Posisi kita sekarang, terus terang memang dibandingkan dengan Singapura atau Malaysia, kita cukup ketinggalan dalam proses penanganan. Tapi ada satu hal yang kita bisa katakan terkait dengan masalah vaksin. Target vaksinasi kalau kita bicara persentase dengan 181 juta yang harus divaksin, kita masih jauh. Tapi kalau bicara secara kuantitas, dibandingkan negara tetangga, kita lebih cepat.
Tapi sekali lagi, tentunya dalam aspek dan sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang kita melihat dari negara kita yang juga secara geografis dan suku, edukasi, kultur yang berbeda dibandingkan dengan negara tetangga.
Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, menurut dokter, kenapa angka infeksi Covid-19 di Indonesia tidak masuk ke dalam 10 besar, seperti halnya AS dan India?
Ada beberapa aspek yang kita juga harus lihat. Jangan melihat dari sisi kuantitas saja. Kalau saya melihatnya bukan hanya dari sisi jumlah kasus positif saja, tapi juga harus lihat kasus yang dirawat, kasus kematian. Karena kalau kita bicara positivity rate, nanti akan tergantung dari kemampuan testing.
Kemudian tergantung juga dengan tracing yang harus kita lakukan. Kita tahu peningkatan positivity rate itu, umpamanya kalau di Jakarta karena cukup masif dengan kemampuan laboratorium yang bisa melakukan testing, tapi itu bukan kemudian secara global testing kita meningkat, tidak.
Jadi ada hal yang harus kita perbaiki terkait dengan masalah positivity rate itu. Tapi yang harus kita lihat adalah angka yang dirawat. Kalau sekarang kita lihat memang cenderung turun, dalam artian yang dirawat di isolasi bisa kita katakan datanya hanya sekitar 20 persen dibandingkan Desember-Januari yang bisa sampai 90 sampai 100 persen okupansi bed-nya. Tapi kita nggak bisa cuma lihat dari ruang isolasi saja untuk rawat inap yang ringan sedang, tapi juga harus lihat ICU kita masih banyak yang dirawat dengan Covid-19. Artinya, kita belum selesai dengan pandemi Covid-19 ini.
Masih harus ada upaya yang tetap kita harus jaga dan itu harus tetap kita lakukan. Jadi jangan terlena dengan satu kasus atau data yang yang kita lihat lebih rendah dari negara lain. Tapi kalau umpamanya kemampuan testing kita meningkat, bukan tidak mungkin kita juga dapat data yang juga cukup banyak. Tapi sekali lagi, yang harus kita perhatikan adalah angka perawatan dan angka kematian. Dua hal itu yang harus jadi salah satu indikator, apakah strategi kita sudah tepat atau belum.
Tapi klaim Satgas Covid-19, kemampuan testing kita masih sesuai target, walaupun memang diakui menurun dari kemampuan sebenarnya. Angka kasus harian juga sudah melandai, apa itu mencerminkan kita telah baik dalam menerapkan 3M?
Memang kalau kita lihat kecenderungan naik turunnya kasus di Indonesia ada beberapa karakter. Kalau naiknya kasus, naiknya perawatan, naiknya angka kematian, itu pasca ada mobilitas massa yang besar. Contohnya Agustus pasca long weekend, November-Desember ada libur Natal dan tahun baru. Akhirnya, Januari kasus meningkat, bahkan angka kematian meningkat. Kemudian sekarang turun. Satu sisi tidak ada event yang berkumpul banyak masa, satu sisi lain juga ada PSSB atau PPKM itu terus terang juga membantu dalam turunnya angka. Tapi sekali lagi, ini tidak bisa dikatakan indikator kita melandai. Ini belum selesai.
Baca Juga: Doni Monardo: Kalau Saya Tak Ambil Keputusan, Mau jadi Apa Negara Kita?
Karena sekarang ada puasa, kemudian kemarin juga ada kebijakan tarawih. Asalkan dilakukan protokol dengan baik, Insya Allah kita masih bisa terhindar dari paparan. Tapi kalau protokol tidak bisa dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin itu bisa jadi satu potensi untuk meningkatkan kasus juga. Ditambah lagi juga nanti ada lebaran. Sekali lagi, kita belum selesai dengan pandemi ini, dan masyarakat tetap harus mematuhi protokol dan mematuhi dari anjuran-anjuran pemerintah.