dr Muhamad Fajri Adda'i: Adaptasi Pola Hidup, Kunci Hadapi Pandemi Ini

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Senin, 09 November 2020 | 15:31 WIB
dr Muhamad Fajri Adda'i: Adaptasi Pola Hidup, Kunci Hadapi Pandemi Ini
Ilustrasi wawancara. dr Muhamad Fajri Adda'i. [Foto: Dok. pribadi / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pandemi Covid-19 masih menjadi momok di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tim Koordinator Relawan Satgas Covid-19, dr. Muhamad Fajri Adda'i mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi oleh tenaga kesehatan saat ini.

Pertama dan yang paling berbahaya, tentu saja adalah risiko infeksi Covid-19 yang berasal dari pasien.

Berdasarkan data Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) per 3 November 2020, terdapat total 161 dokter yang meninggal akibat terinfeksi Covid.

Para dokter yang wafat tersebut terdiri dari 82 dokter umum (4 guru besar), 68 dokter spesialis (6 guru besar), dan 2 residen yang berasal dari 18 IDI Wilayah (Provinsi) dan 69 IDI Cabang (Kota/Kabupaten).

Baca Juga: Vaksinasi Corona Diprioritaskan untuk Garda Terdepan

Menyikapi hal ini, dokter Fajri, begitu ia akrab disapa, menyebut butuh ketegasan dan sinergi antara pemerintah pusat dan perintah daerah dalam penanganan pandemi Covid-19. Keseriusan bisa dilihat dalam penanganan pandemi yang lebih memperhatikan pencegahan dibandingkan pengobatan.

"Covid ini potensi penularannya bisa menjadi superspreader. Satu orang bisa menularkan sampai 20 orang dan terus begitu," ungkap dokter Fajri.

"Bagaimana ceritanya kalau penularan itu jauh lebih cepat daripada penanganan daripada tracingnya? Saya mengibaratkan ini seperti kita mengejar anjing: anjingnya lari 100 kilometer per jam, kita cuma lari 20 kilometer per jam. Itu yang jadi masalah sekarang. Mau sampai kapan?" tegasnya.

Bukan hanya itu, lelaki lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta juga menanggapi kabar tentang vaksin Covid-19 yang disebut akan mulai beredar tahun depan.

Menurut dr Fajri, vaksin bukanlah jalan keluar instan dari pandemi. Justru perubahan perilaku dengan mengedepankan protokol kesehatan, mulai dari jaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun, yang bisa melindungi masyarakat dari risiko infeksi Covid-19.

Baca Juga: Bertambah, Ini Daftar 13 Provinsi Prioritas Penanganan Covid-19

"Kalau saya menganalogikan pandemi ini adalah seperti naik mobil saat hujan dan petir. Kalau nggak penting, nggak usah keluar rumah. Kecuali misalnya nyari nafkah, ada hal yang mendesak, itu boleh. Lalu, tetap pakai masker dan jaga jarak. Jangan sembarangan keluar dan wajib menghindari tempat yang ramai," tegasnya.

Dalam webinar bertajuk "Jibaku Tenaga Kesehatan & Satgas Tangani Covid-19 di Lapangan" yang diselenggarakan Suara.com pada Kamis (16/10/2020) lalu, dr Fajri membahas lengkap fakta penanganan Covid-19 di lapangan dan bagaimana peran satgas Covid-19 dalam menekan angka penyebaran.

Simak penjelasan lebih lengkap dr Fajri dalam artikel wawancara berikut ini:

Dokter, bagaimana sih Dok penanganan pasien covid-19 ini yang terjadi di rumah sakit sekarang ini? Seperti apa?

Jadi, tenaga kesehatan termasuk dokter, perawat, dan bahkan bidan, memang ditempatkan di fasilitas kesehatan. Ada yang di fasilitas primer seperti puskesmas, ada yang di rumah sakit, ada juga yang diperbantukan di RS Darurat Wisma Atlet misalnya.

Dan memang, yang paling berisiko tinggi adalah dokter atau tenaga medis yang bekerja di ruang khusus Covid, terutama ruang-ruang seperti ICU, karena pasien jelas severe atau kondisi berat ya, pakai ventilator, pakai alat bantu napas dan sebagainya, dan (tenaga medis --Red) terpapar dalam durasi yang cukup panjang dengan risiko sangat tinggi.

Dan ini sudah dibuktikan oleh berbagai jurnal termasuk Lancet bahwa tenaga medis memiliki risiko 11,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat umum biasa yang tidak terlibat langsung dengan Covid-19.

Apa saja tantangan tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19?

Tantangan selain risiko infeksi Covid-19 adalah memakai APD (alat pelindung diri). Itu sungguh berat ya. Kita memakai APD tidak boleh dilepas sepanjang jaga. Misalnya jaga 8 jam, ya 8 jam, kalau 10 jam ya 10 jam, tidak boleh pipis, tidak boleh BAB (buang air besar). Kalau dibuka harus ganti lagi APD-nya.

Sudah memakai APD pun tidak 100 persen menjamin bebas dari penularan. Misalnya masker N95, itu hanya menahan partikel kecil ukuran mikron 95 persen, masih ada juga risiko 5 persen lagi. Sekarang di tempat perawatan itu penularannya lewat udara sudah terbukti. Ditambah lagi dengan faktor kelelahan.

Dengan jumlah pasien yang membludak tenaga kesehatan pun semakin menipis. Makin banyak pasien, makin banyak juga keterbatasan yang ada di rumah sakit. Per 13 September, IDI mencatat 115 dokter meninggal dunia dan angkanya terus bertambah. Bagaimana peran relawan dokter dalam percepatan penanganan covid 19?

Per hari ini (Kamis, 16 Oktober 2020 --Red) ada 136 dokter yang meninggal, 71 dokter umum, 2 Residence dan 62 dokter spesialis. Berdasarkan data PPNI ada 92 perawat yang meninggal. Jadi memang berat.

Yang kedua soal peranannya dokter relawan, tentu saja membantu di berbagai tempat. Misalnya Wisma Atlet, dari mana dokternya yang jaga? Ya, tentu saja relawan dari IDI, relawan dari Kemenkes, dan lain-lainnya. Relawan yang dihimpun jumlahnya ribuan dan sudah dilatih.

Dan ingat, bukan cuma dokter dan perawat saja relawannya, ada juga tenaga surveilans, orang gizi, dan lain-lain. Jadi di mana-mana ada tuh relawan dan tersebar. Total BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bilang sekitar 30.000 relawan, tapi yang tenaga medis sekitar 7.000, sisanya non-medis.

Dokter, kita lihat angka kesembuhan sudah semakin banyak. Per 16 Oktober, sudah tembus lebih dari 270.000. Nah, bagaimana caranya agar kita bisa terus menekan laju penularan covid-19 ini sementara vaksin belum ada?

Yang perlu dipahami adalah pada prinsipnya di dunia kedokteran mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Jadi pahami itu dulu. Pencegahan ada tiga jenis nih, ada primer, sekunder, tersier.

Primer itu pencegahan sebelum terserang penyakit, sekunder itu mencegah agar penyakit tidak jadi parah ketika sudah terserang, dan tersier adalah penyakit sudah parah tapi mencegah bagaimana supaya tidak meninggal. Nah, kita harus mencegah laju penyebaran penyakit dari level primer. Kenapa begini?

Karena mau sebagus apa pun kita menangani pasien, kalau di level preventif dan promotifnya tidak baik, ya maka tidak akan bermanfaat. Pada realitanya kita ngomongin rasio tracing deh, rasio lacak yang paling penting.

Di Jakarta pertengahan September, sekitar 1 banding 6. Di Jakarta loh, dengan kapasitas tes 11 ribu, yang gratis 5 ribu. Kapasitas tes ini 5 kali lipat yang disarankan oleh WHO, hasilnya 1 banding 6. Sementara sekarang, 1 banding 2 kali dengan penyebaran yang meledak baru-baru ini.

Sementara Covid ini potensi penularannya bisa menjadi superspreader. Satu orang bisa menularkan sampai 20 orang dan terus begitu. Bagaimana ceritanya kalau penularan itu jauh lebih cepat daripada penanganan daripada tracingnya?

Saya mengibaratkan ini seperti kita mengejar anjing. Anjingnya lari 100 kilometer per jam, kita cuma lari 20 kilometer per jam. Itu yang jadi masalah sekarang. Mau sampai kapan?

Jadi pertanyaannya, balik lagi tracing dan isolasi itu dulu. Rumah sakit belakangan, Wisma Atlet belakangan, ruang ICU belakangan, jangan malah duluan nanti kewalahan. Memang Jakarta sudah menunjukkan ya, data minggu lalu sudah jauh berkurang; sebelumnya 70-80 persen sekarang tinggal 60 persen.

Jadi memang pencegahan primer ini musti kita tekankan lagi. Harus kita tekankan. Lagi-lagi keseriusan antara kebijakan nasional dan seluruh Pemda, mana kebijakan strategis yang menunjukkan keseriusan.

Kalau kita dengar tadi dokter bilang soal tracing, bahwa harus dilakukan di awal. Seperti apa penerapan idealnya?

Kalau orang dengan kontak erat itu dua hari setelah muncul gejala sudah harus diperiksa. Jadi misal kita punya teman dekat, dia sakit, 2-3 hari setelahnya (atau) maksimal seminggulah, itu kita juga harus diperiksa.

Kalau misalnya di daerah harus bayar periksanya, ya udah, kalau kita tidak bergejala, kita bisa isolasi mandiri sendiri di rumah. Jadi yang penting masih dipantau gitu gejalanya.

dr Muhamad Fajri Adda'i dalam sebuah unggahan video membahas status pasien Covid-19. [Instagram / Dok. pribadi]
dr Muhamad Fajri Adda'i dalam sebuah unggahan video membahas status pasien Covid-19. [Instagram / Dok. pribadi]

Yang kedua, gejala Covid-19 ini beragam. Jadi nggak jelas, ada penciuman gak terasa, hidung tak terasa, mencret, diare, dan lain-lain. Pas berobat dikira penyakit lain, ternyata dia Covid. Ini juga yang bikin nakes outbreak besar, di mana-mana bahkan.

Dan memang dia menyerang saraf, jadi tidak khas. Ada yang cuma lemes doang, ada yang maag, ada yang pegel-pegel doang, ada yg kaya campak dan cacar, bahkan ada yg hilang pendengaran doang.

Kemarin jurnal juga bilang, jangan-jangan Covid bisa jadi penyakit endemik. Berarti belum tahu kan selesainya bakal kapan.

Bagaimana cara pencegahan Covid-19 yang tepat? (Apalagi) Kampanye 3M sudah masif dilakukan, tapi angka kasus masih terus bertambah.

Karena memang susah, banyak faktornya. Misalnya di kantor deh, di Jakarta. Misal ada ruangan tertutup, orang banyak beraktivitas, kita sudah pakai masker, tapi udaranya re-sirkulasi. Nah, itu kan tetap bisa menyebabkan penularan.

Yang kedua, makan. Itu yang paling mudah banget. Jadi sekarang coba deh, yang menonton video ini misalnya 10 ribu orang refleksi diri, apakah pernah makan bareng? Pasti pernah. Antara di kantor, (di) tempat kerja, makan bareng. Itu banyak banget sampai sekarang.

Bukannya apa-apa ya. Mungkin kita merasa aman karena itu kolega kita, saudara kita, atau siapa pun itu. Tapi itu salah satu proses penularan, karena kan kita nggak tahu apakah dia nggak bergejala?

Jangan-jangan bahkan bukan nggak bergejala, tapi belum bergejala. Ini susah juga nih membedakannya, pasien Covid yang tidak bergejala sama belum bergejala, 2 hari lagi 3 hari lagi baru timbul, padahal dia bisa menularkan. Itu yang susah.

Vaksin Covid-19 disebut siap digunakan pada tahun 2021. Nah, dari segi kedokteran, bagaimana menyikapi kabar seputar vaksin ini?

First of all, belum ada vaksin yang sudah lolos diuji sampai detik ini. Kedua, pengembangan vaksin pada umumnya memakan waktu 15 sampai 20 tahun. Sekarang saat ini sangat cepat sekali, mungkin karena perkembangan teknologi ditambah kebutuhan yang mendesak, jadi bisa setengah tahun.

Ketiga, ada vaksin yang diberikan izin oleh negara-negara tertentu, tapi statusnya emergency use of authorization. Karena belum terbukti, baru dua bulan kan. Efek sampingnya gak terlalu banyak, efektivitasnya lumayan gitu. Tapi memang belum ada. Jadi kita belum bisa memastikan lebih lanjut, karena kita butuh data.

Karena kalau penelitian 2 bulan, belum akan terlihat manfaatnya. Minimal 6 bulanlah. Kalau cuma 2 bulan, bagaimana kita tahu antibodi itu bertahan berapa lama, apa cuma dua bulan atau bagaimana. Setiap dua bulan masa kita harus disuntik? Kan tidak begitu.

Bagaimana kalau nanti vaksin ada? Tentunya butuh waktu adaptasi panjang. Apalagi vaksin Sinovac yang diteliti Biofarma ini kan butuh 2 kali penyuntikan. Jadi bisa dihitung, 80 persen populasi, dengan penduduk Indonesia 270 juta orang, butuh berapa ratus juga dosis.

Itu tentunya akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Artinya, Pak Doni (Kepala BNPB dan Satgas Covid) juga udah bilang minggu lalu, saat ini vaksin terbaik untuk kita saat ini adalah protokol kesehatan: yakni jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan.

Apakah kampanye protokol kesehatan efektif mencegah penularan Covid-19, terutama di daerah?

Kita memang harus melindungi daerah-daerah yang rentan atau vulnerable dan risiko tinggi. Itu yang sangat sulit memang. Kalau kalangan ekonomi menengah ke atas, kelas menengah lah, itu masih mudah untuk diinfokan.

Tapi bagaimana dengan yang bekerjanya harian, tempat tinggal terbatas, kalau sakit bingung nantinya, punya duit banyak juga yang buat beli rokok. Nah ini kelompok yang harus kita lindungi. Peranan ini membutuhkan kepedulian kita bersama.

Untuk pasien tanpa gejala yang melakukan isolasi mandiri sendiri di rumah, bagaimana cara tenaga kesehatan memantau isolasi agar efektif?

Jadi kalau isolasi mandiri sendiri di rumah, ini memang pekerjaan di layanan primer. Ketika dia menjalani isolasi mandiri di rumah, (harus) ada pemantauan dari Puskesmas terkait. Idealnya tenaga kesehatan akan menghubungi setiap hari.

Tenaga kesehatan akan menanyakan apakah ada gejala tambahan, kondisinya bagaimana. Dan memang sebelum memulai isolasi mandiri, akan ada penilaian, kelayakan rumahnya, sosio-ekonominya, supporting system-nya, banyak faktor juga. Makanya kan sempat tidak dibolehkan isolasi mandiri, dikumpulkan semua di Wisma Atlet. Tapi karena ada beberapa faktor lain, akhirnya dibolehkan lagi.

Jadi memang ini problemnya ketidakdisiplinan dari masyarakat yang melakukan isolasi mandiri. Dibuktikan dari masih ada kok masyarakat yang seharusnya isolasi mandiri tapi malah datang kondangan, dan lain-lain. Di sinilah bukti kita membutuhkan key opinion leader (KOL) untuk memberikan arahan atau imbauan; bisa dari ulama atau pendeta, atau mungkin seniman yang punya pamor dan pengaruh di masyarakat.

Jumlah relawan medis terkini berapa? Cukupkah menangani membludaknya pasien Covid-19?

Bulan lalu sekitar 7 ribuan, dengan 30 ribu total. Tersebar di seluruh daerah, tapi memang konsentrasi terbesar ada di area Jabodetabek sekitar 70 persen.

Soal kecukupan, saya mengamati pasti akan cukup. Kenapa? Indonesia ini tidak akan kurang memiliki orang dengan hati nurani yang memang ingin membantu. Ini kita tidak bicara soal insentif dan lain-lain ya, memang membantu saja. Saya lihat data bulan April dibanding sekarang, hampir naik 2 kali lipat. Kalau dibuka lagi, pasti akan ada lagi yang mendaftar lebih banyak.

Tapi kan problemnya bukan di situ. Pandemi ini semakin lama kita tidak beradaptasi dengan baik, ujung-ujungnya pasti akan ada korban. Ada yang bisa bertahan, tapi tetap ada yang jadi korban baik dari segi ekonomi maupun jadi korban langsung Covid-19.

Ada pesan untuk para tenaga medis dan relawan, Dok, melihat wabah belum akan berakhir dalam waktu dekat?

Nomor satu adalah sabar dan ikhlas. Karena wabah ini nggak cuma terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di seluruh dunia. Nomor dua, tetap jaga stamina, jangan diforsir.

Yang ketiga, tetap harus balance antara olahraga dan istirahat, karena saya lihat beberapa tempat overload. Terakhir, masing-masing dari kita menjaga diri, jangan sampai protokol kesehatan ini dimaknai sebagai sesuatu yang rumit dan merepotkan.

Padahal ini dibutuhkan untuk kita supaya bertahan hidup dan menang melawan pandemi ini. Dalam jangka yang panjang, kan nggak tahu kita kapan selesai. Minimal setahun ke depan deh.

Kalau saya menganalogikan pandemi ini adalah seperti naik mobil saat hujan dan petir. Kalau nggak penting, nggak usah keluar rumah. Kecuali misalnya nyari nafkah, ada hal yang mendesak, itu boleh. Lalu tetap pakai masker dan jaga jarak. Jangan sembarangan keluar dan wajib menghindari tempat yang ramai.

Mau kerja? Boleh, silakan saja, tapi perhatikan protokol kesehatan. Jadi harus ada jembatan antara pandemi dengan aktivitas sehari-hari kita, misalnya, apakah harus WFH dan sebagainya. Mau nggak mau ini kita hidup setahun atau bahkan dua tahun ke depan masih akan seperti ini. Jadi memang perlu pembiasaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI