Suara.com - Terhitung satu tahun sudah Pandemi Covid-19 melanda Indonesia dari awal kemunculannya di awal 2020 lalu. Berbagai sektor mulai dari ekonomi, sosial-budaya, harus mulai menyesuaikan dengan situasi new normal yang mengharuskan menjalankan kebiasaan-kebiasaan baru.
Di tengah peran serta pemerintah baik dari pusat hingga daerah dalam membatasi dan mencegah penularan virus yang pertama kali menyebar di Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok (China) itu, ternyata ada pihak-pihak lain yang ikut ambil bagian dalam upaya meniadakan Covid-19 dari tanah air.
Salah satu yang ikut mencoba berperan adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Arya Ananda Indrajaya Lukmana yang tinggal di Kota Cilegon.
Tepatnya, bersama sekitar 30 orang rekannya yang merupakan mahasiswa kesehatan dari berbagai kampus, dibantu berbagai pihak lainnya, Arya mencetuskan EndCorona yang merupakan aplikasi deteksi gejala dan edukasi Covid-19. Sebuah pencapaian yang membuatnya diganjar penghargaan Satu Indonesia Award dari Astra pada 2020 lalu.
Baca Juga: Nova Riyanti Yusuf: Pandemic Fatigue Bisa Jadi Hal Serius, Kuncinya di Kita
Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Arya Lukmana terkait awal mula tercetusnya EndCorona, hingga seluk-beluk pembuatan dan pengoperasiannya.
Inspirasi awal, proses pembuatan sampai jadi aplikasi ini?
EndCorona sendiri sudah cukup lama, dari Februari tahun lalu. Jadi udah 1 tahun. First post-nya di Instagram itu tanggal 28 Februari 2020, tapi inisiasinya dari sebelumnya.
Awalnya bikin awareness kalo pandemi itu sudah terjadi, karena dulu belum ada pandemi. Bahkan dulu juga namanya bukan Covid19 atau corona, di Indonesia juga waktu itu belum ada.
Saya juga ngeliatnya pas lagi makan di warteg deket kosan saya, kalo ada virus di Wuhan dan mulai menyebar ke seluruh dunia.
Baca Juga: Monica Nirmala: Protokol 3M dan 3T Jadi Kunci Kendalikan Pandemi Covid-19
Jadi kalo ngeliat grafiknya tuh masih landai banget, belum naik, kaya masih di kaki gunung gitu.
Terus saya khawatir kalo misalkan ini bisa terjadi massal di seluruh dunia, bisa jadi pandemi. Terus saya pelajari lagi, dan ada beberapa ahli yang mengatakan ini mungkin akan jadi pandemi. Kan enggak ada yg bilang pasti yah.
Kajian ilmiah saya, hipotesis saya nih, betul akhirnya jadi pandemi, meski tidak diharapkan waktu itu. Meski ada good or bad-nya masing-masing gitu.
Nah itu, mulailah berinisiasi dan dapat dukungan dari team. Yang join lumayan banyak, sampai sekarang total hampir ada 30 mahasiswa dari berbagai fakultas dan berbagai universitas. Awalnya UI doang.
Dari dosen pun kita didukung sama supervisor-supervisor yang lengkap. Nanti namanya saya kasih.
Jadi dari situ, dapatlah dukungan-dukungannya dan bimbingan-bimbingannya. Kita mulai pekerjaan pada bulan Maret dan April, diluncurkan dalam bentuk website. Aplikasinya menunggu approval (persetujuan) dari google waktu itu.
Jadi aplikasi juga sebenernya udah siap, tapi ga muncul, karena ya tadi, yang Google itu mungkin sangat-sangat selektif sama aplikasi. Karena waktu itu lagi hits-hitsnya-nya Covid, jadi Google tuh sangat was-was kalo ada aplikasi bawa-bawa corona, takutnya hoaks.
Dan itu cukup lama, akhirnya dapat tanda tangan dari institusi, baru verifikasi lah, kalo kita nih ga asal-asalan, tapi emang punya team yang resmi dan didukung langsung sama institusi yang emang keilmuan dan kesehatan.
Setelah itu jadi dan muncullah aplikasi itu, sampai ratusan ribu sesi pengguna aplikasi, juga ratingnya 4,9 dari Apple sama Android, terus kita mulai mengepakkan sayapnya. Jadi kita ga fokus ke aplikasi, tapi lebih ke pengemasannya secara keseluruhan.
Kita bikin berbagai hal lagi nih mas. Kita bikin e-book yang bisa dipakai, kita bikin animasi, sudah ada dua animasi seri. Kita bikin hoax booster, itu di sosmed udah ada.
Dan itu awalnya kita buat skala dunia. Cuman ga lama, akhirnya kita fokus ke Indonesia, dan akhirnya pada tanggal 2 Maret, beberapa minggu setelah kita udah mulai garap itu, ada covid di Indonesia.
Setelah itu kita fokuslah ke Indonesia, bahasa dan edukasinya. Dan aplikasi pun sekarang fokus ke Indonesia.
Terus kita juga campaign-campaign sosial media, buat edukasi, sampai sekarang juga masih berjalan. Podcast, webinar, sampai sekarang udah banyak sekali. Dan kita juga lagi menjalani kemitraan sama institusi pemerintah, supaya bisa dipake lebih luas lagi gitu.
Terus ada lagi campaign, terus ada lagi gerakan nasional. Ada lagi pengabdian masyarakat lainnya, termasuk yang offline. Jadi waktu kerjasama sama tasalul jadi bagi-bagi sembako, buat mitra go life.
Waktu itu kan PHK banyak, karena waktu itu ditutup, nah itu kita bagi-bagi sembako buat beberapa orang yang terkena PHK. Dan di dalam sembako itu juga kita cantumkan edukasi. Jadi kita ngebantu bukan cuma buat bertahan dari segi ekonomi dan kelaparan, tapi juga dari kesehatan.
Nah, itu yang kita kerjakan dan sampai sekarang pun kita masih gerak terus dalam pengabdian ini. Webinar-webinar juga masih ada, edukasi juga masih jalan terus. Harapannya itu pengen ngebantu masyarakat. Ya, memang ngga dimonetisasi, pengguna gak bayar sama sekali.
Bentuk aplikasi EndCorona ini, detailnya, kerja aplikasinya seperti apa?
EndCorona itu intinya ada assessment, cuman berdasarkan literatur dan jurnal-jurnal terpercaya pada waktu itu. Di mana pemerintah masih belum ada pengumuman, tapi kita sudah siap sedia. Kita ambil dari deadlinenya kumpulan dokter paru Indonesia, dari PDPI dan sebagainya.
Tidak hanya dari Indonesia, tapi kita ambil juga dari Inggris, pokoknya dari luar negeri jurnal internasional tuh kita ambil. Juga apa sih gejala yang paling umum muncul, kita titik beratkan kayak "oh ternyata yang paling sering muncul ini deh."
Sehabis itu kita rancang algoritmanya, terus kemudian berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan.
Nanti mas kalo misalkan EndCorona bisa milih pertanyaan ini, jawab apa, dan seterusnya sampai selesai. Nanti akan tau hasilnya bagaimana.
Ini tidak bisa dijadikan diagnosis utama. Untuk standarnya masih PCR dan rapid juga. Kan mesti harus PCR lagi, kan kaya Genoso juga dan sebagainya.
Hasil dari pertanyaan-pertanyaan itu apa? Hasilnya adalah risiko, hati-hati, risiko rendah, rentan dan sangat rentan.
Yang risiko sangat rentan kita arahkan ke WA hotline yang sekarang udah engga seaktif dulu lagi yah. Dulu tuh rame, ada puluhan yang set itu bertanya. Kita ngga cuma dari mahasiswa dan tim dokter tapi ada sukarelawan.
Jadi kalo mas nanya Halodoc itu kan bayar, nah kalo di EndCorona itu gratis, karena ada dokter-dokter yang udah bersedia terverifikasi yang bener-bener dokter lulusan UI juga jadi relawan, dan mereka ga dibayar. Jadi itu bisa nanya disitu jika rentan dan sangat rentan.
Nah kalo yang hati-hati dan resiko rendah itu ada petunjuknya masing-masing. Kalo resiko rendah apa, kalo hati-hati apa, itu udah ada petunjuknya masing-masing. Segi APD, nutrisi dan sebagainya. Kalo rentan diarahin ke headline dan hotline.
Dan juga ada peta di sana, kalo dibuka muncul di sekitar tempat kita ada di mana rumah sakit rujukan covidnya. Jadi ga asal dateng ke klinik. Jadi rumah sakitnya udah siap dengan perlengkapannya.
Apa suka-duka saat membangun ini?
Sukanya seru, kita bisa membangun apa yang diperlukan dan bisa membantu masyarakat. Terus sambutan masyarakat juga positif.
Kalo dukanya, ya pasti ada tantangan yah, kaya di team, dinamika-dinamika itu pasti ada. Apalagi juga ada hambatan, kayak efektif pengembangan aja kita butuh waktu dua minggu, kayak maraton banget. Itu juga pengalaman suka duka pada waktu yang sama. Jadi lebih ke pengembangan.
Tantangan yang kedua lebih ke arah penggunaan yang turun. Itu juga cukup duka yah, kaya yang bikin fight dari ratusan puluhan ribu sesi penggunaan, terus ga lama turunnya langsung drastis juga, karena ada Peduli Bumi-lah yang punya pemerintah itu, ada Halodoc juga bikin Sehatku dan sebagainya. Banyak juga gitu saingannya.
Kita juga punya kesibukan masing-masing. Makanya kita berharap meningkatkan penggunaan, karena ini mengedukasi gratis juga, benar-benar terpercaya, terverifikasi dan ada ahlinya dari pusat.
Alhamdulillah, saya juga dapat Indonesia Awards untuk saya pribadi.
Mas, tapi kalau misalnya awal mungkin kan memang ide dari masnya. Terus mengkomunikasikannya seperti apa, dari kepikiran, terus ngobrol sama siapa dulu. Gimana tahapan lebih detailnya gitu mas?
Jadi buat awal itu dulu masih kuliah offline, belum zaman pakai masker lah. Kalau sekarang pakai masker semua kan yah, dan harus kaya gitu yah mas.
Nah, itu mulai ketemu baik dari temen-teman itu, tim-tim saya baik dari developer, designer aplikasi, abis itu nyari konten utamanya itu dulu. Nah barulah merambah kemana-mana, ada dari animasi, dari server manager, apalagi produk manager salah satunya peran yang lumayan besar.
Ada juga dari assessment, perannya juga lumayan besar di sini. Itu yang bikin algoritma. Jadi salah satu yang di awal sudah ada juga tim algoritma mas. Kalau dia ini, maka ini, kalau dia ini, maka ini.
Apa pengalaman paling menarik dan tak terlupakan dari awal project sampai sekarang dapat penghargaan?
Respon masyarakat yang positif itu gak terlupakan. Tentunya ada juga strugle-strugle yang dihadapi. Tapi jadi pelajaran juga dan lebih mengingat agar lebih baik lagi. Hingga sekarang ada 50 negara lebih yang sudah pakai.
Cuma memang maksudnya WNI yang lagi keluar negeri, soalnya kita kan hanya ada bahasa Indonesia. Kedubes-kedubesnya menjalin kerja sama juga, lumayan.
Saya masih jadi mahasiswa tingkat 3 di FKUI, saya founder. Dari dulu saya suka buat sesuatu dari dulu. Jadi saya juga founder startup yang saya mulai. Ada yang tidak berbayar, platform belajar Olimpiade.
Mahadata, tim tersebut bantuin buat. Jadi kalau sinergi sama Facebook ngumpulin di lokasi spesifik, terus kita bandingin sama peningkatan kasus Covid-19.
Enggak saya langsung, tapi para petinggi peneliti bertemu dengan Pak Luhut dan Menkes yang baru. Alhamdulillah itu juga sambutannya positif, dan saya juga meneliti teknologi seputar sokre. Saya juga ada agensi semacam freelance tapi ngurus itu.
Kalau saya lahirnya Jakarta, tinggal 1 tahun di Jakarta, lalu ke Cilegon sampai sekarang. SD Al Azhar Cilegon, TK Al Azhar, playgroup di Al Muhajirin, SMP Negeri 1 Cilegon, semuanya saya dapat beasiswa ke Jakarta, lalu ke FKUI.
Ada pesan tertentu?
Jangan lupa download EndCorona. Hehehe.
Sebenarnya, kenapa mau repot-repot bikin aplikasi seperti ini, di tengah mahasiswa sekarang yang begini. Apa karena merasa harus berbuat sesuatu?
Memang saya dari kecil suka bikin sesuatu. Menciptakan sesuatu menjadi hal menarik untuk saya.
Saya dulu SD robotik, SMA saya ketua robotik di Jakarta, SMP ikut kontingen robotik Indonesia beserta beberapa puluh siswa yang lain di Beijing, di Filipina (internasional robotik).
Dalam perjalanan saya suka banget ngoprek-ngoprek. Itu menurut saya pribadi suatu hal yang seru. Makanya pas udah SMA akhir dan kuliah, saya melihat bahkan bikin ini-itu perlu dipikirkan unique, economic-nya. Kalau secara ekonomi tidak memungkinkan dan tidak menarik industri, ya tidak.
Saya dulu juga pernah bikin Dompet Tuna Netra. Dari puluhan peserta, tim saya doang yang anak SMA. Kita buat dompet tuna netra dan itu nggak dipatenin, dan sampai sekarang gak lanjut ke mana-mana juga. Jadi kaya perlu gitu, dalam penciptaan sesuatu ini manfaatnya apa.
Ini memang di-back up sama UI juga, EndCorona cukup tiga. Ini memang non profit, sampai sekarang juga gitu.
Kurang lebih begitu yang lagi saya kerjakan. Ada yang bisnis konvensional, ada yang aktivitas biasa. Yang jelas itu semua jadi pengalaman menarik dan tak terlupakan. Banyak strugle-strugle yang dihadapi, itu juga jadi pelajaran juga.
Kontributor : Hairul Alwan