Suara.com - Demam berdarah dengue (DBD) mengancam masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19 yang masih merajalela. Laporan nasional menyebut, dari Januari hingga Juni 2021 sudah ada 95 ribu kasus DBD di Indonesia, dengan 661 orang meninggal dunia.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak dari Universitas Indonesia, Prof Dr dr Sri Rezeki Hadinegoro, mengatakan bahwa meningkatnya kasus demam berdarah dengue di tengah pandemi Covid-19 berisiko membuat rumah sakit dan fasilitas kesehatan mengalami double burden alias beban ganda penyakit infeksi.
"Ini kemudian menjadi double burden, ada dua masalah infeksi yang hadir bersamaan di satu negara. Jadi semua fasilitas kesehatan mulai dari puskesmas hingga rumah sakit yang canggih ruang ICU-nya semuanya terkonsentrasi untuk Covid-19. Sampai-sampai dengue ini agak terlupakan," ujar Prof Sri dalam sesi wawancara khusus ISNTD-ADVA World Dengue Day Forum - Cross Sector Synergies, beberapa waktu lalu.
Terlebih, Prof Sri mengatakan, dengue dan Covid-19 memiliki gejala awal yang sama, yakni demam tinggi, batuk, pilek, dan nyeri di sejumlah bagian tubuh.
Ia khawatir, dengan tingginya peningkatan kasus Covid-19 saat ini, penanganan DBD di sejumlah daerah mengalami penurunan, yang bisa berakibat terhadap meningkatnya jumlah kasus dan juga korban meninggal.
Suara.com melakukan wawancara ekslusif dengan Prof Sri terkait penanganan DBD di tengah pandemi dalam acara ISNTD-ADVA World Dengue Day Forum - Cross Sector Synergies, yang mengangkat tema sinergi lintas sektor antara pemerintah, otoritas kesehatan, dan pihak-pihak terkait dalam penanganan dengue di Indonesia sekaligus mengoptimalkan penelitian dengue di Indonesia maupun Asia Tenggara. Berikut petikannya yang disajikan ulang dalam format tanya-jawab.
Selamat sore, Prof Sri. Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat. Menurut Prof. Sri sendiri, bagaimana pandemi ini mempengaruhi penanganan dengue di indonesia? Apakah pandemi ini memundurkan proses penanganan dengue yang sudah ada atau malah memiliki dampak lain?
Betul sekali, dengue ini kan sebetulnya sudah merupakan endemis ya, artinya penyakit yang ada terus setiap tahun. Hanya memang ada gelombangnya kapan ke tinggi insidens, kapan rendah, tergantung dari cuaca tentunya, tergantung dari curah hujan juga. Dari tahun, 1968 atau 1969 ditemukan, sampai sekarang nggak pernah berhenti tiap tahun ada terus.
Jadi itu sudah menetap, itu namanya endemis dan kapan-kapan terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) itu adalah definisi dari endemis. Nah, kemudian datang penyakit lain, yaitu Covid-19 yang merupakan pandemi, kalau pandemi tuh seluruh dunia kena gitu, kalo endemi hanya satu negara. Nah, ini kemudian menjadi double burden (beban ganda). Jadi ada dua masalah infeksi yang bersamaan hadir di satu negara.
Baca Juga: Epidemiolog Masdalina Pane: Terpenting Aturannya, Jangan Melulu Salahkan Masyarakat
Jadi, memang terus terang semua kekuatan dari kesehatan, dari yang paling bawah, puskesmas sampai rumah sakit yang canggih ada ICU nya dan sebagainya, semua terkonsentrasi kepada Covid. Sampai-sampai ini dengue ini agak terlupakan begitu ya, tetapi ternyata gejalanya itu mirip-mirip sekali.