Suara.com - Pemerintah kembali memberlakukan larangan mudik lebaran tahun ini. Larangan mudik 2021 tidak hanya untuk mencegah masyarakat bepergian jarak jauh, tapi juga untuk mudik lokal. Harapannya agar dapat menekan laju penularan Covid-19.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah, dari mulai penyekatan jalan hingga sanksi bagi warga yang nekat mudik. Namun, sebagian warga didapati masih nekat mudik, bahkan tidak sedikit yang cari akal untuk mengelabui petugas agar lolos dari penyekatan.
Melalui acara bincang-bincang online bertajuk "Mudik Tersekat Covid-19, Gegar Budaya Kala Pandemi", Senin (10/5/2021), Suara.com coba mendapatkan perspektif mengenai hal ini dari Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr Robertus Robet MA. Berbicara mulai dari awal mula tradisi mudik hingga kondisi saat ini yang harus berhadapan dengan penanganan pandemi Covid-19, berikut petikan tanya-jawab dengannya yang disajikan dalam wawancara khusus kali ini:
Masyarakat masih nekat mudik saat pandemi Covid-19. Ini awalnya tradisi mudik di Indonesia itu bagaimana sih?
Baca Juga: Habib Nabil bin Ridho Al Habsyi: Bimbing Umat, Ulama Tak Bisa Jalan Sendiri
Jadi betul bahwa mudik itu seperti yang saya bilang, dalam situasi pandemi, mudik itu bisa dilarang tapi tidak bisa dihentikan. Apakah ini salah atau benar? Saya pikir karena ini peristiwa sosial budaya, kita tidak bisa menggunakan satu ukuran yang hitam putih. Jadi harus lebih kita lihat paling jauh dalam kerangka etika dan kebudayaan.
Karena tidak bisa dihentikan, apakah lantas larangan mudik salah? Ya, sudah pasti tidak salah. Memang pemerintah berkewajiban melarang mudik, supaya tidak terjadi perluasan penularan. Itu suatu kebijakan yang benar di masa pandemi.
Tapi mengapa sih, mudik bisa dilarang, tapi tak bisa dihentikan? Hari ini kita lihat fakta-faktanya, pemerintah mengeluarkan kebijakan secara bersusulan yang lumayan ketat. Dari tanggal 6-17 Mei orang dilarang mudik, lalu disertai aturan pengetatan satu minggu sebelum dan setelah mudik untuk makin mengefektifkan kebijakan itu. Walaupun sejumlah pengamat melihat adanya inkonsistensi, dan kurang baiknya komunikasi yang membuat celah kebijakan yang membuat arus mudik tetap berlangsung.
Tetapi tanpa ada faktor inkonsistensi dan kesalahan dalam semantik sekali pun, saya kita arus mudik akan tetap berlangsung dan sulit dihentikan. Aneka macam cara dilakukan orang untuk bisa pulang kampung. Mengapa kok ada tradisi tahunan yang begitu luar biasa di Indonesia? Menurut saya ada beberapa faktor.
Pertama, faktor struktural yang berkaitan dengan ketimpangan antara desa dan kota di Indonesia, di mana desa mengalami pemiskinan yang masif, sementara di sisi lain berbagai macam kemajuan ekonomi itu ada di kota berikut segala macam fasilitas dan kehidupan yang lebih sophisticated. Proses struktural ini terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Ketimpangan desa-kota ini yang mengalirkan penduduk dari desa ke kota, urbanisasi. Orang mencari tempat yang dianggap bisa memberikan lapangan kerja sebagai akibat di desa lapangan kerja berkurang.
Baca Juga: Rumus Lawan Covid-19, Ketua Terpilih IDI: 5M + VDJ + 3T + Vaksinasi
Tetapi ikatan orang terhadap desa atau kampung halamannya tidak pernah hilang. Karena desa atau kampung itu merupakan sarana reproduksi sosial, yaitu ketika si A itu pergi ke kota untuk bekerja maka ia selalu dalam posisi ambivalen. Dia memandang kota ini bukan tempat dia. Kota dipandang sebagai sumber rezeki, tapi di saat yang sama kota juga dianggap sebagai sumber masalah dan kecacatan moral. Dan desa rumah orangtuanya, selalu dipandang sebagai tempat yang baik dan luhur. Jadi selalu ada tarikan dan ambivalensi seperti itu pada orang yang bermigrasi; selalu ada tarikan yang sifatnya psikologis dan budaya untuk dia ingin selalu kembali.
Oleh karena itu, mudik itu disebut juga dengan istilah orang pulang. Orang pulang itu tidak pernah punya konotasi negatif. Jadi konstruksi kebudayaan ini yang membalut dimensi strukturalnya tadi itu. Basisnya gap ekonomi antara desa dan kota, tapi oleh karena dia menstruktur, sehingga menghasilkan praktik budaya yang kemudian dibalut dengan aneka macam nilai dan moralitas.
Ini yang menjadikan mudik itu bukan lagi semata-mata perpindahan fisik, tapi dia sekaligus tindakan etik dan kultural. Itu sulit dihentikan. Ada tarikan moral dan kultural dari orang yang merasa sebagian dirinya yang sejati ada di tempat asalnya.
Dia bukan semata-mata gerakan pulang yang biasa. Ini pulang yang didorong oleh basis gap struktural desa dan kota. Tapi lebih dari itu, ada pemaknaan, ada konstruksi struktural yang lebih kompleks dalam psikologi orang.
Kalau Suara.com memberikan istilah "gegar budaya" (untuk acara bincang-bincang ini --Red), sebenarnya mudik adalah satu arus kebudayaan. Arus kebudayaan ini yang berhadapan untuk kedua kalinya dengan satu logika medis, yaitu logika pembatasan gerak dari pandemi.
Nah, di sinilah perbenturan itu terjadi. Di satu sisi ada arus yang sedemikian besar, arus tarikan kebudayaan yang selalu ingin membawa orang untuk pulang, merengkuh kembali sumber dari nilai-nilai, perasaan, suasana, rasa kangen dari tempat mana dia berasal; tapi di sisi lain, gerak kembali ini tersekat oleh pandemi. Di situlah kita melihat pertarungan atau konflik antara rasionalitas pandemi dengan kebudayaan.
Tidak bisa dikatakan mana salah mana benar, mana kalah mana menang, karena yang dihalangi cukup besar, tetapi juga residu yang kemudian merembes tetap masuk itu juga tetap banyak. Situasinya kira-kira sekarang kayak begitu.
Berbicara soal mudik yang sudah menjadi budaya atau tradisi bagi masyarakat atau perantau, tapi ada pandemi ini, pemerintah mau tidak mau melarang mereka menjalankan tradisinya. Jadi apakah larangan mudik ini efektif terkait penanganan Covid-19?
Efektif atau tidak efektif itu nomor dua. Efektivitas itu tergantung dari cara bagaimana melarangnya. Tapi pertama, memang harus ada aturan tegas melarang dalam situasi sekarang, apalagi kita dapat pelajaran penting dari India.
India karena punya pabrik vaksin, juga vaksinasi dia lakukan cukup banyak, lalu ada pelandaian. Tapi dia lupa, dan kemudian kelupaan ini juga didorong oleh kesalahan dari para pemimpin politiknya.
Narendra Modi, dia lengah, malah dia yang mendorong aneka macam festival dan pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan mobilisasi politik menjelang pemilu di sana. Akibatnya terjadi 'gelombang tsunami' Covid-19 yang luar biasa di India. Varian virus itu yang terjadi di India juga sudah masuk ke sini.
Kalau kita lihat India, ketika dia kecemplung ke dalam rongga tsunami Covid-19 ini, dia bukan hanya membebani pemerintahannya tapi juga membebani kawasan di dunia. Indonesia jangan sampai mengalami magnifikasi kasus Covid yang sedemikian rupa itu.
Sehingga kalau dilakukan pengetatan dengan larangan mudik itu, saya kira memang harus seperti itu, tepat untuk dilakukan. Nah sekarang, bagaimana supaya efektif? Pertama, dia perlu jelas, problem utama dari penerapan kebijakan Covid sekarang adalah keserentakan dan keterpaduan antara kebijakan nasional dan daerah. Itu perlu lebih menggunakan semantik yang jelas, supaya satu dan sama, tidak multitafsir.
Misalnya begini, mudik dilarang 6-17 Mei, titik sampai di situ. Itu kan kalau tidak disampaikan secara jernih dan teliti, itu orang kemudian tafsirkan: "kalau sebelum tanggal 6 boleh dong?" Akhirnya orang ambil pilihan: "ya udah, buru-buru sebelum tanggal 6 kita jalan".
Setelah itu muncul aturan baru, tapi itu celahnya sudah terlanjur terbuka. Ini yang menimbulkan situasi yang serba rumit di lapangan untuk semua aparat kita yang terlibat di situ.
Jadi menurut saya, dalam banyak hal, kebijakannya oke untuk melarang mudik, tapi kurang disertai dengan narasi dan satu model semantik yang jelas, yang tidak membuka celah orang untuk masuk ke dalam lobang-lobangnya.
Di sini juga memang kelihatan. Kita kan sudah sudah hampir dua tahun memasuki masa pandemi ini, mestinya masyarakat juga sudah terdidik secara tidak langsung dalam situasi Covid-19 ini, dan sudah tumbuh kesadaran medis.
Cuma karena ada vaksinasi tempo hari itu, sedikit banyak mengakibatkan orang sedikit lebih terlalu percaya diri. Nah, itu yang kemudian juga menimbulkan kelonggaran-kelonggaran. Orang jadi lebih ceroboh, menganggap bahaya sudah berlalu. Jadi dengan kata lain, kampanye dan penerapan standar prosedur kesehatan itu tidak bisa dilengahkan.
Jadi, kalau lihat tipe respon masyarakatnya, kita sebaiknya tidak membuat semacam statement atau pandangan yang mengisyaratkan seakan-akan keadaan lebih oke atau aman, karena akan segera dianggap sebagai sinyal bahwa kewaspadaan bisa lebih diturunkan.
Jadi saya kira, sebelum kita benar-benar memastikan melalui pembacaan dari perkembangan pandemi virus ini di level global, maka saya kira penanaman sosialiasi, pendidikan, pemahaman dan awareness tentang bahaya Covid ini tidak boleh diturunkan.
Masyarakat sudah dua tahun hidup bersama Covid-19. Lebaran tahun kemarin mereka pasrah, menurut dilarang mudik. Tapi tahun ini, meski dilarang juga tapi banyak masyarakat "memberontak" nekat mudik. Apakah artinya masyarakat sudah jengah dengan pandemi?
Kalau itu sebenarnya dalam satu proses sosial yang bisa kita pahami, tapi tidak dengan serta-merta kita benarkan. Ini soal pembentukan suatu habitus baru oleh karena pandemi. Pada tahun awal, sekali pun dilarang, tetap saja ada yang sembunyi-sembunyi. Nah sekarang dilakukan, tapi dengan pengetatan yang lebih besar, tapi tetap terjadi ceceran-ceceran, orang berusaha untuk keluar. Kenapa masih ada begitu?
Habitus itu terbentuk dua tahun belakangan ini. Karena sudah dua tahun Covid-19-nya masih ada, plus dia juga tahu ada vaksin dan sebagainya, orang sudah mulai terbiasa hidup dalam situasi seperti itu, dan merasa lebih punya culture skill untuk "ngakalin" Covid.
Cuma kan, itu kan praktek kebudayaannya mencoba untuk mengakali pandemi. Yang kurang disadari adalah ketika dia mencoba mengakali berdasarkan pengalamannya selama dua tahun, si virus juga mengakali dengan cara lain yaitu mutasi dengan varian baru yang lebih ganas, lebih cepat menular.
Nah, ini yang jadi problem. Pemerintah khawatir akal-akalan virus lebih cepat dari akal-akalan kebudayaan orang. Itu yang sekarang terjadi, dan kita tentu boleh khawatir.
Untungnya, daerah-daerah merespon dengan baik. Kita lihat, sekali pun ada banyak pemudik yang akal-akalan dengan aneka macam cara untuk bisa pulang kampung, tapi dia juga berjumpa dengan mekanisme sosial yang baru di daerah.
Di daerah kita lihat ada istri yang melaporkan suaminya yang mudik ke RT, RW-RW membuka rumah karantina sendiri. Tahun lalu tidak ada lho ini. Ini artinya mekanisme sosial dari masyarakat kita juga tumbuh dalam merespon kecenderungan yang tidak bisa dihentikan ini.
Ini satu hal yang bagus. Sekali pun ada arus gerak yang sepertinya mau mengakali Covid, tapi di sisi lain ada pranata sosial baru yang dipraktikkan oleh masyarakat untuk menahan itu.
Dari situ, jelas mudik tidak bisa dihentikan. Ini fakta. Sekali pun demikian, pelarangan mudik masih harus terus dilakukan. Yang lebih jauh, kita mesti mencari cara bagaimana untuk mengantisipasi apabila terjadi penambahan kasus akibat dari arus yang merembes itu tadi.
Di media sosial ramai polemik "dilarang mudik tapi tempat wisata dibuka". Ini terkait kebijakan yang kontradiktif. Sebenarnya, situasi ini apakah akan berdampak pada efek psikologis dari masyarakat yang nekat mudik?
Iya, pasti dong. Jadi yang namanya pembatasan situasi pandemi, namanya juga social distancing, yang paling aman bagi kita dan orang lain itu adalah di rumah. Sederhananya, kita mencegah orang kumpul supaya kepadatan sosial itu merenggang serenggang-renggangnya.
Begini problemnya. Tadi kenapa saya sebut semantik problemnya, ketika dia pembukaan wisata dieksplisitkan dalam konteks lebaran dan liburan di Indonesia, maka itu akan dianggap sebagai anjuran. Itu dia problemnya. Semantik itu sangat penting dalam problem kebijakan.
Dengan (pembukaan wisata itu) diumumkan, seperti mengundang atau menyarankan. Nah, di situlah orang membaca ini sebagai inkonsistensi. Kalau mau sikap dasar dari larangan mudik kan untuk menjaga social distancing, tapi kenapa di sisi lain dibuka pariwisata. Itu artinya mendorong orang untuk kumpul di satu tempat.
Jadi faktor semantik itu penting, karena selalu membuat apa-apa yang sudah dipadatkan buyar. Lain kali menurut saya, kalau concern kita adalah medis, maka untuk hal yang tidak pokok atau bukan substansial seperti wisata, itu lebih baik tidak usah digunakan bahasa seperti itu. Justru harus dilakukan pengetatan di beberapa sektor di masa-masa mudik dan arus balik lebaran itu.
Jadi jangan kontradiktif. Orang dilarang mudik tapi wisata dibuka, itu kontradiktif. Akibatnya kegawatannya, concern dari krisisnya itu menjadi tidak terasa. Orang bertanya-tanya, ini lagi krisis atau tidak sih? Segawat itu atau tidak sih? Buktinya itu dibuka? Nah, itu dimensi kontradiktifnya, karena dia mengurangi dimensi kegawatan.
Ada hal kontradiktif lain, yaitu soal WNA China boleh masuk Indonesia sementara WNI dilarang mudik. Bagaimana ini pengaruhnya terhadap masyarakat?
Kalau soal itu, itu kan suatu gejala di media sosial. Kalau soal tenaga kerja WNA, saya ingin melihatnya secara lebih hati-hati, bagaimana ekspose dari arus masuk ini. saya kira gini, yang masuk dari luar negeri ke Indonesia itu bukan cuma warga negara China, ada aneka macam warga negara. (Maka) Kita lihatlah kebijakan pembatasannya dari Ditjen Imigrasi. Terakhir pembatasannya untuk India, walaupun sudah sempat seratus sekian orang masuk menggunakan KITAP atau KITAS.
Jadi kalau soal itu, ya, tidak cuma warga negara China. Orang kebijakan luar negeri kita itu tidak membatasi secara total kok, masih bisa WNA masuk entah dari Asia Tenggara atau dari mana.
Jadi begini. Penebalan pada isu WN China itu lebih mau dipakai untuk mengkritik pemerintah. Tapi saya kira itu juga kurang tepat kalau mengkritik pemerintah dengan menggunakan argumen tentang tenaga kerja China. Karena pada saat yang sama TKA dari negara lain jangan-jangan juga masuk. Kita perlu cek dulu.
Selama tidak ada larangan dari imigrasi untuk orang luar negeri datang, apalagi yang punya KITAP atau KITAS, ya selama itu juga mereka akan datang. Jadi itu tidak bisa kita pakailah untuk menunjukkan inkonsistensi, karena di dua ranah yang sedikit berbeda. Sejauh orang itu dites, masuk sini dengan persyaratan medis yang ketat, dikarantina dulu, ya saya kira itu tidak bisa dijadikan basis untuk mengkritik.
Jadi kalau mau mengkritik, kita mesti cari satu praktik yang lebih tepat untuk bisa kita tunjuk guna menunjukkan inkonsistensi.
Sayangnya, masyarakat lebih suka kalau ada dimensi identitas. Tapi menurut saya itu tidak tepat, dan juga akan mementahkan kritiknya sendiri nanti. Supaya kritik kita itu tepat dan efektif, ya memang pada praktik kebijakan inkonsistensi seperti apa.
Saya juga suka mengkritik, tapi saya kira kalau soal itu saya kurang begitu sepakat untuk masuk dalam model (identitas) yang seperti itu. Karena (itu) tadi, kita mesti lihat dulu kebijakan imigrasinya seperti apa. Dan saya kira penonjolan pada isu identitas dalam soal Covid ini kurang produktif-lah.
Kembali ke tradisi mudik, sering kali orang kembali ke kota setelah mudik membawa saudaranya. Apakah pada masa pandemi ini tradisi itu juga akan terhenti?
Itu pasti masih akan ada. Tapi saya kira akan sedikit berkurang tahun ini, karena sebagian keluarga-keluarga Indonesia itu melakukan penghematan sekarang ini, apalagi dengan itu dia akan melibatkan tenaga kerja baru. Masih ada, tapi tidak terlalu banyak dugaan saya.
Ini menarik. Pola mudik ini kan sudah bisa dibaca, perginya seperti apa, pulangnya seperti apa, yang bakal terjadi seperti apa. Perilaku sosialnya sudah bisa dibaca karena sudah jadi habitus.
Artinya, pengambil kebijakan sudah bisa merancang kebijakan antisipatif. Misalnya pemerintah daerah melalui kecamatan, kelurahan, sampai tingkat RT-RW, itu bisa mulai menganjurkan buat rumah orang yang asisten rumah tangganya pergi, itu majikan atau RT-RW-nya diwajibkan melakukan tes mandiri, swab antigen atau apa, bagi pendatang yang masuk.
Atau di komplek-komplek dilakukan semacam Satgas Covid-19, nah itu diaktifkan saja. Jadi pemerintah daerahnya itu mendorong supaya Satgas di RT-RW itu diaktifkan pasca lebaran ini. Buat rumah tangga yang kedatangan pekerja baru diminta untuk melakukan pengetesan, dengan cara yang halus, (yang) manusiawi ya. Dengan membangun kesadaran, bukan dengan antipati.
Antisipasi sudah bisa dilakukan. Pada saat yang sama, infrastruktur medis di daerah itu juga sudah mulai siap-siap dari sekarang. Biasanya selalu ada penambahan kalau ada liburan besar. Dalam pengalaman dua tahun ini kan kita bisa tahu, angka Covid-19 nambah setelah liburan. Itu juga hampir jadi pola yang kita prediksi, tinggal diantisipasi.
Dengan pelarangan mudik kedua ini, apakah pemerintah bisa disalahkan kalau tetap terjadi lonjakan kasus Covid-19?
Ini bukan soal matematika, ini bukan soal moral. Kalau matematika dan moral, ya ada salah-benar, baik-buruk. Tapi ini soal kebijakan. Di sisi lain, dari gerak masyarakatnya ini soal kebudayaan. Dalam soal kebudayaan kita lebih melihatnya dalam dimensi etika.
Tapi dalam sisi pemerintah, karena dia pemangku kebijakan, dia punya kewajiban pokoknya untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, salah satunya dari pandemi. Jadi kebijakan untuk melarang itu, pemerintah memang harus lakukan. Dan memang cuma di sini sering kali koordinasi dan keseragaman dari segi semantik itu yang selalu suka menimbulkan multi-interpretasi, ada celah yang bisa dipakai.
Kalau melepaskan diri dari kesalahan, kan kalau kesalahannya sudah terjadi. Ini kan dia sebelum itu dilakukan. Pemerintah akan salah kalau dia kurang tanggap dalam memberikan respon pasca mudik ini.
Jadi sudah tahu ini nggak semuanya bisa dihalangi, tetap ada yang lolos, tapi infrastruktur kesehatannya tidak disiapkan, kelembagaan mandiri dari masyarakatnya tidak disosialisasikan. Itu pemerintah kita bisa anggap salah. Tapi kalau pelarangan mudik, itu memang harus dilakukan.
Habitus baru apa yang akan terjadi semenjak dilarang mudik? Ataukah tahun depan mudik akan semakin membludak?
Masalahnya sekarang kan begini, kita sampai saat ini belum bisa secara persis memprediksi perkembangan Covid ini seperti apa. Waktu vaksin belum ditemukan, kita berharap kalau vaksin ditemukan maka akan ada titik balik dari pandemi. Dulu kita berharap begitu.
Tapi kenyataannya sekarang, bahkan setelah vaksinasi dilakukan, ternyata untuk mencapai titik balik pandemi ini belum terjadi. Dengan pengalaman India, malah yang terjadi gelombang Covid yang jauh lebih besar. Ini perlu kita lihat.
Jadi dalam memproyeksikan tahun depan itu seperti apa, kita belum bisa mengatakan apa-apa. Sekali pun ada orang yang mengatakan "Indonesia bisa bebas dari pandemi 2023 atau 2024", di mana kita akan jauh lebih tenang dan bisa merelaksasi secara lebih luas, itu belum bisa kita lihat.
Ada beberapa faktor, pertama, tingkat vaksinasi kita itu sudah seperti apa. Ini berapa persen orang Indonesia yang sudah divaksinasi. Kita belum bisa lihat juga nih tingkatnya, berapa banyak untuk menghasilkan herd immunity.
Kedua, apakah sudah terjadi perubahan mendasar dari infrastruktur kesehatan kita. Ketiga, sejauh mana kebijakan kita itu memberikan tempat yang lebih kuat bagi otoritas medis kita. Keempat, sejauh mana partisipasi masyarakatnya tumbuh lebih luas berdasarkan trust kepada pemerintahannya.
Jadi ada 4 faktor yang akan menentukan bagaimana kita tahun-tahun ke depan: perkembangan sains, kebijakan medisnya, penguatan institusi, dan tingkat partisipasi masyarakatnya. Kalau empat ini bisa bagus, kita barangkali bisa mencapai satu tahun yang lebih baik dalam menghadapi pandemi ini. Kita akan lebih baik.
Di India kan meledak karena upacara keagamaan. Masyarakat kita nekat mudik karena cuma merasa perlu pulang ke rumah, bukan upacara keagamaan. Apakah ini dua hal yang berbeda?
Dalam setiap praktik kebudayaan itu, selalu basisnya adalah klaim kekhususan. Bahwa kami beda dengan yang lain, itu khas itu dalam setiap justifikasi kebudayaan. Selalu dia basisnya kekhususan, bahwa nilai dan budaya saya beda dengan yang lain.
Padahal di hadapan pandemi, intinya sama. Dia membangun satu risiko dengan membentuk satu jarak sosial yang pendek. Kalau di India memang luar biasa, kumpul jutaan orang di Sungai Gangga. Kalau di sini mudik, barangkali memang tidak sepadat upacara di India itu. Tapi itu tidak jauh berbeda dari segi gerak fisiknya, orang tetap bergerak membentuk kepadatan yang lebih solid. Sama saja.
Kedua, itu sama-sama perilaku kebudayaan. Di India ada histeria di situ. Di kita ini kan tidak, lebih kepada kesadaran dan perasaan untuk mencari balik nilai-nilai di kampungnya.
Apa sih alasan khusus bagi para perantau? Kenapa mesti memaksakan untuk mudik? Apa nilai-nilai yang mereka pegang meskipun ada Covid?
Kita tidak bisa menerangkan itu dalam satu kerangka yang rasional. Pembelahan rasional dan irasional tidak bisa kita pakai di sini. Pembatasan sosial pandemi itu suatu gerak rasional medis. Tapi arus kebudayaan ini arus dalam mental, tidak bisa kita rasionalisasi, tidak bisa dinalar.
Karena dia tradisi yang sudah menjadi habitus, dia berakar secara struktural. Artinya, ini sudah panjang lintasan sejarahnya praktik semacam ini. Dia juga sudah mengalami spiritualisasi, disematkan nilai-nilai tertentu dan dikonstruksi sebagai suatu bentuk keluhuran.
Jadi, namanya juga nilai, nilai tidak bisa dirasionalisasi. Misal saya suka A dan kamu suka B, tidak bisa diperbandingkan. Itulah kenapa yang bisa kita lakukan tinggal menafsirkan dan memahaminya. Jadi kalau kita mau mengubah, maka kita harus menafsirkan dan memahami terlebih dahulu nilai-nilai ini.
Itulah kenapa, secara sederhana kan dipakai jugalah pelbagai cara halus. Misalnya tahun lalu ada kampanye: jangan bahayakan orangtua kamu. Itu kan sebenarnya satu kampanye yang juga keluar karena hasil dari pemahaman, melarang tapi dengan cara memahami.
Bukannya saya menganjurkan mudik, tapi sekarang faktanya dia bisa dilarang tapi tak bisa dihentikan. Di sini pembuat kebijakan juga mesti pintar. Maka pembuat kebijakan juga mesti beradaptasi, menyesuaikan diri dengan laju gerak ini untuk mengantisipasi ledakan kasus Covid-19 pasca lebaran.
Ada juga aturan larangan mudik di wilayah aglomerasi. Ini membuat bingung masyarakat juga. Bagaimana sih seharusnya?
Kalau itu sudah jelas kebijakan itu tidak efektif. Justru ini jauh lebih tidak efektif ketimbang penyekatan mudik. Sekarang untuk mengetahui ini orang dari aglomerasi atau bukan, sama-sama pelatnya (nomor kendaraan) B, itu saja sudah susah. Namun menurut saya, aparat kita yang di bawah yang melakukan pemeriksaan, silakan saja terus lakukan seperti itu, daripada tidak. Dengan itu, paling tidak bisa mengurangi arusnya. Walaupun kita tahu itu kebijakan yang nyaris mustahil atau susah, karena batas-batasnya tidak jelas.
Tingkat produktivitas warga menjelang lebaran itu masih tinggi. Masih banyak aktivitas, yang bukan demi liburan atau demi lebaran tapi memang untuk urusan ekonomi sehari-hari. Itu nyaris mustahil untuk dilakukan penyekatan.
Tapi netizen banyak yang ngambek, katanya orang mau kerja tapi dibatasi seperti ini di aglomerasi?
Ya, tidak apa-apa. Orang ngambek karena satu kebijakan itu ciri bagus sebenarnya. Karena kalau kita seperti China, negara otoriter, kita tidak boleh ngambek lagi. Jadi kalau ada kebijakan orang protes, ya wajar orang tidak suka atau terdampak kebijakan itu. Tapi masih boleh ngambek itu masih bagus.
Yang tidak bagus itu, ada larangan tapi tidak boleh ngambek. Itu kita otoriter. Kalau orang berkeluh kesah, ngambek, ya tidak apa-apa lah. Yang penting, yang ngambek-ngambek jangan dihukum. Namanya juga orang ngambek, masa dihukum. Bagus kalau ada yang ngambek. Itu tanda kebijakan itu berakibat. Jadi, woles aja semuanya.
Tapi, larangan mudik di daerah aglomerasi ini, perlu tidak sih?
Ya, (seperti) saya bilang tadi, mau dikeluarkan ya tidak apa-apa, tapi pasti tidak akan efektif. Kalau disebut perlu atau tidak perlu, saya kira pemerintah perlu membuat kebijakan yang mencegah tingkat penularan, itu harus dilakukan. Cuma dalam konteks ini, sejauh mana efektivitasnya berhadapan dengan basis sosial kultural ekonomi yang sedemikian kompleks. Tapi pembatasan di daerah aglomerasi sejauh untuk mencegah penularan, ya tidak apa-apa untuk dilakukan, karena setidaknya memberikan efek kewaspadaan.
Akibat Covid-19 ini, apakah urbanisasi kemudian masih akan terus masif terjadi?
Dengan kesenjangan dalam konteks antar wilayah, artinya dengan memperhitungkan kondisi Covid sekarang di mana ekonomi sedang tidak bagus, maka sudah pasti kemungkinan urbanisasi akan terus terjadi dengan aneka macam cara dan saluran.
Meskipun Jakarta ini misalnya sudah jadi episentrum Covid-19?
Iya, sekali pun ada terjadi begitu.
Setelah adanya pelarangan mudik dan kebijakan new normal selama dua tahun ini, apa sudah efektifkah masyarakat menjalankan kehidupan baru?
Sejauh dari data-data ya, kalau secara umum, saya kira lumayanlah perkembangan dari partisipasi masyarakat dalam menjaga diri dan dalam merespon kebijakan pemerintah mengenai Covid-19 ini, dalam situasi di mana dia mesti bekerja sambil meliuk-liuk di tengah pandemi ini.
Misalnya, kita di awal-awal Covid dulu dibayangi dengan risiko harian yang bisa ratusan, puluhan ribu. Sampai hari ini, sekali pun angkanya masih tetap tinggi, tetapi proyeksi dan skenario yang buruk itu untungnya tidak kejadian di kita. Jadi dari segi itu, boleh dibilang ada penebalan kesadaran dan partisipasi masyarakat kita dalam menjaga diri menahan pandemi. Dari segi itu ada menurut saya ada.
Tapi ini tidak bisa dijadikan konstanta dalam kebijakan. Karena dari pengalaman India, sikap masyarakat bisa berubah dengan cepat kalau dia distimulir oleh kebijakan politik yang keliru. Di India itu, PM Modi yang memobilisasi kepentingan politik primordialnya untuk menang pemilu, dia yang menstimulasi supaya orang keluar untuk berbagai macam festival itu.
Jadi dari India itu, terbukti dari kepemimpinan politik, kebijakan dan pesan yang keliru itu, bisa mengubah satu situasi kesadaran Covid yang sudah mulai lumayan. Maka tetap perlu hati-hati di situ. Rasionalitas medis itu harus tetap diperkuat, supaya tidak lengah. Kita jangan tergoda menukarkan keselamatan medis dalam pandemi ini demi kepentingan politik apa pun. Karena situasinya masih belum bisa kita handle.