Prof Sri Rezeki Hadinegoro: Ancaman DBD Saat Pandemi, Waspada Beban Ganda Penyakit Infeksi

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Sabtu, 31 Juli 2021 | 07:32 WIB
Prof Sri Rezeki Hadinegoro: Ancaman DBD Saat Pandemi, Waspada Beban Ganda Penyakit Infeksi
Ilustrasi wawancara khusus. Prof Sri Rezeki Hadinegoro bicara ancaman DBD di tengah pandemi Covid-19. [Dok. pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sebetulnya dia, dia bagus ya, itu kan dengue itu kan punya ada serotipe (variasi dalam satu bakteri atau virus), serotipe 1, 2, 3, 4, gitu. Nah itu namanya efikasi (tingkat kemanjuran vaksin) itu nilainya 65,6%, itu ada untuk serotipe secara keseluruhan. Tetapi dia ini yang menarik bahwa dia adalah mencegah dengue sebanyak 65,6%. Dia mencegah perawatan sebanyak 80,8% dan mencegah dengue berat, severe dengue 93,2%.

Jadi sebetulnya angka-angka itu cukup menjanjikan, kalau kita lihat mencegah katakan mencegah perawatan 80%, kalau sekarang yang dirawat katakan 1000 (orang) aja kan kita 500 orang itu kan banyak sekali gitu. Jadi keuntungan tuh sebetulnya besar, hanya di sini orang yang mempunyai seropositif, seropositif artinya yang pernah kena sakit itu efikasinya lebih bagus daripada yang belum pernah sakit.

Petugas melakukan pengasapan di sejumlah lokasi yang ditemukan kasus DBD di Kecamatan Pondok Suguh, Kabupaten Mukomuko.(Foto Dok.Antarabengkulu.com
Ilustrasi. Petugas melakukan pengasapan di sejumlah lokasi yang ditemukan kasus DBD. [Antara]

Nah ini yang jadi membingungkan, yang pernah sakit itu 81,9%, sedangkan yang belum pernah sakit hanya 52%. Jadi kemudian karena 50 itu memang ragu-ragu ya menurut WHO kan batas (persentase) nya 50, jadi sekarang indikasinya hanya untuk anak yang seropositif gitu loh, dan untuk tau seropositif itu dia kan harus diperiksa, antibodinya ada atau tidak, itu kan jadi mahal kalau semua orang sebelum divaksinasi harus diperiksa.

Nah, untuk itu WHO mengatakan bahwa negara yang endemis tadi tentunya makin banyak anak-anak kita yang sudah pernah kena, nah kemudian kita harus mempunyai nilai namanya seroprevalence (jumlah individu dalam suatu populasi yang menunjukkan hasil positif untuk penyakit tertentu), dengue seroprevalence, kita harus tau berapa persen sih anak umur 5 tahun katakan, pernah kena dengue berapa persen untuk 9 tahun, begitu. Nah kemudian kita adakan survey seperti itu, kita sudah mengatakan tahun 2016 apa ya, itu di 30 kabupaten. Jadi dari Aceh sampai ke Mataram, kita itu membuat satu penelitian di kabupaten itu dua puskesmas, kemudian kita lihat anak umur 1 tahun sampai 18 tahun. Nah ini hasilnya yang betul-betul mencengangkan. Di sini anak umur 1 tahun saja itu sudah 25% positif.

Jadi 21 tahun itu sudah pernah digigit si nyamuk itu positif. Umur 5 tahun itu sudah 50% positif, dan umur 9 tahun itu 81%. Umur 18 tahun itu 95%. Jadi kalau Reza diperiksa itu pasti positif juga walaupun kita gak sadar gitu loh, apakah pernah sakit atau tidak gitu, karena ringan ya, jadi bisa saja seperti flu biasa, begitu.

Jadi ini data-data yang sebetulnya mendukung bahwa Indonesia memang kalau misalnya mau jadi program, mungkin tidak perlu pakai di-screeening lagi, karena hampir semua, 80% anak 9 tahun ke atas sudah positif, tetapi kalau per individu bukan program, tetap harus diperiksa antibodinya dulu.

Ini yang kadang-kadang menjadi mahal gitu dan orang-orang kan bingung, kalau misalnya biasanya vaksin itu dia masih negatif, harus divaksin dong, kalau ini kebalik. Kalau dia negatif nggak boleh divaksin, tapi kalau positif malah divaksin gitu loh. Nah ini yang mungkin perlu ada satu apa ya, penerangan kepada masyarakat.

Apa yang membuat pemerintah Indonesia belum memasukkan vaksin dengue ke dalam program imunisasi wajib? Padahal Indonesia endemis DBD?

Bukan enggan, tetapi kita masih ngantri. Masih queuing (dalam antrian). Karena pemerintah ini juga banyak vaksin-vaksin lain yang harus masuk gitu. Sebetulnya di dalam 5 tahun ini, sudah banyak sekali vaksin baru masuk. Satu, polio injeksi (suntikan) IPV, IPV (Inactivated Poliovirus Vaccine: vaksin pencegah polio) itu tadinya ngga ada, itu mulai IPV satu kali dalam satu jadwal. Kemudian kita ada yang tadinya hanya measles (campak), hanya campak saja, sekarang Measles Rubella (MR). Jadi ada R nya, itu juga tambahan vaksin. Kemudian kita ada PCV (Pnemococcal Conjugate Vaccine: imunisasi pencegah bakteri streptococcus pneumoniae), sudah mulai di beberapa provinsi seperti di Lombok, kemudian Bangkabelitung, hadir ke daerah-daerah lain ini tiap tahun maju terus, karena ya itu tadi keuangan juga tidak bisa sekaligus.

Baca Juga: Epidemiolog Masdalina Pane: Terpenting Aturannya, Jangan Melulu Salahkan Masyarakat

Kemudian juga HPV (Human Papilloma Virus: virus yang menyebabkan infeksi di permukaan kulit, serta berpotensi menyebabkan kanker serviks), pada anak sekolah kelas 5 sama kelas 6, ini juga baru. Kemudian JE (Japanese Encephalitis: penyakit infeksi virus Japanese Encephalitis yang ditularkan oleh nyamuk) di Bali.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI