Prof Zullies Ikawati, Guru Besar UGM: Efikasi Vaksin Sinovac Sudah Bagus

Kamis, 14 Januari 2021 | 06:04 WIB
Prof Zullies Ikawati, Guru Besar UGM: Efikasi Vaksin Sinovac Sudah Bagus
Ilustrasi wawancara. Prof Dr Zullies Ikawati Apt, Guru Besar Farmasi UGM. [Dok. pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia telah resmi memasuki tahap inti sejak Rabu (13/1/2021), dengan suntikan vaksin perdana diberikan langsung kepada Presiden Joko Widodo. Adalah vaksin Sinovac bernama CoronaVac yang sebelumnya sudah tersedia 18 juta dosis di Indonesia, yang disuntikkan ke lengan kiri Presiden Jokowi.

Menyusul Jokowi, sejumlah tokoh dan perwakilan masyarakat pun kemudian ikut mendapatkan suntikan vaksin corona tersebut. Termasuk di dalamnya sejumlah menteri dan pejabat negara, juga pimpinan berbagai lembaga dan tokoh keagamaan, serta sosok populer seperti Raffi Ahmad.

Berikutnya, vaksin itu pun segera akan diberikan pada para tokoh di daerah, yang disusul kemudian dengan para tenaga kesehatan dan pekerja di layanan kesehatan yang memang menjadi sasaran utama di gelombang awal program vaksinasi ini.

Namun seiring berjalannya vaksinasi ini, salah satu yang kemudian banyak menjadi bahan pembicaraan --bahkan juga kritik-- adalah soal tingkat kemanjuran atau angka efikasi vaksin Sinovac tersebut. Hasil uji klinis terakhir di Indonesia terhadap vaksin ini menyimpulkan efikasi 65,3 persen, yang oleh sebagian pihak dipandang tidak cukup baik. Tapi, benarkah demikian?

Baca Juga: Monica Nirmala: Protokol 3M dan 3T Jadi Kunci Kendalikan Pandemi Covid-19

Melalui sebuah keterangan tertulis yang disampaikan usai keluarnya Emergency Use Authorization (EUA) vaksin Sinovac oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyusul hasil uji klinis itu, Selasa (12/1), Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, pun menyampaikan pendapatnya.

Zullies menegaskan bahwa yang pasti vaksin Covid-19 Sinovac telah memenuhi ambang batas minimal efikasi dari organisasi kesehatan dunia (WHO) yang sebesar 50 persen. Bahkan menurutnya, efikasi 65,3 persen pada vaksin Sinovac akan sangat berarti untuk mengurangi keparahan pandemi Covid-19 di Indonesia.

"Penurunan kejadian infeksi sebesar 65 persenan secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang," ungkapnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan vaksinasi Covid-19 perdana di Istana Negara, Rabu 13 Januari 2021 / [Foto Istimewa]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menerima suntikan vaksin Covid-19 Sinovac perdana di Istana Negara, Rabu (13/1/2021). [Biro Pers/Istimewa]

Simak petikan lengkap penjelasan Prof Zullies Ikawati, yang disusun dalam format pertanyaan dan paparan/jawaban (Q&A) sebagaimana berikut ini:

Izin penggunaan darurat vaksin Sinovac akhirnya keluar menyusul pengumuman hasil uji klinik. Penjelasannya?

Baca Juga: Togu Simorangkir: Bukan karena Ingin Masuk Surga, Ini Hobi

Saat yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu pengumuman hasil uji klinik vaksin Sinovac sekaligus pemberian izin penggunaan darurat (EUA) kepada PT Bio Farma sebagai pengusung vaksin ini di Indonesia. Paling tidak, sebagian besar pertanyaan telah terjawab mengenai efikasi dan keamanannya.

Vaksin Sinovac dinyatakan memiliki efikasi 65,3%, dan dari segi keamanan dinyatakan aman. Efek samping ada dilaporkan, tetapi ringan dan bersifat reversible. Kekhawatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang tidak terjadi pada uji klinik Sinovac di Indonesia, maupun di Turki dan Brazil.

Efikasi 65,3% rendahkah? Bagaimana cara hitungnya?

Banyak orang [memang] bertanya: kok efikasinya lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil (sebelum belakangan Brazil merilis angka efikasi terbaru 50,4% --Red)? Kok lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna yang katanya bisa mencapai 90%? Bagaimana cara menghitungnya?

Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3% dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3% kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo). Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol.

Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1.600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong). Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3,25%), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9,4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0,094 - 0,0325)/0,094 x 100% = 65,3%. Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak.

Artinya, hasil bisa berbeda-beda tergantung subyek ujinya juga?

Efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat. Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78,3%.

Makanya hasil uji di berbagai negara juga berbeda-beda?

Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi (per pekan lalu saat diumumkan mencapai 70% --Red). Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.

Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah. Katakanlah misal pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi Covid (3,25%) sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5%) karena menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35%, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35%.

Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan. Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat mempengaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda.

Petugas Bio Farma melakukan bongkar muat vaksin COVID-19 Sinovac setibanya di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Kamis (7/1/2021).  [ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja]
Petugas Bio Farma melakukan bongkar muat vaksin Covid-19 Sinovac setibanya di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Kamis (7/1/2021). [Antara Foto/Muhammad Adimaja]

Lalu, apakah efikasi sebesar itu dapat berdampak signifikan?

Penurunan kejadian infeksi sebesar 65%-an secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang. Katakanlah dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta yang bisa terinfeksi, jika turun 65% dengan vaksinasi maka hanya 3 juta penduduk yang terinfeksi, selisih 5,6 juta. Dapat dihitung (0,086 – 0,03)/0,086 x 100% = 65%. Jadi ada 5,6 juta kejadian infeksi yang dapat dicegah.

Mencegah 5 jutaan kejadian infeksi tentu sudah sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.

Jadi, saya pribadi masih menaruh harapan kepada vaksinasi. Semoga bisa mengurangi angka kejadian infeksi Covid di negara kita. Apalagi jika didukung dengan pemenuhan protokol kesehatan yang baik, semoga dapat menuju pada pengakhiran pandemi Covid di Indonesia.

Artinya, ini sudah menuju arah yang baik?

Ketika tadi diumumkan hasil efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3%, mungkin ada yang kecewa: kenapa kok rendah. Tapi menurut saya it is a good start. Apalagi batasan minimal FDA, WHO dan EMA pun untuk persetujuan suatu vaksin adalah 50%. Artinya, secara epidemiologi, menurunkan kejadian infeksi sebesar 50% itu sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang.

Apalagi disampaikan juga tadi (saat pengumuman hasil uji klinis dan EUA dari BPOM --Red), bahwa vaksin memiliki imunogenisitas yang tinggi dengan angka seropositive mencapai 99,23% pada 3 bulan pertama, yang berarti dapat memicu antibody pada subyek yang mendapat vaksin.

Apakah akan benar-benar efektif?

Tentu, kita masih harus menunggu efektivitas vaksin setelah dipakai di masyarakat. Dan perlu diingat bahwa karena ini baru EUA yang berasal dari interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap dilakukan sampai 6 bulan ke depan untuk mendapatkan full approval.

Demikian. Semoga bermanfaat. Sekali lagi, bismillah, manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. Kepada-Nya kita pasrahkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI