahwa pemisahan kamar pasien Covid yang isoman dengan anggota keluarganya yang lain menjadi salah satu opsi utama jika memungkinkan. Namun bila tak memungkinkan pun tetap bisa, asal melakukan protokol lainnya dengan ketat, seperti selalu memakai masker, menjaga jarak, menghindari banyak aktivitas bersamaan dan lain sebagainya (lengkapnya bisa disimak di video ini --Red).

Lebih jauh lagi, berikut petikan sesi diskusi atau wawancara dengan dr. Andi Khomeini Takdir dalam acara FGD tersebut yang ditulis ulang dalam format tanya-jawab, dengan sebagian pertanyaan berasal dari publik penonton tayangan langsung diskusi:

Untuk pasien bergejala ringan, apakah wajib mandi saat menjalankan isolasi mandiri?

Paksa mandi, paksa diri untuk mandi. Kumannya suka kalau kita kotor. Kalau kita kotor, kalau kita jorok, kalau diri kita sama mungkin di rumah kalau tempatnya jorok, lembab, gelap, itulah tempat favorit mereka.

Baca Juga: Epidemiolog Masdalina Pane: Terpenting Aturannya, Jangan Melulu Salahkan Masyarakat

Mungkin ada syarat, misalkan (mandi) pakai air hangat atau seperti apa, Dok?

Boleh, silakan mandi pakai air hangat. Dan mandi pun enggak mesti sampai setengah jam kan, ya? Mandi anggaplah 3 menit, 5 menit juga sudah selesai. Kita enggak mesti kaya luluran dan lain-lain, kan. Yang penting sampoan sudah selesai, sabunan selesai, sikat gigi oke. (Mandi) Pagi-sore.

Ada yang pernah isolasi mandiri bersama keluarga, setelah itu dia sembuh dan berkegiatan biasa, tapi satu per satu keluarganya malah positif. Itu kenapa bisa terjadi?

Ya, itu wajar terjadi, meskipun memang kita tentu tidak ingin itu terjadi ya. Tapi wajar, karena kan di dalam sebuah rumah begitu ada yang sakit di dalam, maka besar kemungkinan virus itu bertransmisi ke keluarganya. Karena tidak serta-merta ada orang yang bisa disiplin menggunakan masker 24 jam. Kadang-kadang dia buka (masker) di dalam kamarnya, bisa jadi pada saat diantar. Jadi ada banyak celah sebenarnya.

Yang jelas, kita mencoba meminimalkan celah-celah tersebut, membuka masker. Kita ingat, "eh, maskernya dipakai dong", "ini jaga jarak jangan dekat-dekat dulu". Kita saling mengingatkan saja. Kalau setting-nya seperti rumah di Indonesia, sebagian warga kita itu rumahnya itu kamarnya mungkin ada 2 atau 3, isi rumah itu bisa 5-6 orang, ya, jelas ada pertukaran ya, ada satu ruang di mana bisa jadi satu ruang dipakai untuk 2-3 orang.

Tapi bisa diartikan sebagai ketika pasien tersebut negatif, itu tetap menularkan virus?

Oh, enggak, kalau dia sudah negatif. Jadi kita enggak hanya lihat PCR dan secara klinis. Ingat, tadi ada 10 hari dia isoman dan 3 hari bebas gejala. Ada kata kunci "bebas gejala" di sana. Jadi bukan hanya negatifnya, tetapi ada timeline 13 hari. Jadi, hari ke-14 sama gejala yang minimal banget. Paling sisanya batuk kering. Nah itu bisa 1-2 minggu setelahnya.

Kita enggak anggap lagi bahwa orang ini bisa menularkan. Yang jelas semuanya diminta untuk tetap menggunakan masker dan buka jendela. Orang saling menggunakan masker, kalau di dalam rumah itu semua menggunakan masker, maka risiko penularan bisa turun sampai 85 persen dibanding dia tidak menggunakan. Ditambah lagi dia buka jendelanya. Pada saat dibuka jendela, konsentrasi virus dalam ruangan itu ikut turun, maka risikonya bisa lebih turun lagi. Still, masih ada risiko, tapi kita mencoba menurunkan sampai batas minimumnya.

Ini kan banyak broadcast beredar di WhatsApp soal daftar obat Covid-19 bagi pasien isolasi mandiri. Apakah itu aman, Dok?

Saya enggak menganjurkan. Ya, saya baca sih, dan itu berkali-kali kita sampaikan lewat media dan media sosial, bahwa setting-annya itu mungkin berbeda-beda. Di mana ada orang yang menjalani isolasi mandiri dipantau oleh tenaga kesehatan. Misal setting-annya di Wisma Atlet atau di rumah sakit darurat Covid-19 mana pun, memang di sana sebagian pasien itu gejalanya ringan, mungkin mendapatkan... Nah, kalau ada efek yang tidak diinginkan, itu kan terpantau tuh ya, kan bisa di-treat.

Petugas medis menurunkan pasien COVID-19 untuk melakukan isolasi mandiri di Graha Wisata TMII, Jakarta, Selasa (15/6/2021). [ANTARA/Yogi Rachman]
Salah satu fasilitas isolasi mandiri pasien positif Covid-19 di Graha Wisata TMII, Jakarta. [ANTARA/Yogi Rachman]

Beda setting-an kalau orang ini isoman di rumah, ya kan. Kalau dia isoman di rumah, siapa yang akan memantau dia? Adakah dokter atau tenaga kesehatan yang bisa watch 24 jam untuk pasien-pasien yang di rumah? Itu setting-nya berbeda. Lagian, sebagian besar obat yang (ada) di broadcast itu, itu sih masuknya untuk gejala sedang-berat. Jadi tidak diberikan pada pasien yang gejalanya batuk, pilek, demam satu-dua hari habis itu dia badannya sudah segar lagi.

Memang kita enggak memberikan obat-obatan yang misal antibiotik, anti-radang yang kuat, anti-virus yang bermacam-macam, untuk mereka yang gejalanya ringan. Penting untuk tahu bahwa ini masuk gejala ringan kah? Pasien ini gejala sedang atau berat.

Nah, salah satu yang dipakai sebagai tolok ukur tadi adalah oksinasi tadi. Kalau saturasi masih di atas 95, badannya memang masih agak lemas, tapi nafsu makannya masih semangat, orangnya juga masih bisa istirahat, kita enggak usah buru-buru. Karena (oksinasi) 95 persen pasien itu cukup dengan makan sayur lebih banyak, buah-buahan, vitamin juga, suplemen oke. Mau minum di Indonesia ada wedang jahe, ada madu, ada temulawak. Kalian mau gunakan itu untuk memperbaiki imunitas misalnya, ya, karena itu di rumah dan itu murah juga, silakan, selama tidak berlebihan.

Setting-annya kemudian berbeda kalau, "oh, ini gejalanya sudah masuk sedang-berat". Nanti dokter akan, "wah, ini kayanya kita perlu obat yang dosisnya lebih tinggi", atau obat-obat tambahan yang tidak diberikan kepada mereka yang gejalanya ringan.

Suplemen apa sih yang dianjurkan untuk menjaga imunitas sekaligus mencegah terkena Covid-19? Apakah berjemur saja cukup untuk menjaga imunitas sekaligus mencegah terkena Covid-19?

Oh, enggak! Jadi nih, kalau suplemen ya, saya sering ditanya suplemen apa. Nih sekarang, suplemen langka gara-gara ditanya-tanyain terus tuh, saya pikir. Saya kembalikan saja, di Indonesia kalian mau sayuran yang banyak, itu sudah ada dalam gado-gado.

Kan kita perlu sekitar 5 porsi sayuran dan buah setiap hari. Terutama pasien-pasien yang dalam masa pemulihan dan isoman ini. Itu kita anjurkan kalau bisa dia dapat 5 sampai 6 porsi buah dan sayuran sehari. Nah, kalau dia makan rujak 1 piring, makan gado-gado 1 piring, itu boleh dapat porsi sayur dan buahnya, sudah terpenuhi. Jadi, di dalam sayuran dan buah itu vitaminnya sudah ada, mineralnya ada, seratnya dapat.

Kemudian ikan dan telur, juga tadi sudah diulang-ulang. Kalau kita makan ikan seukuran telapak tangan, beratnya sekitar 400-600 gram, di dalam ikan itu, itu sudah bisa dapat. Ikan Indonesia lebih bagus juga daripada ikan luar negeri, bisa dapat 400-700 unit vitamin D sekali makan. Jadi kalau dia makan tiga kali, bisa dapat minimal 1.000 sampai 2.000 unit. Nah, ini yang perlu dipenuhi. Kalau memang mau dapat suplemen, boleh. Kaya vitamin C 500 ml, silakan, karena itu murah dan mudah bagi sebagian besar orang.

Kalau (suplemen vitamin) habis, langka, makan jeruk 3 biji dapat. Angkanya sudah terpenuhi. Kalau dia mau dapat vitamin D1, misal dapatnya 400 unit, kan dapat dari susu bisa dapat 300 unit, dapat dari telur 2 butir dapat sekitar 300 unit lagi. Ya sudah, dia sudah dapat 1.000. Ditambah lagi dengan sumber makanan yang lain.

Jadi, suplemen oke, tapi suplemen sifatnya komplemen, lebih (ke) melengkapi. Kalau di basic-nya, di makanan kita itu sudah cukup. Ya sudah, selesai, tinggal tambah dengan berjemur. Jadi bukan berjemur saja, tapi harus ada yang dijemur dulu. Apa yang dijemur itu? Sumber vitamin D itu. Itu kan masih vitamin D yang pro vitamin, begitu ia berjemur baru dia diaktifkan jadi vitamin. Jadi enggak semua orang (asal) berjemur, tapi memang gizinya juga harus cukup dulu.

Apa penyebab dari banyaknya pasien yang meninggal dunia saat menjalani isoman di rumah, selain karena rumah sakit penuh?

Rumah sakit itu sudah ditingkatkan kapasitasnya. Jadi, kita kalau dibandingkan tahun lalu, misal di beberapa rumah sakit yang saya ikut memberikan pelayanan, ya, kapasitas ICU-nya, HCU, Intermediate Care-nya, itu bisa naik sampai 300-500 persen dan itu tetap terisi sekarang.

Memang kita enggak bisa mengandalkan hanya penguatan di kuratif, mengandalkan bahwa, "oh, rumah sakitnya siap, bed-nya ditambah" dan lain sebagainya. Mau ditambah berapa bed sekali pun, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa bertambah dengan cepat, seperti tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan kita itu, itu dua kali gelombang ini benar-benar dua kali diuji. Ini rumah sakit itu kewalahan.

Jadi kuncinya sebenarnya jangan menjadikan rumah sakit dan isinya di dalam, dokternya, perawatnya, itu sebagai garda terdepan. Frontline-nya lagi-lagi masyarakat. Masyarakat lah yang kita perlu ajar, kita perlu ajak, kita perlu didik untuk bagaimana mereka tetap sehat dan produktif di situ. Mau dia varian apa pun sebenarnya, kalau semua masyarakat kita itu kita bisa ajak untuk disiplin dengan pola hidup sehat dan ditambah dengan protokol kesehatan, insya Allah sih rumah sakit enggak akan penuh, dan tidak akan ada orang-orang yang ngantre, berebut, atau misal terlambat mendapatkan pertolongan karena dia enggak dapat, (atau) dia tertahan di IGD padahal mestinya dirawat di ICU.

Ya, kita enggak pengen situasi itu terulang-terulang terus kan? Kuncinya penguatan pola hidup sehat, penerapan protokol kesehatan di masyarakat. Dan masyarakat akan ikut kalau orang-orang yang mereka panuti, mereka hargai dan hormati, itu juga memberikan contoh. Maka, inilah yang kita mesti sampaikan terus dan contohkan terus.

Saat ini, bagaimana kondisi rumah sakit di Indonesia, Dok, terutama di Jakarta?

Kalau Jakarta, sudah agak santai ya. Maksud saya adalah sekarang itu adalah kondisi yang mendekati ideal. Jadi, memang, kita sudah memberikan penguatan ke rumah sakit. Kemudian kapasitasnya sendiri itu tidak lagi overload, tapi (sudah) mendekati kapasitas normalnya.

Pasien yang butuh ICU tidak rebutan, tapi tetap ICU-nya penuh. Cuma, PR-nya lagi-lagi Indonesia bukan hanya Jakarta, tapi ada Jabodetabek-nya. Bukan hanya Jabodetabek, tapi ada 34 provinsi. Dan kita tahu sekarang ada provinsi-provinsi tertentu yang juga meningkat kasusnya, faskes mereka tidak sebanyak Jakarta. Itu kan bikin dag-dig-dug tuh. Dan Indonesia enggak bisa tiba-tiba bilang, "oh, selesai Covid-19-nya kalau di Jakarta melandai". Enggak bisa, karena di tempat lain masih ada.

Kalau untuk di Wisma Atlet, gimana, Dok?

Sudah mulai turun. Kita merawat pasien sekarang sekitar separuh dari angka puncak. Kalau dianggap bahwa kemarin itu gelombang ke-2 yang mendekati sekitar 7.000 pasien, sekarang sudah separuhnya. Tapi... hal itu bisa terjadi... ada beberapa faktor saya pikir, termasuk bertambahnya rumah sakit-rumah sakit yang dibuka, (sehingga) otomatis jumlah pasien terbagi ya.

Ada pertanyaan, ini dia sedang isoman, tapi bagaimana memberikan pengertian kepada anak yang berumur 4 tahun untuk tetap memakai masker? Juga ada bayi usia 4 bulan. Bagaimana meminimalisir penularannya, dan apakah pemberian ASI itu juga perlu disetop?

Kalau ibu menyusui, saran saya gunakan masker dan tetap lanjut menyusui. Kalau ada ibu menyusui dengan Covid-19, tetaplah menggunakan masker dan tetaplah memberi air susu ibu. Karena di situ juga ada, melalui ASI kan upaya penguatan imunitas untuk bayinya. Kita tidak hanya fight with Covid-19. Ada penyakit lain yang juga bermasalah, bisa bikin masalah kalau bayi-bayi ini kurang gizi kan.

INFOGRAFIS: 5 Tips Ajari Anak Protokol Kesehatan
INFOGRAFIS: 5 Tips Ajari Anak Protokol Kesehatan

Kemudian kalau untuk anak 4 tahun, saya pikir anak 4 tahun itu sebenarnya sudah bisa dikasih tahu sih. Mungkin lebih kepada contoh. Jadi, semua yang ada di rumah, kalau bisa kakaknya, orang tuanya, ya sudah, berikan contoh saja. Tidak perlu dengan terlalu banyak pesan-pesan yang sifatnya verbal. Tapi pesan-pesan yang sifatnya memang langsung memberikan contoh, saya pikir itu akan lebih bisa dipahami oleh anak-anak seusia itu. Coba deh. Jadi mungkin, bukan cuman ibunya menggunakan masker, tapi kakak-kakaknya, ayahnya juga. Dengan kedisiplinan itu, pelan-pelan anak-anak juga akan ngerti kok.

Apa anak perlu dipisahkan apabila ibu terpapar Covid-19? Mengingat anak-anak kan juga rentan terpapar.

Gunakan masker, buka jendela, supaya mereka tidak hanya menghirup udara yang sama dan itu-itu saja.

Nah, hal lain, ada yang sudah dinyatakan bebas isoman, namun masih ada gejala pada dua hari berikutnya seperti tidak bisa mencium dan merasakan makanan. Ini menurut dokter bagaimana?

Pemulihannya sebenarnya adalah badannya secara keseluruhan, kondisi fisik secara keseluruhan, itu proses pemulihan. Adapun sebagian pasien memang masih merasakan gangguan, satu-dua gangguan, itu bisa sampai berminggu-minggu setelah dinyatakan sembuh. Ada yang anosmia, itu gangguan-gangguan kekurangan kemampuan mencium, itu memang ada. Ya, bisa sampai 3 minggu, 4 minggu, (tapi) pelan-pelan dia pulih itu.

Bukan pemulihan sih, yang lebih tepat saya pikir. Memang pulihnya gradual ya, pemulihannya yang bertahap. Jadi enggak usah panik juga. Latih saja terus dengan kopi, aroma teh, mint, parfum, buah-buahan yang disukai, makanan yang digemari. Ya, kecuali gorengan, dan tadi ada syarat mengurangi gula. Sudah, itu saja, latih terus, pelan-pelan insya Allah pulih.

Pentingkah penyemprotan disinfektan ke seluruh rumah saat seseorang telah selesai menjalankan isolasi mandiri? Apakah efektif untuk mencegah virus agar tidak menularkan ke anggota keluarga yang lain?

Saya tidak terlalu prefer dengan semprot-semprot (begitu) ya.

Kenapa begitu, Dok?

Jadi, saya lebih senang, lebih mendukung, lebih mendorong orang-orang ini buka jendelanya. Biarkan sinar matahari masuk. Semprot-semprot itu mungkin bisa dipakai pada setting-an di mana kamar itu tertutup, tidak punya ventilasi. Itu sebuah ruangan yang dingin, memang harus tertutup, enggak dapat sinar matahari, di situ tempatnya semprot-semprot itu.

Atau kalau orang, misalnya pulang dari rumah sakit ya. Petugas tenaga kesehatan ini, itu memang sebelum ganti baju bisa disemprot. Kan itu untuk sterilisasi. Tapi kalau sterilisasinya digunakan di rumah, saya rasa itu agak kurang pas ya. Mending buka jendelanya, biarkan sinar mataharinya masuk. Kurangi masuknya bahan kimia ke paru-paru.

Justru kalau kita nyemprot-nyemprot terus, ada (yang) namanya chemical pneumonia. Jadi radang parunya bukan karena virus, tapi karena menghirup bahan kimia dari disinfektan itu secara terus-menerus. Jadi malah justru berbahaya dan kontraproduktif. Kalau saran saya sih, bersihkan (rumah) seperti biasa, ngepel, nyapu, buka jendelanya, dan pastikan lebih banyak area yang lebih kering daripada yang basah.

Tapi kan, ada juga warga yang merasa parno kan, Dok?

Ya, kalau parno, mungkin semprotnya cuman sekali doang kan, ya? Cukup. Kalau dia semprot tiga kali sehari, yang ada nanti dia pneumonianya gara-gara zat kimia. Tetap masuk rumah sakit lagi jadinya, tapi bukan (karena) Covid-19 masalahnya yang terjadi, keracunan zat kimia nanti, keracunan disinfektan. Ingat, disinfektan itu juga membunuh mikro-organisme, termasuk sel-sel manusianya. Jadi kita pakai sesuai peruntukannya saja. Saya enggak mendorong tuh, kaya gedung-gedung disemprot, tembok disemprot. Enggak, jangan.

Ini menarik, karena saat kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya, banyak masyarakat yang bahkan rajin menyemprotkan disinfektan ke tubuh sebelum masuk ke suatu ruangan kan?

Tolong, jangan! Jadi, saya saja yang sudah tugas saja, "ah, enggak lah, saya enggak perlu". Mungkin ada jurnal yang mendukung, silakan disajikan ya. Tapi saya tidak pernah melihat adanya jurnal yang (mengatakan) orang-orang yang isoman itu harus melakukan disinfektan. I don't think so, dan saya enggak pernah baca. Tapi kalau ada, silakan dikirimkan deh.

Jadi enggak perlu ya, Dok, (disinfektan) disemprot ke seluruh tubuh?

No! Mandilah, cucilah bajunya, cucilah tangannya, buka jendelanya, pastikan sinar matahari masuk.

Ada enggak sih, paket isoman hemat atau paket obat alami yang diambil dari alam untuk isoman, khususnya buat yang OTG?

Itu gado-gado, rujak, pecel lele... hahaha, beneran! Jadi, (bagi) mereka yang bergejala ringan, memang risetnya menyatakan bahwa tingkat keparahan Covid-19 itu berkurang pada mereka yang mengonsumsi sayuran dan buah-buahan itu cukup. Kalau sayur-buahnya naik, Covid-19-nya turun. Kemudian yang kedua, vitamin D-nya naik, risiko Covid-19-nya turun. Sudah, itu sudah paket hemat. Kalian sudah sekalian kenyang, sekalian melatih anosmianya. Satu paket hemat sudah.

Selama ini kan kita terbatas informasinya, (bahwa) kalau sudah terpapar Covid-19 (katanya) harus makan makanan yang super sehat ya?

Di Indonesia itu kaya makanan sehat. Memang ya, buat sebagian pasien Covid-19, gado-gado ini akan menjadi gado-gado dengan rasa yang aneh. Karena kan itu indera penciuman, gangguan merasa juga, itu memang rasanya mungkin aneh. Rujak pun mungkin rasanya dia hanya akan, "oh, rasa pedas saya bisa rasakan, tapi kok rasa manisnya aneh ya?" Nah, itu bisa kejadian. Tapi, lawan, lewati fase itu, supaya pemulihannya lebih cepat.

Khasiat Sayuran Bagi Kulit Wajah ( Shutterstock )
Ilustrasi. Konsumsi sayuran untuk kesehatan tubuh, termasuk menambah imun di masa pandemi Covid-19. [Shutterstock]

Apa saja sih isoman kit itu, mulai dari obat, vitamin dan alkesnya?

Itu tadi sudah ya. Tapi paling, saya sih kalau memang dia gejala ringan, paling sediakan paracetamol, obat-obatan yang bisa dijual bebas, ada di minimarket, ada di apotek. Jadi kalau demam minum paracetamol, kalau ada mual, minum obat maag mungkin bisa. Itu untuk pertolongan pertama. Lihat gejalanya. Kalau minum obat-obatan bebas ini sudah membaik, ya sudah, selesai. That's your kit. Isoman kit-nya, ya itu.

Enggak perlu kaya mesti sedia satu kotak isi 10 obat. No, enggak! Karena tidak semua obat itu diperlukan. Kalau memang perlu obat-obatan yang jumlahnya banyak, berarti kayanya ini bukan gejala ringan. Itu harus dipantau. Jangan sampai orang-orang minum obat-obatan keras yang efek sampingnya bisa potensial banyak.

Saya mau cerita nih. Setelah beredar broadcast obat-obatan isoman yang diminum, banyak keluhan dari pasien-pasien itu. "Dok, saya habis minum ini mual, habis minum obat ini malah jadi muntah, tambah enggak bisa makan." Terus kita tanya, habis minum obat apa ya? (Dijawab) "Habis dari yang broadcast-broadcast." Padahal ya, dia enggak perlu obat itu sebenarnya. Justru bikin perkara baru; tidak menyelesaikan masalah malah bikin masalah baru.

Penting untuk berkonsultasi dulu dengan dokter sebelum mengonsumsi obat-obatan yang tidak dijual bebas, penting banget. Karena harus ada yang mantau, harus ada yang ngasih tahu, "entar ini bisa kejadian kaya gini", supaya dia paham. Teman-teman harus tahu, "oh, antisipasinya seperti ini".

Kalau isoman serumah itu kita boleh ngobrol kah? Piring dan gelas juga kita harus pisahkan ya?

Boleh ngobrol, (asal) pakai masker dan jaga jarak. Terus piringnya cuci pakai sabun. Jadi enggak mesti dipisahkan banget gitu ya. Kan seperti biasa, kita itu mencuci dengan sabun. Kalau ketemu sama sabun, partikel virusnya lessen. Tunggu kering, selesai, bisa dipakai lagi sebenarnya.

Yang jadi masalah kan yang enggak dicuci, kaya sikat gigi. Apa lagi sih, perabotan dan perkakas di rumah yang enggak dicuci, yang bisa dipakai bersama? (Nah) Itu yang saran kita dipisah. Tapi kalau piring, sendok, garpu, ini kan habis dipakai, (bisa) cuci pakai sabun dan bisa digunakan lagi sama yang lain.

Kalau misalkan seperti kursi atau remote TV gitu?

Ya, remote TV kan kering ya. Orang enggak dengan keringat-keringatan kemudian menggunakan remote, ya? Saya juga pikir, enggak semua orang juga nonton TV saat isoman. Sebagian malah pegang HP masing-masing kok.

Sebaiknya kapan waktu yang tepat untuk melakukan swab ulang setelah isolasi mandiri. Dan apakah wajib swab ulang, atau bisa hanya dengan menyelesaikan durasi isolasi mandiri sesuai ketentuan saja?

Kalau gejalanya ringan, kita tidak anjurkan untuk swab. Hitungannya, 10 hari isoman tambah 3 hari bebas gejala, sudah. Enggak perlu swab, PCR kontrol. Kecuali pada setting-an pasien itu kok bergejala lagi, nah itu kita minta diperiksa. Kecuali kalau dia kemarin gejalanya sedang, gejalanya sedang-berat di rumah sakit, nah sebelum pulang biasanya kita akan minta untuk PCR kontol.

Jadi, enggak perlu swab. Selesaikan sesuai timeline. Acuannya di 3 hari bebas gejala itu. Kalau masih ada gejala, kontrol ke Puskemas, klinik, dokter atau rumah sakit, biar dicari tahu apa sebenarnya yang terjadi.

Bagaimana meyakinkan masyarakat awam, yang meskipun sudah menyelesaikan sesuai timeline tapi masih takut akan menularkan?

Ya, apa yang kita lakukan ini termasuk sosialisasi kan? Jadi kalau (ke) semua orang sudah sampai pesan itu, ya harapan kita sih, mengerti. Harapan kita, dari Satgas Penanganan Covid-19, dari KPC-PEN, dari Kementerian Kesehatan, semua unit itu bergerak, (juga) dari teman-teman media.

Kalau perlu, bikin flyer, ditempelin di masing-masing rumah, (ini) isoman hari ke-10, ke-9, ke-8 (dan seterusnya). Jadi, menginformasikan ke masyarakat bahwa di dalam sini sudah 8 hari, sudah 7 hari. Dan tempelin peraturan Kemenkes, jadi semua baca. Karena sakit ini siapa pun bisa kena. Jadi memang semuanya juga harus paham. Meskipun yang awalnya tadinya ada yang nge-bully, tapi kalau dia sekarang yang sakit, dia juga perlu dipahami.

Tapi, masih banyak juga kan, Dok, (orang) yang tidak percaya dengan Covid-19?

Memang masih, tapi populasinya makin kecil kok. Karena jumlah yang sakit ini kan bertambah terus, yang pernah keluarganya sakit itu juga bertambah.

Oke. Terakhir, secara umum, apa imbauan kepada warga soal isolasi mandiri atau isoman ini?

Mungkin ini saran saya ya, kalau sebagai penutupnya. Isolasi mandiri itu bukan sebuah tindakan atau serangkaian tindakan yang dibiarkan begitu saja. Jangan. Kalau bisa tetap ada yang memantau, baik itu dari Puskesmas, dari rumah sakit, dari Satgas, minimal dari keluarganya atau RT/RW-nya. Ini kan sebenarnya Satgas Penanganan Covid-19 itu sudah sampai tingkat RT/RW.

Jadi tetap harus ada yang lihat, ada yang tahu bagaimana perkembangan dari orang-orang, warga-warga yang menjalani isolasi mandiri ini. Itu penting, supaya tidak lagi kita mendengar berita bahwa "eh, tiba-tiba ini ada perburukan", gitu. Kan enggak ada sebenarnya yang tiba-tiba perburukan begitu saja, kalau dia ada yang memantau, kalau dia tahu taktik dan strateginya. Jadi mungkin, jangan "isolasi mandiri" saja, tapi judulnya diubah "isolasi mandiri yang terpantau". Dan itu mungkin adalah cara kita untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih aman dan nyaman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI