Penjualan kan ada harga bakunya, harga dibeli dari perajin udah ada. Pengepul kan banyak ngikutin harga di masyarakat. Kalau jual kan pintar-pintar kita, ada yang 20-25 persen keuntungannya dari harga beli.
Kalau pameran-pameran ke Jakarta, dulu 2018-2019 itu biasanya pameran. Kalau pameran (itu) beda lagi harganya. Soalnya kita kan ada biaya untuk ongkos, biaya sewa stand, bayar pelayan dan lain-lain, jadi harganya dinaikkan lagi.
![Narman, pemuda yang memasarkan kerajinan Baduy, saat bersama Khofifah Indar Parawansa. [Dok. pribadi]](https://media.suara.com/pictures/original/2021/03/05/93680-narman-pemuda-baduy-saat-bersama-khofifah-indar-parawansa.jpg)
Penjualan masih hanya ke personal saja?
Iya, karena ini kan produknya ikonik. Bukan produk yang dibutuhkan harian, bukan yang cepat habis, bukan makanan konsumsi atau busana reguler. Terus produk ikonik itu kan orang-orang tertentu aja yang memiliki selera terhadap seni.
Keuntungan paling besar selain saat jualan online, jual di mana lagi?
Ujung tombak penjualan kita itu ada di event bertemakan Nusantara. Kecuali orang yang jatuh cinta pada tenun, ngerti tenun, ngerti budaya Baduy, baru dia beli tanpa embel-embel event. Kalo orang awam, paling karena ada dorongan entah itu dari kantor, sekolah, perusahaan, baru dipergunakan.
Sekarang kondisi pandemi begini nggak ada event penjualan, bagaimana Kang?
Ya, sekarang kan nggak ada event. Acara kantor-kantor juga diadain virtual, jadi nyaris nggak ada event. Sedangkan produk Baduy itu terkotak hanya di lingkungan pecinta Nusantara saja. Orang umum itu enggak banyak yang tahu. Kecuali orang yang datang ke sini berwisata, itu kan buat oleh-oleh.
Kalau orang Jakarta kan, bayangin aja kerja kantoran pulang-pergi, kapan mereka kepikiran tenun. Nggak ada kan.
Baca Juga: Arya Ananda Indrajaya Lukmana: Aplikasi EndCorona Ini Ada Suka-Dukanya Juga
Produknya yang dijual apa saja ya?