Pendiri Pesantren Mualaf, Ustaz Nababan: Jangan Sampai Hidayah Dicabut, Nanti Menyesal

Senin, 05 Juli 2021 | 09:20 WIB
Pendiri Pesantren Mualaf, Ustaz Nababan: Jangan Sampai Hidayah Dicabut, Nanti Menyesal
Ilustrasi wawancara. Ustaz Syamsul Arifin Nababan. [Foto: IG ust.nababan / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di daerah Tangerang Selatan (Tangsel), ada pesantren khusus mualaf di bawah Yayasan Annaba Center Indonesia. Pesantren yang kemudian sudah memiliki jaringan pesantren lainnya itu kini memiliki ratusan santri. Mereka dibimbing untuk mengenal dan mempelajari Islam secara utuh.

Pesantren mualaf itu didirikan oleh Ustaz Syamsul Arifin Nababan. Tak mudah bagi dirinya sampai sejauh ini hingga memiliki sejumlah pesantren dengan ratusan santri. Terlebih, mereka adalah mualaf alias orang yang baru masuk Islam.

Ada berbagai kisah di balik perjuangan Ustaz Nababan. Diawali kegelisahannya soal Tuhan, hingga perjuangannya mengislamkan yang antara lain pernah dikepung warga satu desa, dilempari batu, diancam dibunuh bahkan dibakar.

Beberapa waktu lalu, kepada Suara.com Ustaz Nababan sempat bercerita mengenai lika-liku aktivitas dirinya yang dulu juga mualaf serta perjuangannya berikutnya. Berikut petikan wawancara dengan Ustaz Syamsul Arifin Nababan:

Baca Juga: Wasis Setya Wardhana: 'Jogo Tonggo' Berbasis Data, Cara Desa Kami Hadapi Covid-19

Boleh dipaparkan sedikit bagaimana awal mula mendirikan pesantren?

Jadi, latar belakang pendirian pesantren ini terkait dengan pengalaman diri saya sebagai ustaz berlatar belakang mualaf. Setelah saya mempelajari agama Islam ini, dulu ceritanya setelah masuk Islam saya hidupnya prihatin ya.

Saya belajar di pesantren penuh dengan keprihatinan. Sehingga setelah saya punya ilmu dan jadi ustadz, saya terpanggil membina para mualaf, karena teman-teman yang senasib dengan saya ini umumnya mereka tidak punya kesempatan belajar. Umumnya mereka hanya mendapat sertifikat, tapi tidak dapat pembinaan.

Nah, setelah saya berinteraksi dengan mualaf itu, banyak curhatan mereka yang meminta saya untuk membina mereka untuk keislaman yang utuh. Akhirnya sejak 1998 saya sudah mulai membina para mualaf nomaden di Jakarta. Basisnya awal di Masjid Al-Hakim, Menteng, kemudian pindah-pindah ke mana-mana.

Sampai kemudian tahun 2008 berhasil mendirikan pesantren mualaf putra. Lalu 2014 mendirikan pesantren mualaf putri. Lalu 2017-2019 membangun tiga cabang di NTT, 2020 membangun cabang baru di Gadog, Bogor.

Baca Juga: Prof Cissy: Bukan Prioritas Utama, Tapi Vaksinasi Covid-19 untuk Anak Perlu

Terkait kisah Anda awal masuk Islam, itu bagaimana ustaz? Bisa diceritakan lagi?

(Saya) Dulu masuk Islam 30 tahun lalu. Saya dulu hanya belajar perbandingan agama. Saya banyak membaca buku-buku Islam dan Kristen. Setelah mendapat ilmu perbandingan itu; saya putuskan Islam itulah yang benar, dan Allah berikan hidayah.

Selama belajar perbandingan agama, saya menemukan banyak kritik (Ustaz Nababan kemudian memaparkan beberapa contoh --Red)... (hingga) kemudian saya mantap masuk Islam sekitar usia 20-an.

Ada ayat atau surat yang makin memantapkan Anda masuk Islam saat itu?

Surat Al Maidah ayat 72-73, (juga) Al Maidah 116-117 (sambil kemudian memberikan penjelasannya secara lebih detail --Red).

Soal aktivitas Anda mendirikan pesantren, apa sih tantangan besarnya?

Tantangannya itu saya pikir dalam bentuk teror dari keluarga mereka ke pesantren kita; ada satu-dua, tapi nggak sering ya. Tapi secara umum, yang berat tantangan kita itu berkaitan dengan finansial aja, karena pesantren kita ini gratis. Di samping gratis, anak-anak santri kita juga disekolahkan, kita kasih jajan, transportasi, ditanggung semua kebutuhannya.

Santriwati tengah belajar di Pesantren Pembinaan Mualaf Yayasan An-Naba Center Indonesia, Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]
Aktivitas santriwati yang tengah belajar di Pesantren Pembinaan Mualaf Yayasan An Naba Center Indonesia, Ciputat, Kota Tangerang Selatan. [SuaraJakarta.id / Wivy Hikmatullah]

Tekanan fisik dan mental tak terlalu sering, dan cenderung kita abaikan saja. Tantangan kita paling berat finansial ini, pembiayaan. Santri kita ratusan dan gratis semua. Di Ciputat ada 60 orang, di NTT ada ratusan orang, jadi semua kita cover biayanya. Kita nggak punya perusahaan, perdagangan; kita mengandalkan muhsinin. (Ketika) Donatur pada tekor dan bangkrut usahanya, membuat kita terseok-seok, kesulitan juga pembiayaan. Tapi kita optimis-lah, menolong agama Allah ini pasti ditolong sama Allah.

Soal pengalaman mendapat teror dari keluarga yang diislamkan itu, bagaimana? Bisa diceritakan?

Iya, (itu) saya dulu ketika mau pengislaman 10 orang di NTT, Kupang. Saya datang ke sana (karena) ada orang minta tolong disyahadatkan 10 orang. Tiba-tiba ketika mau syahadat, kami dikepung satu desa di dalam rumah. Ratusan orang datang melempari batu ke dalam rumah. Ada yang bilang serbu, bakar, bunuh. Ya, saya dengan kuasa Allah aja belum ajal. Intinya kalau kita lihat tragedi malam itu sangat mencekam sekali, sepertinya kami (bakal) tidak ada lagi, dibakar segala macam. Tapi alhamdulillah, ditolong kami malam itu, jadi kami nggak jadi (tewas), masih panjang umur. Itulah salah satu rintangan dakwah kita.

Pergerakan pesantren mualaf ini memang akan fokus ke NTT?

(Ya) Karena saya banyak mengislamkan di sana. Masih pemuda dibawa ke sini, kalau yang suami-istri di sana ada pesantrennya.

Sejauh ini bagaimana cara mengajak agar orang di NTT mau masuk Islam?

Mereka melihat dari interaksi (bahwa) kita peduli. Saya datang ke sana bagi-bagi sembako ke mereka. Nggak ada misi agama, tapi peduli kemanusiaan. Tapi ternyata, kita bantu mereka, mereka bersimpati ke kita dan menyatakan ingin masuk Islam. Ya, kita Islam-in.

Respon sejauh ini terhadap aktivitas dan perjuangan Anda?

Variasi; ada yang mendukung, (ada yang) membenci dan memusuhi.

Rencana terhadap pesantren atau santri-santri Anda ke depan?

Mereka wajib sekolah dan kuliah, ditargetkan agar bisa dakwah ke kampung halamannya masing-masing. Kalau ilmunya dangkal, bagaimana mau dakwah. Di Sudan (ada) 4 orang (santri), di Iran 3 orang.

Apa pesan perjuangan penyebaran agama Islam dari Anda, ustadz?

Kompetisi penyiaran agama itu kan ketata ya... Supaya waspada, hati-hati, apalagi mereka (agama lain) ditopang dengan materi yang besar. Jangan sampai orang Islam tergiur dengan iming-iming materi.

Terkait perjuangan kita, saya berharap umat Islam peduli dengan perjuangan kita. Membina mualaf ini tanggung jawab kita bersama. Bagaimana (agar) jangan sampai mereka hanya ikrar, tapi dibimbing. Kalau murtad kembali, yang berdosa kita semua.

Soal menjadi mualaf sendiri, bagi umat?

Hidayah itu tidak mudah. Kalau seseorang sudah dapat hidayah oleh Allah (agar) cenderung ke Islam, masuk Islam jangan ditunda-tunda. Kalau hidayahnya dicabut lagi, nanti menyesal. Setiap orang yang beriman, pindah agama itu ada risikonya, (dari) orang tuanya, saudaranya. Harus sabar, jangan disikapi dengan kasar.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI