Suara.com - Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu jenis usaha yang digeluti penduduk Indonesia. Dengan jumlah hampir 80 juta, sumbangsih UMKM untuk perekonomian Indonesia tak bisa dibilang sedikit.
Terjadinya pandemi Covid-19 tentu saja memberikan dampak bagi sektor perekonomian, termasuk UMKM. Tak sedikit UMKM yang terpaksa gulung tikar akibat sepinya pembeli.
Kendati begitu, pelaku UMKM tak perlu patah arang terkait kondisi ini. Banyak cara yang bisa dilakukan UMKM untuk bisa bertahan, bahkan bisa meraup cuan.
Ketua Tim Karya Nusantara, Deasy Nurmalasari mengatakan, salah satu cara UMKM bisa meraup cuan yaitu harus go digital. Karena, dengan go digital banyak peluang yang bisa dimanfaatkan oleh para pelaku UMKM.
Baca Juga: Pemberdayaan Disabilitas untuk Mengelola Kedai Difabis Coffee & Tea
"Dengan go digital kita tahun tren pasar yang hits apa saja, sehingga bisa nanti jadi peluang bisnis baru. Contohnya ada UMKM keripik singkong jualan offline di tempat wisata, dengan adanya pandemi bikin anjlok penjualan. Nah UMKM itu merambah pasar online, kita cari keripik yang sedang tren apa. Dari situ cara kita untuk tahu tren pasar," ucap Deasy dalam Webinar Kiat Sukses Raup Untung dari Bisnis UMKM yang digelar Suara.com.
Kemudian, lanjut Deasy, dengan go digital para UMKM bisa membangun citranya dengan baik. Dengan citra yang baik, terang dia, membuka peluang para pelaku UMKM untuk bermitra dengan pihak lain atau mencari investor.
"Jadi, membangun citra buat akses modal. Selain itu, transaksi yang tercatat itu juga memudahkan mendapatkan modal. UMKM bisa dapat review yang baik untuk citra," jelas dia.
Untuk lebih memahami bagaimana cara UMKM mendapatkan untung di tengah pandemi, simak wawancara Suara.com berikut ini.
Halo Mba Deasy, apa kabar?
Baca Juga: Sandiaga Uno Beri Motivasi ke Para Pelaku UMKM di Batam
Baik mas alhamdulillah.
Di saat pandemi, banyak pekerja mencoba bisnis kecil-kecilan demi menambah pemasukan. Bagaimana meraup untung saat pandemi untuk UMKM?
Umkm yang tahan banting di masa sulit pandemi ini adalah yang lincah beradaptasi dengan Go Digital. Saya langsung tembak aja digital, karena kita semua tahu bahwa sekarang ini PSBB dan lain sebagainya ini buat kita cukup kesulitan untuk selalu bertemu banyaknya orang dan lain sebagainya. Oleh sebab itu kita mau tidak mau bahwa harus Go Digital.
Sebelumnya saya ingin memperlihatkan dulu, memperlihatkan kepada teman-teman di sini, profil dan struktur UMKM di indonesia ini agar kita lebih aware sebenarnya UMKM indonesia seperti apa? Di sini sudah ada kitab piramid, memang kita disebutnya itu seperti piramid kenapa? Karena yang paling bawah itu level yang usahanya mikro, usaha mikro itu yang asetnya masih dibawah 50 juta dan omsetnya masih dibawah 300 juta per tahun.
Kita itu masih mikro dan itu jumlahnya masih banyak yaitu 63 juta ini tahun 2020 atau sekitar 98,68 persen. Jadi dari 100 persen usaha di indonesia, 98 persennya itu hampir 99 persennya usaha mikro nanti naiknya ke kecil, naiknya cuma 1,22 menengahnya cuma 0,9 dan usaha besar itu hanya 0,01 persen.
Ini menjadi fenomena yang cukup unik kenapa? Dari jumlah ekspornya pun, kita bisa lihat persentasenya masih kecil. Di sini kita bisa lihat bahwa 98,7 persen usaha mikro itu kita sebutnya panglima tanpa pasukan atau CEO. CEO bukan eksekutif tapi chief everything officer, yang jualan gue, yang nerima tamu gue, yang jadi akuntansi gue, semuanya gue.
Itu semua sudah menjadi usaha profil mikro itu rata-rata starting dari seperti itu. Nah ternyata struktur ini, kita teliti itu sudah 10 tahun itu makin sama bentuknya seperti piramida. Paling berubahnya hanya berapa juta, berapa persen kecil sekali, tapi masih tetap besar di mikro.
Usaha besar hanya 5.500, sedangkan kalau kita bandingkan, dengan negara-negara maju, biasanya rasio usahanya 0,2 persen jadi jika kita ingin maju, kita juga harus memajukan usaha dari mikro kecil menengah naik kelas menjadi usaha besar yang tadinya 5.500.
Sebenarnya yang bagus adalah 120.000 usaha besar kalau kita mau patokannya negara maju.
Menurut mba Deasy, kenapa UMKM harus go digital?
Ini tahun 2018, 98,7 persen nya adalah usaha mikro di mana rata-rata omsetnya 300 juta pertahun, jadi satu omset mikronya itu sekitar 84 juta atau sekitar 7 juta perbulan kalau kita lihat dari sisi omsetnya seperti ini.
Jika kita lihat tingkat produktivitas itu masih rendah, kenapa? Karena secara nasional tingkat produktivitas kita 5,4 sedangkan usaha itu masih 4,15 persen.
Kita harus melihat peluang lainnya, peluang lainnya adalah jumlah pemuda pengguna internet, media sosial dan e-commerce semakin meningkat. Apalagi semenjak pandemi, apa apa serba menggunakan digital. Sebagai contoh, ketika saya ingin membeli daging tapi saya agak takut kepasar, akhirnya saya membeli lewat online.
Sekitar 175 juta meningkat dan sekitar 160 juta pengguna. Ternyata dari 175 ini, 160 juta ini pengguna media sosial dan hampir 100 juta belanja di e-commerce. Sementara jumlah UMKM yang sudah aktif berjualan secara online itu masih rendah. Jadi yang tadi UMKM nya banyak ternyata yang berjualan di online itu masih rendah.
Sekitar 4-10 persen aktif berjualan setelah membuat akun. Jumlah UMKM yang sudah memiliki akun e-commerce sekitar 8-10 juta, tetapi yang aktif 4-10 persen. Sudah buat lapaknya di e-commerce, sudah buat di marketplace tapi tidak diurusin itu banyak juga.
Ada contoh UMKM yang sudah Go Digital dan sukses?
Di sini kita sempat bertanya kepada 237 pelaku usaha, bagaimana sih dampak pandemi bagi bisnis? Ternyata tidak semua omsetnya turun jadi ada beberapa berdampak positif, omsetnya meningkat. Mengapa hanya 8 persen mengapa tidak 10 persen? Kenapa sih meningkatnya tidak semakin besar? Di sini ternyata yang berdampak positif yang omsetnya meningkat itu adalah yang menjual produknya itu sudah mulai dengan Go Digital.
Di sini ada makanan sehat praktis, bumbu masakan, suplemen herbal, buah buahan, yang frozen atau tidak itu juga ada. Usaha besar sekarang jika kita lihat ini sangat sigap menangkap peluang pasar online dengan mengelola sosial media dan membuka official store, lalu kenapa UKM tidak? Padahal kita jika ingin meningkat kita harus menyesuaikan kebutuhan saat ini.
Belakangan ini mulai tren komunitas roaster coffee yang menawarkan berbagai ragam alternatif merek kopi lokal. Kita lihat, Brand brand kripik dan brand brand besar sudah tahu, sudah mulai aware pentingnya Go Digital. 32,2 juta dalam satu tahun. Bisa dilihat bahwa merek brand brand besar itu sudah mulai Go digital.
Kenapa butuh? Sebenarnya Go Digital itu bukan hanya sebagai tempat berjualan, jadi kita harus sama-sama memahami bahwa Go Digital sama saja sebagai data ekonomi. Kenapa data ekonomi? Karena, pertama dan kedua memudahkan UMKM tren pasar.
Kita tahu tren pasar membidik peluang dan juga sehingga ketika kita mengambil peluang bisnis menjadi tepat. Dengan memanfaatkan Go Digital, masyarakat jadi tahu apa yang harus dicari dan juga UMKM lebih tahu apa yang dibutuhkan melalui tren.
Itu adalah cara kita membaca tren pasar. Lalu ketiga, mungkin kita harus memutuskan mau buka toko langsung di E-commerce atau di media sosial? Atau mau semuanya? Biasanya kami mengajukan, bukan tidak boleh semuanya tapi jangan semuanya mau nantinya ga diurusin. Banyak akun tapi tokonya kosong, ada yang bertanya tidak ada tanggapan.
Apakah dengan Go Digital, UMKM juga perlu memanfaatkan media sosial? Atau langsung lewat e-commerce saja?
Ada baiknya kita jualan melalui sosial media dulu atau whatsapp dulu atau titip jual di toko online dulu. Kita juga harus pandai menaruh jualan kita, mana toko-toko yang penjualannya banyak. Banyak brand yang belum terkenal sudah 10rb pengikut.
Selanjutnya, memudahkan UMKM membangun citra dan rekam jejak transaksi untuk mengakses modal dan pasar yang lebih besar. Biasanya permasalahan UMKM itu, bagaimana jualannya? bagaimana modalnya?.
Ini menjadi salah satu tahapan tangga jika kita ingin nantinya ingin mendapatkan modal secara kalau digital segala transaksinya sudah tercatat, itu sangat memudahkan. Yang terpenting membantu citra. Kita tahu sudah ada google bisnis, rating rating di e-commerce udah banyak.
Dengan adanya citra seperti tersebut, dapat memudahkan orang dalam menentukan barang yang ingin dibeli dan menguntungkan si pelapak dalam memajukan lapaknya melalui rating tersebut yang membuat pembeli percaya. Digital ekonomi itu memudahkan membangun hubungan dan mengelola interaksi digital dengan konsumen.
Jika ingin membeli di suatu toko, rata-rata pasti melalui rekomendasi dan referensi dari teman kalau bukan dari teman bisanya kita baca review atau komentar dari orang lain. Jika reviewnya jelek itu juga penting dalam membangun hubungan.
Bedanya penjualan online dan offline seperti apa?
Jadi jika kita membuka bisnis atau toko offline, kita pasti membuka tokonya itu dengan etalase, gantungin barang-barang dan lain-lain. Jika di dunia online, kita harus punya akun media sosialnya, whatsappnya, google bisnis punya. Buka tokonya di Mall mana. Strategi promosi, misalkan buy 1 get 1.
Jadi kalau dunia offline, kita indikator terpentingnya adalah jumlah orang yang melewati toko. Kalau online, berapa sih jumlah orang yang visit ke media sosial tersebut, yang tanya tanya juga. Polanya sama hanya yang beda adalah medianya, online dan offline.
Dunia online itu adalah replika dari versi dunia offline versi digital. Di online toko harus rapi, harus bersih sama juga seperti offline. Jadi jangan sampai memasang foto yang ga bagus, deskripsi profil kurang bagus, optimalkan hal kecil. Jika kita lihat secara keseluruhan, di indonesia itu ternyata tingkat pendapatan dan tingkat kebahagiaan indonesia itu tinggi.
Kenapa kita menyambung ke sini? Di satu sisi ini adalah hal baik. Tapi di sisi lain ini adalah jebakan juga takutnya ini adalah jebakan zona nyaman. Sehingga tidak ada dorongan untuk inovasi dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Tips UMKM untuk mampu bertahan hadapi pandemi dengan lincah di era digital. Apa sih strateginya?
Pertama, menurunkan harga untuk membuat produk lebih bersaing. Dua, berhemat. Tiga, membidik peluang lain yang didepan mata. Empat, jika memungkinkan, menjual untuk masa depan di saat sekarang.
Lima, gunakan waktu untuk sebanyak-banyaknya belajar dan memenuhi usaha agar lebih siap untuk bangkit. Enam, inovasi produk dan layanan pendukungnya. Tujuh, pelajari peluang mendapati investor ekualitas. Terakhir, Delapan, pro aktif mencari informasi, membidik peluang.
Sudah membangun promosi lewat facebook dan segala macam apakah sudah Go Digital kalau seperti itu? Saya mau konfirmasi ke mba deasy nih.
Sebenarnya itu jika kita bagi itu ada media sosial, media jualan, kalau seperti whatsapp itukan sudah juga digital. Whatsapp status kan nah jadi, iklannya di situlah. Akan lebih memudahkan lagi bila ada whatsapp katalog bisnisnya.
Jadi orang tinggal oh yang mana product nya tidak perlu susah bertanya satu satu lagi tinggal liat aja di katalog. Nah itu yang tadi saya bilang itu bisa juga, sekarang tuh ngga whatsapp, line juga, anak anak muda banyak juga di situ gitu. Itu sudah ada sudah memang termasuk gitu.
Bagaimana dengan menentukan harga barang yang akan dijual?
Cara menentukan harga. Tadi tuh, sebenernya kita udah sempet tulis artikelnya, menghitung HPP. Nah banyak banget UKM udah jualan tau-taunya HPPnya salah. Nah jadi yang pertama itu menghitung HPP secara betul.
Nanti mungkin bisa liat di artikelnya itukan harus dirinci satu satu, tapi pertama hitung HPP dulu, terus yang ke 2 memang tadi riset pasar tapi harus apple to apple ya jangan disamain kualitas kopi yang grade A dan grade B pasti kan ada beda nih, nah coba cek harga pasar sekitar nah itu harga bener apa ngga sama kualitas yang ditawarkan, namun ini tuh berhubungan juga dengan segmen pasar yang kita ambil.
Jadi gini loh kan masing masing usaha itu beda misalkan ok ada yang ambil segmennya itu misalkan nya middle down atau kalau saya tuh mikirnya gapapa karena saya produsen yang penting yang beli ke saya banyak selisih margin sedikit gapapa tapi pengaruhnya banyak.
Ada juga misalnya saya mau ambil kopinya tapi segmen saya saya buka misalkan cafenya itu di kemang, yang notabene di sana banyak bule lebih middle up, mungkin harga kopi yang dijual bisa 50 ribu nah dijual lagi misalkan di yang segmennya mahasiswa ke bawah, ah ga akan bisa nih mahasiswa dijual 50 ribu.
Padahal HPP nya itu modalnya misalkan 2 ribu, 3 ribu, 5 ribu nah kita tinggal tambahin margin berapa itupun harus disesuaikan dengan segmen pasar kita karena Ketika kita punya tembakan menengah atas tapi kita jual murah itu juga nggak akan bisa.
Misalkan tembakannya anak anak mahasiswa yang uang nya terbatas dan kita jual mahal itu juga nggak akan kena. Itu perlu dipikirkan juga sesuaikan, hitung lagi HPPnya di breakdown, eh dimasukin sampe biaya listrik dan sebagainya kadang kadang ukm ngga dimasukin, nah ini masukin semua, cek harga sekitar, pesaing kita berapa harga pasarnya, lalu sesuaikan dengan segmen pasar kita. Ngga masalh kok HPP nya 2 ribu tapi kita jualan di kemang jadi 50 ribu karena udah beda packaging, dan semuanya.
Selain menentukan harga, kita juga harus menentukan positioning yang tadi Mba Deasy bilang. Nah, bagaimana kita memilih mau menyasar ke pasar menengah ke atas atau menengah ke bawah?
Ketika kita bimbang menengah atas atau menengah bawah, tanya aja dulu. Kalau saya ginilah minimal ruang lingkup yang bisa kalian pegang itu apa? Misalkan saya ingin jual, jualnya itu tasnya itu yang mahal banget, tapi saya sendiri aja nggak mampu untuk membeli itu, gimana saya punya lingkungan buat orang orang yang bisa beli tas semahal itu.
Nah itu kita harus bisa jangkauan kita karena jangan jauh jauh dulu tapi liat lingkungan sekitar kita. Salah satu ide usaha itu kita melihat masalah yang ada di sekitar kita, ga usah jauh jauh dulu yang ada di sekitar kita aja.
Bagaimana dengan perbedaan antara selling, marketing, dan branding? Mana yang harus didahulukan agar tetap untung tapi tidak sampai kehilangan pelanggan?
Kita ngomongin branding itu bukan short term tapi long term jadi kita bisa nge branding product kita sekarang mungkin impactnya itu akan dirasakan nantikan, karena membangun brand, membangun image ga bisa langsung. Harus ada membangun dulu awarenessnya, orang sadar dulu, sekarang orang orang waaaah beli KOPI!KOPI! kan orang ga gitu dulu, orang sadar dulu, oh misalkan kopi itu bikin hidup lebih hepi gitu kan, itu kan nggak langsung gleg gitukan, akhirnya dari awareness jadi punya image. Itu product kaya gitu.
Jadi dari branding itu kalau bagi saya kita ga bisa ngomongin, kok udah ada orang branding tapi sellingnya masih kecil? Karena branding itu panjang, awareness dulu sama productnya, orang tau dulu sama product A ini udah mulai brandingnya nanti orang tahu merek A ini adalah jualan yang mahal, keren, berkualittas, nah itu kan udah makin brand nih.
Nah selling sama marketing, jadi bagi saya bilang di awal untuk marketing kita butuh konsep branding, nah nantinya si marketing ini jadi selling kalau jadi penjualan kan kita memasarkan dulu belum tentu apa yang kita pasarkan itu belum tentu akan langsung closing, nah dari marketing nah, tapi kita membangun marketing ini isinya itu kan ada branding juga, kaya tadi oh saya ini productnya untuk anak muda, mahasiswa, ga bisa kita ngebrand ke orang apa namanya kerja, oh brandnya itu lebih kaya kopi kenangan, kenangan mantan, itukan udah ngeliat brand itu sudah hak dan harganya udah ke situ, orang udah brandnya itu sekarang coba, kalau orang tua yang disasar nanti ngamuk ngamuk kan nah itukan sudah satu kesatuan.
Sehingga ketika kita sudah punya konsep brand yang bagus dengan marketing ini sesuai dengan branding kita akhirnya sellingnya akan tepat, misalkan sekarang kopi kenangan emang sesuai, itukan ngebrandnya untuk anak muda, akhirnya ya sellingnya pun banyak anak muda. Jadi itu one package yang harus diperhatikan.
Jadi kadang orang menyamakan marketing dan selling itukan sebenarnya berbeda, tapi itu jadi salah satu Ketika kita pengen selling kita harus mulai dengan marketing.
Bagi pemula yang mau usaha, bagaimana caranya agar produk laku sementara saingan sudah banyak?
Banyak ya. Ketika kita sudah memutuskan menjadi pengusaha itu kita harus sudah bisa memutuskan bahwa kita tidak akan berhenti berinovasi. Pelatihan kalau mau usaha itu adalah mental, selain pantang menyerah itu adalah inovasi karena inovasi berhubungan dengan sustainability itu, bertahan dalam situasi apapun kaya tadi oh udah banyak nih yang jualan.
Yang pertama harus inovasi, inovasinya gimana? Liat. Misalnya jualan nasi uduk. Saya pengen nasi uduknya free teh tawar hangat, atau nasi uduknya kita masukin paket bersama yang lainnya, menu baru, bisa juga strategi promosi,ok hari ini nasi uduk gratis kalau yakin nasi uduknya enak, biar besok ada satu hari orang orang daerah situ makan disitu karena emang enak contohnya.
Itu banyak hal sih, atau nasi uduknya digabung dengan lauk lain yang nggak biasa, makanya diriset makanya penting juga diriset oh yang itu nasi uduknya terlalu asin, atau penampilannya kurang bagus. Gunakanlah media sosial, mereka itu sudah online belum, ato temen temen kita nyobain, update dong di status lu enak gitu, nah itu sih kuncinya cuma satu inovasi, Ketika kita cari inovasi itu tuh banyak banget sih yang bisa kita gali dari situ.
Terakhir nih mba, memaksimalkan berjualan via media sosial Instagram misalnya, ada trik khusus?
Yang paling mudah itu sebetulnya kita dari orang terdekat aja. Kalau di Instagram belum, cobain bikin status di WA, ada respon ga? Gitukan. Tapi yang paling penting kalau mau jualan itu productnya bagus.
Contoh jualan sambal, sambal yang dijual itu udah selera pasar bukan? Bukan selera pribadi. Kadang banyak orang jualan bagi kita enak, belum tentu yang lain, ini perlu dilihat dulu. Tapi ketika sudah diriset, sudah enak, minimal keluarga sudah bilang enak, baru coba di whatsapp status, baru Instagram, masih belum ada coba liat temen, tag aja yang followersnya udah hampir 1.000, say boleh ga? Gua kirimin deh.
Jadi kita ga usah mikir influencer yang bayar mahal, kita lihat orang sekitar kita yang punya power, misalkan follower instagramnya banyak,kumpulannya banyak, kasih aja. Say gua kirimin ya nanti kalau bagus lu feedback ya, say lu posting juga ya di instagramnya.
Nah jadi itu tips untuk promosi tanpa mengeluarkan cuan yang begitu besar, ngga salah kalau kita bayar artis atau apa nah cuman kita harus melihat konversi Ketika sudah mengeluarkan budget untuk iklan, influencer, dan juga kan gede biayanya, saya saranin dari temen temen dulu aja.
Liat temen yang kira kira punya pengaruh, atau kategorinya minimal 1.000 followers lebih kirim ke 10 udah kaya mengendorse ke 10 ribu followers contohnya gitu. Tapi jangan heran dari yang liat liat, nanya nanya, terus beli, itu konversinya ada. Yang liat liat 10 orang, yang nanya nanya 5 orang, yang beli 1 orang, its ok yaitu udah ada progress. Itu sih.