Suara.com - Pandemi Covid-19 hingga kini masih terus bercamuk di seluruh dunia. Bahkan, di Indonesia sendiri jumlah orang yang terinfeksi virus corona masih relatif meninggkat. Hingga 3 Januari 2021 tercatat penambahan 6.877 kasus baru. Sehingga membuat total jumlah orang yang terinfeksi di Indonesia menjadi 765.350 kasus.
Pemerintah sendiri terus melakukan upaya pengendalian. Beberapa di antaranya pembatasan perjalanan saat libur Natal dan Tahun Baru, dan juga melakukan pembatasan pintu masuk bagi Warga Negara Asing yang hendak masuk ke Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga terus mengingatkan masyarakt untuk melakukan disiplin protokol kesehatan 3M yakni, mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Tapi, menurut Penasihat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Monica Nirmala, meski masyarakat umumnya telah tahu tentang 3M, tapi banyak dari mereka yang tidak mengerti dengan 3T.
"Secara survei pun kita melihat 99 persen yang disurvei dengan Ipsos itu sudah tau 3M itu apa, tapi begitu ditanya 3 T banyak yang tidak tahu," ungkap Monica Nirmala dalam Webinar Suara.com bertajuk "Pentingnya Penerapan 3T dan 3M untuk Memutus Penularan Covid-19" beberapa waktu lalu.
Adapun, 3T yang dimaksud ialah testing (pengujian), tracing (pelacakan kasus), dan treatment (penanganan). Untuk itu, ia menekankan bahwa untuk mengendalikan pandemi butuh konsistensi dalam melakukan protokol 3M dan juga 3T.
Dalam sesi Webinar itu ia juga mengungkapkan tantangan bagi masyarakat dan pemerintah dalam melakukan 3M dan 3 T. Berikut rangkuman perbincangan Monica Nirmala dalam format wawancara.
Sebetulnya, apa yang dimaksud dengan 3M dan 3T itu?
Secara umum bahwa 3M sudah familiar, pakai masker mencuci tangan dan menjaga jarak. Secara survei pun kita melihat 99 persen yang disurvei dengan Ipsos itu sudah tau 3M itu apa, tapi begitu ditanya 3 T banyak yang tidak tahu.
Itu pertama test seseorang diambil sampelnya baik melalui hidung atau mulutnya untuk mengetahui apakah ada virusnya atau engga. Ini sangat penting untuk mengetahui apakah seseorang memiliki virus Covid-19 atau engga khususnya untuk deteksi dini. Jadi kalau positif tidak nunggu sampai sakit parah baru ke rumah sakit atau ke klinik.
Jadi saya ingin menekankan pentingnya deteksi dini. Karena kenapa, banyak pasien itu baru datang ke RS, ketika sesak napas sudah dalam kondisi yang lebih parah, sehingga karena keterlambatan ke RS dan faskes, dan tidak sedikit yang tidak bisa tertolong.
Makanya lewat kesempatan ini ingin menekankan bahwa deteksi dini itu sangat penting, jangan nunggu banyak gejala muncul baru berobat. Misal kita kehilangan indera penciuman atau pengecapan itu kita harus memeriksakan diri. Karena gangguan pada indera penciuman dan pengecapan, karena itu indikator terkuat bahwa seseorang terkena Covid-19.
Oleh karena itu, walaupun terasa ringan, kita harus waspada, jangan jangan saya kena nih, makanya harus memeriksakan diri. Jadi itu, poin testing buat masyarakat umum adalah please deteksi dini jangan takut, malu, jangan, justru itu untuk keperluan kesehatan kita.
Bagaimana dengan tracing?
Lalu tracing, jadi ada yang bilang tracking ada yang tracing yang benar adalah tracing yang dalam bahasa indonesianya pelacakan kontak.
Jadi yang dimaksud dengan tracing adalah kalau ada seseorang positif Covid-19 yang akan dilakukan petugas puskesmas, akan nanya ke kita, akan menghubungi kita , lalu tanya dalam beberapa hari terakhir kita kemana aja sih kita ketemu saja, makan bareng siapa saja, dan dicatat riwayatnya, tentang kita ketemu siapa saja dalam beberapa hari terakhir itu dan orang yang berkontak erat akan dihubungi oleh petugasnya, dan untuk melakukan karantina.
Jadi kalau bisa memisahkan diri dulu dari orang lain. Misal kalau di rumah, di kamar sendiri jangan tidur dengan anggota keluarga lainnya, jadi selama 14 hari, dan juga jika semisal orang itu bergejala, dan kontak erat serumah, petugas kesehatan akan menjadwalkan tes. Jadi saya menjelaskan konsep itu dulu. Jadi orang yang berpotensi memiliki virus ini dipisahkan dulu dengan yang sehat, agar bisa memutus rantai penularan.
Kalau treatment, apa maksudnya?
Yang ketiga adalah treatment atau perawatan treatment atau perawatan ini bisa berupa isolasi diri baik di rumah maupun di fasilitas yang telah disediakan pemerintah itu. Ya tujuannya caranya dengan konsepnya adalah dengan memisahkan yang memiliki virus dari populasi yang sehat begitu. Nah tadi memang pak yulianto sempat singgung ya karena saya juga ngomong di jawa tengah bahwa risiko penularan terhadap orang yang satu rumah itu 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kontak erat yang ada di luar rumah.
Ya sebenarnya logika aja kan kalau satu rumah ya sehari-hari kan ketemunya dia. Dan kita bisa bayangkan bahwa orang indonesia banyak keluarga yang di indonesia tinggal satu rumah nya itu multigenerasi dari kakek nenek sampai anak bayi dalam satu rumah yang sama. Padahal kita tahu nih kakek nenek ini adalah kelompok yang rentan kalau misalnya dia karena dia lebih parah gitu ya. Nah sedangkan kalau bercampur dengan kelompok misalnya yang usia kerja begitu yang mobilitasnya tinggi ke mana-mana begitu bisa yang kemudian pulang akhirnya membawa virus dan keluarkan ke orang rumahnya.
Dan kita juga sudah melihat bahwa dalam kasus pertama di indonesia yang terjadi adalah cluster keluarga. Jadi kita lihat nih dari awal cluster keluarga dan ternyata selama 9 bulan ini pandemi ada di indonesia itu kan klaster keluarga yang mendominasi itu klaster keluarga mendominasi.
Artinya orang yang terkena karena anggota keluarga rumahnya gitu dan cukup banyak yang kemudian akhirnya meninggal tidak tertolong.
Itu sebetulnya orang tua orang tua kita yang tidak begitu banyak mobilitasnya yang tidak begitu tinggi mobilitasnya dibandingkan dengan mereka yang lebih muda. Oleh karena itu, dari Kemenkomarves kami sangat mendorong kalau ada orang yang positif bisa mungkin dia dipisahkan saja di fasilitas yang memang sudah disediakan pemerintah.
Selain tujuannya untuk mencegah penularan di dalam rumah, tujuannya juga agar orang ini bisa dipantau oleh petugas kesehatan dari awal sampai dia sembuh begitu sampai dia selesai menjalankan isolasi.
Dibandingkan kalau dia isolasi mandiri kadang-kadang susah dipantaunya kalau misalnya jogo tonggo nya atau tugas-tugasnya RWnya jalan tapi kalau di konteks- konteks urban yang tidak begitu jalan tidak begitu saling mengenal begitu maka akan susah untuk memantau maka itu kami mendorong isolasi terpusat tadi.
Bagaimana dengan risiko penyebaran di dalam ruangan?
Dalam kesempatan ini saya juga ingin menggarisbawahi selain 3 M dan 3 T tentang indoor tentang kumpul-kumpul di dalam ruangan tertutup ber-ac. Iya jadi ini saya mau kasih satu data lagi bahwa resiko penularan di ruang tertutup itu 18,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan outdoor dibandingkan dengan di luar ruangan.
Jadi begitu, gampangnya begitu membayangkan seperti ini bayangan penularan itu seperti asap rokok. Jadi dalam ruangan tertutup ber-ac ada orang merokok per satu jam dia merokok di dalam ruang tertutup itu. Lalu ketika ada orang lain masuk dia pasti langsung tercium sekali begitu asapnya pekat sekali.
Padahal kalau dalam konsep Covid-19 tentu kita tidak bisa mencium ya tapi kita menghirup udara tersebut. Bayangkan lagi kalau ini ada di lapangan terbuka di lapangan bola begitu ada orang perokok misalnya satu jam merokok di lapangan bola orang mungkin lewat di dekat dia tidak kecium.
Bisa membayangkan penularan Covid-19 itu seperti itu tapi tentu Covid-19 tidak kelihatan seperti asap dan juga bukan asap juga. Tapi kurang lebih seperti itu membayangkan konsep indoor jadi bisa dibayangkan kalau ruangan indoor berhasil dan tidak ada ventilasi yang baik terus orang ngobrol-ngobrol gitu ya selama berjam-jam itu akan menjadi sumber penularan dan kalau teman-teman berpikir juga konteks seperti itu yang paling dekat adalah sebenarnya adalah kantor.
Mengapa klaster keluarga dan kantor tinggi?
Jadi kenapa kita yang kita lihat dua kelas tertinggi di indonesia klaster keluarga dan klaster kantor karena indoor sudut tertutup dan ber-ac . Dan kalau diperhatikan promosi kita dulu kalau keluar rumah pakai masker tapi ketika masuk ke gedung maskernya malah dilepas. Karena mungkin di dalam karena mikirnya kalau di luar kan udaranya kotor banyak asap dan sebagainya tapi masuk ke ruangan ini lagi pasti aman.
Salah, jadi kalau dalam konteks Covid-19 justru di indoor itu tempat penularan indoor itu justru lebih tinggi. Jadi pakailah masker di dalam ruangan, itu sangat penting apalagi kalau kita bertemu dengan orang-orang yang tidak kita kenal atau atau yang tidak serumah sama kita. Orang kantor orang teman-teman kita, kalau kita bertemu justru kita harus pakai masker.
Kenapa juga klaster kantor-kantor, selain orang sering buka masker di dalam ruangan, ketika makan bersama gitu. Di kantor sering kan ya, snack, jajan bareng, makan bareng. Mungkin sepanjang hari pakai masker tapi ketika makan bersama semua buka. Konteksnya indoor semua ngobrol ngobrol. Di situ terjadi penularan.
Kalau saya mengimbau, kalau makan siang di kantor jangan makan bareng-bareng, makannya gantian deh, atau kalau mau bareng cari di luar ruangan, yang duduknya jauhan dikit. Karena mau engga mau kan buka masker. Jadi itu filter satu satunya kita lepas.
Apalagi di konteks 18,7 kali lebih tinggi kalau di ruangan ber ac. Jadi harus jadi perhatian. Jadi bukan cuma cuci tangan,menjaga jarak, dan memakai maskernya. Tapi harus memikirkan setting yang membuat penularan itu mungkin terjadi. Jadi indoor ber ac itu justru paling sering terjadi. Jadi kita harus waspada kalau indoor dan ber ac kalau ketemu orang yang tidak serumah dengan kita.
Bagaimana mewaspadai libur panjang?
Lalu yang terakhir tentang mobilitas. Kemarin setelah cuti bersama yang panjang, kasus langsung naik semua, secara merata. Jakarta, Jabar, Jateng, Jjatim, dan meningkatnya signifikan, dan sempat ngobrol pak yulianto kalau keterisian rumah sakit itu sudah mepet. Pak Yulianto harus sibuk nambahi bed rumah sakit terus, dan tidak tahu apakah kecepatan menambah bed, dan kecepatan kasus nambah itu bisa seimbang atau engga.
Jadi saya mau bilang bahwa karena cuti bersama banyak orang melakukan perjalanan, baik pulang kampung atau jalan jalan, akhirnya dengan mobilitas tinggi ini, penularan meningkat secara signifikan. Jadi pesan saya untuk masyarakat kalau boleh jangan bepergian dulu.
Tentu kalau bekerja, kita bisa memahami. Tapi kalau bisa, tolong jalan jalan yang tidak esensial atau yang bisa ditunda, tunda dulu. Saat ini rumah sakit enuh semua, pandemi belum berakhir, dan virus ada dimana mana. Jadi kalau bisa jangan pergi-pergi dulu.
3 T dan 3 M kenapa sulit diterapkan apakah karena habit?
Ya tentu perubahan perilaku tidak mudah. Misal kita tahu merokok bisa membunuh mendatangkan penyakit dan segala macem. Tapi untuk orang orang yang sudah merokok bertahun-tahun disuruh berhenti merokok itu susah. Jadi saya bisa membayangkan orang yang diet juga, disuruh diet ya ngomong sih gampang tapi penerapannya susah. Jadi saya bisa memahami bahwa perubahan perilaku butuh waktu. Masalahnya pandemi butuh perubahan perilaku secepat mungkin, karena kalau tidak kita bisa kalah dengan virusnya.
Jadi betul, banyak orang yang 40 sampai 50 tahun, ga pernah pakai masker, jadi kan ada perubahan. Atau ada sedikit ketidaknyamanan saat bernapas, walaupun minor jadi tugas kita sebagai masyarakat kita harus mengingatkan. Jadi jangan segan kalau ada orang yang di sebelah kita tidak pakai ketawa ketawa, jangan segan untuk mengingat kan. Kita tidak bisa sehat kalau orang lain tidak sehat. Jadi harus saling menjaga dan mendukung.
Apakah efektif cara pengendalian dengan represif?
Aku melihatnya, persuasif mungkin mudah tinggal kasih penyuluhan dan poster. Represif pemerintah melakukannya misal dengan operasi yustisi Satpol pp tni polri ngasih tahu orang pakai masker dsb. Tapi apakah akan sustain atau engga dengan begitu. Tapi menurut saya yang juga penting itu tekanan sosial atau social pressure.
Masyarakat Indonesia terutama sangat social banget. Kalau temenku engga pake, aku engga pake juga. Kalau gengku ga pake, aku juga ga pake. Jadi itu bisa dimanfaatkan itu sebagai social pressure tadi. Kalau misalnya ya tadi, ayo kita sebagai masyarakat harus saling berani mengingatkan
Kalau saya ke restoran atau mau beli makanan, tahu pedagangnya ga pakai, pak pakai atau saya ga mau belu, atau sebaliknya. Si pedagangnya, "Bu masuk ke resto saya harus pakai". Jadi harus ada mekanisme secara sosial yang saling dorong. Saya pikir kalau mau represif dari polri ga akan sustainable
Karantina mandiri disarankan di dalam rumah tapi kan masih ada keluarga lain, apakah itu efektif?
Oke, kalau konteksnya di rumah kalau dia punya kamar sendiri ya. Nah apakah dia di kamar terus atau masih sharing juga ya, sharing wc dapur, ruang tamu, itu kan saya pikir cukup susah untuk memastikan orang di kamar saya selama 14 hari. Orang kemungkinan besar akan tetap menggunakan ruang ruang yang digunakan bersama. Oleh karena itu membuat isolasi mandiri ini kurang efektif.
Aku mau tambahkan juga soal penularan indoor, kalau penularan banyak indoor. Kuncinya ventilasi itu sangat sangat penting. Tadi seperti analogi saya orang merokok, cara termudah untuk bikin ruangan tidak pekat, buka jendela biar keluar. Kurang lebih begitu juga, buka jendela di kantor kantor di restoran di kantor kita buka, jendela pintunya, pastikan ada pertukaran udara. Itu kunci pencegahan penularan untuk indoor, kalau jendelanya kecil atau susah, pikirkan selain ventilasi atau filtrasi.
Sebenarnya ada hitungan filtrasi untuk satu ruangan tertutup, contoh ada tempat ibadah yang sudah jamaahnya beribadah itu mungkin memikirkan gimana kalau jendelanya ga bisa dibuka. Jadi kita harus pikirkan filtrasi dengan air purifier.
Jadi ini tips praktis, misal naik taksi online atau taksi biasa, buka jendelanya sedikit, buka 10 cm, jadi buka sedikit saja jadi ada sirkulasi di dalam taksi tersebut di taksi yang kita naiki. Jadi penularan itu terjadi ketika kita menghirup share air, yang udara kita berbagi dengan orang lain. Jadi bagaimana kita ga share udara dengan orang lain. Jadi pastikan ada ventilasi itu pastikan ada itu.
Tekanan sosial itu gimana kalau muncul gesekan antar warga?
Itu memang salah satu kemungkinan konsekuensi orang ga seneng. Jadi itu susah juga ya, tapi menurut saya dia kesal saat itu, tapi next time dia berubah ketika ketemu orang lain, jadi gue pakai. Jadi pada saat itu ada ketidaknyamanan saat itu, tapi saya pikir itu tidak sia sia, justru social pressure itu yang kita butuhkan.
Agar semua orang segan kalau tidak pakai. Sekarang kan tidak ada tekanan yang begitu kuat. Tapi satu society kalau berpandangan bahwa ini sangat penting kalau orang ga pakai masker itu orang mau ga mau tidak nyaman akan pakai. Jadi social pressure kunci perubahan juga.