Suara.com - Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), ia merupakan bagian dari gerakan mahasiswa yang menumbangkan Presiden Seharto pada 1998. Eksponen Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) yang gandrung teknologi informasi (IT), tekun, dan cerdas ini sekarang telah menjadi astronom di Amerika Serikat, negara yang memang banyak memberi perhatian pada penelitian-penelitian ruang angkasa. Ia betah di sana. Sebelumnya ia cukup lama bekerja di observatorium Institut Max Planck, Heidelberg, Jerman.
"Sejauh ini sepertinya kesempatan terbaik itu [untuk menjadi astronom] ada di Amerika atau di Eropa,” ucap Tri L Astraatmadja saat bercakap dengan Suara.com baru-baru ini.
Sampai sekarang pun para astronom tidak memiliki banyak pilihan saat hendak bekerja. Bukan di Indonesia saja demikian. Di tingkat global pun keadaannya tak jauh berbeda. Seharusnya mereka bertekun di bidang astronomi. Masalahnya adalah lapangan yang sangat spesifik ini tak memerlukan banyak orang. Alhasil, sebagian dari mereka terpaksa berpaling ke luar bidangnya.
Baca Juga: Kepala LAPAN: Kiamat Bisa Terjadi di Bumi Jika Satelit Terganggu
Teman Tri yang sesama doktor astronomi pun banyak yang menjalani profesi di luar keilmuannya. Bekerja di bank atau menjadi risk assessment pada perusahaan akuntan publik, umpamanya.
Tri sendiri merasa dirinya beruntung. “Ternyata masih ada cadangan keberuntunganku,” ujarnya sambil tersenyum. Mengapa?
Ternyata sebelum mendapat panggilan kerja di tempat kerja baru sekarang, dia pun sudah hampir pulang ke Indonesia. Sebelumnya, 4 tahun putra ahli pers Atmakusumah Astraatmadja ini bekerja di Carnegie Institution of Washington. Saat ini ia bergabung dengan Space Telescope Science Institute, sebuah institut yang dikontrak NASA untuk mengoperasikan teleskop-teleskop antariksa milik NASA.
Bercakap dengan Tri tentang astronomi dan alam semesta sangatlah menarik. Pengetahuannya tidak hanya sebatas yang ia dapat dari pendikan formal melainkan lewat bacaan serta tontonan, termasuk buku dan film-film fiksi ilmiah yang ia lahap sejak belia. Menurutnya ada beberapa hal dalam karya fiksi ilmiah yang sangat mungkin untuk diwujudkan. Teknologi lift ruang angkasa dan hibernasi di antaranya.
Dia juga antusias mempercakapkan hubungan antaran sains dan agama. Pun, bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan sebaiknya diajarkan di sekolah-sekolah agar minat anak-anak Indonesia terhadap yang satu ini kian bertumbuh.
Baca Juga: NASA Rekam Ledakan Supernova 5 Miliar Kali Lebih Cerah dari Matahari
Berikut wawancara eksklusif Rin Hindryati, kontributor Suara.com, via Zoom selama sejam lebih, dengan Tri yang saat ini bersama sang istri, Ucu Agustin (jurnalis dan sutradara film), bermukim di Washington DC, AS:
Saat ini Tri bekerja untuk lembaga apa ya, di AS? Apa persisnya yang Tri lakukan sebagai astronom di sini?
Aku ini baru pindah kerja sebenarnya. Baru banget. Senin [28/9] kemarin. Tapi 4 tahun terakhir aku kerja di Carnegie Institution of Washington. Itu juga dikenal [sebagai] Carnegie Institution for Science. Sekarang mereka baru aja ganti nama menjadi Earth and Planets Laboratory. Itu adalah satu divisi di Carnegie Institute. Dulu namanya adalah Department of Terrestrial Magnetism.
Jadi mereka meneliti sebenarnya mengenai geologi atau geofisika. Mengenai ilmu mempelajari bumi. Tapi di situ juga ada grup astronomi yang anggotanya gak terlalu banyak. Kita menyebutnya DTM: Department of Terrestrial Magnetism.
Salah satu staf DTM yang terkenal itu ada dua. Yang dulu namanya Vera Rubin. Vera Rubin itu menjadi terkenal karena beliau adalah orang pertama yang menunjukkan bukti adanya materi gelap atau dark matter. Itu satu zat yang sampe sekarang belum tahu itu apa. Itu adalah satu materi yang tidak berinteraksi dengan cahaya. Jadi kita tidak bisa melihatnya dengan menggunakan cahaya tapi kita bisa merasakan efeknya melalui gravitasi.
Tapi ini hanya bekerja dalam skala yang besar. Jadi kita hanya bisa melihat efeknya pada bintang-bintang yang jauh dari galaksi. Kira-kira begitu. Vera Rubin sudah lama pensiun.
Yang kedua adalah Paul Buttler. Dia salah satu pionir dari pengembangan tech supaya kita bisa menemukan planet di bintang lain.
Itu cerita mengenai DTM. DTM itu baru belakangan ini ganti nama menjadi EPL, Earth and Planets Laboratory. Itu juga baru kira-kira setengah tahun yang lalu. Nah aku datang ke EPL ini, yang waktu itu masih jadi DTM, kira-kira 4 tahun lalu. Ya hampir persis 4 tahun lalu pertama kali ke Amerika.
Pekerjaanku itu untuk mencari planet sebenarnya.
Jadi ini ada data pengamatan yang sudah diambil oleh kolega di sini. Kira-kira 10-13 tahun terakhir. Itu kira-kira untuk mengikuti 100 bintang. Fotonya diambil secara berkala selama 10 tahun terakhir. Jadi, ada data yang jumlahnya besar sekali. Dan itu harus dianalisis. Foto bintang ini harus kita...mau kita analisis gerakannya: apakah dari gerakan bintang ini, itu ada tanda-tanda pergerakan bintang akibat dia ditarik oleh eksoplanet.
Eksoplanet itu [adalah] planet yang mengambil bintang lain. Tentu saja ini pekerjaan yang lumayan sulit, terutama [karena] datanya banyak dan semua foto ini diambil dari waktu yang berbeda dan tidak persis pada alat yang sama. Jadi itu semua harus dibuat berada pada...harus diubah supaya mereka semua tampak seolah-olah mereka diukur dari posisi yang sama.
Harus bisa membuat keputusan, kalo ada sinyal, apakah itu disebabkan oleh karena gerakan akibat eksoplanet atau akibat yang lain.
Ini pekerjaan kolektif atau individu ya?
Ya mau dibilang kolektif bisa dikatakan kolektif, karena kami kerja bertiga. Mau dikatakan invididu juga bisa dibilang begitu. Karena hampir semua aspek dari menganalisis data ini aku yang kerjakan. Bahkan datanya pun setelah aku datang, datanya aku juga yang ngambil. Jadi kami tuh masih ambil data.
Artinya kami pake teleskop di Cile. Kira-kira 3 atau 4 bulan sekali kami ngamat dengan teleskop di Cile. Ya setahun 3 atau 4 kali. Satu kali periode pengamatan itu mungkin bisa 3 malam bahkan bisa sampe 5 malam.
Kenapa harus ke Cile, apakah teleskop di sana paling canggih?
Enggak juga. Jadi memang sudah sejak tahun 50an, bahkan sebelumnya memang ditemukan bahwa Cile itu menempati posisi unik di planet ini. Dia memiliki kondisi yang sangat baik untuk melakukan pengamatan astronomi. Kenapa begitu?
Kalo lihat di peta, Cile itu negara yang kurus dari utara ke selatan. Dia ada di tepi Samudera Pasifik dan itu dibatasi oleh gunung. Pegunungan Andes. Nah kalo kita bangun observatorium di Pegunungan Andes, pertama itu jauh di atas permukaan bumi. Jadi kira-kira mulai dari 2.000 meter bahkan bisa sampe 4.500 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian itu udara sudah sangat tipis. Jadi kita udah berada jauh di atas lapis atmosfir bumi yang tebal.
Nah pada kondisi itu atmosfir bumi lebih transparan sehingga gangguan atmosfir bisa diminimalkan.
Lalu yang kedua, karena mereka persis berada di tepian samudera. Jadi lapisan udara yang datang dari laut itu lebih tenang, lebih stabil. Kenapa? Karena mereka tidak menabrak gunung atau benua.
Jadi lebih karena posisinya ya?
Ha iya, posisi di Cile itu lebih ideal. Makanya memang kondisi yang ideal itu adalah berada di tempat yang tinggi, di tengah lautan, atau di tepi laut. Hawaii, menjadi tempat yang bagus, lalu Cile.
Nah Cile ini sudah lama menjadi magnet bagi astronom. Orang dari Eropa, mereka kerjasama dengan Pemerintah Cile membangun teleskop. Dari Amerika banyak sekolah, institut dari Eropa, dari Amerika yang membangun teleskop di situ.
Sebagai orang awam, saya ada pertanyaan: hasil penelitian para astronomi seperti Tri ini, sumbangan bagi peradaban umat manusia itu apa ya?
Ha..ha..ha.. ya, ini agak... kalo bicara yang praktis itu seperti bikin baterai ya. Bagi astronomi itu tidak langsung seperti itu. Efek langsungnya itu sukar di-... kadang-kadang sukar dinilai. Pada saat ini mungkin kita baru akan tahu efeknya beberapa abad ke depan.
Yang paling gampang misalnya untuk mencari planet. Kenapa mencari planet? Untuk apa? Yang paling praktis adalah kalo kita mau pindah ke dunia lain, kita sudah tahu kita musti pergi ke mana. Kita tunjuk bintang-bintang ini. Di sini ada planet yang kita bisa huni, di sini tidak.
Tapi kapan kita bisa ke sana, ya, gak tahu. Mungkin baru 500 tahun ke depan. Itu dalam tataran praktis.
Adalah dari data, kita bisa tahu di mana ada planet yang layak huni.
Apa lagi ya... Kita memetakan bintang. Kita tahu pergerakan bintang ini, kita tahu di mana mereka akan berada dalam kurun waktu 500 atau 1.000 tahun lagi. Jadi kita bisa mengembangkan teknologi perjalanan antar bintang. Sangat penting untuk navigasi. Jadi kayak kapal antariksa seperti di film Star Trek. Bagaimana mereka menavigasi. Harus tahu pada satu saat bintang itu ada dimana sebenarnya. Kita bisa menentukan posisi mereka.
Sama seperti kapal-kapal di laut di zaman dahulu. Kenapa astronomi menjadi seperti strategis karena memetakan bintang dari posisi kita di bumi. Membantu kita melakukan navigasi di bumi. Jadi masa depan itu seperti itu. Ada kegunaannya.
Tapi hal yang paling penting bagi astronomi itu sebenarnya lebih kepada untuk mengenal diri kita sendiri. Baik sebagai individu maupun mengenal asal usul kemanusiaan kita. Karena kita adalah mahluk yang ingin tahu.
Kita ingin tahu asal-usul kita bukan hanya siapa nenek moyang kita, siapakah nenek kita, tapi juga ingin tahu kita ini sesungguhnya dari mana. Lalu kita mempelajari planet-planet, mempelajari bumi. Kita ingin tahu asal-usul bumi, bagaimana bumi bisa hadir. Kita mempelajari biologi, kita ingin tahu bagaimana kehidupan ini bisa muncul, dari mana berasal. Teori evolusi.
Sesungguhnya adakah satu... untuk mengetahui darimana kita berasal. Nah lebih lanjut ke belakang, kita juga ingin tahu misalnya, bagaimana planet? Seperti apa untuk bisa menghadirkan kehidupan yang seperti kita.
Universe itu kan maha luas. Sebenarnya pengetahuan kita tentang universe itu sudah seberapa banyak?
Kita sudah tahu kalo kita bicara alam semesta secara keseluruhan, kurang lebih kita sudah tahu apa yang terjadi dalam setengah jam pertama setelah alam semesta kita tercipta. Hanya detil-detil yang belum kita pahami.
Kita kurang lebih sudah tahu komposisi alam semesta. Itu kurang lebih semacam apa, sebagian besar adalah materi yang bisa kita amati dengan gerakan cahaya. Ada materi gelap yang tadi kita bicarakan [dark matter], terus ada komponen lagi namanya energi gelap. Itu komponen yang membuat alam semesta berekspansi tapi bisa dipercepat.
Tapi ya, masih banyak misteri juga. Kita tahu di situ ada dark matter, tapi kita sebetulnya belum tahu apa itu sesungguhnya dark matter, materi gelap. Kita tahu ada energi gelap yang menyebabkan fenomena ini. Tapi energi telap itu esensinya sesungguhnya apa, kita sama sekali belum tahu. Tapi kita tahu bahwa itu ada satu fenomena yang belum bisa kita jelaskan. Terus kita coba kasih apa yang namanya “penanda”, a placeholder.
Sebut saja namanya energy gelaplah. Jadi ada beberapa hal yang kita bisa ketahui dengan cukup detil yang secara mengejutkan bisa cukup detil, ada juga sebenarnya beberapa bagian yang kita tidak ketahui secara... tidak kita ketahui sama sekali. Seperti di peta zaman dahulu, di sini kita tahu, daerah sini, daerah yang sini kita gak tahu, di sini ada naga, dsb.
Beberapa tahun terakhir ada semacam minat untuk mengembangkan wisata ke ruang angkasa. Apakah ilmu astronomi Tri bisa membantu mereka menavigasi pesawat ke ruang angkasa. Maksud saya apakah ada relevansinya?
Sejauh ini belum ada relevansinya. Itu mungkin nanti jauh ke depan. Kalo kita sudah lama meninggal. Menciptakan teknologi yang lebih mutakhir sehingga kita bisa melakukan perjalanan antar bintang.
Saat ini tahapan perjalanan antariksa manusia, saya pikir itu baru sebatas kita ada di tepi pantai. Baru kena ombaknya. Kita belum mencoba melangkah jauh ke tengah samudera. Itu satu hal yang sangat jauh sekali.
Sejauh manusia bisa pergi ke antariksa, itu baru ke bulan.
Jadi jangkauan terjauh manusia pergi ke antariksa baru sampai bulan?
Iya. Kita sudah bisa mengirimkan wahana tak berawak dari tahun 70an, 80an, sekarang itu sudah ada di pinggir tata surya kita. Jadi setelah 30 tahun berkelana, wahana Voyager dan Pioneer, mereka dikirim dengan didesain untuk bisa pergi jauh sekali, mengarah ke luar dari tata surya kita.
Tapi manusia sendiri ya kita berambisi untuk bisa mengirimkan wahana berawak ke Mars. Itu yang selalu digembar-gemborkan oleh Elon Musk. Tapi realistis manusia baru bisa pergi ke bulan lewat misi Apollo. Terakhir kita pergi ke bulan: Apollo 17 tahun '70an.
Menjawab pertanyaan [sumbangan astronomi bagi peradaban manusia] itu sebenarnya, realitasnya belum ada, tapi pengetahuan astronomi yang sudah kita kumpulkan mengenai teori orbit sangat membantu bagi kita untuk merancang atau menyusun bagaimana cara perjalanan antar planet.
Jadi kita meluncurkan satelit ke wahana, ke planet lain baik berawak maupun tidak, itu sangat dibantu oleh pengetahuan kita mengenai apa yang dikatakan mekanik benda langit, yaitu bagaimana planet-planet ini berinteraksi melalui gaya gravitasi sehingga kita bisa meramalkan di mana posisi mereka di masa depan. Itu pengatahuan yang saat ini sudah sangat mantap.
Kalau kita menyaksikan film bergenre science fiction seperti Star Trek, sepertinya sesuatu yang kelak bisa terwujud. Very feasible. Menurut Tri, seberapa jauh sih kita untuk sampai pada masa seperti yang digambarkan dalam film-film itu?
Hahaha... ya, apa ya... kalo aku sih melihatnya sebenarnya teknologi yang... Jadi ada dua macam science fiction, fiksi ilmiah. Ada yang fiksi ilmiah keras di mana mereka mencoba menggunakan atau mencoba meramalkan teknologi yang mungkin gitu ya, yang bisa mungkin dilakukan oleh... yang bisa dibikin oleh manusia.
Atau ada juga fiksi ilmiah yang sebetulnya itu semacam alegori [majas yang menyatakan maksud sesuatu pada kalimat secara tidak harfiah, melalui kiasan atau penggambaran --Red]. Itu sebenarnya suatu komentar terhadap kondisi sosial kita saat ini.
Nah Star Trek itu memainkan yang kedua. Star Trek kadang-kadang bermain di kedua bidang itu, tetapi sebenarnya mereka lebih banyak memainkan komentar sosial terhadap kondisi kita saat ini terutama pada saat Star Trek pertama muncul di tahun 60an. Itu sebenarnya adalah komentar terhadap perang dingin, ancaman perang nuklir.
Mereka ingin mengatakan... Di tahun 60an itu mereka mencoba mengatakan: ini loh di masa depan, 300 tahun kemudian, manusia itu sudah bisa berdampingan untuk menjelajahi alam semesta. Dan di situ ada orang kulit hitam, ada Asia, ada orang Rusia, orang Amerika, dan bukan hanya itu, juga ada alien, ada Mr Spock.
Lalu untuk menampilkan teknologi-teknologi itu kadang-kadang ada yang tidak mungkin. Seperti teknologi transporter yaitu bagaimana kita bisa memindahkan orang sekejap seperti kita mengirim pesan SMS, hanya bedanya yang dikirim adalah jasad kita.
Nah, tadi saya baru ngobrol sama Ucu [istri. Bernama lengkap Ucu Agustin. Ia seorang jurnalis, penulis, dan pembuat film dokumenter. Pasangan ini menikah pada Desember 2015. Red]. Bahwa itu [transporter] sebenarnya teknologi yang saat ini menurut pengetahuan fisika saat ini, itu tidak mungkin terjadi. Jadi kita mungkin membutuhkan suatu info pengetahuan baru.
Tapi ada juga cerita-cerita fiksi ilmiah yang mencoba meramalkan atau memperkirakan teknologi apa yang bisa terjadi diwujudkan oleh para manusia. Contohnya mengenai lift antariksa. Dulu itu ada Arthur C. Clarke, penulis fiksi ilmiah dari Inggris. Dia tinggal di Srilanka. Dia menulis cerita fiksi ilmiah mengenai kontroversi pembangunan lift antariksa. Jadi itu teknologi yang sangat mungkin dibuat. Walaupun saat ini kita belum punya teknologinya, tapi itu sangat mungkin.
Lift antariksa itu sebenarnya di langit itu kita kirim satelit, nah satelit ini bergerak dengan periode yang sama dengan rotasi bumi sehingga dia akan selalu berada di titik yang sama di bawah. Jadi ini bumi berotasi, satelitnya juga ikut. Kecepatannya juga sama. Nah itu kita gantung kabel sehingga itu sampai ke permukaan bumi. Nah dengan kabel ini, kita bisa kirim lift.
Jadi orang kelak bisa naik-turun ke antariksa lewat lift ini ya?
Bisa naik-turun, iya Mbak. Cuma itu mencapai antariksa, mencapai ketinggian lebih dari 100 kilometer. Sehingga itu bisa menurunkan harga ongkos mengirimkan manusia. Karena saat ini... sekarang hambatan paling besar dari perjalanan antariksa adalah biaya untuk mengirimkan orang itu sangat mahal sekali. Nah, ini mau coba diturunkan oleh baron-baron antariksa, oleh pengusaha-pengusaha saat ini. Mereka mencoba untuk membuat teknologi roket. Teknologi antariksa yang bisa dijangkau oleh orang kebanyakan. Jadi nanti kita bisa seperti naik kapal aja.
Imajinasi orang untuk membayangkan tentang kehidupan ruang angkasa itu luar biasa seperti film yang baru saya tonton “Prometheus” orang bisa ditidurkan selama puluhan tahun kemudian dibangunkan kembali sampai ditemukan planet yang bisa ditinggali. Itu kan mungkin saja terjadi ya. Bagaimana Tri melihat ini?
Iya, para penulis-penulis cerita fiksi ini mereka berkonsultasi dengan ahli fisika, dengan pakar, tapi kemudian ada hambatan, Ok kalo begitu jadi solusinya apa. Ada solusi yang masuk akal, ada juga yang agak kurang, jadi ya namanya juga fiksi ya, jadi harus ada yang dikatakan “suspension of disbelief.” Jadi bagi yang...ya udah kita kalo gak percaya yang dikesampingkan dulu lah ketidakpercayaan ini sehingga kita bisa menikmati cerita dan melihat apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh sang sutradara.
Nah, teknologi mengenai hibernasi itu, itu juga salah satu yang orang juga pikirkan bagaimana caranya bisa...itu salah satu yang mungkin menjadi bagian penelitian yang lumayan mengenai hibernasi. Kita bisa menidurkan orang terus dia gak mati atau yang juga agak lebih revolusioner itu: kapal generasi apa yang dinamakan generation ship. Jadi kita mengirimkan misi berawak dan diharapkan orang-orang akan beranak pinak di dalam pesawat selama ratusan hingga ribuan tahun sehingga ketika mereka sampai ke tujuan itu bukan mereka yang sampai tapi keturunan mereka. Jadi ada banyak tentang itu.
Dari fiksi ilmiah itu sudah sudah menjelajahi cara-cara ini yang kayak “Prometheus”, “Allien”, menererapkan hibernasi. Ada juga “Battlestar Galactica [serial televisi 2004] yang mencoba menjelajah dengan kapal generasi.
Kelihatan Tri memang passion-nya di astronomi. Apakah minat itu sudah ada sejak kecil, atau bagaimana?
Ya, ini minat udah lama, dari SD.
Ada cerita khusus kenapa bisa punya minat ke astronomi? Apakah lewat menonton film atau membaca buku?
Ini sebenarnya dari keluarga juga. Waktu itu bapakku itu kan masih kerja di Kedutaan Amerika.
Pak Atma [Atmakusumah Astraatmadja, tokoh pers Indonesia] maksudnya?
Iya Pak Atma. Waktu itu Pak Atma, bapakku masih kerja di Kedutaan Amerika. Jadi beliau punya banyak akses ke material astra atau program-program pendidikan antaraiksa. Suka diajak, suka dibawa. Waktu itu aku masih kecil, lahir tahun 1981 kan, jadi aku dengar cerita dari kakak-kakakku yang udah 9 atau 10 tahun di atas. Jadi kami tuh dikasih nonton ‘Cosmos’. Itu serial yang dibikin oleh PBS (Public Broadcasting System), siaran pendidikan Amerika.
'Cosmos' itu waktu itu pembawa acaranya adalah Carl Sagan [astronom Amerika kelahiran Brooklyn, New York dan dikenal sebagai orang yang gigih mempopulerkan sains --Red]. Aku nonton tuh. Waktu itu aku udah SMA ketika mulai nonton ‘Cosmos’.
Tapi sebelum bicara ‘Cosmos’ zaman di tahun 80an itu udah diajak nonton ‘Cosmos’, kemudian diajak ke planetarium. Kita sering pergi ke sana. Kalo ada peristiwa astronomi itu keluarga pasti akan cari tahu nontonnya gimana.
Jadi waktu ada gerhana matahari di Jawa tahun 83 itu kan dilarang sama [Presiden] Soeharto ya. Dia merasa jadi raja Jawa, dia ingin mencoba menunjukkan kekuasaannya dengan melarang orang Indonesia menonton, melihat gerhana, diancam nanti bisa buta. Jadi terjadi pembodohan massal pada waktu itu. Kita semua dibikin takut oleh gerhana sampe Babinsa [Bintara Pembina Desa: satuan teritorial TNI AD paling bawah yang berhadapan langsung dengan masyarakat] itu dikirim untuk memastikan warga desa tidak kemana-mana, ditakut-takutin.
Maksudnya, ini kan ada kesempatan untuk melakukan pendidikan secara massal tapi yang terjadi rezim Orba justru menakut-nakutin warganya.
Nah, kami tuh pergi ke Cilacap, Pangandaran. Aku gak terlalu ingat sih kejadian itu, tapi itu ada foto-foto di keluarga, jadi di album keluarga ada foto-fotonya. Jadi sepanjang hidup kelihatan, oh... ada gerhana. Nah, muncul pertanyaan, gerhana ini apa?
Lalu pas ada Komet Halley. Itu kami pergi ke Cibubur untuk coba melihat Komet Halley. Itu tahun ’86 kan. Itu akan muncul lagi... dia muncul setiap 76 tahun sekali, terakhir 1910, muncul lagi tahun ’86 dan dia akan kembali muncul tahun 2062. Aku gak tahu apakah kita masih diberi kesempatan untuk melihat lagi.
Dan di tahun ’86 itu aku diceritain ada klub astronomi dari Jakarta. Mereka mengundang seorang kakek-kakek yang menyaksikan komet itu di tahun 1910. Jadi ada satu kesinambungan gitu ya seolah-olah kita ini menyaksikan komet tersambung dengan masa lalu. Si mbah ini kayak pemancar sejarah.
Jadi minat ini, apa yang terjadi di langit, dikarenakan di keluargaku itu udah sejak awal. Terus SMP itu aku langganan ke planetarium. Tiap seminggu sekali karena kan dulu penayangannya berseri. Jadi setiap minggu itu ganti. Jadi mulai SMP itu udah penasaran astronomi itu apa ya.
Bagaimana caranya kita bisa tahu lebih ini, oh ternyata ada pekerjaan ‘kamu bisa jadi astronom’. ‘Oh gitu...’ Gimana caranya untuk jadi astronom? Ya kamu harus belajar...ini kira-kira obrolan dengan orang tua, kakak-kakak, guru. Oh kamu kalo di Indonesia harus ke ITB. Itu satu-satunya sekolah astronomi. ‘Oh gitu ya..’ Gimana caranya? ‘Ya kamu harus bisa matematika, fisika karena itu yang diujikan.
Setelah mantap lalu saya mau coba belajar astronomi. OK yang penting persipakan diri. Kursus belajar matematika karena matematika – fisika terus tarang aku gak terlalu bagus dulu. Bukan anak jeniuslah
Tapi akhirnya diterima kan?
Ya, akhirnya diterima
Saat di ITB apakah semua harapan Tri seputar pengetahuan astronomi terpenuhi? Pertanyaan dan segala curiosity Tri terjawab?
Ah, itu baru terjawab belakangan di akhir kuliah karena...aku gak tak gahu apakah ini persoalan atau tidak, tapi pada zaman dahulu di ITB itu di jurusan astronomi itu 3 tahun pertama, itu isinya fisika doang sama matematika. Jadi mata kuliah mengenai astronomi itu sendiri mulai ditambahi dengan semakin seniornya kita. Jadi setahun pertama itu sama sekali gak ada astronomi. Itu praktis masih mengulang SMA ditambah sedikit. Nah, di tahuh kedua hanya 2 mata kuliah astronomi, mayoritas itu fisika dan matematika. Tahun ke-3 mulai 50 persen ada astronomi, 50 persen ada fisika dan di tahun ke-4 itu udah 75 persen bahkan 100 persen astronomi. Jadi pada waktu itu butuh kesabaran mahasiswa untuk terus maju mempelajari materi-materi ini belum jelas gunanya apa.
Tapi base-nya astronomi kan memang harus kuat fisika dan matematika ya?
Itulah yang kemudian kita sadari kemudian. Jadi tahun ke-3 dan tahun ke-4 ketika kemudian bertemu dengan dosen-dosen astronomi itu, waduh... nih kamu harus ngulang [kalo gak kuat]. Jadi itu salah satu masalah yang dulu sering kita hadapi, kita sebagai mahasiswa tidak memahami itu. Mahasiswa-mahasiswa muda gitu kan, penuh dengan... di kepala kita ketika di astronomi itu sepertinya... ternyata itu isinya fisika dan matematika mulu.
Itu [sebetulnya] satu hal yang udah kita ketahui karena sebenarnya dulu jurusan astronomi itu kecil. Aku satu angkatan hanya 15.
Itu jumlah terkecil di ITB?
Bisa dikatakan itu [jurusan] yang paling kecil di ITB, sekarang katanya udah lebih banyak tapi dulu tuh satu tahun hanya di bawah 20. Bahkan di tahun 80an atau 70an itu lebih sedikit lagi. Kadang-kadang satu tahun tidak ada yang datang atau satu angkatan hanya 3 atau 2. Jadi kita tuh punya keakraban yang cukup tinggi dengan yang beda angkatan.
Jadi kita sebetulnya udah dengar cerita dari yang udah lebih senior bahwa kamu asal tahu aja kamu akan lebih banyak belajar fisika dan matematika. Kita udah tahu itu, tapi saat menjalaninya sendiri tetap aja, ‘ya Allah...’
Yang Tri pahami apakah teman-teman satu angkatan atau yang lebih senior memilih jurusan astronomi karena passion atau by accident? Karena kalo saya perhatikan itu jurusan sudah lama ada ya di ITB. Sejak kapan persisnya?
Dari tahun ‘50an.
Tapi ahli astronomi Indonesia yang menonjol tidak banyak ya. Apakah mereka yang kuliah di jurusan ini benar-benar memilih berdasarkan passion?
Hampir semua yang aku ngobrol, teman-temanku baik yang beda angkatan, itu semua memang memilih jurusan ini [karena] mereka punya minat dan gairah, passion yang tinggi untuk mengenal mengenai alam semesta ini lebih lanjut. Bahwa kemudian gairahnya ada yang tidak berlanjut... tapi semua itu anak-anak SMA yang memang memilih ingin mempelajari astronomi.
Ada beberapa yang memang menggunakan astronomi sebagai batu loncatan untuk nanti bisa pindah jurusan ke teknik atau ini.. karena dinggap ini yang lebih bergensi atau lebih bermanfaat bagi kehidupan dia. Ada juga yang seperti itu, tapi itu gak banyak.
Tapi banyak juga lulusan astronomi yang tidak bekerja sesuai jurusan misalnya Ninok [Ninok Leksono, astronomi ITB yang menjadi wartawan] atau Karlina [Karlina Supeli, astronomi yang lebih dikenal sebagai filusuf], di antaranya. Mereka tidak menggeluti astronomi lebih serius tapi bidang lain. Menurut Tri, apa kira-kira penyebabnya?
Menurutku masalahnya adalah tidak ada banyak lapangan pekerjaan bagi lulusan astronomi untuk bisa bekerja di astronomi sebagai peneliti, sebagai ilmuwan. Itu masalah. Jadi prospek pekerjaan mereka untuk menjadi peneliti astronomi itu pergi ke LAPAN [Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional]. Terus bekerja untuk jurusan astronomi ITB, atau pergi ke BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika]. Jadi memang cukup sulit kalo kita ingin terus berkarir di astronomi. Akibatnya teman-teman harus mencari hal yang lain.
Lembaga yang selama ini paling banyak menampung lulusan astronomi itu di mana?
Paling banyak LAPAN. Oh ya, LIPI [Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia] itu juga bisa. Atau kembali ke perguruan tinggi, baik ke ITB atau ke jurusan lain, paling dekat itu dengan fisika. Kita bisa menawarkan kuliah berapa SKS, kuliah astronomi, kuliah astrofisika.
Tapi menurutku ini cukup memprihatinkan ya karena kita sudah punya Observatorium Bosscha di Lembang sejak 1920an. Mengapa astronomi kita tak kunjung berkembang. Kalo Tri bandingkan dengan pengalaman bekerja di lembaga penelitian di Jerman, misalnya, apakah perbedaan mendasar kita dengan mereka?
Memang di negara-negara yang maju, mereka punya anggaran lebih besar untuk pendidikan tinggi dan juga untuk penelitian garda depan istilahnya. Karena negara-negara ini paham bahwa kita mungkin belum tahu apa gunanya astronomi untuk saat ini tetapi penelitan astronomi itu mendorong munculnya teknologi-teknologi yang kemudian...dorongan untuk mengetahui alam semesta ini...keingintahuannya membuat kita membuat teknologi-teknologi yang nanti mungkin bisa berguna dalam kehidupan kita, contohnya adalah camera digital.
Camera digital yang ada di HP [handphone] kita atau yang sekarang ada di mana-mana itu pertama kali digunakan oleh para astronom untuk mengambil foto setelah sebelumnya mereka pindah dari plat foto film. Nah, itu mereka pahami bahwa mungkin ini pengetahuan yang gak guna tapi ada sampingan-sampingan yang mungkin juga berguna.
Juga kolaborasi, bekerjasama dengan negara-negara lain. Astronomi di Jerman itu sangat erat dengan astronomi Eropa pada umumnya, misalnya mereka membentuk organisasi seperti ESO, Eoropean Southern Observatorium, Observatorium Selatan Eropa itu mereka punya banyak teleskop di Cile. Itu dibangun secara patungan. Jadi biaya untuk membangun dan terutama mempertahankan dan merawat itu sangat besar. Itu hampir tidak mungkin ada satu negara bahkan Jerman sekalipun yang bisa membayar itu seorang diri gitu. Itu semua harus patungan.
Jadi sebenarnya Indonesia kalo punya niatan ya bisa menggandeng negara-negara tetangga untuk membangun observatorium di wilayah mereka atau bayar. Kita bayar waktu pengamatan di teropong lain. Itu juga bisa.
Artinya hasil-hasil penelitian ini kan bisa ditawarkan ke negara lain kalau kita belum tahu apa manfaatnya karena industri pendukung belum berkembang, begitu kan Tri?
Bisa, bisa.
Apakah kita tidak punya visi seperti itu?
Ya, sejauh ini kan kita... [sambil membentangkan tangan] yang saya lihat tidak ada seperti itu dan bahkan sebaliknya kita ini sangat tertutup dari yang saya dengar dari bidang lain gitu. Kolaborasi internasional itu terhambat oleh ketertutupan kita gitu.
Misalnya, saya dengar ada orang penelitian gunung berapi. Dia mau meneliti gunung berapa di Indonesia, itu agak sulit karena masalah izin, juga soal data, dengan siapa dia harus bekerja sama, soal siapa yang pegang datanya, nanti itu mau dikemanain. Jadi akhirnya dia memilih untuk bekerja di... meneliti gunung berapi di tempat lain. Kalo gak salah dia akhirnya memilih ke Vanuatu, sekarang negara yang kita hujat-hujat [baru-baru ini Indonesia dan Vanuati kembali ribut soal isu Papua. Red].
Gawat sekali orang Indonesia kan, maksudnya gawat soal kita dengan Vanuatu itu.
Nah, jadi kayaknya untuk pembangunan kolaborasi internasional yang saya lihat cukup berhasil itu adalah kerjasama LIPI dengan CERN [lembaga penelitian CERN/Conseil Europeen pour la Recherche Nucleaire: Pusat Riset Nuklir Eropa] di Swiss di mana Indonesia sekarang sudah bisa menjadi...saya gak tahu udah sampe mana tapi dulu itu kita sudah bisa menjadi anggota pengamat, anggota observer bagian dari eksperimen fisika yang namanya ALICE. Itu salah satu eksperimen di CERN.
Jadi Indonesia itu sudah terlibat dalam kolaborasi internasional di CERN. Nah pemimpinnya itu teman saya, Haryo Sumowidagdo Ph.D [fisikawan Indonesia].
Nah dalam bidang astronomi kita sebenarnya juga bisa. Kita bisa ikut dalam kolaborasi internasional untuk membangun teropong besar yang sekelas 8 meter. Dan itu sudah dilakukan misalnya oleh Afrika Selatan. Mereka punya teleskop namanya South Africa Large Telescope. Itu diameternya kalo gak salah 11 atau 9 meter gitu. Itu Afrika Selatan bekerja sama dengan Jerman, kalo gak salah juga dengan Namibia. Jadi ada kerja sama regional juga dengan Eropa. Jadi itu satu hal yang bisa kita lakukan.
Maksud saya Tri, kan kita punya Bosscha, sudah begitu lama, tapi itu tidak cukup untuk membuat astronomi kita berkembang pesat, tidak bisa dikembangkan sebagai center of research untuk kalangan lebih luas, misalnya.
Observatorium Bosscha itu sebetulnya milik ITB, jadi milik universitas. Tapi kita masih belum punya observatorium nasional. Ada yang saat ini sedang dibangun di Kupang, dekat Kupang, itu observatorium nasional. Ada lagi yang sedang direncanakan akan dibangun itu di Lampung. Itu akan menjadi milik ITERA [Institut Teknologi Sumatera]. Ini semua seingat saya teleskop kategori garis tengahnya 2-4 meter. Tapi kita belum punya satu program misalnya apakah kita bisa terlibat dalam pembangunan teleskop 8 meter. Itu sulit sekali dibangun oleh satu negara. Kita bisa patungan.
Jadi sebenarnya masalahnya adalah kita harus bisa mulai menjajaki kerjasama apakah regional, Asia Tenggara, untuk mulai bisa menjajaki apa keterlibatan kita dalam pembangunan fasilitas seperti itu. Dan itu... kita sediakan tanah saja atau lokasinya, itu sudah bagus.
Ilmuwan kita untuk tingkat internasional kok nampaknya kurang eksis ya? Teman saya yang ilmuwan juga tinggal di luar negeri pernah mengatakan ada faktor kurang percaya diri para ilmuwan dari Indonesia, terutama soal bahasa. Sebagai astronom yang sudah lama di luar, apa saran Tri untuk mengatasi ini?
Ya, mungkin kurang terbiasa untuk mempresentasikan atau bekerjasama. Mungkin juga masalahnya ya kurang ada kolaborasi. Barangkali. Saya kurang tahu karena udah lama gak bekerja di Indonesia. Jadi kurang tahu apa yang terjadi.
Tapi misalnya pergi ke luar negeri untuk presentasi, ikut konferensi, itu kan bisa menunjukkan bahwa kita eksis. Di konferensi-konferensi ini kita menunjukkan pekerjaan-pekerjaan kita. Lalu ikut terlibat dalam kolaborasi internasional. Pergi ke luar negari 3 bulan atau 1 semester untuk melakukan penelitian atau tugas penelitian.
Saya sebagai astronom di dua negara: Eropa dan Amerika belum pernah ketemu misalnya orang LIPI atau orang LAPAN...oh pernah saya ketemu orang LAPAN, tapi itu gak setiap saat. Itu jarang sekali ketemu misalnya, ‘Oh kami lagi penelitian kolaborasi dengan NASA, misalnya, atau dengan ini...’ atau di Jerman dulu, itu agak jarang.
Jadi apakah program-program seperti ini, itu kurang ada? Atau gak ada, atau bagaimana? Karena itu salah satu cara untuk membuat kita dikenal.
Jadi, orang misalnya balik ke Indonesia lalu bekerja di universtas atau perguruan tinggi atau di LIPI, apakah masih terjalin kerja sama dengan mantan pembimbingnya atau dengan teman-teman waktu mereka sekolah dulu? Apakah masih ada kolaborasi?
Teman-teman saya di [jurusan] Sejarah itu masih suka bolak-balik ke Belanda, dulu masih suka ketemu habis lulus.
Artinya itu kan bisa inisiatif atau motivasi individu untuk membangun jaringan atau kolaborasi, sehingga mereka tidak hanya mengerjakan pekerjaan rutin tapi juga punya cita-cita yang lebih besar.
Iya benar. Bisa juga seperti itu, tapi juga mungkin negara tidak mendorong supaya itu terjadi. Pemerintah kan sebenarnya punya anggaran kan, mereka bisa ini...
Dan juga ada obsesi mengenai angka kredit untuk naik pangkat.
Mencari Kum?
Kum, iya. Aku kurang mengerti tentang mekanismenya bagaimana, tapi sempat lihat soal angka kredit paper ini kalo udah publish diindeks oleh Scopus atau tidak. Jadi semua publikasi atau konferensi ini, itu semua semata-mata hanya untuk mengumpulkan angka kredit Kum untuk sebagai supaya naik pangkat.
Ya, tapi kemudian itu untuk apa? Kita naik pangkat itu untuk apa? Sebenarnya kan supaya kita mendapat kesempatan untuk bis ameneliti lebih leluasi, bisa bertemu dengan...untuk memperluas cakrawala kita sendiri. Jadi mungkin yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana kita bisa memperluas cakrawala itu sendiri.
Waktu di Jerman dulu, saya dengar Tri pernah mendapat award untuk penelitian, bisa diceritakan kembali?
Aku dulu kerja di namanya Max Planck Institute for Astronomi. Itu bagian dari Max Planck Gasellschaft, itu Max Planck Society, salah satu lembaga yang menyalurkan dana ke institusi-institusi mereka sehingga mereka bisa melakukan penelitian garda dengan dalam bidang astronomi.
Tapi penghargaan yang aku terima dulu itu sebenarnya untuk kerja thesis menulis disertasi S3. S3-ku itu di Universitas Leiden di Belanda. Dulu itu bagian dari satu kolaborasi telescope Neutrino. Jadi ini lagi-lagi kolaborasi Eropa untuk mengamati Neutrino dan menggunakan teleskop di bawah lalut. Aku nulis thesis, ternyata thesis ini kemudian setelah dilihat oleh kolaborasi ini [dinilai] bagus, jadi dikasih penghargaan. Ya lumayanlah hehe.
S2 Tri di mana?
Sama, di Leiden. Jadi setelah lulus ITB itu mungkin setengah tahun nganggur, ngelesin atau apa, tapi sambil cari beasiswa. Kemudian dapat beasiswa langsung ke Belanda. Jadi 6 taun di Belanda kan, 2 tahun untuk master lalu 4 tahun untuk S3, terus kemudian pindah ke Jerman untuk post-doc (post doctoral) namanya.
Nah waktu aku pindah ke Jerman itu sebenarnya aku belum defense, maksudnya belum disidang doktor tapi disertai itu udah selesai, udah kasih ke pembimbing. Pindah ke Jerman untuk post-doc, terus baru kira-kira setengah tahun kemudian balik ke Belanda untuk sidang, akhirnya resmi doktor dapat ijazah. Jadi ada periode dimana aku udah post-doc tapi belum resmi doktor.
Berarti di Jerman berapa lama bekerja di Max Planck?
Empat tahun mulai dari 2012.
Di Jerman kan Tri sudah mapan, kenapa pindah ke AS?
Ah, belum bisa dikatakan mapan. Soalnya aku belum punya pekerjaan yang permanen, yang tetap. Nah ini juga situasi yang sama di luar Indonesia. Bahwa pekerjaan bidang astronomi itu jumlahnya juga masih begitu-begitu aja, sementara jumlah Ph.D doktor bidang astronomi itu setiap tahun semakin bertambah.
Jadi sebenarnya lapangan pekerjaan secara global itu tidak bisa menyerap jurusan intra astronom itu, tapi dalam skala global, itu lebih parah. Akibatnya banyak sekali doktor astronomi yang harus menjalankan post-doc namanya, meneliti di bawah bimbingan peneliti yang lebih senior dan sudah mapan. Sementara dia membangun reputasi sampe kemudian mereka bisa dapat posisi permanen atau di universitas atau lembaga penelitian atau ya dia total keluar dari astronomi kayak temanku. Dia doktor astronomi, dia kerja di Bank ABN Amro, ada yang kerja sebagai analis risiko misalnya di Deloitte [akuntan publik].
Jadi banyak sekali sebenarnya lulusan astronomi, doktor astronomi di luar negeri yang bukan hanya karena mereka tidak berminat sebenarnya tapi juga karena situasi lapangan pekerjaan yang sudah tidak ada kesempatan.
Berarti Tri beruntung ya masih bisa berkarir di bidang astronomi?
Beruntung banget. Apalagi di masa pandemi ini. Aku baru pindah kerja ini juga baru tahu belakangan. Kami udah siap-siap mau pindah ke Indonesia, pengangguran, tiba-tiba dapat telepon, "Kamu bisa kerja di Baltimore?" Oke, saya terima. Ya udah.
Jadi Tri nanti akan pindah ke Baltimore?
Sejauh ini sih mungkin sampe tahun depan masih di DC karena masih kerja dari rumah dan itu masih sampe tahun depan.
Lembaga tempat kerja baru ini swasta atau milik pemerintah?
Ini adalah kontraktor NASA. Jadi ini lembaga yang dikontrak oleh NASA untuk mengoperasikan dan menganalisis data yang diambil oleh misi-misi antariksa, teleskop-teleskop NASA. Lembaga ini namanya Space Telescope Science Institute, STSCI. Ini adalah lembaga yang dulu didirikan, dikontrak NASA untuk mengoperasikan telescope Hubble, waktu itu telescope Hubble baru diluncurkan dan juga untuk menganalisis gambar-gambar yang diambil oleh Hubble dan science untuk memproduksi science atau ilmu pengatahuan dari data-data ini dan kemudian bagaimana ini bisa disimpan dan diakses oleh masyarakat.
Jadi Hubble, STSCI ini juga mengelola telescope [luar angkasa] James Webb, JWST yang akan diluncurkan tahun depan dan juga misi lain misalnya telescope Roman, Nancy [Grace] Roman Space Telescope. Sekarang lagi dipersiapkan untuk diluncurkan mungkin 5 tahun ke depan. Nah, aku direkrut untuk bekerja di misi Roman ini.
Wah, keren. Selamat ya Tri.
Terima kasih.
Kalo jadi pulang, gak terbayang Tri bisa melakukan itu, terlibat dalam misi yang sangat progresif ini dan sesuai passion.
Oh iya. NASA termasuk yang anggarannya cukup besar.
Kalaupun balik ke Indonesia, pekerjaan apa yang sempat terbayang?
Nah itu diskusi agak panjang dengan Ucu [istri] waktu itu. Karena itu sangat riil kan. Aku kemudian cari posisi jadi dosen di perguruan-perguruan tinggi negeri atau swasta, kira-kira gimana. Terus coba cari di LIPI atau LAPAN atau parah-prahnya ya gak tahu...ngelesin barangkali.
Sayang banget dong ilmunya kalo cuma kasih les [ngelesin]?
Atau kerja di perusahaan swasta. Cuma aku agak malas misalnya kerja di google atau di perusahaan yang membutuhkan analisa data lah, karena di situ kekutanku selama ini. Tapi beberapa alternatif yang tadi aku sebut itu kami sempat obrolin.
Untungnya nasib menentukan lain ya?
Iya, ternyata masih ada cadangan keberuntunganku ha ha ha.
Rencananya akan selamanya tinggal di AS atau ada bayangan kelak kembali ke Indonesia?
Ya sejauh ini sepertinya kesempatan terbaik itu ada di Amerika atau di Eropa. Ya di luar Indonesia lah pada umumnya. Tapi kalo ada kesempatan di Indonesia ya mau aja balik.
Tapi sebenarnya hubungan dengan Indonesia masih bisa dibikin, misalnya kita memfasilitasi orang atau mahasiswa atau peneliti untuk datang ke sini untuk kolaborasi baik dengan dana pemerintah ataupun dengan dana pemerintah Amerika, membimbing mahasiswa secara jarak jauh dengan bantuan dosen di Indonesia, itu juga salah satu kemungkinan yang bisa dilakukan.
Menurut saya itu benefit memiliki ilmuwan kita di luar negeri yang bisa kita manfaatkan. Apakah pernah ada obrolan dengan teman-teman di Indonesia?
Setahu ada program visiting professor dari luar negeri. Maksudnya peneliti atau profesor luar negeri, peneliti Indonesia yang ada di luar negeri itu diundang. Itu program Menristek Dikti dengan dana pemerintah. Mereka diundang ke Indonesia dengan biaya pemerintah untuk menceritakan kira-kira kerjasama apa yang bisa dibangun dengan perguruan-perguruan tinggi atau lembaga penelitian di Indonesia. Nah setahuku itu ada program pemerintah seperti itu tapi gak tahu giman...
Salah satu peserta visiting professor itu Dwi Hartanto [dikenal dengan skandal Dwi Hartanto, Oktober 2017] yang ketahuan mengaku-ngaku sebagai ahli roket. Kasusnya sempat besar 2-3 tahun lalu. Dia ikut dalam program itu. Jadi bisa dibayangkan kalo ada orang kayak begitu, seperti itu bisa masuk ya seperti apa pemeriksaan latar belakangnya.
Tapi program seperti itu ada dan kita sebenarnya juga punya ikatan dengan perguruan tinggi kan. Sebagai alumni ITB, aku bisa kontak dosen-dosen di sana.
Artinya kan Tri bisa beperan sebagai contact person, membuka akses.
Iya, bisa.
Pertanyaan terakhir: menurut Tri mengapa orang-orang Indonesia nampaknya kurang tertarik menggeluti bidang STEM [science, technology, engineering, and math], terutama di kalangan anak-anak milenial?
Ya, atau pengen jadi youtuber.
Aku pikir masalahnya adalah dari cara bagaimana kita memperkenalkan science sejak usia dini. Dan memperkenalkan di sekolah dimana science hanya dipandang sebagai tumpukan fakta dan rumus-rumus, bukan seuatu yang bisa dipakai untuk menjelajah alam kita atau mengapresiasi fenomena alam yang ada dan untuk coba mencari tahu. Jadi akhirnya science hanya dilihat sebagai sebuah kitab, kumpulan kitab yang isinya dalil-dalil, kita aja bahkan menyebut dalil kadang-kadang, jadi hukum Newton begini begini..jadi cara pandang kita tuh justru menjadi lebih sempit karena belajar science. Itu karena kita menganggap itu sebagai sesuatu yang saklek.
Bisa juga karena sistem pembelajaran science yang kurang menarik ya?
Aku pikir perspektifknya itu musti diubah. Jadi bagaimana kita lbih pada cara kita memperkenalkan science.
Kalau science dengan agama, apa bisa juga jadi faktor yang memengaruhi?
Oh ya, masyarakat kita sangat relijius, saking relijiusnya bahkan melihat science itu juga sebagai bagian dari agama. Tidak bisa melihat science sebagai hal lain. Jadi itu harus menjadi bagian dari agama tidak bisa melihat science sebagai hal lain. Tapi mungkin itu juga ada kaitannya dengan bagaimana cara kita mengajarkan atau memperkenalkan science. Ya seperti kita belajar agama: sebagai sesuatu yang tidak boleh keliru. Jadi kalo kamu salah ya kamu bego haha. Nah kayak gitu.
Padahal science itu senantiasa berubah. Banyak sekali pengetahuan-pengetahuan science yang gagal karena tidak berhasil menjelaskan fenomena yang ada. Science yang diajarkan di sekolah adalah science yang berhasil bukan yang gagal. Kalo gagal gak diajarkan di sekolah.
Mungkin itu. Jadi cara memandang science itu.
Dan science juga menjadi lahan pertempuran untuk melegitimasi kepercayaan atau untuk mendelegetimasi kepercayaan tertentu: oh science ini juga ada di dalam kitab kami. Itu juga salah satu problem yang ada.
Tri sendiri dibesarkan di keluarga yang relijius meski moderat. Bagaimana orang tua menerapkan pendidikan di rumah?
Kalo kami dulu gak diarahkan untuk mempelajari sesuatu misalnya: ‘kamu harus belajar teknik supaya dapat duit.’ Atau ‘kamu harus masuk tentara supaya nanti hidupmu stabil.’ Itu di keluarga kami gak ada seperti itu. Jadi kami bebas aja.
Biasanya mereka tanya balik. Mereka juga kasih informasi saja sehingga kami bisa bikin keputusan. Misalnya aku dulu bilang,’ ayah aku mau menjadi astronom.’ Ayah hanya bilang,’ nanti kamu cari uang gimana, itu agak susah loh.’ Saya jawab: ‘ya gak apa-apa. Yang penting buat pengatahuan.’
Jadi mereka hanya kasih realitasnya begini. Biar tahu aja. Jadi tidak pernah ada larangan atau didorong untuk ke sana. Biar aja kita cari tahu sendiri, bikin keputusan sendiri itu yang ada di keluarga.
Kalo ada beda pendapat, bagaimana cara mengatasinya?
Ya kita terus argumen aja, sampe salah satu mengalah.
Tri menikah kapan tepatnya?
Hampir 5 tahun lalu.
Dengan seorang film maker, Ucu Agustin. Sama-sama sibuk, gimana kalian mengatur waktu?
Ya, dia beberapa tahun terakhir sibuk bikin [film] domumenter mengenai dua remaja tunanetra. Itu yang membuat kami hidup terpisah, maksudnya dia bolak balik ke Indonesia, aku kerja di sini. Tapi sejak adanya pandemi, dia harus berhenti bekerja dulu. Balik ke Amerika, tapi ya gak apa-apa lah, maksudnya dia ikut ke Amerika terus gak ngapa-ngapain. Itu dulu diskusi besar juga. Dia ikut datang ke Amerika, semua yang di Indonesia ditinggalin, terus ,’dia ngapain?’ tapi ya sejauh ini kami baik-baik saja, udah setengah tahun di rumah aja.
Baik Tri, sukses terus untuk Tri dan Ucu. Saya sudah dengar suara jangrik di sana, udah terlalu larut ya di DC.
Hebat kan di kota ada jangkrik hahaha.
Ini pembicaraan yang menarik banget. Tapi saya akhiri dulu ya Tri. Terima kasih.
Iya, Mbak. Terima kasih.
Kontributor : Rin Hindryati