Suara.com - Di tengah keterbatasan dan masih relatif tertutupnya warga Baduy di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Narman, seorang pemuda kelahiran 1991, berhasil menunjukkan bawa warga Suku Baduy tidaklah tertinggal.
Narman yang tinggal di Baduy Luar, sehari-harinya bekerja menjual kerajinan buatan warga Baduy. Namun uniknya, jika sebelumnya warga Baduy dikenal "tidak akrab" dengan dunia luar, Narman justru "mematahkan" kesan itu dengan menjual barang-barang kerajinan Baduy via online.
Narman yang hobi membaca buku dan berolahraga lari ini mulai memasarkan aksesoris buatan Baduy pada 2016 lalu. Sempat mendapat teguran dari salah satu Kokolot Baduy --Ketua Kampung di Baduy-- bernama Wa Ailin, ia akhirnya membuktikan bahwa upayanya berhasil mendatangkan pundi-pundi rupiah yang lumayan.
Untuk mengetahui kisah Narman lebih lengkap, Suara.com berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan ayah dua anak ini. Berikut petikan perbincangan dengan sang pemuda pembuka cakrawala Baduy tersebut:
Baca Juga: Arya Ananda Indrajaya Lukmana: Aplikasi EndCorona Ini Ada Suka-Dukanya Juga
Kapan sih Kang, mulai masarin produk secara online?
Awal jualan online dari 2016. Awalnya sebelum online cuma jualan sama pengunjung-pengunjung saja. Cuma 2016 itu kebetulan ada teman orang Bogor. Teman saya bilang, "Coba deh kamu belajar dulu di Instagram. Siapa tahu banyak yang minat."
Terus saya download aplikasi IG-nya. Setelah itu ada yang tertarik dan ada transaksi. Setelah itu, (selang) 1-2 tahun, sudah banyak yang tahu nama akunnya Baduy Craft.
Jadi setelah itu banyak teman-teman yang lihat. Ternyata tetangga juga melihat. Di waktu itu masih belum umum jualan via online. Lalu sempat ada teguran dari Kokolot Baduy (Ketua Kampung) Wa Ailin.
Kenapa ditegur Kang?
Baca Juga: Luar Biasa! Seba Baduy Masuk 3 Besar Anugerah Pesona Indonesia 2020
Di Baduy, seluruh kegiatan yang sifatnya berkaitan dengan teknologi (itu) dilarang. (Tapi) Selanjutnya ke sini-ke sini banyak yang ngikutin. Ya sudah itu aja, buat kebutuhan nggak apa-apa, yang penting jangan ngejar-ngejar zaman.
Sempat ada larangan keras dari sesepuh Baduy waktu itu?
Enggak sih, cuma dikasih nasihat, dikasih wejangan supaya nggak disalahgunakan. Saya pakai sosmed untuk menyampaikan produk saja. Yang ngasih wejangan kokolot (ketua kampung), dilembur Wa Ailin.
Sekarang penjualan (produknya) seperti apa Kang, di masa pandemi ini?
Di IG sekarang sepi, di Tokopedia dan Bukalapak juga. Sekarang melayani via WhatsApp, repeat order (order ulang). Kalau pelanggan sudah tetap dilayani via WA.
Bagaimana perbedaan penjualan setelah online dan sebelum online?
Kalau dinominalkan, sebulan paling dari Rp 2 jutaan jadi Rp 10-15 juta, jauh banget. 2018-2019 puncaknya. (Tapi) Saat pandemi ini pembeli langsung turun.
(Itu) Naik hingga berkali-kali lipat. Dulu paling cuma ambil barang, terus saya jual sistemnya konsinyasi sama perajin.
Setelah jualan online bisa ada stok sendiri, bisa punya modal dari penjualan itu, akhirnya kita punya barang untuk ditawarkan. Istilahnya, usahanya semakin terbentuk.
Pas konsinyasi dapat keuntungannya berapa?
Kalau konsinyasi mah yang berlaku di situ titip jual. Kalau di kampungnya ngutang dulu, kalau udah kejual dibayar.
Penjualan kan ada harga bakunya, harga dibeli dari perajin udah ada. Pengepul kan banyak ngikutin harga di masyarakat. Kalau jual kan pintar-pintar kita, ada yang 20-25 persen keuntungannya dari harga beli.
Kalau pameran-pameran ke Jakarta, dulu 2018-2019 itu biasanya pameran. Kalau pameran (itu) beda lagi harganya. Soalnya kita kan ada biaya untuk ongkos, biaya sewa stand, bayar pelayan dan lain-lain, jadi harganya dinaikkan lagi.
Penjualan masih hanya ke personal saja?
Iya, karena ini kan produknya ikonik. Bukan produk yang dibutuhkan harian, bukan yang cepat habis, bukan makanan konsumsi atau busana reguler. Terus produk ikonik itu kan orang-orang tertentu aja yang memiliki selera terhadap seni.
Keuntungan paling besar selain saat jualan online, jual di mana lagi?
Ujung tombak penjualan kita itu ada di event bertemakan Nusantara. Kecuali orang yang jatuh cinta pada tenun, ngerti tenun, ngerti budaya Baduy, baru dia beli tanpa embel-embel event. Kalo orang awam, paling karena ada dorongan entah itu dari kantor, sekolah, perusahaan, baru dipergunakan.
Sekarang kondisi pandemi begini nggak ada event penjualan, bagaimana Kang?
Ya, sekarang kan nggak ada event. Acara kantor-kantor juga diadain virtual, jadi nyaris nggak ada event. Sedangkan produk Baduy itu terkotak hanya di lingkungan pecinta Nusantara saja. Orang umum itu enggak banyak yang tahu. Kecuali orang yang datang ke sini berwisata, itu kan buat oleh-oleh.
Kalau orang Jakarta kan, bayangin aja kerja kantoran pulang-pergi, kapan mereka kepikiran tenun. Nggak ada kan.
Produknya yang dijual apa saja ya?
Kebanyakan kain tenun berbagai ukuran, motif dan jenis, tas, gelang, gantungan kunci, slayer, ikat kepala, batik. Jadi sesuai nama Baduy Craft, yang dijual yang kita produksi dulu.
Sekarang Kang Narman produksi sendiri atau ambil dari perajin?
Masih ambil. Karena produk Baduy, produk apa pun itu, tidak begitu terstruktur (produksinya). Produk Baduy itu perajinnya waktunya memanfaatkan waktu luang, jadi nggak ada yang fokus kerja.
Saya itu profesinya penenun. Pembuat tas itu nggak ada di baduy. Kalau pun mereka bisa buat, itu mereka manfaatin waktu luang, kalau misalnya libur ke kebun. Kalau mau ambil barang, mau nggak mau kita ambil dari perajin yang sudah ada, (itu) kita ambil.
Pandemi ini memang penjualan berkurang drastis ya?
Turun banget, hampir 100 persen, hampir kehilangan transaksi per bulannya. Dulu kan (bisa dapat) 10-15 juta, sekarang Rp 1 juta sebulan aja syukur banget.
Event paling jauh atau paling besar yang pernah diikuti Kang?
(Biasanya masih di sekitar) Depok, Jakarta, Tangsel. Paling besar di Jakarta Convention Center, di acara Inacraft, (itu) paling besar sih acaranya. Iya, waktu itu 4-5 hari dapet Rp 70-80 juta. Rata-rata kalau pameran 15-20 juta.
Kalau pameran itu persiapannya gimana?
Kalau pameran, (kita) rental mobil, bawa perlengkapan display, produk, bawa penenun. Kalau pameran biasanya saya sekalian demo tenun.
Pernah dapat penghargaan soal pemasaran via online ini ya?
Pernah di Astra International ada program Satu Indonesia Awards, Narman dapat penghargaan UMKM Kewirausahaan 2018.
Kang Narman tinggal sehari-hari di Baduy, ya?
(Iya) Di Baduy. Paling pulang-pergi ke bawah, seminggu 2-3 kali turun, karena di atas nggak ada sinyal. Kegiatannya ke rumah, ke perbatasan Ciboleger kan ada listrik, ada sinyal. Kalau di rumah kan nggak ada listrik, nggak ada sinyal.
Meskipun ya, terbatas, konsumen kadang kabur karena (pesan) nggak kebalas. Ya sudah lah, belum rezeki.
Dulu sempat bolak-balik melulu setiap hari pas awal merintis jual online. Itu lagi fokusnya, pagi berangkat jam 6-7, pulangnya jam 17-20 malam. Kadang nginap juga.
Karena kalau ada sinyal di rumah, nggak enak juga kayanya. Kalau nggak ada sinyal lebih tenang. Kalau ada sinyal nanti pegangnya HP melulu, nggak interaksi sama keluarga. Buktinya kalau di Ciboleger saja saya pegang HP, kalau di rumah sudah tenang. Kegiatan rumah (itu) kegiatan adat.
Masa-masa puncak ramainya penjualan online itu kapan?
2017 mulai kelihatan, ramainya 2018-2019. Dulu ngandalin sosmed. Tapi sekarang sosmednya tumpul, pameran nggak ada, ya sudah sekarang sepi.
Apa yang bisa dibagi ke teman-teman soal kisah menarik Akang yang berusaha jualan online ini?
Dari sudut Narman (sebenarnya) banyak keterbatasan, mulai dari komunikasi, pengetahuannya juga beda, bahasanya beda. Itu tantangannya.
Lalu bagaimana caranya kita bisa mengikuti? Profesional melayani, kayak penjual pada umumnya.
Kalau di sosmed, untuk mendapatkan follower, saya belajar sedikit-sedikit. Jadi kita belajar digital marketing, belajar sedikit-sedikit, sampai belajar pengambilan foto produk.
Saya dengan keterbatasan saja bisa. waktu itu tertarik saja. Karena adrenalin tertantang, seru nih, kalau belajar, cara pengambilan foto dan lain-lain.
Terus, produk kan kalau difoto doang orang nggak tau. (Nah) Narman juga buat caption foto, gimana (bagusnya). Itu mau nggak mau harus belajar Bahasa Indonesia, mulai tanda baca dan lain sebagainya, melalui buku dan sosmed.
Di Baduy Craft ini jualan online, tapi Narman banyak ilmu bukan hanya tentang jualan, tapi juga tata bahasa dan lain sebagainya.
Punten, Kang Narman dulu sekolah atau tidak?
Enggak, nggak sekolah, sama kayak orang Baduy aja.
Terus pas kenal medsos sudah bisa baca?
Sudah. Kalau baca (sudah) dari kecil. Memang kebetulan modalnya Narman untuk terjun ke pemasaran online itu sudah ada. Sempat belajar Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. Biar tahu, kadang kan ada tombol-tombo HP pakai Bahasa Inggris.
Sampai di sosmed juga, 30 persenan (itu) juga Bahasa Inggris. Jadi ketika dipakai di pemasaran produk Baduy, itu ada manfaatnya, sudah sedikit-sedikit mengerti.
(Sering) Dikasih saran sama pengunjung yang mau beli. Orang itu nanya, "Ini kamu jualan punya sendiri? Coba kamu foto, terus upload."
Kalau HP sih, sudah punya dari 2012, tapi apa adanya. Dulu masih sembunyi-sembunyi pakai HP. Kalau sekarang orang lain juga sudah pada punya.
Dulu HP dimasukin tas aja kalau di jalan, karena malu dan takut. Kalau sekarang jalan sambil pegang HP juga enggak apa-apa, karena yang lain sudah punya.
Pertama beli HP 2009, HP Nokia untuk telepon dan SMS. Cuma dari kecil sudah nguasain.
Kadang Narman (suka) bantu setting-setting apa gitu. Sejak saat itu teknologi dipahami dulu. Ngoprek-ngoprek itu ngerti, pernah beli laptop, bikin website sendiri. Semua otodidak (belajar sendiri). Paling kalau mentok cari-cari di buku, atau tanya teman.
Pertama kali buka bazar, sempat mikir balik modal atau untung nggak ya?
Sempat mikir begitu. Tapi berani aja sih, nyoba dulu. Pertama kali untung. Pertama kali di pameran Mall Taman Anggrek (tahun) 2017.
Apa lagi nih Kang, yang bisa dibagi buat motivasi teman-teman?
Itu juga sudah luar biasa, (bahwa) saya yang lebih sering berdekatan dengan tanah, bertani, itu juga sudah bangga dan senang, banyak teman, bisa diskusi, bisa ngobrol. Bahwa ternyata orang Baduy juga bisa bersahabat, saling mengisi.
Dulu saya merasa minder. Banyak yang bilang orang Baduy tersisih, terisolasi. Ternyata itu bukan kata tepat kalau bilang terisolasi. Kalau tidak ada sentuhan sama sekali dari pemerintah setempat, (itu) baru terisolasi.
Tapi (kan) ternyata orang Baduy bukan terpinggirkan. Tapi kita memang maunya ada di pinggir, memang pilihan kita mengisolasi diri dari kemajuan. Karena menurut orangtua, kemajuan itu kalau dikejar nggak ada ujungnya. Lebih baik kita bersyukur dengan yang kita miliki.
Kalau orang Baduy kan begitu. Kalau kita ngejar kemajuan, nggak ada ujungnya, dan ujung-ujungnya kita kehilangan arah, kehilangan jalan. Makanya tetap menjaga tradisi, itu tugas utama. Kalau Narman ada kegiatan lain kayak jualan, itu ngisi kewajiban kita mencari nafkah.
Kang Narman masih bertani?
Iya, saya masih bertani. Kalau tani itu bagian dari kewajiban, harus. Saya suka (ikut olahraga) lari juga di event-event nasional.
Kontributor : Hairul Alwan